Anda di halaman 1dari 18

BAB I ANATOMI

1.

Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (Ballenger JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)

2.

Embriologi sinus paranasal Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari

sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.(Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Gambar 1 Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal 3. Sinus Maksila Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997) Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia

12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3)

Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Gambar 2. Sinus paranasal dan ostiumnya 4. Fisiologi sinus paranasal Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah :

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) 2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organorgan yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)\ 3. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) 4. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) 5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) 6. Membantu produksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

BAB II SINUSITIS 1. Definisi Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat. Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis maksilaris akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari. 2. Epidemiologi Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena tidak ada batasan yang jelas mengenai sinusitis. Dewasa lebih sering terserang sinusitis dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran napas atas pada dewasa yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Di US dilaporkan bahwa lebih dari 30 juta pasien menderita sinusitis. 3. Patofisiologi Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3)

membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung. Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik lokal maupun sistemik. Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.

Gambar 3. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus

Gambar 4. Perubahan silia pada sinusitis Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang ditemukan. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

Gambar 5. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni sebagai nanah, tetapi mukopus.

Gambar 6. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik

Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu: 1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan. 2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas. 3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.

4.

Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan Biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi berulang-ulang. Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek. Kekebalan makin terkalahkan dan resolusi terjadi hampir tidak pernah sempurna. Pengaruh terhadap mukosa adalah penebalan dengan disertai infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis sub epitel menyebabkan pengurangan jumlah kelenjar karena iskemia dan bila berlangsung lebih lanjut akan menyebabkan ulserasi mukosa. Pada tahap berikutnya periosteum akan terkena dan hiperemia meluas ke tulang-tulang yang kemudian menjadi osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.

5.

Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas. Penderita memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah alergi umum diatesis yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema, konjungtivitis dan rinitis yang kemudian menjadi rinitis musiman (hay fever) pada anak lebih tua. Kedua mngkin tidak didapatkan keluhan dan tanda dari alergi sampai umur 8 atau 9 tahun secara berangsur-angsurmukosa makin penuh terisi air yang menyebabkan bertambahnya sumbatan dan secret hidung. Polip dapat timbul karena pengaruh gaya berat terhadap selaput mukosa yang penuh dengan air dan dapat memenuhi rongga hidung.

10

Gambar 7. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis

11

BAB III SINUSITIS MAKSILARIS AKUT

1. Etiologi Penyebab sinusitis akut ialah (1) rinitis akut, (2) infeksi faring, seprti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut, (3) infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3 serta P1 dan P2 (dentogen), (4) berenang dan menyelam, (5) trauma dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal, (6) barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa. Sinusitis maksilaris dengan asal geligi. Bentuk penyakit geligimaksilaris yang khusus bertanggung jawab pada 10 persen kasus sinusitis yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat.

Gambar 8. a. Fistula oroantral b. Sinusitis maksilaris 2. Gejala klinis Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadangkadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.
12

Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

Gambar 9. Pus pada meatus medius

Gambar 10. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis 3. Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal. Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.

13

Gambar 11. Gambaran suatu sinus yang opak Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal atau kuman patogen, seperti Pneumokokus, Streptokokus, Stafilokokus dan Haemofilus influenza. Selain itu mungkin ditemukan juga virus atau jamur. 4. Pengobatan Pengobatan umum 1. Istirahat Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan sebaiknya beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu dan kelembaban udara tetap. 2. Higiene Harus tersedia sapu tangan kertas untuk mengeluarkan sekrat hidung. Perlu diperhatikan pada mulut yang cenderung mengering , sehingga setiap selesai makan dianjurkan menggosok gigi. 3. Medikamentosa Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14 hari, meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotik yang diberikan ialah golongan penisilin. Diberikan juga obat dekongestan lokal berupa tetes

14

hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Boleh diberikan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri Pengobatan lokal 1. Inhalasi Inhalasi banyak menolong penderita dewasa karena mukosa hidung dapat istirahat dengan menghirup udara yang sudah dihangatkan dan lembab. 2. Pungsi percobaan dan pencucian Apabila cara diatas tak banyak menolong mengurangi gejala dan menyembuhkan penyakitnya dengan cepat, mungkin karena drainase sinus kurang baik atau adanya kuman yang resisten. Kedua hal tersebut dapat diketahui dengan pungsi percobaan dan pencucian. Dengan anestesi lokal, trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan menembus dinding naso-antral. Kemudian dimasukkan cairan garam faal steril ke dalam antrum dan selanjutnya isi antrum dihisap kembali kedalam tabung suntikan. Apabila setelah dua sampai tiga kali pencucian infeksi belum sirna, maka mungkin diperlukan tindakan antrostomi intranasal.

Gambar 12. Pungsi dan irigasi sinus maksila Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan 5. Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotika.1 Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada

15

sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah: a. Komplikasi Orbita Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan

frontalis. Terdapat lima tahapan terjadinya komplikasi orbita ini. 1. 2. Peradangan atau reaksi edema yang ringan Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk 3. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis 4. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita 5. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic.

Gambar 16. Komplikasi penyakit sinus pada orbita

16

b. Komplikasi Intrakranial Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses otak.

Gambar 17. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial


c.

Kelainan Paru Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis. Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial.

17

DAFTAR PUSTAKA

Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 12 Desember 2008]

Sinuses.

Alkan Alper, Celeb Nukhet, Bas Burcu.Acute Maxillary Sinusitis Associated with Internal Sinus Lifting : report of a case. European Journal of Densitry. Januari 2008, Vol 2. 69-72 Kelesidis Theodoros, Anusual foreign body as cause of chronic sinusitis; a case report. Journal of medicine case report, 2010 Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 1503 Matjaz rode, jernej podboj. Sinus maxillaris Mycetoma of odontogenic origin case report. 2004 Paul ian, The microbiology of acute complicated bacterial sinusitis at the university of the witwatersrand. August 2010, Vol 100 No. 8 PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6 Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505 Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher, Ekstremitas Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000. 94 Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok. Jakarta: EGC; 2000. 26-48

18

Anda mungkin juga menyukai