Anda di halaman 1dari 4

NAMA : INDAH NUR KAMANIA NIM : 120544400014

TOPIK : TRASPORTASI Ibukota Negara Yang Tak Punya Rencana Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiki lebih dari 17.000 pulau dengan total wilayah 735.355 mil persegi. Indonesia dan menempati peringkat keempat dari 10 negara berpopulasi terbesar di dunia (sekitar 220 juta jiwa). Tanpa sarana transportasi yang memadai maka akan sulit untuk menghubungkan seluruh daerah di kepulauan ini.Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya. Dalam kerangka makro-ekonomi, transportasi merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Harus diingat bahwa sistem transportasi memiliki sifat sistem jaringan di mana kinerja pelayanan transportasi sangat dipengaruhi oleh integrasi dan keterpaduan jaringan. http://mayhamsah-makalah.blogspot.com/2011/06/makalah-transportasi.html Anda pernah naik KRL dari Bogor ke Jakarta atau sebaliknya? Terutama kelas ekonomi? Sebuah pengalaman eksotis akan Anda dapatkan. Disana, di tengah berjubelnya penumpang, sehingga sekadar membuang angin pun akan sulit dilakukan, kita tak hanya akan menemukan pelbagai aroma dan penampilan. Tapi, juga para pedagang yang menjajakan berbagai jenis barang. Di tengah-tengah penumpang yang berdesakkan, mereka dengan gigih menawarkan dagangannya, silih berganti dengan pengamen, dan tak ketinggalan para pencopet. Sehingga, sepanjang perjalanan Anda merasa tengah berada di sebuah pasar. Bukan di atas kereta yang meluncur dari Jakarta ke Bogor, atau sebaliknya. Bagi warga Jabodetabek, kereta api adalah pilihan paling murah diantara moda angkutan yang ada. KRL ekonomi alat transportasi murah meriah, ujar Uki, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Depok. Bayangkan saja: Dari ujung Bogor sampai ujung Jakarta, kita hanya membayar Rp 2 ribu. Apalagi kalau cuma Depok-Jakarta, hanya Rp 1.500, tambah pemuda yang tinggal di kawasan Jalan Tambak, Jakarta Pusat itu. Soal ketidaknyaman bukan masalah baginya. Hampir setiap hari ia menghabiskan sebagian waktunya di atas kereta. Padahal, untuk mobilitasnya sebagai mahasiswa, orangtuanya sudah membekalinya sebuah sepeda motor. Tapi, kendaraan itu hanya ia pakai untuk urusan lain atau kalau ada keperluan di luar kampus. Sehari-hari, terutama pulang-pergi kuliah, ia lebih memilih naik kereta. Persoalannya, tak semua bernasib seperti Uki punya rumah dan tempat kuliah yang tak jauh dari stasiun kereta api. Jutaan manusia lainnya terpaksa harus memakai kendaraan lain untuk sampai ke tempat kerja atau ke tempat kuliahnya. Bukan semata asal dan tujuan mereka jauh dari stasiun kereta api. Untuk memanfaatkan jasa kereta api ke tujuan, perjalanan harus disambung dengan angkutan lain. Apakah bus kota, metro mini, bajaj, atau malah sekadar ojeg sepeda motor. Sehingga, memiliki dan mengendarai kendaraan pribadi tak hanya dirasakan lebih efisien, tapi juga hemat dan praktis. Lain lagi, Mustapa, seorang warga di kawasan Pekayon, Bekasi. Ia lebih nyaman memakai sepeda motor pulang dan pergi dari dan ke tempat kerjanya di Pasar Kenari, Salemba, Jakarta Pusat. Baginya, dengan mencicil sepeda motor, tak hanya bisa menghemat ongkos sekolah anaknya, yang bisa ia antar sambil berangkat kerja. Tapi, juga mengurangi terbuangnya waktu akibat kemacetan bila memakai angkutan umum. Demikian pula

pilihan yang diambil Sujud. Lelaki separuh baya itu memilih mencicil sepeda motor, kendati ia memiliki dua buah mobil dan tinggal di tengah kota. Sujud melakukan itu demi menghindari kemacetan. Walau sama sama macet, naik motor jelas lebih cepat dibandingkan naik mobil, kata Sujud, warga Jalan Tomang Ancak, Jakarta Barat. Seperti tak ada pilihan, kemacetan telah menjadi pemandangan sehari-hari warga Jakarta. Seorang pewarta yang tinggal di Bekasi Timur mengatakan, untuk mencapai kantornya di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, ia harus menghabiskan waktu sampai 1,5 jam. Padahal, pada hari libur, waktu tempuh itu tak lebih dari 45 menit. Ngantre di tol saja bisa habis setengah jam, paling cepat 15 menit, katanya. Toh, ia harus rela melakukan itu setiap hari. Sebab, sebelum tiba di kantornya atau meliput ke lapangan, terlebih dulu ia harus belok dulu ke Jalan Proklamasi, menurunkan sang istri di tempat kerjanya. Bagaimana dengan mencari jalan alternatif, seperti bisa dan biasa dilakukan pada era 1980-an, ketika kemacetan belum sesemarak sekarang? Sama saja, kata Rahmat Sumarta, warga Karawaci, Tangerang,yang berkantor di Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan. Menurut insinyur perminyakan, itu dulu ia masih bias menyelamatkan diri dari kemacetan di pintu tol dalam kota Tomang dengan mengarahkan sedannya keluar dari pintu tol Kebon Jeruk.Sekarang, keadaannya sama saja. Jalan Kebon Jeruk pun sudah macet, kata Rahmat. Lagi-lagi, ia harus menerima kenyataan dengan menggabungkan diri dalam jamaah kemacetan sebagaimana jutaan pemakai jalan lainnya. Pada dekade 1980-an, Kapolri ketika itu, Sanoesi, menyebut-nyebut nilai miliaran yang hilang akibat kemacetan yang terjadi ibukota. Namun, sejauh ini, Pemkot DKI Jakarta, maupun Departemen Perhubungan, seakan menganggap kondisi sekarang ini sebagai situasi normal. Meskipun, tentu saja, usaha mengatasi persoalan bukannya tak ada. Cukup banyak yang telah dilakukan Pemprov DKI: Mulai dari pembangunan jalan tol lingkar luar dan lingkar dalam, menerapkan pola three in one, membuat proyek busway, menaikkan tarif parkir, sampai memajukan jam masuk anak sekolah dan membangun jalan layang di sejumlah titik. Namun, semua itu seakan tak ada manfaatnya.Buktinya, kemacetan masih juga menjadi santapan sehari-hari, kata Sujud. Proyek busway, misalnya. Alih-alih mengurangi kemacetan, proyek yang menghabiskan lebih dari Rp 1 triliun itu, malah disebut-sebut sebagai penambah kemacetan. Maklum, ruas jalan yang sedianya bisa dipakai oleh kendaraan lain, dengan proyek itu, semata menjadi hak ekslusif angkutan massal tersebut. Sebagaimana diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di hadapan Komisi V DPR, November 2007, alternatif busway diambil mengingat 98% dari 5,5 juta kendaraan yang ada di Jakarta merupakan kendaraan pribadi. Sementara, kendaraan pribadi itu hanya melayani 44% dari seluruh tujuan perjalanan yang ada. Artinya, sebagian besar tujuan perjalanan tadi, 56%, dibebankan kepada angkutan umum. Walhasil, sangat masuk akal bila pemerintah menyodorkan program busway sebagai alternatif. Meskipun, faktanya, alternative tadi tak berhasil mengurai persoalan yang ada. Itu, bukan semata perkara monopoli ruas busway, tapi juga pengelolaan terhadap program itu sendiri. Dengan alasan dana, misalnya, koridor X (Cililitan-Tanjungpriok) sampai kini belum juga beroperasi. Sampai-sampai, tak sedikit halte-halte yang disediakan di sepanjang koridor itu terlanjur rusak karena sebagian bahan bangunannya yang sudah tertempel rapi ditempatnya dibongkar orang-orang tak bertanggungjawab. Mungkin, mereka pikir, daripada tak ada yang memanfaatkan lebih baik mereka daur ulang ke lapak tukang besi tua atau tempat pengecoran logam. Selain itu, seperti diperlihatkan sebuah laporan, setiap harinya, seluruh koridor busway yang sudah beroperasi hanya mampu mengangkut 240 ribu orang per hari. Itu jelas tak sebanding dengan jumlah penduduk Jakarta yang pada siang hari melonjak dari 8,5 juta menjadi 10,2 juta.

Bahkan, dengan moda angkutan umum lainnya, jumlah tadi tak seberapa. Maklum, para pemakai jasa angkutan umum di Jakarta setiap harinya mencapai 5 juta orang.Artinya, pilihan terhadap kendaraan pribadi memang tak terelakan. Sehingga, kendati wacana mengenakan pajak progresif dan mahalnya bahan bakar, apalagi isu lingkungan, tak mampu mengerem warga Jakarta dan sekitarnya untuk memiliki dan menjadikan mobil pribadi atau sepeda motor sebagai alat angkut mereka. Melesatnya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, menurut data yang ada, ditenggarai mencapai angka 9% sampai 11% setiap tahunnya. Sehingga, tak aneh bila kini, seperti disebutkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta, Budi Widiantoro, kendaraan umum di ibukota mencapai 9,9 juta unit. Disebutkan pula, setiap bulannya, tak kurang dari 50 ribu unit sepeda motor baru ikut mewarnai kawasan Jabodetabek. Celakanya, pertambahan laju kendaraan pribadi, itu tak disertai penambahan ruas jalan yang signifikan. Seper ti disebutkan Budi, setahunnya penambahan panjang ruas jalan di Jakarta tak lebih dari 0,01%. Tak ada artinya dibandingkan jutaan kendaraan yang memadati jalan-jalan yang ada saban hari. Kemacetan.Itulah yang menjadi momok warga Jakarta, pun para komuter. Tak aneh pula bila banyak kalangan meramalkan terjadinya kemacetan total di Jakarta pada 2014 nanti, bila persoalan yang ada tak segera dibenahi. Pemerintah harus segera melakukan tindakan yang terencana, interdisiplin, dan komprehensif, kata pengamat tata kota dan transportasi massal dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, dalam sebuah diskusi belum lama ini. Kalau tidak, begitu keluar dari pintu garasi rumah masing-masing, warga sudah dihadang kemacetan. Menurut Yayat , persoalan transportasi di Jakarta memang tidak bisa diselesaikan secara singkat dan menuntut sinergi banyak pihak. Sistem transportasi Jakarta itu bagaikan bottle neck. Banyak wacana penyelesaian tapi realisasinya jauh dari harapan. Hal itu disebabkan faktor dinamika pertumbuhan kota demikian cepat, sedangkan kemampuan menyediakan transportasi massal tidak tertangani dengan baik, katanya. Sementara itu, kata Yayat, solusi yang dilakukan Pemprov DKI kerap saling berbenturan. Misalnya, sekarang ini: Satu sisi mengembangkan transportasi massal, sementara hasilnya belum maksimal, kini, sudah berencana menambah ruas jalan. Itu hanya mengakomodasi kenaikan jumlah kendaraan pribadi, kata Yayat mengomentari rencana Pemprov DKI untuk membangun sejumlah jalan layang baru. Seperti disampaikan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta, Budi Widiantoro kepada pers akhir tahun silam, Pemprov DKI memang berniat membangun jalan layang baru di beberapa tempat: Kampung Melayu-Jalan Prof Dr Satrio, Jalan TB Simatupang-Blok M, dan Jalan Rasuna Said-KH.Mas Mansyur. Selain itu, mereka juga akan membangun dua jembatan di Bandengan dan Angke keduanya di Jakarta Barat. Proyek senilai Rp 1,4 triliun yang berasal dari APBD, itu menurut rencana akan selesai seluruhnya pada 2012 nanti. Di mata Yayat, rencana Pemprov itu tak hanya berbenturan dengan program sebelumnya, tapi juga tak akan menyelesaikan masalah.Pembangunan jalan itu tidak akan menyelesaikan masalah, jika akar masalah berupa peningkatan jumlah kendaraan pribadi tidak segera diatasi, kata Yay at. Menurut Yayat lagi, persoalan transportasi yang dihadapi Jakarta, juga terjadi di banyak kota lainnya. Dan, sebenarnya, itu bukan karena perkara ruas jalan yang kurang. Melainkan, tingginya pemakaian kendaraan pribadi. Solusi yang di tawarkan Pemprov dengan membangun jalan layang, itu tak ubahnya seperti memberikan permen bagi persoalan yang lebih mendasar. Bahkan, seperti disinggungnya tadi, hanya memicu pemakaian kendaraan pribadi. Angkutan massal adalah pilihan satu -satunya bagi Jakarta. Itu adalah pilihan cerdas, tandas Yayat. Bisa jadi, bagi warga seperti Rahmat, Sujud, Uki, dan mungkin jutaan lainnya, kebijakan Pemprov dalam mengatasi persoalan transportasi di Jakarta ini hanya menunjukkan kegamangan pemerintah untuk tidak menyebutnya sebagai ketidakmampuan mereka dalam mengatasi persoalan yang ada. Pemerintah kita itu seperti orang linglung. Selalu tambal sulam, dan jangka pendek. Akhirnya, punya rencana tapi sebenarnya tidak ada perencanaan, kata Sujud. Dan, ihwal transportasi

serta fenomena banjir yang tak berkesudahan di DKI Jakarta, itu seolah mencerminkan dengan setia apa yang sesungguhnya terjadi di Republik ini: pragmatis, materialistis, jangka pendek dan, tanpa vision!

Anda mungkin juga menyukai