Anda di halaman 1dari 6

Tinjauan Pustaka

Konseling Medik: Kunci Menuju Kepatuhan Pasien

Endang S. Basuki
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: Di akhir konsultasi seorang dokter memberikan terapi, baik yang bersifat farmakologis maupun non-farmakologis. Ada kemungkinan pula dokter merujuk pasien ke fasilitas kesehatan lainnya. Dokter pasti berharap pasien mematuhi regimen yang telah diberikan. Kepatuhan pasien merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor, antara lain komunikasi antara dokter dengan pasien, tahap penyakit, terapi/perawatan yang dianjurkan, serta beberapa kondisi yang berhubungan dengan terapi/perawatan yang dianjurkan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan faktor utama dalam mencapai kepatuhan pasien. Konseling medik merupakan salah satu bentuk dari konsultasi medik yang memungkinkan pasien untuk menentukan pilihannya setelah melalui proses diskusi yang tuntas dengan dokter. Keuntungan dan kerugian dari dua atau lebih alternatif yang ditawarkan oleh dokter perlu dipertimbangkan dan didiskusikan dengan baik. Konseling medik juga dapat diterapkan pada keluarga pasien, agar mereka dapat mendukung pasien dalam mengatasi masalahnya. Konseling medik yang terdiri atas tiga tahap, perkenalan, mendengarkan dan intervensi akan membuahkan hubungan baik antara dokter dengan pasien dan atau keluarganya. Selain itu rencana terapi dapat dimengerti dan disetujui. Kata kunci: konseling medik, kepatuhan pasien

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

55

Konseling Medik: Kunci Menuju Kepatuhan Pasien

Medical Counseling: Key to Patient Compliance Endang S. Basuki


Departmet of Community Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta

Abstract: At the end of a consultation session, physicians give(s) regimens to patient, either pharmacological and or non-pharmacological. Patient might also be referred to other health personnel. Physicians hope that the patient will adhere to the regimen(s) given. In fact, patient complianceis resulted from interaction of a number of factors i.e.,among others, the communication between the physician and the patient, the disease state, the treatment regimen(s) and the therapeutic milieu. Many resear have shown that communication between physician and patient is vital for patient compliance. Medical counselling is a form of medical consultation which allows patient to decide his or her choice after a thorough discussion with the physician. The advantages and disadvantages of at least 2 or more alternatives which are offered by the doctor need to be explored and discussed profoundly. Medical counselling is also appropriate to be conducted with the family members to support patient in coping with the problems. Medical counselling which consists of three stages namely introduction, listening and intervention will produce an established connection between physician, the patient and his or her family and an agreed-upon and well-understood treatment plan. Those two factors are essential to influence patient compliance. Keywords: medical counselling, patient compliance

Pendahuluan Modul pelatihan teknis manajemen mutu pelayanan kesehatan yang disusun oleh Tim Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menyebutkan: Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta yang penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang sudah ditetapkan.1 Dari definisi tersebut tampak bahwa kepuasan pemakai jasa pelayanan kesehatan merupakan faktor penting dalam menentukan mutu pelayanan kesehatan, walaupun bagaimana pelayanan kesehatan tersebut dilakukan juga merupakan faktor penting. Hubungan antara keduanya juga amat penting dan berbanding lurus. Penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kode etik dan standar profesi yang ditetapkan akan meningkatkan kepuasan pasien. Kepuasan pasien pada gilirannya akan meningkatkan kepatuhan terhadap rencana perawatan/tindakan/terapi yang akan dilaksanakan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pada pengobatan penyakit yang bersifat kronis pada umumnya rendah. Penelitian yang melibatkan pasien berobat jalan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien tidak makan obat sesuai dengan dosis yang seharuanya.2 Meta-analisis terhadap penelitian terapi diabetes melitus menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan baik terhadap obat oral maupun suntikan rendah.3 Tingkat kepatuhan penyakit TBC di Indonesia dilaporkan
56

juga hanya sekitar 70%.4 Kepatuhan menjalani tindakan bedah yang seharusnya dilakukan juga diperkirakan tidak 100%. Pasien tidak menjalani tindakan yang ditawarkan kepadanya karena berbagai hal, salah satunya adalah kelemahan dalam penyampaian informasi.5 Penyampaian kabar buruk tidak dilakukan sesuai dengan kaidah yang seharusnya, juga tidak dilakukan konseling medik yang adekuat dengan melibatkan anggota keluarga lain. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan manapun dapat dibedakan menjadi pelayanan yang bersifat teknis dan non-teknis. Tindakan operasi atau pengobatan secara radiologik dan kemoterapi dapat digolongkan dalam pelayanan kesehatan yang bersifat teknis, sedangkan bagaimana dokter melakukan anamnesis, memberikan informasi ataupun jadwal kunjungan ulangan antara lain merupakan pelayanan yang bersifat non-teknis. Keduanya sangat berhubungan erat. Kepatuhan pasien untuk menjalankan pengobatan yang ditawarkan oleh dokter akan sangat dipengaruhi oleh cara dokter dalam memberikan informasi tentang pengobatan tersebut. Agar seseorang mau melakukan suatu tindakan tertentu diperlukan proses komunikasi yang efektif antara seorang provider dengan pasien dan/atau keluarganya. Komunikasi yang tidak efektif antara petugas kesehatan dengan pasien dan atau keluarganya dapat mengganggu kepatuhan pasien.6 Penelitian yang dilakukan di Jakarta menunjukkan bahwa peserta KB yang mendapat konseling sebelum dan sesudah
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Konseling Medik: Kunci Menuju Kepatuhan Pasien insersi IUD, 90% masih menggunakan IUD selama 1 tahun, dan 79% selama 2 tahun. Kelompok lainnya yang hanya mendapat konseling bila ada keluhan, angka kelangsungan pakainya lebih rendah yakni 52% dan 29% pada kurun waktu yang sama.7 Penelitian di Sri Lanka juga menunjukkan bahwa pada kelompok peserta KB yang mendapat konseling, angka putus pakai IUD lebih kecil dibanding kelompok tanpa konseling.8 Penelitian tersebut memperlihatkan kenyataan bahwa apabila pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan, maka kepatuhan akan meningkat. Seorang pasien yang puas akan mengikuti petunjuk medis dengan lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang tidak puas. Juga bila pasien percaya bahwa kualitas pelayanan medik yang diberikan baik dan mereka diperlakukan dengan penuh respek dan empati, maka efek samping yang ringan sering dapat diterima. Pasien yang puas cenderung menganjurkan temannya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, sedangkan bila pasien mendapat pelayanan yang kurang baik, ia akan menceritakan pengalamannya kepada temanteman dan tetangganya, yang akan memberikan citra kurang baik bagi fasilitas pelayanan tersebut. 9 Menyesuaikan pelayanan yang diberikan dengan mempertimbangkan kebutuhan pasien, akan menjamin kepuasan pasien, lalu akan menjamin kedatangan pasien kembali ke fasilitas tersebut untuk mendapat pelayanan tindak lanjut. Selanjutnya pasien akan merekomendasikan pelayanan/fasilitas tersebut kepada teman-temannya.10 Konseling Dalam pelaksanaannya konseling sering dikacaukan dengan kegiatan lain yang hampir serupa misalnya memberikan nasehat. Contoh di dunia kedokteran, konseling pasien sering disamakan dengan pendidikan kesehatan bagi pasien. Hal itu tentunya perlu diluruskan, karena akan memberikan kesan pemudahan terhadap kegiatan konseling itu sendiri, tanpa memahami apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh kegiatan konseling. Hopson11 telah mengidentifikasi bahwa tujuan utama konseling adalah menolong pasien agar mereka dapat: 1. mengembangkan hubungan sedemikian rupa sehingga mereka merasa dimengerti untuk selanjutnya dapat secara jujur dan terbuka mendiskusikan persoalannya, 2. mendapatkan pengertian yang mendalam akan masalah yang mereka hadapi, 3. mendikusikan alternatif pemecahan masalah dan menentukan keputusan, 4. merencanakan dan melaksanakan tindakan yang spesifik dan 5. merasakan perasaan yang berbeda yang membuat mereka lebih tenang dan bahagia.11 Salah satu cara untuk memahami konseling adalah dengan menerjemahkannya sebagai strategi yang terdiri atas beberapa komponen. Sebagai contoh adalah model konseling
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

yang diajukan oleh Egan. Model tersebut menunjukkan konseling sebagai satu proses yang terdiri atas 4 tahap yakni attending, exploring, understanding dan action.12 Pada tahap attending, konselor harus menunjukkan keterlibatan mereka kepada pasien dan siap untuk menyediakan waktu untuk konsultasi. Jadi attentive listening (mendengar aktif) harus diperlihatkan oleh konselor sejak pertemuan pertama. Tahap kedua adalah exploring (menggali informasi) yang perlu dilakukan setelah hubungan antara konselor dengan pasien ditegakkan. Konselor harus berusaha untuk mendapatkan pengertian dan pemahaman yang lengkap mengenai keadaan pasien. Keterampilan yang diperlukan oleh konselor untuk dapat melakukan exploring adalah questioning, reflecting dan summarizing. Di tahap understanding konselor harus memahami semua perasaan, masalah, dan pendapat pasien yang dikemukakan pada tahap sebelumnya. Konselor harus menyampaikan pengertian dan pemahamannya kepada pasien. Keterampilan yang penting di sini adalah empati, yaitu konselor menunjukkan bahwa ia melihat sesuatu yang terjadi melalui mata pasien. Tahap yang keempat adalah action. Pada tahap ini pasien diberi kesempatan untuk memahami masalahnya untuk selanjutnya dapat membuat keputusan dibantu oleh konselor sebagai fasilitator. Di tahap tersebut pasien didorong untuk menentukan sendiri tujuan yang akan dicapai serta rencana apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut agar dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Peranan konselor adalah menyediakan dukungan dan dorongan. Di akhir tahap ini terjadi pengakhiran proses konseling. Pada umumnya dapat dikatakan suatu konseling yang efektif akan terjadi bila konselor: 1. dapat berpartisipasi secara penuh di dalam komunikasi pasien; 2. sangat memahami perasaan pasien dan dapat menunjukkan pemahaman tersebut; 3. mengikuti jalan pikiran pasien dan memperlakukan pasien sebagai teman kerja di dalam menangani masalah.13 Konseling yang baik terdiri atas dua elemen besar yakni menciptakan hubungan yang bersifat saling mempercayai, serta memberikan dan menerima informasi yang relevan dan akurat untuk menolong pasien membuat keputusan. Hal tersebut dilakukan dengan menunjukkan empati, bersikap sopan dan ramah serta menghormati pasien, termasuk menghargai pendapat pasien yang mungkin berbeda dengan pendapat petugas, serta memberikan informasi yang sederhana, jujur, benar dan lengkap. Dua elemen tersebut amat penting karena akan mempunyai dampak positif terhadap kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan, kepatuhan pasien untuk mengikuti petunjuk petugas kesehatan, serta keinginan kembali ke klinik untuk pemeriksaan tindak lanjut.9 Pada saat petugas memberikan konseling kepada pasien, kedua pihak melalui proses bertahap yang saling berhu-

57

Konseling Medik: Kunci Menuju Kepatuhan Pasien bungan dan tumpang tindih untuk membantu pasien menentukan pilihannya. Keduanya harus berpartisipasi secara aktif. Mereka saling bertukar informasi, mendiskusikan perasaan dan sikap pasien tentang apa yang menjadi masalahnya. Selama proses tersebut berlangsung petugas menyesuaikan proses konseling dengan kebutuhan pasien. Komunikasi Interpersonal Dalam setiap kegiatan konseling harus ada komunikasi interpersonal yang baik. Komunikasi interpersonal merupakan alat bantu untuk dapat terselenggaranya konseling. Komunikasi interpersonal merupakan potret dari hubungan interpersonal sewaktu, yakni pada saat konsultasi berlangsung. Komunikasi interpersonal adalah suatu proses dua arah, lingkaran interaktif dimana pihak-pihak yang berkomunikasi saling bertukar pesan. Dalam proses tersebut si penerima menginterpretasikan pesan pengirim dan memberikan tanggapan dengan pesan yang baru, atau dengan kata lain komunikasi interpersonal adalah proses tatap muka penyampaian informasi dan saling pengertian antara dua atau lebih orang. Pesan disampaikan secara verbal ataupun non-verbal.14 Secara umum keterampilan komunikasi dapat dibagi menjadi tiga yakni: 1. keterampilan melakukan komunikasi verbal, 2. keterampilan melakukan komunikasi non-verbal dan 3. keterampilan mengamati komunikasi verbal dan non-verbal pasien. Tiga keterampilan tersebut harus dikuasai oleh petugas kesehatan agar ia dapat melakukan konseling dengan baik.15 Keterampilan Konseling Keterampilan konseling dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni: (a) introduksi (introduction), (b) mendengarkan (listening) dan (c) intervensi (intervention).16 Introduksi Memperkenalkan diri kepada orang lain adalah keterampilan yang sangat penting dalam menolong orang lain. Gaya petugas kesehatan dalam memperkenalkan diri mungkin berbeda-beda. Dalam konteks hubungan provider dengan pasien, jelas tujuannya adalah agar pasien mampu menunjukkan siapa dirinya dan mau menceritakan masalahnya dengan tuntas sehingga memudahkan petugas dalam membuat diagnosis atau merencanakan pengobatannya. Ini akan dilakukan oleh pasien bila petugas juga membuka dirinya. Cara membuka diri tentunya dengan memperkenalkan diri, ditambah dengan menyampaikan ciri khas petugas tersebut. Ada fasilitas kesehatan yang membuat standarisasi bagaimana cara petugas memperkenalkan diri kepada pasien, walaupun kadang-kadang tampak kurang alamiah pada praktiknya. Yang penting setiap provider harus menyadari bagaimana cara yang baik untuk memperkenalkan dirinya kepada pasien atau kepada kolega baik dalam konteks konseling atau keadaan biasa. Mendengarkan Mendengarkan adalah keterampilan konseling yang cukup rumit. Menurut Lunsteen16 mendengarkan adalah the process by which spoken language is converted to meaning in the mind. Definisi yang lain diajukan oleh Steil Listening is a complex, learned human process of sensing, interpreting, evaluating, storing and responding to oral messages. Mendengarkan tidak hanya sekedar memberikan perhatian penuh kepada seseorang yang berbicara, tetapi juga harus menyadari bahwa orang yang berbicara tersebut melihat apakah kita mendengarkan pembicaraannya. Menurut Egan12 perilaku berikut merupakan perwujudan effective listening dan seyogyanya dilatih terus-menerus: 1. duduk berhadapan dengan lawan bicara (sit squarely), 2. posisi tubuh yang menunjukkan keterbukaan, jangan bersilang lengan atau kaki (maintain an open position), 3. condongkan tubuh sedikit ke arah lawan bicara (lean forward), 4. lakukan kontak mata dengan lawan bicara secukupnya (maintain reasonable eye contact), 5. santai waktu mendengarkan (relax). Dalam melakukan perilaku mendengarkan, perlu diingat faktor budaya dan norma setempat, serta penyesuaian untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Intervensi Intervensi adalah apa yang disampaikan oleh seorang konselor dalam proses konseling. Keterampilan tersebut meliputi keterampilan komunikasi non-verbal, mengajukan pertanyaan (questioning), melakukan refleksi (reflection), melakukan selective reflection, empathy building dan meneliti pemahaman pasien (checking for understanding). Empathy building oleh penulis lain disebutkan sebagai reflective feeling, sedangkan checking understanding juga dikenal sebagai refleksi isi (reflection the content of utterances). Konseling Medik Beberapa dekade lalu Szas dan Hollender menjelaskan tiga model dasar hubungan antara petugas kesehatan-pasien, yakni a) activity-passivity, pada model ini petugas secara aktif menangani pasien yang bersikap pasif sebagai penerima pelayanan, (b) guidance-cooperation, di dalam hubungan ini pasien dengan patuh mengikuti perintah petugas kesehatan dan (c) mutual participation, petugas kesehatan membantu pasien menolong dirinya sendiri.17 Model yang ketiga membantu terciptanya interaksi yaitu petugas dan pasien mempunyai kekuatan yang sama, tidak bergantung satu sama lain, dan mencapai kepuasan. Pada saat itu juga dikatakan bahwa model tersebut akan menjadi lebih penting dan sesuai, sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

58

Konseling Medik: Kunci Menuju Kepatuhan Pasien dan intelektualitas pasien. Konseling medik jelas akan menghasilkan efek yang memuaskan bila menggunakan model yang ketiga tersebut, karena di dalam beberapa penelitian telah dibuktikan partisipasi pasien dapat meningkatkan keluaran konsultasi medik, baik berupa kepuasan pasien dan petugas, maupun beberapa keluaran lain yang dapat diukur secara obyektif misalnya berat badan, tekanan darah, kolesterol darah.18-20 Keadaan yang diinginkan adalah seimbang, yaitu pasien dengan bantuan petugas menentukan keputusannya. Untuk dapat mencapai hal itu petugas dituntut agar mempunyai kualitas yang dapat mendorong pasien untuk mengekspresikan dirinya selama konseling berlangsung sehingga dapat mengambil keputusan. Kualitas tersebut antara lain adalah empati, respek kepada perasaan dan sikap pasien yang mungkin berbeda dengan perasaan dan sikapnya terhadap sesuatu hal dan kejujuran. Perkembangan sekarang tampaknya menuntut pelayanan konseling di berbagai bidang, yang sekaligus berarti perlunya penyediaan tenaga konselor. Di bidang jasa pelayanan kesehatan, dokter dan petugas paramedik diharapkan mampu membina hubungan yang lebih menguntungkan dengan pasien untuk keberhasilan terapi dan perawatan. Konseling medik belum banyak dilakukan di berbagai jenis fasilitas kesehatan. Secara ideal bila melihat definisi konseling, maka konseling medik dilakukan dalam situasi tertentu yang memerlukan diskusi yang mendalam antara petugas kesehatan dengan pasien dan/atau keluarganya agar pasien dan/atau keluarganya dapat menentukan pilihannya. Biasanya konseling medik akan berlangsung bila ada paling sedikit dua pilihan yang mempunyai keuntungan atau kerugian yang hampir sama. Beberapa contoh keadaan yang mutlak memerlukan konseling medik adalah pengambilan keputusan antara menjalani transplantasi ginjal atau meneruskan hemodialisis; menentukan pengobatan kanker secara operasi dilanjutkan dengan kemoterapi atau dengan kemoterapi saja; menjalani operasi transplantasi di dalam negeri atau di luar negeri. Pilihan tersebut mempunyai keuntungan dan kelemahan masingmasing. Petugas kesehatan harus dapat memberikan informasi selengkap-lengkapnya tentang dua alternatif tersebut tanpa memberikan preferensinya. Proses konseling medik dapat berlangsung singkat misalnya satu minggu dan pasien sudah dapat menentukan pilihan, tetapi ada kalanya prosesnya agak lama sampai tiga bulan. Untuk memutuskan menjalani transplantasi seseorang dapat mengalami proses konseling selama tiga bulan. Pengambilan keputusan seseorang tidak dipengaruhi oleh lamanya proses konseling tersebut, karena hasil konseling yang sebenarnya adalah di kemudian hari di saat pasien menerima konsekuensi dari putusannya. Konseling medik yang baik memungkinkan pasien menerima kenyataan apapun sebagai konsekuensi pilihannya. Hal tersebut sangat berbeda dengan pemberian nasehat di mana petugas kesehatan lebih banyak menentukan apa yang harus dilakukan oleh pasien. Nasehat medik perlu dilakukan pada
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

kondisi kedaruratan medik di mana bila tidak dilakukan tindakan segera pasien akan meninggal atau jatuh dalam keadaan yang membahayakan jiwanya. Pada situasi itu tentunya konseling medik tidak perlu dilakukan, walaupun tentu saja segala risiko operasi harus dijelaskan sebaikbaiknya. Selanjutnya nasehat medik perlu dilanjutkan dengan proses mendapatkan persetujuan operasi dari pasien/keluarga pasien. Dalam proses mendapatkan persetujuan tersebut semua kaidah pemberian informasi harus dilakukan dengan baik, termasuk siapa yang memberikan informasi, serta informasi apa yang diberikan termasuk keuntungan dan konsekuensi tindakan yang dilakukan. Hambatan Konseling Medik Petugas kesehatan sering merasa enggan untuk melakukan konseling medik. Salah satu hambatan yang lazim diungkapkan adalah keterbatasan waktu. Konseling medik jelas memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk satu pasien bisa memerlukan setengah jam sampai satu jam, bergantung kepada jenis kasusnya. Konseling yang melibatkan pasangan atau anggota keluarga lainnya dapat berlangsung lebih lama. Petugas kesehatan perlu menerapkan prinsip pemilihan prioritas pada pengelolaan pasien. Tidak semua pasien perlu menjalani konseling medik pada hari yang sama. Juga konseling medik yang murni biasanya tidak perlu dilaksanakan segera. Dapat diatur waktunya sesuai dengan waktu yang tersedia baik dari pihak petugas maupun pasien. Faktor kedua adalah keterbatasan keterampilan petugas kesehatan dalam melakukan konseling medik/komunikasi interpersonal. Sebagai contoh keterampilan konseling petugas keluarga berencana di Indonesia belum banyak diketahui, walaupun sebenarnya beberapa laporan dan penelitian menunjukkan bahwa interaksi petugas-pasien merupakan sektor yang sangat memerlukan perhatian. Analisis kepustakaan terhadap 9 penelitian di Indonesia menunjukkan kesamaan pendapat bahwa kualitas informasi yang dipertukarkan antara pasien dengan petugas belum baik. Hal itu terjadi karena kemampuan keterampilan komunikasi petugas yang sangat terbatas.21 Penelitian yang dilakukan oleh Basuki15 pada bidan praktik swasta di Provinsi DKI Jakarta juga menunjukkan bahwa keterampilan mereka melakukan konseling keluarga berencana masih jauh dari memuaskan.15 Rekomendasi Di Amerika Serikat petugas kesehatan mengikuti berbagai seminar dan workshop untuk belajar mengelola hubungan dengan pasien.22 Di Indonesia pelatihan konseling medik/komunikasi interpersonal sudah mulai dilakukan di fakultas kedokteran. Selain itu dalam paket pelatihan dokter keluarga juga disediakan alokasi waktu untuk komunikasi interpersonal, tetapi jumlah waktu yang disediakan untuk pelatihan keterampilan komunikasi interpersonal masih kurang. Selain itu metode pelatihannya perlu ditingkatkan.
59

Konseling Medik: Kunci Menuju Kepatuhan Pasien Peserta pelatihan belum mendapat kesempatan secara pribadi untuk mengetahui bagaimana keterampilannya sebelum dilatih, juga selama pelatihan tidak ada waktu untuk mempraktikkan keterampilan komunikasi interpersonal secara terus menerus dan terukur. Di akhir pelatihan tidak ada evaluasi keterampilan komunikasi interpersonal untuk masing-masing peserta pelatihan. Tampaknya perlu dirancang suatu pelatihan komunikasi interpersonal yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan dan dengan membuat indikator yang jelas cara pengukuran keterampilan tersebut. Kesimpulan Konseling medik perlu diterapkan pada setiap konsultasi antara petugas kesehatan dengan pasien/pasien yang mengharapkan terjadinya pengambilan keputusan oleh pasien/pasien. Dengan memberikan pengambilan keputusan pada pasien diharapkan kepatuhan akan lebih tinggi. Hambatan pelaksanaan konseling medik adalah keengganan petugas kesehatan yang disebabkan oleh keterbatasan waktu dan keterampilan konseling/komunikasi interpersonal. Metode pelatihan konseling/komunikasi interpersonal yang sudah ada belum sesuai dengan kebutuhan sebenarnya. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan pelatihan konseling/komunikasi interpersonal dengan metode yang lebih baik sehingga peningkatan keterampilan tersebut dapat diukur dan dapat dirasakan manfaatnya baik oleh petugas kesehatan maupun pasien. Untuk mendukung pelatihan konseling/komunikasi bagi petugas kesehatan diperlukan penelitian tentang konseling/ komunikasi interpersonal, terutama kaitannya dengan kepuasan pasien dan kepatuhan pasien. Daftar Pustaka
1. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Modul pelatihan teknis menejemen mutu pelayanan kesehatan program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Jakarta: 1993. Chow R, Chin T, Fong IW, Bendayan R. Medication use patterns in HIV-positive patients. Canad J of Hosp Pharm. 1993;46:1715. Cramer JA. A systematic review of adherence with medications for diabetes. Diabetes Care. 2004;27:1218-24. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan tahun 2002. Jakarta; 2004. DiMatteo MR, Sherbourne CD, Hays RD, Ordway L, Kravitz, RL, McGlynn, EA, et al. Physicians characteristics influence 20. 21. patients adherence to medical treatment results from medical outcomes study. Health Psychology. 1993;12(2):93-102. Margaret AC. Compliance: how you can help with the advent of multidrug regimens, adherence to therapy is more than a challenge, it is a necessity. Available from http://www.thebody.com/ content/art12565.html Affandi B, Samil RS, Hanafiah MJ. Some Indonesian experiences with IUD. Maj Kes Masy Ind. 1986;16(5):307-12. Fisher AA, DE Silva V. Satisfied IUD acceptors as family planning motivators in Sri Lanka. Stud in Fam Plann.1986;17(5):23542. Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health. Population reports. Baltimore: Family Planning Programs; 1994:J(40). Bruce J. Fundamental elements of the quality of care: a simple framework. Stud of Fam Plann. 1990;21(2):61-91. Hopson B, Scally M. Lifeskills teaching. London:Mcgraw-Hill; 1981. Egan G. The skilled helper. 2nd ed. Monterey, Ca: Brooks/ Cole;1986. Authier J. Showing warmth and empathy. In: Hargie, editor. A handbook of communication skills. London: Routledge; 1986. Badan Keluarga Berencana Nasional BKKBN/Johns Hopkins University/Population Communication Services. Pelatihan keterampilan komunikasi interpersonal/konseling: kurikulum dan modul untuk provider di klinik. Jakarta:1997. Basuki ES. Pengaruh metode penilaian diri terhadap keterampilan bidan praktik swasta melakukan konseling keluarga berencana [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2003. Burnard P. Acquiring interpersonal skills. In: A handbook of experiential learning for health professionals. 2nd ed. Cardiff (UK): Stanley Thornes (Publishers) Ltd;1999. Szasz TS, Hollender MC. A contribution to the phylosophy of medicine: the basic models of the doctor-patient relationship. Arch of Int Med. 1956;97:585-92. Kaplan SH, Greenfield S, Ware JE. Assessing the effect of physician-patient interactions on the outcomes of chronic disease. Med Care.1989;27:110-27. Rost K, Carter W, Inui T. Introduction of information during the initial medical visit: consequences for patient follow-through with physician recommendations for medication. Soc Sci of Med. 1989;28:315-21. Henbest RJ, Stewart M. Patient-centredness in the consultation: does it really make a difference. Fam Pract.1990;7:28-33. Iskandar MB, Pujihastuti U, Lestari H. Kualitas pelayanan keluarga berencana: review analitik untuk menentukan prioritas. Jakarta: Badan Keluarga Berencana Nasional dan The Population Council;1994. Anandale EC. The malpractice crisis and the doctor-patient relationship. Sociology of Health & Illness. 1989;11:1-23.

6.

7. 8.

9.

10. 11. 12. 13. 14.

15.

16.

17.

18.

19.

2.

3. 4. 5.

22.

SS

60

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Anda mungkin juga menyukai