Anda di halaman 1dari 28

BAB II PEMBAHASAN

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM SARAF PERIFER Otak dan sumsum tulang belakang berkomunikasi dengan seluruh bagian tubuh melalui cranial nerves (saraf-saraf kepala) dan spinal nerves (saraf-saraf tulang belakang). Saraf-saraf tersebut adalah bagian dari sistem saraf perifer yang membawa informasi sensoris ke sistem saraf pusat dan membawa pesan-pesan dari sistem saraf pusat ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar di seluruh tubuh atau disebut juga dengan sistem saraf somatik (somatic nervous system).. Selain dari kedua macam saraf perifer yang termasuk sistem saraf somatic di atas,PNS juga terdiri dari sistem saraf autonomik (autonomic nervous system). Ketiganya akan kita bicarakan lebih lanjut di bawah ini. 1. NEURON (SEL SARAF) Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis dan fungsional system saraf. Neuron menjalankan fungsi sel saraf seperti mengingat, berfikir, dan mengontrol semua aktifitas tubuh. Neuron terdiri dari tiga bagian yaitu badan sel dendrit dan akson. Gambar 1. Sel Neuron

Sumber: www.google.com/m/immage Soma adalah inti sel (nucleus) dari sel saraf, didalamnya terdapat organel sel. Nucleus yang mengandung informasi genetik neuron, mengarahkan produksi protein,

enzim, dan neurotransmitter yang diperlukan oleh saraf untuk fungsi tepatnya. Badan sel mengantarkan zat tersebut ke bagian neuron lainnya sesuai kebutuhan. Dendrit adalah bagian penerima input neuron, berukuran pendek dan bercabangcabang, yang merupakan perluasan dari badan sel. Dendrite adalah penerima stimulasi dari saraf lain. Sedangkan axon adalah bagian yang menyampaikan impuls ke neuron lain, otot dan kelenjar. Berukuran panjang dan berbentuk silinder tipis, tempat lewatnya sinyal listrik yang dimulai dari dendrite dan badan sel. Akson mentransmisikan sinyal awal ke neuron lain atau ke otot atau ke kelenjar. Akson juga disebut serabut saraf, banyak serabut saraf yang melintas bersama disebut saraf. Pada beberapa saraf, akson akan ditutup lapisan lemak yang terisolasi, yang disebut myelin. Myelin diproduksi ketika sel lemak membungkus membrane plasmanya di sekitar akson. Pada sistem saraf perifer, myelin dibentuk oleh sel Schwann sedangkan pada sistem saraf pusat dibentuk oleh sel oligodenrosit. Tiap sel Schwann membentuk satu segmen myelin. Tiap oligodenrosit membentuk segmen multipel dari myelin yang membungkus beberapa akson. Karena itu, myelin pada saraf perifer lebih tipis dan beregenerasi lebih efisien. Nodus Ranvier adalah daerah yang terputus antara selubung myelin. Akson yang tidak bermielin diselubungi sitoplasma sel Schwann. Struktur myelin pada SSP dan SST umumnya sama, yaitu terbentuk oleh 70% lemak dan 30% protein. Namun ada perbedaan pada protein yang membentuk struktur myelin tersebut. Perbedaan ini menjelaskan mengapa reaksi alergi pada myelin SSP tidak menyebabkan demielinasi sentral dan sebaliknya. Selubung myelin berfungsi sebagai isolator listrik, mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi konduksi. Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini adalah dasar konduksi saltatori (meloncat). Jenis neuron, berdasarkan struktur dibagi atas a. Multipolar: terdiri atas beberapa dendrit dan satu akson b. Bipolar: terdiri atas 1 dendrit dan 1 akson c. Unipolar: dendrite dan akson menyatu
4

Sedangkan berdasarkan fungsi sebagai berikut a. Sensoris neuron (aferen), membawa impuls dari reseptor misalnya di kulit, otot, dan bagian lain ke SSP b. Motorik neuron (eferen), membawa impuls dari SSP ke efektor seperti otot dan kelenjar c. Interneuron, tidak termasuk sensorik atau motorik. 2. SISTEM SARAF SOMATIK a. Saraf-saraf Tulang Belakang (Spinal Nerves) Saraf tulang belakang yang merupakan bagian dari sistem saraf somatic, dimulai dari ujung saraf dorsal dan ventral dari sumsum tulang belakang (bagian di luar sumsum tulang belakang). Saraf-saraf tersebut mengarah keluar rongga dan bercabang-cabang di sepanjang perjalanannya menuju otot atau reseptor sensoris yang hendak dicapainya. Cabang-cabang saraf tulang belakang ini umumnya disertai oleh pembuluh-pembuluh darah, terutama cabang-cabang yang menuju otot-otot kepala (skeletal muscles). Mekanisme input (masuknyainformasi-informasi sensoris ke sumsum tulang belakang) dan output dari proses tersebut yang menghasilkan informasi-informasi motorik. Soma sel dari axon-axon saraf tulang belakang yang membawa informasi sensoris ke otak dan sumsum tulang belakang terletak di luar sistem saraf pusat (kecuali untuk system visual karena retina mata adalah bagian dari otak). Axon-axon yang datang membawa informasi sensoris ke susunan saraf pusat ini adalah sarafsaraf afferent. Soma-soma sel dari axon yang membawa informasi sensoris tersebut berkumpul di dorsal root ganglia. Neuron-neuron ini merupakan neuron-neuron unipolar. Batang axon yang bercabang di dekat soma sel, mengirim informasi ke sumsum tulang belakang dan ke organ-organ sensoris. Semua axon di dorsal root menyampaikan informasi sensorimotorik. b. Saraf-saraf Kepala (Cranial Nerves) Saraf-saraf kepala terdiri dari 12 pasang saraf kepala yang meninggalkan permukaan ventral otak. Sebagian besar saraf-saraf kepala ini mengontrol fungsi sensoris dan motorik di bagian kepala dan leher. Salah satu dari keduabelas pasang
5

tersebut adalah saraf vagus (vagus nerves/saraf yang "berkelana"), yang merupakan saraf nomor sepuluh yang mengatur fungsi-fungsi organ tubuh di bagian dada dan perut. Disebut "vagus" atau saraf yang berkelana karena cabang-cabang sarafnya mencapai rongga dada dan perut. Seperti yang telah dijelaskan di atas; soma sel dari axon-axon yang membawa informasi sensoris ke otak dan sumsum tulang belakang terletak di luar sistem saraf pusat (kecuali untuk sistem visual). Informasi somatosensoris juga dari indera perasa di lidah diterima melalui saraf-saraf kepala oleh neuron-neuron unipolar. Informasi pendengaran, vestibular, dan visual diterima melalui neuron-neuron bipolar. Informasi indera penghidu (penciuman lewat hidung) diterima melalui olafctury bulbs. Olfactory bulbs adalah salah satu bagian otak yang kompleks karena terdiri dari jaringan-jaringan saraf yang rumit. 3. SISTEM SARAF AUTONOM (AUTONOMIC NERVOUS SYSTEM) Autonomic Nervous System (sistem saraf autonom) mengatur fungsi otot-otot halus, otot jantung, dan kelenjar-kelenjar tubuh (autonom berarti mengatur diri sendiri). Otot-otot halus terdapat di bagian kulit (berkaitan dengan folikel-folikel rambut di tubuh, di pembuluh pembuluh darah, di mata (mengaturukuran pupil dan akomodasi lensa mata), di dinding serta jonjot usus, di kantung empedu dan di kandung kemih. Jadi dapat disimpulkan bahwa organ-organ yang dikontrol oleh sistem saraf autonom memiliki fungsi untuk melangsungkan proses vegetatif' (proses mandiri dan paling dasar) di dalam tubuh. Sistem saraf autonom terdiri dari dua sistem yang berbeda secara anatomis, yaitu bagian sympatetik dan bagian parasympatetik. Organ dalam tubuh dikontrol oleh kedua bagian tersebut meskipun tiap bagian memberikan efek yang berlawanan. Contohnya, bagian sympatetik meningkatkan detak jantung, sedangkan bagian parasympatetik menurunkan detak jantung. Saraf-saraf Kepala dan Fungsinya: 1. Olfactory: Penghidu (indera penciuman) S 2. Optic: Penglihatan S 3. Occulomotor: Gerakan Mata, Mengontrol Pupil, Lensa, dan Airmata MP 4. Trochlear: Gerakan Mata M
6

5. Trigeminal: Sensasi di bagianmuka dan mengonyah SM 6. Abducens: Gerakan mata M 7. Facial: Otot-otot muka, kelenjar air liur, dan rasa (lidah) SMP 8. Auditory: Cabang Akustik: Untuk Pendengaran S Cabang Vestibular: Untuk keseimbangan S 9. Glossopharyngeal: Otot-otot Tenggorokan, Kelenjar Air Liur, dan rasa (lidah) SMP 10. Vagus: Kontrol Parasimpatetik dari organ-organ internal, Sensasi dari organorgan Internal, dan rasa (lidah) SMP 11. Spinal Accessory: Otot-otot kepala dan leher M 12. Hypoglossal: Otot-ototLidah dan Leher (Ket: S =sensoris, M =motoris, P =parasympathetic) a. Saraf Sympatetik dari Sistem Saraf Autonom Sebagian besar saraf sympatetik terIibat dalam aktivitas yang berhubungan dengan pengeluaran energi dari tubuh. Contohnya meningkatan aliran darah ke otototot kepala, sekresi epinephrine (meningkatkan detak jantung dan kadar gula dalam darah) dan piloerection (ereksi bulu/rambut pada mamalia atau tegaknya bulu roma pada manusia) yang terjadi karena kerja sistem saraf autonom yang sympatetik selama periode peningkatan aktivitas. Soma sel dari neuron motorik sympatetik terIetak di substansia grisea dari sumsum tulang belakang di bagian thorax (dada) dan lumbar (panggul). Axonnya keluar melalui ventralroot.Setelah bertemu dengan saraf-saraf tulang belakang, axon tersebut bercabang dan melalui sympathetic ganglia jangan tertukar pemahaman dengan dorsal root ganglia). Sebagai catatan, perlu diingat bahwa berbagai sympathetic ganglia berhubungan dengan ganglia didekatnya, yaitu di bagian bawah dan atasnya sehingga membentuk ikatan sympatetik (sympathetic chain). Axon-axon yang meninggalkan sumsum tulang belakang melalui ventral root disebut dengan neuron-neuron preganglion (preganglionic neuron), kecuali adrenal medulla yang axon preganglionnya masuk ke ganglia dari ikatan sympatetik, tetapi tidak semuanya bersynapsis ditempat tersebut. Beberapa neuron preganglion meninggalkan sumsum tulang belakang menuju ganglia sympatetik lain yang terletak
7

di organ-organ internal. Semua axon darineuron preganglion bersinapsiske neuron di salah satuganglia tujuannya. Neuron-neuron tempat bersinapsis disebut neuron postganglion (postganglionic neuron). Selanjutnya, neuron postganglion mengirim axon ke organ tujuan, seperti usus halus, perut, ginjal, dan kelenjar keringat. b. Saraf Parasympatetik dari Sistem Saraf Autonom Saraf parasympatetik dari sistem saraf autonom mendukung aktivitas tubuh yang berkaitan dengan peningkatan penyimpanan energidalam tubuh. Memberikan efek-efek seperti salivasi, sekresi kelenjar pencernaan, dan peningkatan aliran darah ke system gastrointestinal. Soma sel yang mengandung axon-axon preganglion di sistem saraf sympatetik terletak di dua bagian, yaitu sel-sel saraf di saraf-saraf kepala (terutama saraf vagus) dan substansia grisea di sumsum tulang belakang bagian sacral. Gangliaparasimpatetik terletak didekat organ tujuan; axon postganglion cenderung lebih pendek. Terminal button dari axon postganglion parasimpatetik mensekresikan acetylcholine. B. PENGERTIAN Guillain-barre sindrome adalah sebuah kelainan pada sistem imun yang

mempengaruhi sistem saraf tepi (anonym, 2010) Sindrome guillain barre adalah penyakit saraf perifer yang ditandai dengan awitan mendadak paralisis atau paresis otot (Corwin, 2009). Guillain-barre syndrome atau yang juga dikenal dengan polyneuropaty akut idiopatik atau polyradikuloneuropathy, adalah sebuah penyakit peradangan pada selaput myelin pada sistem saraf tepi (Copstead & Banasik, 2005). Guillain barre syndrome (GBS) adalah penyakit kelumpuhan yang paling banyak terjadi di Negara berkembang (Khan, 2004). Guillain-Barr Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating

Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis adalah kelemahan motorik yang progresif dan arefleksi. Sering disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas batang otak. Timbulnya didahului oleh infeksi virus (Saharso,2006). Sindroma Guillain Barre adalah penyakit yang menyerang radiks saraf yang bersifat akut dan yang menyebabkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai bagian bawah dan meluas keatas sampai tubuh dan otot-otot wajah. Penyakit ini dapat mengancam jiwa
8

yaitu berupa kelemahan yang dimulai dari anggota gerak distal yang dengan cepat dapat merambat ke proximal. Nama lain dari sindroma Guillaain Barre adalah Poli radikulo neuropati inflamasi akut atau PIA. Insiden tahunan di Amerika Serikat adalah 1 sampai 2 per 100.000. Penyakit ini tidak dipengaruhi terhadap musim dan tidak endemik dapat menyerang semua golongan umur terutama pada usia 50-70 tahun, presentasi jumlah antara pria dan wanita sama. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan demielinisasi pada akar saraf tepi. Sampai saat ini penyebab pasti penyakit ini masih dalam perdebatan. Guillain-Barre Syndrome adalah gangguan di mana sistem kekebalan tubuh menyerang bagian dari sistem saraf perifer. Gambar 2. Kerusakan myelin pada GBS

Sumber: www.google.com/m/immage C. ETIOLOGI Corwin dalam bukunya Buku Saku Patofisiologi, menyebutkan bahwa walaupun penyebab sindrom guillain barre tidak diketahui, penyakit ini biasanya terjadi 1-4 minggu setelah infeksi virus atau imunisasi. Sedangkan menurut Copstead & Banasik tahun 2005, penyebab dari sindrom guillain barre belum diketahui, tetapi penyaki ini biasanya terjadi setelah adanya infeksi, suntikan, atau prosedur medis 1-8 minggu sebelum timbulnya tanda dan gejala. Radang usus akibat Camphylobacter jejuni juga berhubungan dengan sindrom ini. Pada dasarnya sindrom guillain barre adalah masalah kesusakan imunologik, tapi mekanisme terperincinya belum diketahui. Ini merupakan demyelinisasi segmental, dan banyak fakta menunjukkan bahwa terjadi kerusakan pada sel T dan sel B. Peningkatan limfosit ditemukan pada bagian yang
9

mengalami demyelinisasi. Proses ini memperlambat atau menghentikan proses penghantaran (konduksi) nervus. Terutama mempengaruhi neuron motorik, tetapi neuron sensorik juga dapat terlibat. Sindrom Guillain Barre juga telah berhubungan dengan diabetes, penyalahgunaan alkohol, paparan logam berat atau industri racun, estetika epidural, dan obat (agen thrombolitik, heroin) penyakit sistemik seperti lupus erythematosus, sarkoidosis, penyakit Hodgkin, neoplasma dan lainnya telah dikenal untuk menyebabkan sejumlah kecil kasus GBS (Khan, 2004). GBS atau Guillain Barre Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus. Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena : a. Infeksi, misal radang tenggorokan atau radang lainnya b. Infeksi virus measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie) c. Vaksin rabies atau swine flu d. Infeksi yang lain, misal Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejuni e. Tindakan bedah f. Keganasan, misal penyakit Hodgkins, karsinoma, limfoma Dari faktor pencetus di atas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. D. KLASIFIKASI Sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.
10

2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN) Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi wallerian like tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun. 3. Miller Fisher Syndrome Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan. 4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP) CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal 5. Acute pandysautonomia Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil. E. PATOFISIOLOGI Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang membungkus saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala GBS menghilang pada saat serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi selama serangan, beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi. Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis yang berkembang ke atas tubuh. Otot pernafasan dapat terkena dan menyebabkan kolaps

11

pernafasan. Fungsi kardiovaskular dapat terganggu karena gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2009). Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responnya terhadap antigen. Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan sistem penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses keradangan terjadi. Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin hancur serta hilang pada beberapa segmen. hal tersebut menyebabkan hilangnya konduksi saltatori yang mengakibatkan penurunan kecepatan konduksi serta terjadinya hambatan konduksi. Kelainan ini terjadi cepat namun reversibel karena sel Schwann dapat berdegenerasi dan membentuk myelin baru. Namun pada banyak kasus, demielinasi menyebabkan hilangnya akson dan deficit permanen (Djamil, 2010).

12

Faktor presipitasi: infeksi hygiene yg buruk stress diet gaya hidup


Pajanan campilobakter jejuni

Faktor predisposisi: Usia Jenis kelamin

Masuk ke tubuh melalui berbagai faktor

respon imun bawaan mengakibatkan pengambilan patogen oleh antigen matang kedalam sel

Pengaktifan sel B dan antibody

Antibody terbentuk dan mengaktifasi sistem complemen dan polimononuklear

Respon limfosit berubah terhadap antigen.

Limfosit menarik makrofag ke saraf perifer

Limfosit dan makrofag menyerang myelin

selubung myelin terlepas

13

System penghantaran implus terganggu.

Guillain barre syndrom

Perubahan sensori Rasa kebas (paresthesias) atau mati rasa di kaki /tangan Kelemahan (paralisis)

Perubahan otonom

Gg. Saraf simpatis dan parasimpatis

nyeri tumpul di tulang belakang, punggung, dan ekstremitas bagian proksimal MK: gangguan rasa nyaman: nyeri

Pengaruh terhadap saraf cranial

Kesulitan bicara

Tachycardia Bradikardi Muka kemerahan Hipertensi paroksismal Hipotensi ortostatik


Perubahan motorik

Kesulitan mengunyah, menelan MK: gangguan pemenuhan nutrisi

MK: kerusakan komunikasi verbal

MK: gg. mobilitas fisik

Pengaruh terhadap pernafasan

Kelemahan (paralisis)
MK: pola nafas tidak efektif dispnea Kelemahan pernafasan

Secara umum, sindrom guillain-barre ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu: 1. Stadium Akut Pada stadium ini penderita menunjukan kelemahan otot yang komplit atau sedang berjalan. Stadium Subakut Pada fase ini ada pebaikan, umumnya setelah 1 sampai 2 bulan

2.

14

3.

Stadium Kronis Jika penderita tidak menunjukan perbaikan motorik setelah lebih dari 6 bulan berarti terdapat kerusakan akson yang luas sampai menunggu kesembuhan selanjutnya, program pencegahan imobilisasi lama harus dilakukan sebaik-baiknya.

F. MANIFESTASI KLINIS Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ektremitas atas, batang tubuh atau otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran bicara, mengunyah, dan menelan. Disfungsi autonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, dengan manifestasi gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah, dan gangguan vasomotor lainnya. Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Seringkali pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya reflex tendon (Smeltzer & Bare, 2004). Menurut Corwin (2009), gambaran klinis sindrom guillain barre berupa kelemahan dan paralisis otot yang bersifat asenden. Kebanyakan pasien mencapai puncak kecacatan dalam 10-14 hari. Nervus sensori juga dapat dipengaruhi tapi lebih sedikit daripada nervus motorik (Copstead & Banasik, 2005). Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu: 1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: a. Terjadinya kelemahan yang progresif b. Hiporefleksi 2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB: a. Ciri-ciri klinis: 1) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu. 2) Relatif simetris 3) Gejala gangguan sensibilitas ringan
15

4) Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain 5) Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan. 6) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala vasomotor. 7) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: 1) Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial 2) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 3) Varian: Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa: Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal Sedangkan menurut Rachel (2010), gambaran klini dari pasien dengan Guillain Barre Syndrome adalah: a. Kelemahan Gambaran klinis klasik kelemahan adalah asenden dan simetris. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terlibat sebelum anggota badan atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal dari yang lebih distal. Batang tubuh, kelenjar, dan otot pernafasan dapat dipengaruhi juga. Kelemahan berkembang akut selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan bisa berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia yang komplit dengan kegagalan ventilasi. Puncak defisit dicapai oleh 4 minggu setelah pengembangan awal gejala. Pemulihan biasanya dimulai 2-4 minggu setelah kemajuan berhenti.
16

b. Perubahan Sensori Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensori sering didahului oleh kelemahan. Kemudian naik dan menjalar kearah distal Gejala sensori biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, temuan kehilangan sensori cenderung minim dan variabel. Pada studi konduksi saraf (NCS), 58-76% pasien menunjukkan kelainan sensorik c. Keterlibatan saraf kranial Keterlibatan saraf kranial diamati pada 45-75% pasien dengan GBS. keluhan umum mungkin termasuk yang berikut: Kelumpuhan pada wajah Diplopias Dysarthria Disfagia

Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah batang tubuh dan anggota badan yang terpengaruh.

d. Nyeri 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan GBS di beberapa waktu selama penyakit mereka. Pada awal presentasi, hampir 50% dari pasien digambarkan sebagai rasa sakit parah dan menyedihkan. Mekanisme nyeri tidak pasti dan mungkin produk dari beberapa faktor. Nyeri dapat hasil dari cedera saraf langsung atau dari kelumpuhan dan immobilisasi berkepanjangan. Kebanyakan pasien mengeluh sakit punggung dan kaki, seringkali digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Mekanisme nyeri dianggap akibat akar saraf meradang. Gejala dysesthetic diamati pada sekitar 50% pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai sensasi terbakar atau kesemutan dan seringkali lebih umum di ekstremitas bawah daripada ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas di 510% pasien. sindrom nyeri lainnya di GBS meliputi:
17

Keluhan Myalgic, dengan kram dan tenderness otot lokal Nyeri visceral Rasa sakit yang terkait dengan kondisi tidak bergerak (misalnya, palsies tekanan saraf, ulkus dekubitus)

Intensitas nyeri pada masuk berkorelasi buruk dengan cacat neurologis tentang pendaftaran masuk dan dengan hasil akhir.

e. Perubahan Otonom Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan GBS. Perubahan otonom dapat mencakup hal berikut: Tachycardia Bradikardi Muka kemerahan Hipertensi paroksismal Hipotensi ortostatik Anhidrosis dan / atau diaforesis

Retensi urin dan ileus paralitik juga dapat diamati. Usus dan disfungsi kandung kemih jarang menyajikan sebagai gejala awal atau berlangsung selama jangka waktu yang signifikan.

Dysautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan yang parah dan gagal pernafasan. perubahan otonom jarang bertahan pada pasien dengan GBS.

f. Efek pada respiratori 40% pasien memiliki kelemahan pernapasan atau orofaringeal. keluhan khas meliputi: Dyspnea Sesak napas Kesulitan menelan Cadel pidato

18

kegagalan ventilasi dengan dukungan pernafasan yang dibutuhkan terjadi pada hingga sepertiga pasien dalam beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka. Gambar 3. Manifestasi klinis GBS

Sumber: www.google.com/m/immage G. PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan Fisik a. Tanda-tanda vital: aritmia jantung, termasuk tachycardi dan bradycardi, dapat diamati sebagai hasil dari keterlibatan sistem saraf otonom. b. Takipnea mungkin merupakan tanda dyspnea berkelanjutan dan kegagalan pernafasan yang progresif. c. Keseimbangan tekanan darah adalah ciri lain yang sama dengan perubahan antara hipertensi dan hipotensi. d. Saraf kranial kelemahan Facial (VII saraf kranial) yang diamati paling sering, diikuti oleh gejala yang berhubungan dengan saraf cranial VI, III, XII, V, IX, dan X. Keterlibatan hasil otot wajah, orofaringeal, dan mata di wajah terkulai, disfagia, dysarthria, dan temuan yang terkait dengan gangguan mata. Ophthalmoparesis dapat diamati pada sampai dengan 25% dari pasien dengan GBS. Pembatasan gerakan mata yang paling sering hasil dari lumpuh simetris
19

yang terkait dengan saraf kranial VI. Ptosis dari saraf cranial palsy III (oculomotor) juga sering dikaitkan dengan gerakan mata terbatas. kelainan pupil, terutama yang ophthalmoparesis atas, relatif umum juga. e. Pemeriksaan motorik kelemahan biasanya dimulai dari ekstremitas bawah kemudian naik simetris dan progresif selama beberapa hari pertama. Ekstremitas atas, batang, wajah, dan kelemahan orofaringeal diamati untuk sebagian variabel. f. Pemeriksaan Sensorik Meskipun sering terjadi parestesia, perubahan sensorik yang nyata adalah minimal. g. Perubahan Refleks Refleks tidak ada atau hyporeflexic di awal perjalanan penyakit dan merupakan temuan klinis utama pada pemeriksaan pasien dengan GBS. Refleks patologis, seperti tanda Babinski Hypotonia dapat diamati dengan kelemahan signifikan.

2. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Cairan Serebro Spinal (CSS): hasil analisa CSS normal dalam 48 jam pertama, kemudian diikuti kenaikan kadar protein CSS pada minggu II tanpa atau disertai sedikit kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation). b. Pemeriksaan elektrofisiologi EMG dan Nerve Conduction Velocity (NCV): a. Minggu I: terjadi pemanjangan atau hilangnya F-response (88%), prolong distal latencies (75%), blok pada konduksi (58%) dan penurunan kecepatan konduksi (50%). b. Minggu II: terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies (92%) dan penurunan kecepatan konduksi (84%).

20

c.

Pemeriksaan radiologi MRI: Sebaiknya MRI dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kontras gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras di daerah lumbosakral terutama di kauda equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB adalah 83% (Saharso,2006).

d.

Tes fungsi paru Tekanan inspirasi maksimal dan kapasitas vital pernapasan pengukuran fungsi neuromuskuler dan memprediksi kekuatan diafragma. Tekanan maksimal expiratory juga mencerminkan kekuatan otot perut. Sering evaluasi parameter ini harus dilakukan di samping tempat tidur untuk memonitor status pernafasan dan perlunya bantuan ventilasi. Pernafasan bantuan harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital ekspirasi menurun hingga <18 mL / kg atau ada penurunan saturasi oksigen (PO 2 arteri <70 mm Hg).

e. Temuan histologis Infiltrasi limfosit dan makrofag diamati pada pemeriksaan mikroskopis dari saraf perifer. Makrofag masuknya diyakini bertanggung jawab atas demielinasi multifokal terlihat di GBS. Tingkat variabel degenerasi Wallerian juga dapat diamati dengan perubahan inflamasi parah. Cellular infiltrat tersebar di seluruh saraf kranial, akar syaraf, ganglion akar dorsal, dan saraf perifer. H. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi pada prognosis yang lanjut adalah 1. Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian 2. Kelemahan beberapa otot dapat menetap (Corwin, 2009). 3. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi (Israr, dkk, 2009). I. PENATALAKSANAAN 1. Penatalaksanaan Medis

21

a.

Plasma exchange therapy (PE) Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.

b. Imunoglobulin IV Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg. c. Kortikosteroid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Tetapi, digunakan pada SGB tipe CIDP. 2. Penatalaksanaan Nonmedis a. Fisioterapi dada Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. b. Rehabilitasi medis 1) Pada stadium akut, sasaran rehabilitasi medisnya adalah:
22

Memelihara luas gerak sendi (mencegah kontraktur) Pasif atau aktif assistif (tergantung kekuatan otot) Tidak boleh sampai lelah. Latihan dikerjakan hati-hati jangan sampai terjadi peregangan yang berlebihan karena akan mencederai otot yang dilatih. Restling splint dapat diprogramkan untuk tangan (untuk dapat mempertahankan posisi pergelangan tangan pada posisi fungsional) dan unutk kaki ( mencegah kontraktur tendo achilles) Mencegah terjadinya ulkus dekubitus Ubah posisi penderita tiap 2 jam Hindari penekanan pada daerah yang mudah mengalami iskemik misalnya dengan memberi bantalan yang lembut.

2) Pada stadium subakut, program rehabilitasi mediknya meliputi: Pelatihan luas gerak sendi jangan sampai terjadi over stretching Latihan penguatan otot disesuaikan dengan kemajuan motorik Gait training Latihan berdiri hanya boleh dilakukan jika kekuatan otot betis mencapai lebih dari 3. Latihan jalan hanya dapat dimulai jiak otot gluteus, hamstring dan quadriceps kekuatannya sudah lebih dari 3. Jika kekuatan otot masih 2, latihan jalan dapat dilakukan dalam air (hidroterapi) Latihan ADL (Activity of Daily Living) Penderita hanya boleh makan sendiri jika kekuatan otot anggota gerak atas lebih dari 3, kadang diperlukan splint untuk pergelangan tangan dan kaki. Kegiatan yang menyebabkan kerja berlebih harus dihindari. 3) Stadium kronis Program pencegahan imobilisasi lama harus dilakukan sebaik-baiknya. J. ASUHAN KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN a. Pengkajian 1) Identitas klien 2) Keluhan utama 3) Riwayat keperawatan : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status : kelumpuhan dan kelemahan :sejak kapan, semakin memburuknya kondisi /

kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit. b. Pemeriksaan Fisik 1) B1 (Breathing)

23

Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret. 2) B2 (Bleeding) Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan. 3) B3 (Brain) Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan. 4) B4 (Bladder) Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih. 5) B5 ( Bowel) Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal. 6) B6 (Bone) Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi. 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis c. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidak mempuan menelan d. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan disfungsi saraf cranial e. Ansietas berhubungan dengan kehilangan kontrol dan paralisis. 3. INTERVENSI KEPERAWATAN a. Mempertahankan fungsi pernafasan Ventilasi mekanik diperlukan pada pasien yang memperlihatkan kemunduran pernafasan yang mengindikasikan kearah memburuknya kekuatan otot-otot pernafasan. Pasien dengan GBS berada pada resiko tinggi aspirasi dan bersihan jalan nafas tidak efektif akibat kelemahan. Fisioterapi dada dan peninggian kepala tempat tidut memudahkan pernafasan dan meningkatkan batuk efektif.
24

b. Mengurangi efek immobilisasi Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan latihan rentang gerak secara pasif sedikitnya dua kali sehari. Perawat melakukan kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk mencegah deformitas kontraktur dengan menggunakan perubahan posisi yang hati-hati dan latihan rentang gerak. c. Memberikan nutrisi yang adekuat Untuk pencegahan kelemahan otot karena kurang nutrisi. Jika pasien tak mampu menelan, makanan diberikan melalui selang lambung. Bila pasien dapat menelan, makanan diberikan melalui rute oral dengan sangat hati-hati. d. Meningkatkan komunikasi Karena paralisis, trakeostomi dan intubasi, maka pasien tidak mampu berbicara, tertawa atau menangis dan juga tidak dapat mengekspresikan emosinya. Masalahmasalah ini dipersulit dengan adanya kebosanan, ketergantungan, isolasi, dan frustasi. Untuk mengembangkan beberapa bentuk komunikasi, berupa memahami kata-kata orang lain dengan gerakan bibir dan menggunakan kartu-kartu gambar, yang dikombinasi dengan sistem mengedipkan mata untuk mengidentifikasi ya atau tidak, dapat dicoba pada pasien ini. e. Mengurangi rasa takut dan ansietas. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih pasien melayani aktivitas dan pengalihan misalnya membaca akan menurunkan perasaan terisolasi. Intervensi keperawatan yang dapat membantu meningkatkan control sensasi pasien dan dalam menurunkan ketakutan dengan cara memberikan informasi tentang keadaan pasien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping pertahanan diri, yang positif, membentu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respon balik yang positif. f. Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan di rumah. Banyak pasien GBS mengalami pemulihan yang sempurna dalam beberapa minggu atau bulan. Pasien-pasien yang pernah mengalami paralisis total atau lama mungkin membutuhkan beberapa tipe rehabilitasi yang dilakukan terus setalah keluar dari rumah sakit. Program yang luas akan bergantung pada pengkajian yang dibutuhkan dibuat oleh anggota tim kesehatan. Alternatif program yang komprehensif bagi
25

pasien jika dikurangi adalah penting dan dukungan sosial dibatasi untuk program dirumah terhadap terapi fisik dan okupasi. Fase pemulihan mungkin lama dan akan membutuhkan kesabaran serta keterlibatan pihak pasien dan keluarga untuk mengembalikan kemampuan sebelumnya 4. STUDI KASUS a. Kasus Tuan L 40 tahun datang ke poliklinik RS. Arifin Ahmad Pekanbaru dengan keluhan merasa baal yang diulai dari telapak kakinya kemudian lama-lama menjadi susah digerakkan. Setelah itu keluhan seperti merambat naik ke paha kemudian perut. Keluhan tersebut dirasakan simetris dikedua kakinya. Dari hasil pemeriksaan tandatanda vital: TD: 160/90 mmHg. N: 90x/mnt, RR: 40x/menit, suhu 37,8oC. Pasien dilakukan pemeriksaan lumbal fungsi dan didapatkan kadar proteinnya meningkat.

b. Analisa Data DO TD: 160/90 mmHg. N: 90x/mnt, RR: 40x/menit, suhu 37,8oC Klien merasa baal yang Resiko kerusakan mobilitas DS Masalah Keperawatan Pola nafas tidak efektif

dimulai dari telapak kakinya fisik. kemudian lama-lama menjadi susah digerakkan. Setelah itu keluhan seperti merambat naik ke paha kemudian tersebut perut.

Keluhan

dirasakan

simetris dikedua kakinya TD: 160/90 mmHg. N: 90x/mnt, RR: 40x/menit, suhu 37,8oC c. WOC Faktor predisposisi dan presipitasi Gangguan hipertermia termoregulasi:

26

Pajanan campilobakter jejuni

Respon tubuh terhadap infeksi P suhu tubuh

Rx. Fagositik ileh limposit

Respon limfosit terhadap antigen berubah

MK: gangguan termoregulasi: hipertermi

Limfosit dan makrofag menyerang myelin

selubung myelin terlepas

System penghantaran implus terganggu.

Perubahan sensori Rasa kebas (paresthesias) atau mati rasa di kaki /tangan

Guillain barre syndrom

Pengaruh pada pernafasan Kelemahan akut progresif yang bersifat asenden

Kelemahan otot-otot pernafasan

MK: resiko kerusakan mobilitas fisik

MK: pola nafas tidak efektif

d. Diagnosa Keperawatan dan intervensi keperawatan Diagnosa Keperawatan Intervensi Rasional


27

Diagnosa Keperawatan 1. Pola nafas tidak efektif B.D paralisis otot pernafasan Tujuan: setelah 1x24 jam dilakukan tindakan fugsi pernafasan adekuat sesuai dengan kebutuhan individu. Kriteria hasil: Pasien menunjukkan ventilasi adekuat dengan tidak ada distress pernafasan, bunyi nafas bersih GDA dalam batas normal.

Intervensi Rasional 1. Pantau frekuensi, 1. Peningkatan distress kedalaman dan pernafasan menandakan kesimetrisan pernafasan. adanya kelelahan pada otot Catat peningkatan kerja pernafasan atau paralisis nafas dan observasi warna yang mungkin memerlukan kulit dan membran sokongan dari ventilasi mukosa. mekanik. 2. Kaji adanya perubahan 2. Penurunan sensasi sensasi terutama adanya seringkali (walaupun tidak penurunan respon pada selalu) mengarah pada daerah lengan atas/ bahu. kelemahan motorik yang mempengaruhi otot intercostal. Oleh karena itu tangan/ lengan yang terkena seringkali mengarah pada masalah gaagal nafas. 3. Catat adanya kelelahan 3. Merupakan indikator yang pernafasan selama baik terhadap gangguan berbicara (kalau pasien fungsi pernafasan atau masih dapat berbicara). menurunnya kapasitas vital paru. 4. Tinggikan kepala tempat 4. Meningkatkan ekspansi tidur atau letakkan pasien paru dan usaha batuk, pada posisi duduk menurunkan kerja bersandar. pernafasan dan membatasi terjadinya risiko aspirasi sekret. 5. Berikan obat/ bantu 5. Memperbaiki ventilasi dan dengan tindakan menurunksn atelektasis pembersihan pernafasan, dengan memobilisasi seperti latihan pernafasan, sekret dan meningkatkan perfusi dada, vibrasi, dan ekspansi alveoli paru. drainase postural. 1. Kaji kekuatan 1. Menentukan motorik/kemampuan perkembangan atau secara fungsional dengan munculnya kembali tanda skala 0-5. lakukan yang menghambat pengkajian secara teratur tercapainya tujuan atau dan bandingkan dengan harapan pasien. nilai dasarnya. 2. Berikan posisi pasien yang 2. Menurunkan kelelahan, menimbulkan rasa meningkatkan relaksas, nyaman. Lakukan menurunkan risiko
28

2. Kerusakan mobilitas fisik B.D kerusakan neuromuskuler. Tujuan:

Diagnosa Keperawatan Intervensi Kriteria Hasil: perubahan posisi dengan Pasien akan mempertahankan jadwal yang teratur sesuai posisi fungsi dengan tidak kebutuhan secara ada komplikasi (kontraktur, individual. dekubitus). Meningkatkan 3. Lakukan latihan rentang kekuatan dan fungsi bagian gerak pasif. Hindari yang sakit latihan aktif selama fase akut. 4. Konfirmasi dengan atau rujuk ke bagian terapi fisik atau terapi okupasi.

Rasional terjadimya iskemi atau kerusakan pada kulit.

3. Menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi. 4. Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual atau latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasikan alat bantu atau brace untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktifitas seharihari.

3. Gangguan termoregulasi: hipertermi B.D proses penyakit. Tujuan: Pemeliharaan suhu tubuh yang normal Kriteria Hasil: Suhu tubuh berada pada suhu normal (36,5-37,2)

1. Monitoring dan catat suhu tubuh secara teratur

1. Memberikan dasar deteksi dini dan evaluasi intervensi

2. Motivasi asupan cairan

2. Memperbaiki asupan cairan akibat pebris dan meningkatkan kenyamanan pasien 3. Meminimalkan resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik 4. Mengurangi laju metabolik

3. Hindari kontak dengan infeksi

4. Jaga agar pasien tetap beristirahat 5. Berikan kompres hangat

5. Menurunkan panas melalui proses kondusi dan evaporasi 6. Membantu menurunkan panas dengan obat-obat an.

6. Berikan antipiretik sesuai dengan yang diresepkan.

29

Diagnosa Keperawatan

Intervensi

Rasional

30

Anda mungkin juga menyukai