Anda di halaman 1dari 8

Kamis, 11 April 2013 - 09:23 WIB Stop Main Hakim Sendiri Oleh : Thanon Aria Dewangga*) Beberapa minggu

terakhir kita dikejutkan oleh berita yang mengganggu situasi politik, hukum, dan keamanan yaitu kasus penyerangan Lapas Cebongan di Sleman, Yogyakarta, kasus pengeroyokan dan kemudian pembunuhan seorang Kapolsek di Sumatera Utara serta aksi-aksi kekerasan dan pengrusakan yang terjadi di Palopo, Sulawesi Selatan, dampak dari pemilukada. Dari kejadian-kejadian diatas, jika dianalisis sebenarnya ada yang lebih bersifat tindakan kriminal yang menjadi ranah hukum namun ada yang lebih bernuansa politik, yang berujung pada tindakan main hakim sendiri. Tindakan Main Hakim Sendiri Masih terjadinya sejumlah aksi kekerasan diatas, seharusnya dapat dicegah apabila tingkat kesadaran hukum masyarakat tinggi yang tentu harus dibarengi dengan ketegasan aparat penegak hukum. Demikian pula ketegasan pemimpin, yang akan membuat nyaman petugas penegak hukum dalam bertindak. Dalam Rapat Kerja Pemerintah Tahun 2013 di Jakarta, Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri Tahun 2013, salah satu tujuannya adalah agar daerah bisa menyusun prosedur tetap atau aturan yang bisa diberlakukan di daerahnya masing-masing sehingga keamanan publik pada khususnya, dan keamanan dalam negeri pada umumnya bisa dijaga dan dipertahankan. Tindakan main hakim sendiri yang terjadi beberapa waktu lalu juga sempat disinggung Presiden RI dalam konperensi pers yang dilaksanakan seusai sholat Jumat di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (5/4) siang, dengan pernyataan sebagai berikut: "Bagaimanapun, tindakan main hakim sendiri itu tidak dibenarkan dalam negara hukum. Meskipun saya tahu tindakan itu terjadi karena ada jiwa korsa dan perilaku sekelompok orang, yang di luar disebut kelompok preman, yang dengan sadis melakukan pembunuhan pada seorang bintara Kopasus TNI AD.

Di sisi lain, yang mengagetkan menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) adalah adanya kecenderungan masyarakat dan pencari keadilan dalam penegakan hukum terdorong untuk menciptakan role model sendiri, bahkan bisa mengarah pada radikalisme. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan hanya 29,8 persen responden yang menyatakan puas terhadap penegakan hukum di Indonesia. Minimnya kepercayaan publik atas proses penegakkan hukum ini berkorelasi pada cukup tingginya masyarakat yang setuju main hakim sendiri. Survei LSI menunjukkan sebanyak 30,6 persen responden setuju menghukum sendiri pelaku kejahatan karena tak percaya proses hukum yang adil. Meski angka itu cukup tinggi, tetapi sebanyak 46,3 persen responden masih menyetujui pelaku kejahatan diproses hukum secara adil. Sebanyak 23,1 persen responden tidak menjawab atau tidak tahu. Peneliti LSI Dewi Arum mengatakan, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dapat memunculkan anarkisme. "Tak berlebihan dan mengherankan jika dikatakan bahwa maraknya kasus main hakim sendiri yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia merupakan refleksi dari ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum yang dilakukan negara," kata Dewi Arum dalam jumpa pers di kantor LSI, Minggu (7/4/2013).

Mengapa Main Hakim Sendiri Alasan mengapa masyarakat lebih sering main hakim sendiri saat ini timbul karena berbagai faktor. Faktor pertama adalah persoalan psikologis yang saat ini terjadi pada masyarakat. Alasan psikologis bisa jadi ditimbulkan karena tekanan ekonomi yang serba sulit yang melahirkan rasa frustasi. Hidup dalam keadaan tertekan ditambah lagi adanya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang lebar menimbulkan gesekan sosial. Faktor kedua adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Saat ini sedang terjadi kondisi dimana tatanan sistem hukum yang dijalankan oleh pemerintah dalam arti luas tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Kondisi ini memiliki ciri-ciri dimana hukum tidak lagi dipandang sebagai human institution yang dapat memberikan rasa perlindungan hak-haknya sebagai warga negara. Oleh karena itu, harus segera dilakukan langkah-langkah untuk melakukan pengembalian kepercayaan tersebut. Faktor ketiga, komunikasi masyarakat dan aparat penegak hukum yang kurang atau belum tersosialisasikan dengan baik sehingga pada saat membutuhkan pertolongan hukum, masyarakat mengalami kebingungan.

Mencegah Tindakan Main Hakim Sendiri Tindakan main hakim sendiri tidak boleh terjadi di Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang beradab. Perlu ada kesadaran baik dari masyarakat maupun pemerintah, terutama aparat penegak hukum. Apalagi dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri Tahun 2013, pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah harus lebih tanggap. Dalam Rapat Terbatas Bidang Politik, Hukum dan Keamanan tanggal 1 April 2013 lalu, Presiden menyampaikan pejabat pemerintah bukan sekedar sebagai tukang pos. Tukang pos itu kalau sudah mengambil surat-surat dari rumah, dimasukkan kotak pos, tugasnya selesai. Karena akan dibawa dengan sarana transportasi entah darat, laut, atau udara. Nanti di tempat tujuan, ada lagi petugas yang menyalurkan sampai kepada alamat yang dituju. Nah, tukang pos yang mengirimkan itu tidak punya kewajiban dan tanggung jawab memastikan bahwa yang dimasukkan ke kotak pos itu sampai di alamatnya masing-masing. Tapi kalau kita, termasuk para Menteri, anggota Kabinet, serta pejabat daerah harus bisa memastikan, mengawasi, memantau, bahkan ikut mengimplementasikannya sampai pada tingkat yang paling depan, kabupaten dan kota. Itu bedanya. Tidak boleh, karena sudah dikeluarkan arahan, sudah diingatkan, dianggap selesai. Sampai betul-betul segala sesuatunya dilaksanakan dan diimplementasikan. Selain itu perlu ada keseragaman langkah dengan masyarakat antara lain, pertama, pererat komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat. Beri kesadaran akan pentingnya penegak hukum bagi keamanan masyarakat. Intensitas komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat akan meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum di negeri ini. Kedua, penegakan hukum yang tegas dan transparan. Penegakan hukum yang jelas atau sesuai dengan standar hukum yang berlaku akan memberikan kepuasan kepada masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan para penegak hukum. Dalam hal kasus penyerangan lapas Cebongan, transparansi sudah dilakukan dan hal tersebut mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Semoga ini bisa menjadi pemicu agar masyarakat tidak lagi menyelesaikan segala persoalan dengan main hakim sendiri *) Asisten Deputi Bidang Pelaksanaan dan Pelaporan Persidangan

JAKARTA. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan hanya 29,8% responden yang menyatakan puas terhadap penegakan hukum di Indonesia. Minimnya kepercayaan publik atas proses penegakkan hukum ini berkorelasi pada cukup tingginya masyarakat yang setuju main hakim sendiri.

Survei LSI menunjukkan sebanyak 30,6% responden setuju menghukum sendiri pelaku kejahatan karena tak percaya proses hukum yang adil. Meski angka itu cukup tinggi, tetapi sebanyak 46,3% responden masih menyetujui pelaku kejahatan diproses hukum secara adil. Sebanyak 23,1% responden tidak menjawab atau tidak tahu.

Peneliti LSI Dewi Arum mengatakan, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dapat memunculkan anarkisme. "Tak berlebihan dan mengherankan jika dikatakan bahwa maraknya kasus main hakim sendiri yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia merupakan refleksi dari ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum yang dilakukan negara," ujar Arum dalam jumpa pers di kantor LSI, Minggu (7/4).

Ia mencontohkan, kasus penembakan empat tahanan di Lapas Cebongan, Sleman; penyerangan Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU); dan pembakaran gedung pemerintahan di Palopo adalah contoh nyata dari ketidakpercayaan publik terhadap hukum.

"Mereka yang tak puas dan tak yakin bahwa sebuah kasus akan diselesaikan secara adil melalui hukum formal akhirnya mengambil langkah menghakimi pelaku," kata Arum.

Ketidakpuasan terus meningkat

Jika dilihat dari tren yang terjadi selama ini, ketidakpuasan terhadap penegakan hukum di Indonesia juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun sampai menjelang akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dari survei LSI pada Januari 2010, responden yang menyatakan tidak puas atas penegakan hukum sebesar 37,4%. Sementara pada Oktober 2010, tingkat ketidakpuasan naik menjadi 41,2%.

Pada September 2011, responden yang tak puas dengan proses penegakkan hukum sebesar 50,3%. Di bulan Oktober 2012, tingkat ketidakpuasan kembali naik menjadi 50,3%. Pada April 2013 ini, mereka yang tidak puas mencapai 56,6%.

Penegakan hukum di masa pemerintahan Presiden SBY juga dinilai tak lebih baik dari pemerintahan presiden

sebelumnya. Sebesar 41,3% menilai penegakan hukum di era SBY sama saja dari pemerintahan sebelumnya. Sebanyak 26,5% bahkan menyatakan lebih buruk, dan hanya 22,6% yang mengatakan penegakan hukum di era SBY lebih baik dari era pemerintahan sebelumnya.

Adapun, survei yang dilakukan LSI mengambil rentang waktu 1 hingga 4 April 2013. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden dan margin of error sebesar +/- 2,9%. Survei dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia. Survei juga dilengkapi dengan penelitian kualitatif dengan metode analisis media, focus group discussion, dan in depth interview. (Sabrina Asril/Kompas.com)

Liputan6.com, Jakarta : Tindakan kekerasan main hakim sendiri seperti menjadi tren kehidupan bermasyarakat. Setidaknya hal itu terlihat dari hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI).

Peneliti LSI Dewi Arum mengatakan, hasil survei LSI menunjukan 30,6 persen responden setuju menghukum sendiri pelaku kejahatan, lantaran tak percaya proses hukum yang adil. Sebanyak 46,3 persen responden masih menyetujui pelaku kejahatan diproses hukum secara adil. Sisanya, 23,1 persen responden tidak menjawab atau tidak tahu.

"Tak berlebihan dan mengherankan jika dikatakan bahwa maraknya kasus main hakim sendiri yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia merupakan refleksi dari ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum yang dilakukan negara," ujar Arum, Minggu (7/4/2013).

Survei LSI menunjukkan hanya 29,8 persen responden yang menyatakan puas terhadap penegakan hukum di Indonesia. Minimnya kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum berimplikasi pada tingginya masyarakat yang setuju aksi main hakim sendiri.

Sejumlah kasus penembakan seperti empat tahanan di Lapas Cebongan Sleman, penyerangan Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), dan pembakaran gedung Pemerintahan di Palopo, menurut Dewi, merupakan contoh nyata ketidakpercayaan publik kepada hukum.

"Mereka yang tak puas dan tak yakin bahwa sebuah kasus akan diselesaikan secara adil melalui hukum formal akhirnya mengambil langkah menghakimi pelaku," tandasnya.

Survei digelar pada 1-4 April 2013 kepada 1.200 responden di 33 provinsi. Metode yang digunakan memakai multistage random sampling. Margin of error survei ini sebesar 2,9 persen. (Ism)

Tak Percaya Penegak Hukum, Warga Pilih Main Hakim Sendiri


Danu Damarjati - detikNews Jakarta - Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan merosotnya kepuasan publik terhadap penegakkan hukum juga disebabkan tindak kekerasan aparat yang marak terjadi. Ketidakpercayaan terhadap penegakan memicu tindakan warga untuk main hakim sendiri. "Rendahnya kepercayaan terhadap penegakkan hukum yang dilakukan negara dapat memunculkan anarkisme" kata Peneliti LSI Dewi Arum dalam paparan suveinya di Graha Dua Rajawali, Jalan Pemuda 70, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (7/4/2013). Dewi merujuk contoh yang paling mempengaruhi adalah kasus-kasus yang melibatkan aparat bersenjata. Ada kasus LP Cebongan, bentrok di Ogan Komering Ulu, juga pemerkosaan tahanan wanita di Poso. Termasuk pembakaran gedung pemerintahan di Palopo sulawesi Selatan. "Mereka yang tak puas dan tak yakin bahwa sebuah kasus akan diselesaikan secara adil melalui hukum formal, akhirnya memilih mengambil langkah menghakimi pelaku dengan cara mereka sendiri," imbuh Dewi. Masyarakat desa lebih merasa tidak puas dengan penegakkan hukum di Indonesia daripada masyarakat kota. Di kalangan masyarakat desa 61 % warga desa merasa tidak puas dengan penegakan hukum, 22,8 % merasa puas, sisanya tidak menjawab. Sementara warga kota, sebanyak 48,6 % merasa tidak puas dengan penegakan hukum, 35,2 % merasa puas. Sisanya tidak menjawab. Semakin rendah tingkat pendidikan juga terhitung lebih tidak puas dengan penegakkan hukum. Tamatan SD menunjukkan ketidakpuasan paling tinggi, 56 %. Sementara taman kuliah yang tidak puas sebesar 50,4 %. Masyarakat Indonesia yang cenderung setuju dengan tindakan main hakim sendiri juga cukup besar. LSI mengklaim, sebanyak 30,6 % setuju untuk main hakim sendiri, sementara 46,3 % masih mau menyerahkan kasus kejahatan kepada proses hukum. Sisanya tidak menjawab. Rekomendasi LSI, pemerintah harus memberantas aksi premanisme. Preman yang dimaksud mulai dari preman jalanan, preman bersenjata seperti oknum polisi dan TNI, preman berdasi atau koruptor, dan preman berjubah atau ormas sektarian. "Pemerintah harus mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Kalau tidak, maka akan mengarah ke anarkisme sosial," ujar Dewi.

Ketika Masyarakat Sudah Main Hakim Sendiri, Negeri Ini di Ujung Kehancuran?
OPINI | 13 April 2013 | 02:35 Dibaca: 187 Komentar: 0 Nihil Akhir-akhir ini negeri kita yang tercinta Indonesia, banyak sekali terjadi peristiwa yang membuat kita miris dan sedih untuk melihatnya, sebabnya adalah semakin banyaknya kasus main hakim sendiri dikalangan masyarakat, apa yang menyebabkan semua itu terjadi. Beberapa minggu terakhir kita dikejutkan oleh berita yang mengganggu situasi politik, hukum, dan keamanan yaitu kasus penyerangan Lapas Cebongan di Sleman, Yogyakarta, kasus main hakim sendiri terhadap Kapolsek Dolok Pardamean AKP Andar Sihaan, penyerangan 4 tahanan Lapas Cebongan, penembakan Kepala RS Bayangkara Polri Makassar Kombes Purwadi, serta aksi-aksi kekerasan dan pengrusakan yang terjadi di Palopo, Sulawesi Selatan, dampak dari pemilukada dan masih banyak kasus-kasus yang lainnya yang terjadi ditengahtengah masyarakat. Mengapa Main Hakim Sendiri Mengapa begitu mudahnya masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri, Alasan mengapa masyarakat lebih sering main hakim sendiri saat ini timbul karena berbagai faktor: 1. Faktor pertama adalah persoalan psikologis yang saat ini terjadi pada masyarakat. Alasan psikologis bisa jadi ditimbulkan karena tekanan ekonomi yang serba sulit yang melahirkan rasa frustasi. Hidup dalam keadaan tertekan ditambah lagi adanya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang lebar menimbulkan gesekan sosial. 2. Faktor kedua adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Saat ini sedang terjadi kondisi dimana tatanan sistem hukum yang dijalankan oleh pemerintah dalam arti luas tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Kondisi ini memiliki ciri-ciri dimana hukum tidak lagi dipandang sebagai human institution yang dapat memberikan rasa perlindungan hak-haknya sebagai warga negara. Oleh karena itu, harus segera dilakukan langkah-langkah untuk melakukan pengembalian kepercayaan tersebut. 3. Faktor ketiga, komunikasi masyarakat dan aparat penegak hukum yang kurang atau belum tersosialisasikan dengan baik sehingga pada saat membutuhkan pertolongan hukum, masyarakat mengalami kebingungan. Setiap kali terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga, polisi adalah aparat penegak hukum yang paling banyak direpotkan. Dalam banyak kejadian, warga baru melaporkan kejadiannya setelah korban babak belur bahkan tewas di tangan mereka. Amuk warga kembali mengingatkan. Masyarakat memelurkan kepastian penegakan hukum oleh aparat. Banyaknya kasus kekerasan dan main hakim sendiri menunjukkan lemahnya penyelesaian masalah oleh pemerintah. Maraknya kasus kekerasan juga semakin menurunkan kepercayaan publik dalam konteks hukum dan keamanan nasional. Pemerintah dan masyarakat diminta tak membiarkan pola main hakim sendiri terus berlanjut, Karena jika terus akan dibiarkan maka akan berlaku hukum rimba, dimana yang kuat memangsa yang lemah. Sikap main hakim sendiri berkorelasi dengan rendahnya mutu penegakan hukum. Masyarakat stres dan frustrasi: melihat kasus pencurian menjadi biasa, tindak kekerasan meningkat, dan belakangan kekerasan dan kejahatan seksual, terutama terhadap anak-anak di bawah umur sudah dalam kondisi darurat. Bagaimana

masyarakat tidak resah, marah, dan frustrasi, karena pemerintah dan aparat penegak hukum seolah-olah tidak mampu menyentuh kejahatan-kejahatan seperti itu. Hukum cenderung berpihak kepada penguasa, elite, dan kelompok tertentu, terhegemoni oleh lingkaran mafia. Dunia hukum kita mencatat sejarah kelam dalam kasus nenek Minah, pencuri tiga biji kakao di Banyumas; empat keluarga pencuri kapuk randu di Batang; remaja AAL pencuri sandal di Palu; atau Basar Suyanto dan Kholil yang mencuri semangka di Kediri. Di sisi lain, ketika hukum diharapkan membawa efek jera, 60-an persen vonis ringan justru menjadikan korupsi sebagai gaya hidup. Hukum menampakan wajah kapitalis. Kartel impor bahan pangan yang menyengsarakan masyarakat seperti tak terjangkau. Warga tak berkutik menghadapi penggusuran tanah untuk lahan industri. Perselisihan buruh berakhir dengan kekerasan. Di sisi lain, penguasa, pejabat, dan elite serta anak-cucunya seakan-akan kebal hukum. Satu dekade reformasi tak mengubah keadaan, bahkan makin parah. Hukum hanya menjadi alat kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal. Apakah memang masyarakat terlalu toleran terhadap tindakan diskriminatif penegak hukum, sehingga terjadi semacam pembiaran? Kita seolah-olah mahfum akan kentalnya hukum transaksional untuk mendapat keistimewaan, kebebasan, dan kekebalan. Krisis kepercayaan kepada hukum pun akhirnya tak terhindarkan. Lalu bagaimana jika masyarakat memilih mencari jalan keluar sendiri untuk mencari keadilan? Kita tentu tidak ingin tragedi-tragedi pada awal reformasi terulang kembali. Kalangan pengamat menilai, tindakan main hakim sendiri disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah perasaan tidak percaya masyarakat terhadap ketegasan aparat dalam menegakan hukum. Banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum dan sebagainya. Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus main hakim sendiri. Tak bisa dipungkiri bahwa apa yang terjadi di masyarakat saat ini adalah cerminan dari hippermoralitas, hippermoralitas merupakan suatu keadaan atau situasi dimana anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk. Yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek. Semua serba abu abu. Hal itu membuat masyarakat yang menghakimi pencuri, pencopet atau penjambret menjadi seolah-olah merupakan tindakan yang benar. Padahal memukul hingga luka parah bahkan meninggal secara hukum dan moral tetap saja salah. Karena sama saja kita tidak jauh berbeda dengan mereka. Selain itu formalisme tersebut terjadi juga karena dampak reformasi yang sudah berlebihan. Dimana orang menjadi bebas melakukan sesuatu tanpa ada batasannya, padahal kebebasan itu tidak bisa sebebas-bebasnya tetapi ada batasannya. Aparat pemerintah yang semakin tidak berwibawa di kalangan masyarakat. Bahkan aturan yang ada menjadi tidak berfungsi Mencegah Tindakan Main Hakim Sendiri Tindakan main hakim sendiri tidak boleh terjadi di Indonesia yang katanya dikenal sebagai masyarakat yang beradab dan bermoral. Perlu ada kesadaran baik dari masyarakat maupun pemerintah, terutama aparat penegak hukum. Apalagi dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri Tahun 2013, pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah harus lebih tanggap. untuk mengantisipasi masalah tersebut, harus ada kerjasama antara tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. Tokoh-tokoh masyarakat tersebut harus mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dalam hal apapun tidak diperbolehkan. Tindakan dalam menangani sesuatu tetap tidak diperbolehkan, selain itu perlu ada keseragaman langkah dengan masyarakat antara lain:

1. pertama, pererat komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat. Beri kesadaran akan pentingnya penegak hukum bagi keamanan masyarakat. Intensitas komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat akan meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum di negeri ini. 2. Kedua, penegakan hukum yang tegas dan transparan. Penegakan hukum yang jelas atau sesuai dengan standar hukum yang berlaku akan memberikan kepuasan kepada masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan para penegak hukum. Dalam hal kasus penyerangan lapas Cebongan, transparansi sudah dilakukan dan hal tersebut mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Semoga ini bisa menjadi pemicu agar masyarakat tidak lagi menyelesaikan segala persoalan dengan main hakim sendiri Masih terjadinya sejumlah aksi kekerasan diatas, seharusnya dapat dicegah apabila tingkat kesadaran hukum masyarakat tinggi yang tentu harus dibarengi dengan ketegasan aparat penegak hukum. Demikian pula ketegasan pemimpin, yang akan membuat nyaman petugas penegak hukum dalam bertindak. Agar hukum dipercaya masyarakat, pemerintah dituntut serius membangun dan menguatkan sistem hukum yang berfungsi sesuai treknya; tidak ada diskriminasi terhadap siapa pun yang berurusan dengan hukum. Kita menunggu komitmen penguasa dan elite untuk bertindak konkret, sedikit bicara banyak kerja. Rakyat berharap hukum bukan sekadar produk politik untuk melindungi kepentingan tertentu, melainkan yang berkeadilan, melindungi semua orang dan golongan tanpa diskriminasi. kita tentunya tidak berharap negara yang kita cintai Indonesia hancur begitu saja, kita tentunya tidak mengharapkan negeri ini berada di ujung kehancuran, dimana hukum sudah tidak dianggap, hukum rimba berlaku dan merajalela, yang kuat menindas yang lemah, sehingga akhirnya kita menjadi homo homini lupus (manusia serigala) yang saling memangsa antara yang satu dengan yang lainnya. Tapi satu yg hal pasti, kalau kita semua tidak ada yg melakukan sesuatu apapun itu, baik itu dengan cara halus atau kasar dan sadar sendiri atau disadari oleh orang lain, maka tinggal tunggu waktu negara ini hancur dgn sendirinya. ibarat kaki borokan tapi di diamkan dan dibiarkan saja, lama-lama bisa diamputasi atau bahkan bisa menyebabkan kematian tragis. Sudah saatnya semua elemen berkomitmen untuk menyelamatkan negeri ini dari ujung kehancuran.

Anda mungkin juga menyukai