Anda di halaman 1dari 6

Patofisiologi Kemoreseptor1 Perubahan pH, pCO2, dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh kemoreseptor sentral dan

perifer. Stimulasi reseptor ini mengakibatkan peningkatan aktivitas motorik respirasi. Aktivitas motorik respirasi ini dapat menyebabkan hiperkapnia dan hipoksia, sehingga memicu terjadinya dispnea. Menurut studi, terdapat pula peran serta kemoreseptor karotid yang langsung memberikan impuls ke korteks serebri, meskipun hal ini belum dibuktikan secara luas. Hiperkapnia akut yang terjadi pada seseorang sesungguhnya lebih dikaitkan terhadap ketidaknormalan keluaran saraf motorik dibanding aktivitas otot respiratorik. Hal ini disebabkan gejala umum hiperapnia akut berupa urgensi untuk bernapas yang sangat menonjol. Sensasi ini disebabkan oleh meningkatnya tekanan parsial karbondioksida pada pasien-pasien, khususnya yang mengalami quadriplegia maupun yang mengalami paralisis otot pernapasan. Penderita sindrom hipoventilasi sentral kongenital yang mengalami desentisasi respons ventilatorik terhadap CO2 tidak merasakan sensasi sesak napas ketika penderita tersebut henti napas atau diminta untuk menghirup kembali CO2 yang telah dihembuskan. Dengan kata lain, mekanisme yang turut serta dalam sensasi sesak napas ini adalah kenaikan pCO2 dan penurunan pO2 dibawah normal. Ketika nilai pCO2 normal dan ventilasi normal, tekanan parsial oksigen harus diturunkan di bawah 6.7 kPa untuk bisa menghasilkan sensasi sesak napas. Hiperkapnia2 Kemoreseptor yang ada biasanya tidak merupakan penyebab langsung terjadinya dispnea. Namun, dispnea yang diinduksi oleh kemoreseptor biasanya merupakan penyebab dari stimulus lain, seperti hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menginduksi terjadinya dispnea melalui peningkatan stimulus refleks ke aktivitas otot-otot respiratorik. Pada pasien-pasien yang diberikan agen blokade neuromuskular, ketika mereka diberikan ventilator dan tekanan tidal CO2 dinaikkan sebanyak 5 mmHg, seluruh subjek sontak merasakan sensasi sesak napas. Namun, pada pasien dengan penyakit-penyakit respiratorik umumnya, tetap tidak dijumpai kaitan antara hiperkapnia dan dispnea. Contohnya, pasien COPD yang biasanya mengakami hiperkapnia kronik tidak serta merta mengalami dispnea. Menurut studi, hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan parsial karbondioksida tersebut dimodulasi dengan perubahan pH pada kemoreseptor sentral, sehingga sensasi yang dihasilkan berbeda pula. Hipoksia2 Hipoksia berkaitan dengan kejadian dispnea baik secara langsung (indepenen, tidak harus ada perubahan ventilasi) maupun tidak langsung (perubahan kondisi hipoksia dengan terapi oksigen mampu membuat keadaan penderita sesak napas membaik). Namun, hubungan antara hipoksia dengan dispnea tidak absolut;

beberapa pasien dengan dispnea tidak mengalami hipoksia, begitu pula sebaliknya. Metaboreseptor1 Metaboreseptor berada pada otot rangka. Aktivitasnya biasanya diinduksi oleh produk akhir metabolisme. Metaboreseptor ini dapat merupakan sumber sinyal aferen yang berakibat pada persepsi sesak napas ketika berolahraga. Ketika seseorang berolahraga berat, jarang sekali ditemui kondisi hipoksemia maupun hiperkapnia, namun tendensi untuk mengalami gejala sesak napas cenderung tinggi. Lebih-lebih, perubahan pH darah tidak terlalu signifikan di awal-awal latihan. Sensasi dispnea tersebut disinyalir berasal dari metaboreseptor yang ada pada otot rangka. Namun, kondisi detailnya belum terlalu diketahui. Reseptor Vagal1 Terdapat studi yang menyatakan bahwa adanya udara segar yang langsung dipajankan ke muka atau saluran napas atas dapat menurunkan gejala sesak napas. Beberapa reseptor dingin ini diinervasi oleh nervus vagus serta berfungsi memonitor perubahan aliran di saluran napas atas dengan mendeteksi perubahan temperaturnya. Ada setidaknya empat atau lima tipe-tipe reseptor pernapasan selain reseptor tersebut yang diinervasi nervus vagus. Reseptor-reseptor ini disinyalir mampu menimbulkan sensasi dispnea, meskipun mekanismenya sendiri masih kompleks. Reseptor-reseptor utaanya adalah Slowly Adapting Stretch Receptors (SARS), Rapidly Adapting Stretch Receptors (RARs), dan Reseptor Serat-C. SAR SAR dapat ditemui di otot polos dari saluran napas besar. Reseptor ini berlanjut ke serat aferen bermyelin di vagus. Inhalasi karbondioksida, anestetik volatil, dan furosemid dinilai mampu mempengaruhi kerja reseptor ini. Stimulasi reseptor ini dapat menurunkan sensasi dispnea. Inhalasi karbondioksida menghambat aktivitas mereka dengan kerja langsung ke kanal K+ yang sensitif terhadap 4-aminopiridin. Sementara, anestetik tertentu dapat menginhibisi atau menstimulasi reseptor tergantung konsentrasi dan tipe reseptor SAR-nya. Lebih lanjut, furosemid bekerja secara tidak langsung terhadap reseptor sensorik di epitel saluran napas, dimana SAR mampu disensitisasi dengan inhalasinya. RAR RAR dikenal sebagai terminal tak bermielin yang terhubung dengan serat aferen bermyelin nervus vagus (A). Reseptor ini beradaptasi cepat untuk mempertahankan inflasi dan deflasi paru. RAR dapat diaktifkan oleh berbagai iritan seperti ammonia, uap eter, asap rokok, serta oleh mediator imunologik dan perubahan patologik saluran napas hingga paru. Pneumotoraks juga dapat menstimulasi RAR, sehingga RAR dianggap berkontribusi terhadap kejadian dispnea. Inhalasi furosemid mampu menurunkan aktivitas RAR, sehingga inhalasi bahan kimia ini mampu memperingan dispnea.

Reseptor Serat-C1 Dua kelompok reseptor serat-C memiliki hubungan langsung ke sirkulasi bronkial atau pulmonal. Reseptor ini dikenal dengan nama reseptor kapiler jukstapulmoner, atau reseptor J. Lokalisasi reseptor ini terletak dekat kapiler alveolar dan merespon peningkatan cairan interstisial diluar kapiler. Reseptor Serat-C Pulmoner berasal dari parenkim paru (injeksi obat ke arteri pulmoner dapat berpengaruh ke kerja reseptor ini), sementara Reseptor Serat-C Bronkial menginervasi mukosa saluran napas (injeksi obat ke arteri bronkial dapat berpengaruh ke reseptor ini). Reseptor pulmoner insensitif terhadap autakoid seperti bradikinin, histamin, serotonin, dan prostaglandin, sementara serat bronkial sensitif terhadap bahan kimia intrinsik tersebut. Namun, kedua grup reseptor ini memiliki respon yang sama terhadap inhalasi anestetik volatil. Kongesti paru adalah stimulan yang kuat untuk reseptor ini, namun hal ini tidak memiliki efek yang kuat terhadap terjadinya sesak napas kecuali disertai aktivitas berat. Stimulan lainnya adalah capsaicin, namun efeknya hanya menyebabkan sensasi ringan di dada. Dengan kata lain, adanya induksi langsung ke reseptor ini tidak sontak menyebabkan gejala sesak napas, harus ada mekanisme penyerta lain atau aktivitas dari reseptor lain. Reseptor Dinding Dada1 Sinyal aferen dari mekanoreseptor di sendi, tendon, dan otot dada berlanjut ke otak dan dapat menyebabkan dispnea. Sebagai contoh, sinyal aferen dari otot interkostal (grup I, II, atau keduanya) memiliki jaras langsung ke korteks serebral. Vibrasi dari dinding dada mengaktivasi muscle spindle. Aktivasi ini dapat menginduksi sensasi dispnea. Jaras yang berasal dari kelompok otot interkostalis dinilai penting dalam timbulnya sensasi dispnea ini. Aferen nervus frenikus juga terbukti mampu memodulasi aktivitas diafragma. Aktivitas ini mempengaruhi propriosepsi respiratorik dan memicu dispnea. Jaras Dispnea1 Tidak terlalu banyak informasi yang diketahui mengenai jaras saraf dispnea, dan mekanismenya dinilai lebih kompleks dibanding nyeri. Namun, diketahui bahwa aktivitas aferen dari otot repiratorik dan reseptor vagal berlanjut ke batang otak, kemudian ke area talamus. Dispnea dibuktikan mengaktivasi beberapa area di otak, seperti insula kanan anterior, vermis serebelum, amygdala, korteks singulum anterior, dan korteks singulum posterior. Area ini juga diaktifkan oleh sensasi nyeri dan stimulasi tidak menyenangkan lainnya (haus, mual). Perintah Motorik dan Central Corollary Discharge1 Sensasi dispnea menunjukkan kesadaran seseorang untuk mengubah aktivitas

motorik respirasinya. Ketika batang otak atau korteks motorik mengirim perintah eferen ke otot-otot ventilator, beberapa jaras juga disambungkan ke korteks sensorik. Hubungan ini yang disebut central corollary discharge. Akibatnya, kesadaran penuh untuk usaha ekstra bernapas timbul.

Gambar 1. Central Corollary Discharge Konsep Afferent Mismatch1,3 Disosiasi antara amplitudo output motorik dan input sensorik dari mekanoreseptor perifer dapat menyebabkan atau memperparah dispnea. Sebagai contoh, ketika kita merasakan sensasi sesak napas, seperti mekanisme central corollary discharge sebelumnya, kita akan merespon dengan usaha sadar tambahan untuk menarik napas. Usaha tambahan ini justru mampu memperparah dispnea dengan menambah sensasi ketidaknyamanan bernapas, sementara otot-otot ventilator melemah akibat peningkatan beban mekanik. Lebih lanjut, Campbell dan Howell menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara ketegangan otot respiratorik memicu dispnea. Ketidakseimbangan itu mampu dipicu oleh mekanisme neurofisiologik tertentu. Dalam keadaan normal, terdapat

hubungan yang seimbang antara kekuatan otot respiratorik dengan volume udara yang masuk. Namun, akibat adanya dispnea, tidak terjadi balance atara aliran udara yang masuk dengan usaha yang diberikan oleh otot-otot dada. Namun, dispnea tidak semata-mata disebabkan oleh kelainan dari kerja otot dinding dada (dalam kasus hiperkapnia, sesoerang juga mampu mengalami sensasi dispnea dengan adanya tambahan agen blokade neuromuskular). Konsep dari Campbell dan Howell tadi akhirnya disempurnakan, sehingga dispnea dinilai merupakan akibat dari disosiasi sinyal motorik ke otot pernapasan dan informasi aferen yang didapatkan. Konsep ini dinamakan disosiasi neuromekanik. Dispnea Pada Penyakit Tertentu2 Pada penyakit yang menyerang sistem pernapasan, patofisiologi dispnea tidak spesifik terhadap satu jalur saja. Ada banyak mekanisme yang dibutuhkan untuk bisa menimbulkan sensasi dispnea pada penyakit-penyakit tersebut. Pengetahuan mengenai patofisiologi yang mendasari penyakit-penyakit (seperti asma, COPD) menjadi dasar hipotesis mekanisme dispnea pada penyakit ini. Pada asma, beban otot inspirasi meningkat, sehingga usaha yang dibutuhkan untuk melawan resistensi aliran napas akibat bronkokonstriksi juga meningkat. Ketika terjadi hiperinflasi, otot inspirasi menjadi memendek. Kejadian ini mampu mengubah radius kurvatura diafragma, sehingga terjadi mechanical disadvantage. Akibatnya, dibutuhkan usaha tambahan untuk mencapai threshold agar terjadi inspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Pada asma, sensasi dispnea juga diperkirakan berasal dari stimulasi reseptor vagal. Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti myastenia gravis, dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk memberikan neural drive agar otot-otot respirasi yang melemah terstimulasi. Output neuromotor yang meningkat ini, melalui jalur central corollary discharge, dirasakan sebagai peningkatan efek respiratorik. Akibatnya, terjadi dispnea. Pada pasien COPD, reseptor pada saluran napas dan kemoreseptor berkontribusi terhadap patofisiologi dispnea. Hipoksia akut atau kronik atau hiperkapnia pada COPD juga menyebabkan dispnea tersebut. Selain itu, pada penderita penyakit dengan kelainan dinamika pernapasan, kompresi mekanik tersebut dapat dideteksi oleh serabut aferen vagus. Pasien-pasien yang menerima treatment ventilasi mekanik biasanya sesak napas meskipun kerja otot pernapasannya berkurang. Penyebabnya bisa jadi merupakan

peningkatan tekanan parsial karbondioksida yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidal pasien. Pada kasus emboli paru, ketidakseimbangan mekanika respirasi atau pertukaran gas menjadi patofisiologi dasar sesak napas yang menjadi gejala. Pada laporan kasus, dispnea yang terjadi pada pasien emboli paru mampu diobati dengan lisis bekuan darah. Kemungkinan yang paling kuat, reseptor tekanan di pembuluh darah pulmoner atau atrium kanan serta serabut C di pembuluh paru memediasi sensasi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai