Anda di halaman 1dari 6

Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekatpadabenakmasyarakat, bukanlahmerupakanakibatdarisuatu proses sesaatmelainkantelahmelaluisuatu proses dialektika, konstruksisosial, yang dibentuk,

diperkuat, disosialisasikansecaraevolusionaldalamjangkawaktu yang lama, baikmelaluiajaran-ajaran agama, negara, keluargamaupunbudayamasyarakat, sehinggaperlahan-lahancitratersebutmempengaruhimasing-masingjeniskelamin, lakilakidanperempuansecarabiologisdanpsikologis. Melalui proses sosialisasi, seseorangakanterwarnaicaraberpikirdankebiasaankebiasaanhidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang diharapkan menjaditahubagaimanaiamestibertingkahlaku di tengahtengahmasyarakatdanlingkunganbudayanya, sehinggabisamenjadimanusiamasyarakatdan beradab. Sosialisasimerupakansalahsatu proses belajarkebudayaandarianggotamasyarakatdanhubungannyadengansistemsosial. Sosialisasimenitikberatkanpadamasalahindividudalamkelompok.Olehkarenaitu proses sosialisasimelahirkankediriandankepribadianseseorang. (Soelaeman, 1998:109) Kediriansebagaisuatuproduksosialisasi, merupakankesadarnterhadapdirisendiridanmemandangadanyapribadi orang lain di luardirinya. Adapunasalmulatimbulnyakedirianantaralainkarena: a) Dalam proses sosialisasiseseorangmendapatbayangandirinya, yaitusetelahmemperhatikancara orang lain memandangdanmemperlakukandirinya. Misalnya, apakahdirinyadianggapbaik, buruk, pintar, cantikdansebagainya. b) Dalam proses sosialisasijugamembentukkedirian yang ideal. Orang yang bersangkutanmengetahuidenganpastiapa-apa yang harusdialakukan agar memperolehpenghargaandari orang lain. Proses sosisalisasisebenarnyaberawaldaridalamkeluarga. Gambarandiriseseorangmerupakanpantulanperhatian yang diberikankeluargakepadadirinya.Persepsinyatentangdiri, tentangduniadanmasyarakatsekelilingnyasecaralangsungdipengaruhiolehtindakandankeyakinank eluarganya.Sehingganilai-nilai yang dimilikiolehseorangindividudanberbagaiperan yang diharapkandilakukanolehnya, smeuaberawaldaridalamlingkungansendiri. Proses sosialisasiinitidakberhentisampaipadakeluargasaja, tapimasihadalembaga lain. Cohan (1983) mengatakanbahwalembaga-lembagasosialisasi yang terpentingialahkeluarga, sekolah, kelompoksebayadan media massa.

Sosialisasipadadasarnyamenunjukpadasemuafaktordan proses yang membuatsetiapmanusiamenjadiselarasdalamhidupnya di tengah-tengah orang lain. Sehinggameskipunproses sosialisasi yang dijalanisetiap orang tidakselalusama, namunsecaraumumsasaransosialisasiitusendirihampirsama di berbagaitempatdanbudaya, yaituantara lain: a) Individuharusdiberiilmupengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkanbagikehidupankelak di masyarakat. b) Individuharusmampuberkomunikasisecaraefektifdanmengembangkankemampuannya. c) Pengendalianfungsi-fungsiorganik yang dipelajarimelaluilatihan-latihanmawasdiri yang tepat. d) Bertingkahlakuselarasdengannormaatautatanilaidankepercayaanpokok yang adapadalembagaataukelompokkhususnyadanmasyarakatumumnya. Sosialisasi Peran Gender Pranatasosial yang kitamasukisegabaiindividu, sejakkitamemasukikeluargapadasaatlahir, melaluipendidikan, kulturpemuda, dankedalamduniakerjadankesenangan, perkawinandankitamulaimembentukkeluargasendiri, memberipesan yang jelaskepadakitabagaimana orang normal berperilakusesuaidengangendernya.(Mosse, 1996:63) Karenakonstruksisosialbudaya gender, seoranglaki-lakimisalnyaharuslahbersifatkuat, agresif, rasional, pintar, beranidansegalamacamatributkelelakian lain yang ditentukanolehmasyarakattersebut, makasejakseorangbayilaki-lakilahir, diasudahlangsungdibentukuntuk menjadi seoranglaki-laki, dandisesuaikandenganatribut-atribut yang melekatpadadirinyaitu. Demikian pula halnyadenganseorangperempuan yang karenadialahirdenganjeniskelaminperempuanmakadia pun kemudiandibentukuntuk menjadi seorangperempuansesuaidengankriteria yang berlakudalamsuatumasyarakatdanbudayadimanadialahirdandibesarkan, misalnyabahwakarenadiadilahirkansebagaiseorangperempuanmakasudahmenjadi kodrat pula bagidiauntukmenjadisosok yang cantik, anggun, irrasional, emosionaldansebagainya. Proses sosialisasiperan gender tersebutdilaksanakanmelaluiberbagaicara, darimulaipembedaanpemilihanwarnapakaian, accessories, permainan, perlakuandansebagainya yang kesemuanyadiarahkanuntukmendukungdanmemapankan proses pembentukanseseorang menjadi seoranglaki-lakiatauseorangperempuansesuaidenganketentuansosialbudayasetempat. Pembedaanidentitasberdasarkan gender tersebuttelahadajauhsebelumseseorangitulahir. Sehinggaketikapadaakhirnyadiadilahirkankeduniaini, diasudahlangsungmasukkedalamsatulingkungan yang menyambutnyadenganserangkaiantuntutanperan gender. Sehinggaseseorangterpaksamenerima

identitas gender yang sudahdisiapkanuntuknyadanmenerimanyasebagaisesuatuhal yang benar, yang alamidan yang baik. Akibatnyajikaterjadipenyimpanganterhadapperan gender yang sudahmenjadibagiandarilandasankulturalmasyarakatdimanadiahidup, makamasyarakat pun lantasmenilaihaltersebutsebagaisesuatu yang negatifbahkanmungkinsebagaipenentangterhadapbudaya yang selamainisudahmapan. Dan sampaisejauhini yang seringmenjadikorbanadalahkaumperempuan. SebagaicontohdalamadatbudayaJawa di Indonesia, seorangbudayawanterkemuka, Umar Kayam, mengungkapkanbahwasebutanwanitasebagai kancawingking (teman di belakang) merupakanpengembangandialektikabudaya adiluhung. Sosokbudayainilah yang berkembang di bawahilham halus kasar yang secarategarmenjelajahisemuasistemmasyarakatJawa.Sistemkekuasaanfeodalaristokratik, demikianKayam, telahmenetapkanwanitauntukmemilikiperanataurole menjadi penjaganilainilaihalus-kasardan adiluhung di dalamrumah.(Kompas, 23 Oktober 1995) Penjajahankultural yang demikianpanjangdanmembuatperempuanlebihbanyakmenjadikorbanituterusdilestarikan.Tidakjar ang, alasanalasankulturalmemberikanlegitimasisangatampuh.Iadicekokkanmelaluipelbagaipranatasosialdan adatistiadat yang mendarahdagingdalamjantungkesadarananggotanya. Rasionalisasikulturalinilah yang padagilirannyamembuatperempuansecarapsikologismengidapsesuatu yang olehCollete Dowling disebut Cinderella Complex, suatujaringan rasa takut yang begitumencekam, sehinggakaumwanitamerasatidakberanidantidakbisamemanfaatkanpotensiotakdandayakreativita snyasecarapenuh. (Ibrahim danSuranto, 1998:xxvi) Sosialisasi yang jikakitacermatipengertiannya, yaitumerupakansebuah proses yang membantuindividumelaluibelajardanpenyesuaiandiri, bagaimanabertindakdanberpikir agar iadapatberperandanberfungsibaiksebagaiindividumaupunsebagaianggotamasyarakat. (Noor, 1997:102) telahjugadilakukantidakhanyamelaluilembagakeluargadanlembagaadat, melainkanjugaolehlembaganegaradanlembagapendidikan. Pemapanancitrabahwaseorangperempuanitulebihcocokberperansebagaiseorangibudengansegal amacamtugasdomestiknya yang selaludikatakansebagai urusanperempuan, sepertimembersihkanrumah, mengurussuamidananak, memasak, berdandandansebagainya. Sementaracitralaki-laki, disosialisasikansecaralebihpositif, dimanadikatakanbahwalakilakikarenakelebihan yang dimilikinyamakalebihsesuaijikadibebanidengan urusan-urusanlaki-laki pula danlebihseringberhubungandengansektorpublik, sepertimencarinafkah, denganprofesi yang lebihbervariasidaripadaperempuan. KesemuaitudisosialisasikansejakdarikelassatuSekolahDasarmelaluibuku-bukupelajaran di sekolahhinggaPanca Dharma Wanita, yang menyatakanbahwatugasutamaseoarangperempuanadalahsebagai pendamping suami, danitulah yang diyakinisecarasalaholehsebagian orang sebagai kodratwanita.

Gender DalamKeluarga
Pada 5 tahun pertama dalam kehidupan seorang anak, pembentukan identitas gender menjadi sangat penting karena tahap itu adalah tahap ketika seorang anak akan mengolah informasi yang didapatnya dengan optimal dan merubahnya menjadi debuah skema yang akan diterapkan dalam kehidupannya di masa yang akan datang. Pembentukan gender yang dimaksud adalah pembentukan gender sesuai dengan kebudayaan dimana anak tersebut tinggal. Hal tersebut perlu dilakukan agar anak tersebut kelak dapat diterima di lingkungannya dengan baik. Namun, dalam proses sosialisasi peran gender tersebut, perlu pula ditekankan bahwa gender bukan merupakan kodrat yang mutlak tidak dapat diubah, gender adalah sesuatu yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Sewaktu kecil, seingat saya, saya tidak merasa harus menjadi feminin hanya karena saya adalah seorang anak perempuan. Saya pun tidak merasa saya harus maskulin. Saya merasa tidak terbebani dengan maskulinitas dan feminitas. Saya harus berbuat benar karena memang itulah yang harus dilakukan oleh seorang anak, terlepas dari dia laki-laki atau perempuan. Saya boleh menangis ketika kesakitan atau bersedih, namun tentunya dalam batasan wajar, tidak terlalu lama dan berlebihan. Saya bisa bermain apa saja tanpa pengecualian. Saya bebas mencita-citakan profesi apapun yang saya inginkan. Saya dapat bermain dengan siapa saja tanpa membedabedakan jenis kelamin teman bermain saya. Setalah semakin dewasa tentunya saya melihat, merekam, dan memahami berbagai pengalaman yang saya dapat sendiri maupun dari orang lain mengenai gender. Hal tersebut semakin meyakinkan saya bahwa sejak kecil memang saya tidak hidup di lingkungan yang bias gender, sehingga membuat saya bisa menjadi orang yang tidak bias gender dalam hidup. Kalaupun sekarang saya merasa saya cenderung dominan feminin, itu bukan karena lingkungan saya yang mengharuskan, namun karena saya yang memilihnya. Dan tingginya

feminitas saya tidak membuat saya tidak berusaha konform dengan maskulintas. Saya masih berkeyakinan bahwa menjadi mandiri, tegas, berani dan memiliki kemampuan itu penting. Saya pun merasa bahwa hal itu akan membawa keuntungan bagi saya selama saya dapan mengkombinasikan feminitas dan maskulinitas saya dengan baik sesuai dengan porsinya. Berdasarkan pengamatan saya, dalam masyarakat Indonesia sudah terlihat adanya gejala kohabitasi. Hal ini dapat kita lihat dalam tayangan-tayangan televisi yang dengan terang-terangan menayangkan kehidupan para artis yang tinggal serumah tanpa menikah, dan bahkan dengan bangga mengatakan mereka mempunyai anak di luar pernikahan. Misalnya, sebut saja artis bernama Andy Soraya yang tinggal serumah dengan Steve Immanuel tanpa menikah. Mereka bahkan juga mempunyai seorang anak hasil hubungan mereka. Mereka bahkan mengaku tidak akan menikah karena menurut mereka pernikahan hanya akan membawa mereka ke dalam situasi yang sifatnya mengekang dan hal itu tentu tidak menyenangkan bagi mereka. Mereka berkeyakinan bahwa mereka akan lebih bahagia jika mereka bisa saling memberi tanpa perlu adanya pengorbanan. Contoh lain, misalnya kehidupan mahasiswa di kampus-kampus tertentu. Laki-laki dan perempuan tinggal dalam satu kamar kost. Di kampus-kampus tertentu hal ini sudah menjadi rahasia umum. Mereka tidak merasa membutuhkan suatu komitmen lebih lanjut, dalam hal ini pernikahan, karena tanpa komitmen itu pun mereka bisa hidup senang tanpa memikirkan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dalam kohabitasi yang terjadi pada contoh-contoh kasus di atas, perilaku gender memang tidak terlalu terkesan kaku. Pasanganpasangan tersebut tidak begitu mempersoalkan perbedaan peran antara mereka sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam artian, mereka dapat saja dengan mudah bertukar peran antara laki-laki dan perempuan ketika memang hal itu diperlukan. Hal ini dapat jelas ketika kita melihat perilaku gender pada pasangan kohabitasi yang sudah mempunyai anak. Dalam kasus diatas, pada pasangan Andy Soraya dan Steve Immanuel, mereka sangat toleran dalam perilaku gender mereka sehari-hari. Steve Immanuel mengaku tidak keberatan

jika dia memang harus mengurus anak mereka sewaktu Andy Soraya bekerja. Pola komunikasi gender yang fleksibel juga ditunjukkan oleh pasangan kohabitasi yang tidak mempunyai anak, meskipun tidak terlalu jelas. Dalam hubungan mereka, mereka tidak menganut azas patriarkhi yang biasanya dianut oleh kebanyakan pasangan menikah di Indonesia. Kecenderungan terjalinnya pola komunikasi gender yang fleksibel ini mungkin dikarenakan pasangan-pasangan yang memutuskan untuk berkohabitasi adalah pasangan-pasangan merasa modern dan menganggap aturan-aturan hanya akan menyusahkan mereka, sehingga dalam berkomunikasi gender pun mereka tidak terlalu ambil pusing dengan standar-standar perilaku sesuai dengan jenis kelamin yang dibentuk oleh masyarakat dan bahkan oleh agama. Saya menggolongkan diri saya mempunyaiego boundaries yang dapat menyesuaikan dengan lingkungan tempat saya tinggal. Denganego boundaries yang dapat menyesuaikan lingkungan itulah saya dapat lebih mudah dalam berkomunikasi gender. Saya merasa mampu memilah dan memilih sikap, cara berbicara, isi pembicaraan tergantung siapa lawan bicara saya dan suasana yang mendukung berlangsungnya komunikasi. Misalnya ketika saya harus berbicara dengan orang yang sedang terlihat murng, maka saya merasa harus lebih hati-hati dalam berbicara, menggunakan suara yang lembut, bersikap hangat, dan menyejukkan. Namun ketika saya berbicara dengan sahabat saya yang sudah saya kenal dengan sangat dekat, mungkin saya tidak merasa harus selembut dan sehati-hati seperti saya sedang berbicara dengan orang yang sedang murung tadi. Saya akan merasa lebih nyaman untuk bercanda dan berbicara dengan santai. Dan cara berkomunikasi pun akan lain jika saya berbicara dengan orang yang lebih tua daripada saya. Saya akan menggunakan bahasa yang sopan, ramah, menunjukkan penghargaan saya terhadap beliau tanpa bersikap berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai