Anda di halaman 1dari 9

TANGISAN GENERASI TERBUNUH

Jalanan semakin hitam. Ban-ban hangus berserakan. Debu-debu hitam mencoreng warna yang telah kelam. Lembaran-lembaran kertas protes terbang bersama hembusan angin. Sebagaiman teriakan mereka, hilang mengambang. Menguap seperti air. Meneriakkan perubahan, reformasi katanya. Yah, mudahmudahan dapat memperbaiki tatanan negara ini yang telah timplang. Tapi sayangnya mereka juga merubah gedung mewah jadi sampah bangunan. Membuat isi toko jadi barang gratisan.

Semua ini tidaklah dimengerti oleh Ipan. Anak dua belas tahun ini sibuk lari dari toko yang satu ke toko lainnya. Menjarah apa saja yang bisa menghasilkan uang. Ia tersenyum lebar ketika dapat mengangkut TV berwarna dari toko mang Cik di depan. Sepetinya ia telah lupa dengan pelajaran PPKn disekolahan. Tapi apakah ia mengenal sekolah? Bukankah seharusnya ini masih jam belajar! Lantas, mengapa ia dijalanan? Ipan berlari berlumur peluh menuju kawanannya. Tiga sampai lima anak bersembunyi di bawah jembatan. Menunggu dengan cemas, setiap pasukannya datang membawa berkah dan selamat. Sementara hari yang terik seakan tak peduli pada teriakan-teriakan jaket kuning di tugu pancoran. Memanas, sepanas emosi semua manusia di sana. Namun beberapa takut-takut mengurung diri di kamar. Menonton televisi sambil makan kacang. Sesekali melihat jendela. Mengintai penjarah yang siap

mengambil semua jerih payahnya. Semua dalam keresahan saat ini. Sama seperti mahasiswa yang resah pada keadaan politik dan maruknya pemimpin bangsa. Seresah pedagang dengan barang dagangannya. Seresah pihak bersenjata tak tau harus berbuat apa. Seresah Ipan yang bingung toko mana lagi yang belum di jajakinya.

Ipan memutari pengunjuk rasa yang tak henti-hentinya beteriak. Menyelinap ia menuju jembatan. Ipan dengan gesit melompat ke rerumputan. Menjelajahi semak ditanah miring menuju selokan. Selokan yang kering air namun bertumpuk sampah. Mengeras menjadi tanah. Teman-temannya girang menyambut. Melambai-lambai menyuruhnya cepat datang.

Seorang yang paling besar menghampiri Ipan. Dibantunya mengangkat TV tujuh belas inchi yang menyangkut di Ipan tanpa kuitansi. Bagus, bagus. Mantap juga kerja lo. Ia memanggul TV dengan sumringah sambil berlari tergesa menuju jembatan. Dari mana ni barang?

Ipan menoleh. Masih tetap berlari. Toko mang Cik. Bicaranya tersenggal lemah. Nafasnya memburu. Cina pelit di depan sekolahan itu!

Anak tadi tertawa lepas menatap Ipan. Menertawakan nasib cina pelit yang meringkuk di kamar. Menertawakan nasibnya yang mujur dapat mencuri tanpa ditahan. Menertawakan masa depannya yang hilang dimakan jalanan.

Kasih jalan ma Burhan. Kasih tempat. Kasih tempat! Seorang anak kurus mengomando kawananya. Burhan, anak tinggi besar tadi meletakkan TV di tumpukan barang lainnya. Ada komputer, mini kompo, DVD player, gitar, bahkan beberapa bola basket bertumpuk disana.

Bud! Lo cari makan. Bawa Riski ma Bejo. Yang lain jaga barang. Gua cari bang Ripai dulu. Buruan!

Burhan layaknya jendral memberi perintah pasukannya. Tanpa melawan, mereka rela patuh pada seorang anak berpakaian lusuh, kotor, bahkan tidak taman sekolah dasar. Namun memiliki rasa sayang pada mereka dan pelindung yang tepat. Mereka tak patuh pada orang tua. Entah mereka di mana. Mereka juga tak patuh pada aturan negara. Meraka tak kenal norma-norma agama. Mereka hanya patuh pada tuntutan perut yang lapar karna negara tak memberi mereka makan. Sedangkan agama tak membuatnya kenyang. Merekalah anakanak yang tersingkirkan. Tersingkirkan cita-citanya dibabat habis koruptorkoruptor di atas kursi berlabelkan rakyat. Merekalah sebagian kecil dari ribuan anak tanpa pendidikan karna tak diperhatikan. Merkalah nyawa-nyawa generasi tanpa iman karna pemimpin merekapun tak memiliki moral. Untuk apa patuh pada mereka.

Dengan senang hati Abud, Riski dan Bejo menyisiri toko dan mini market. Mencari toko yang sudah mereka incar. Membukanya dengan paksa kemudian

mencari barang makanan yang belum sempat diangkut pemilik toko sialan. Ya. Pemilik toko sialan yang tiap pagi menyiram air comberan pada anak-anak ini yang memakai emperan tokonya tuk berteduh kalau-kalau hujan datang selagi mereka terlelap. Pemilik toko yang tak iba tuk beri mereka makan dan memandang masa depannya. Pemilik toko yang pantas diberi pelajaran kebangsaan dan kasih sayang dan bukan hanya pelajaran itung-itungan.

Woy, woy. Gudang. Barangnya da di gudang. Bejo memukul-mukul gerbang besi, penghalang ia dan tujuan. Sedangkan Abud yang badannya paling besar mencongkel celah yang ada dengan linggis yang telah dipersiapkannya. Bunyi berderak disambut gelak tawa ceria mereka. Gelak tawa yang seharusnya penuhi lapangan ketika anak-anak ini berlarian disana. Gelak tawa yang seharusnya menghiasi permainan-permainan mereka. Tapi ini gelak tawa ketika sebuah gerbang besi berhasil dibobolnya. Dengan gesit ketiga anak ini memasukkan apa saja yang dapat dimakan ke dalam goni-goni. Bersusah payah, dipanggulnya goni yang telah penuh sesak tuk dilaporkan kepada Jendral bahwa tugas mereka telah selesai. Meraka tak lagi bersusah payah mengais sampah seperti biasa. Ataupun ngamen diperempatan lampu merah. Merka tinggal ambil, ambil, aduh enaknya. Seenak koruptor-koruptor mengambil dana pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Seenak mereka mengambil dana Bulog sementara rakyat kelaparan. Imbasnya pada anak-anak yang belum tau dunia namun dipaksa matang sebelum berkembang.

Ligat lagi kerjanya. Keburu orang datang nanti. Ayo cepat! Bejo mendahului keluar toko disusul kedua rekannya. Berlari cepat dipinggiran. Menjauhi tatapan keramaian yang bergolak di jalanan.

Ini Han makanannya. Nafas Bejo terengah-engah. Dua lainnya telah merebah di permadani indah entah dari mana.

Bagus, bagus. Burhan merogoh sakunya lalu mengelurkan beberapa lembar uang Ni uang buat lo orang. Abud dan Riski langsung duduk terjaga. Tadi bang Ripai dah bawa semua barang. Mau dibawa ke lampung katanya.

Senyum senang anak-anak ini menggenggam uang ratusan. Meski hanya dua lembar, namun dua lembar inilah yang pertama dalam hidupnya.

Segini banyak Han? Abud terheran senang. Burhan hanya tersenyum lalu tertawa. Ayo semuanya makan! Makan enak kita hari ini.

Wajah-wajah

sumringah

meskipun

sedikit

ketolol-tololan

mereka

pancarkan ketika membuka kornet tapi tidak tau cara makannya. Menemukan sosis tapi dimakannya begitu saja. Seketika juga langsung dimuntahkan. Makanan orang kaya itu gak da yang enak. Itulah pikir mereka. Dengan lahap

mereka makan apa yang mereka suka. Semua larut dalam tawa hingga lelah dan terlelap. Adzan isya berkumandang.

Mentari pagi seakan tak sabar tuk bersinar. Menyambut pagi dengan kehidupan. Hening pagi ini. Tanpa teriakkan. Tanpa tuntutan. Isunya permintaan demonstran telah terdengar. Pemimpin siap turun jabatan. Tentara-tentara berbaris di jalanan. Cina-cina dan pemilik toko menghela nafas merasa lega. Bahkan beberapa diantaranya sudah ada yang membereskan puing-puing kaca yang berceceran di tokonya. Semoga keadaan kan kembali pulih pintanya. Tapi Burhan bersedih menatap semua. Pasukannya dibiarkan pulas, jangan terbangun dari mimpi indah. Biarkan perutnya kenyang dan tak berontak karena lapar. Biarkan selimut-selimut hangat lindungi tipisnya kulit dihembus angin. Biar pagi ini indah karna esok entah apa jadinya.

Hari berganti beriring jarum jam yang tak pernah lelah dan berhenti. Sudah sebulan lamanya sejak kerusuhan di Jakarta. Burhan dan kawanannya kembali membuat benteng di pinggiran rel kereta api. Mereka telah diusir dari jembatan kerena mengganggu pemandangan. Mereka kembali ke asal. Ke tanah orang tua. Tanah tanpa bukti kepemilikan. Tanah yang diwariskan dari leluhurleluhur. Tanah yang sepetak menanti digusur.

Kelakuan si kucing garong. Kalu liat mangsa mengeong. Main sikat. Main embat. Mangsa yang lewat. Kecrek, kecrek, kecrek. Ipan konser di pernpatan

lampu merah bersama kawan-kawannya. Kembali pada kehidupannya. Inikah seharusnya hidup mereka?

Woy! Seorang anak tinggi gendut berambut ikal berteriak menatap Bejo Jatah gua tuh. Minggir lo! Ditarik bahu Bejo yang telah siap lari menjamah bus kota yang ngetem di halte. Bejo jatuh berguling di aspal. Recehannya bertebar di jalanan. Gemerincingnya teredam oleh suara kendaran yang pemiliknya tidak ambil pusing dengan keadaan mereka. Hanya burhan yang berlari dan tanpa bicara langsung menghantam anak tadi. Anak itu tersungkur. Bibirnya pecah. Hujatan dan kata-kata kotor ia lontarkan lalu lari menghilang di kemacetan jalanan.

Lo gak papa Jo? Dibantunya Bejo memunguti logam demi logam yang berceceran.

Makasih ya Han. Kedua anak ini kembali bekerja.

Jingga merah merekah di barat. Langit redup sinarnya. Sebuah lampu minyak menerangi sebuah rumah kardus yang didiami tujuh orang anak. Anakanak yang direlakan orang tua kepergiannya. Anak-anak yang derelakan masyarakat terancam hidupnya. Mereka berkumpul dan berbagi makanan. Nasi dibasahi kuah sayur asem dari bik Tinah dan sepiring tempe adalah santapannya.

Coba ada demo lagi ya. Wah! Kita bisa makan enak tuh. Bener juga. Tapi gua gak mau makan yang lonjong merah itu. Ueh. Rasanya aneh, kayak tahi. Aduh-aduh yang udah pengalaman makan tahi mah tau.

Gelak tawa pecah. Tapi Burhan hanya tersenyum. Diabalik tawa ini ia tau anak-anak ini menangis. Menangis jika malam nanti tak dapat tidur karena udara yang dingin sekali. Menangis karena takut besok tak tau dapat makan lagi. Menangis karena takut Satpol PP datang bawa pasukan. Tapi Burhan biarkan mereka tertawa. Selagi masih bisa tertawa. Selesai makan anak-anak ini tertidur lelap. Lelah tubuh mereka dirasa. Kecuali Burhan. Ia keluar. Berjalan ia menuju taman. Di sana terdapat lampu taman yang terang benderang. Duduk ia bersandar menatap langit yang bertabur bintang. Beberapa muda-mudi yang berpacaran terlihat mesra di sekelilingnya. Dikeluarkannya sebuah buku dari balik bajunya. Buku otomotif. Buku yang burhan curi dari mang Pipin di simpang depan. Burhan dapat membaca. Ia putus sekolah kelas empat SD. Dikeluarkan karena nunggak bayar SPP. Kini usianya sudah menginjak empat belas tahun. Setiap pagi sesekali ia menatap anak-anak berseragam yang diantar orang tuanya ke sekolah. Anak-anak yang berada dirumah bukan dijalanan. Anak-anak yang diberi makan bukan menjarah toko untuk dapat makan. Anak-anak yang tidur dengan kasih sayang bukan anak yang dibiarkan terlantar.

Burhan membuka lembaran-lembaran bukunya. Sesekali ia berfikir, bagaimanakah masa depannya. Apakah hidupnya hanya sekitar perempatan, pasar impres atau terminal. Apakah masa depannya terus dijalanan? Masa depan yang tiada diperdulikan orang. Orang-orang yang dapat tidur nyenyak sementara anak-anak ini kedinginan. Orang-orang yang tak peduli pendidikan mereka dan sibuk menimbun harta. Lelah Burhan dengan semua. Dibuangnya buku otomotif dari genggamannya. Tangisnya pecah. Jiwanya berontak. Jiwa tanpa daya diambil kuasa kekejaman dunia. Dunia dengan koruptor dan masyarakat yang tak peduli masa depan mereka. Masa depan anak-anak sebagai generasi bangsa. Generasi yang menangis. Menangis karna terbunuh masa depannya.

Anda mungkin juga menyukai