Anda di halaman 1dari 5

Pemisahan campuran sangat penting dalam ilmu kimia dan industri.

Banyak sekali pekerjaan laboratorium maupun proses industri yang melibatkan pemisahan. Pemisahan campuran memerlukan pengetahuan dan keterampilan terutama jika harus memisahkan komponen dengan kadar yang sangat kecil. Untuk tujuan seperti itu telah dikembangkan beberapa cara pemisahan antaralain memisahkan zat padat dari suatu suspensi (penyaringan dan sentrifugasi), memisahkan zat padat dari larutan (Penguapan,kristalisasi dan rekristalisasi), memisahkan campuran zat cair (destilasi, destilasi bertingkat, corong pisah) dan memisahkan campuran dua zat padat (sublimasi, kristalisasi, kromatografi). Dari beberapa pemisahan tersebut metode yang membutuhkan pelarut diantaranya kristalisasi, rekristalisasi, dan kromatografi. Selain itu dalam proses ektraksi juga dibutuhkan pelarut. Pemurnian ini bertujuan untuk memisahkan zat dengan menggunakan jenis pelarut tertentu. Kristalisasi dan rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat yang jamak digunakan, dimana zat padat tersebut dilarutkan dalam suatu pelarut lalu dikristalkan kembali. Dalam memilih pelarut tersebut ada beberapa hal yang harus kita perhatikan diantaranya: hubungan antara jenis zat yang dilarutkan dengan pelarutnya, sifat kepolaran antara zat dan pelarut, pelarut biasanya memiliki titik didih rendah dan lebih mudah menguap, dan meninggalkan substansi terlarut yang didapatkan. Jika kita ingin membedakan antara pelarut dengan zat yang dilarutkan, maka bisa dilihat dari jumlahnya, pelarut biasanya terdapat dalam jumlah yang lebih besar dibanding zat terlarutnya. Dalam suatu pemisahan yang ideal oleh ekstraksi pelarut, seluruh zat yang diinginkan akan berakhir dalam satu pelarut dan semua zat pengganggu dalam pelarut yang lain. Dalam hal semacam ini, harus kita pertimbangkan cara terbaik untuk menggabung sejumlah pemisahan parsial yang berturut-turut sampai akhirnya kita capai derajat kemurnian yang kita dinginkan. Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Pelarut paling umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah air. Pelarut lain yang juga umum digunakan adalah bahan kimia organik (mengandung karbon) biasanya disebutpelarut organik. (http://wapedia.mobi/id/Pelarut) Konsentrasi larutan menyatakan secara kuantitatif komposisi zat terlarut dan pelarut di dalam larutan. Konsentrasi umumnya dinyatakan dalam perbandingan jumlah zat terlarut dengan jumlah total zat dalam larutan, atau dalam perbandingan jumlah zat terlarut dengan jumlah pelarut. Contoh beberapa satuan konsentrasi adalah molar, molal, danbagian per juta (part per million, ppm). Sementara itu, secara kualitatif, komposisi larutan dapat dinyatakan sebagaiencer (berkonsentrasi rendah) atau pekat (berkonsentrasi tinggi). Molekul komponen-komponen larutan berinteraksi langsung dalam keadaan tercampur. Pada proses pelarutan, tarikan antarpartikel komponen murni terpecah dan tergantikan dengan tarikan antara pelarut dengan zat terlarut. Terutama jika pelarut dan zat terlarut sama-sama polar, akan terbentuk suatu sruktur zat pelarut mengelilingi zat terlarut. Hal ini memungkinkan interaksi antara zat terlarut dan pelarut tetap stabil. Bila komponen zat terlarut ditambahkan terus-menerus ke dalam pelarut, maka tidak akan dapat larut lagi. Misalnya, jika zat terlarutnya berupa padatan dan pelarutnya berupa cairan, pada suatu

titik padatan tersebut tidak dapat larut lagi dan terbentuklah endapan. Jumlah zat terlarut dalam larutan tersebut adalah maksimal, dan larutannya disebut sebagai larutan jenuh. Titik tercapainya keadaan jenuh larutan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, seperti suhu,tekanan, dan kontaminasi. Secara umum, kelarutan suatu zat (yaitu jumlah suatu zat yang dapat terlarut dalam pelarut tertentu) sebanding terhadap suhu. Hal ini terutama berlaku pada zat padat, walaupun ada perkecualian. Kelarutan zat cair dalam zat cair lainnya secara umum kurang peka terhadap suhu daripada kelarutan padatan atau gas dalam zat cair. Kelarutan gas dalam air umumnya berbanding terbalik terhadap suhu. 2.2 Faktor-Faktor Pemilihan Pelarut Dalam pemilihan pelarut pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini: a. Selektivitas Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan komponen lain dari bahan ekstraksi. Dalam praktek, terutama pada ekstraksi bahan alami, sering juga bahan lain (lemak, resin) ikut dibebaskan bersama dengan ekstrak yang diinginkan. Dalam hal ini larutan ekstrak tercemar yang diperoleh harus dibersihkan, yaitu diekstraksi lagi dengan pelarut kedua. b. Kelarutan Pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar (kebutuhan pelarut lebih sedikit). c. Kemampuan tidak saling bercampur Pada ekstraksi cair cair, pelarut tidak boleh (atau hanya secara terbatas) larut dalam bahan ekstraksi. d. Kerapatan Pada ekstraksi cair-cair, sedapat mungkin terdapat perbedaan kerapatan yang besar antara pelarut dan bahan ekstraksi. Hal ini bertujuan kedua fase dapat dengan mudah dipisahkan kembali setelah pencampuran (pemisahan dengan gaya berat). Bila beda kerapatannya kecil, seringkali pemisahan harus dilakukan menggunakan gaya sentrifugal (misalnya dalam ekstraktor sentrifugal). e. Reaktivitas Pada umumnya pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia pada komponenkomponen bahan ekstraksi. Sebaliknya dalam hal-hal tertentu diperlukan adanya reaksi kimia (misalnya pembentukan garam) untuk mendapat selktifitas tinggi. Seringkali ekstraksi juga disertai dengan reaksi kimia. Dalam hal ini bahan dipisahkan mutlak harus berada dalam bentuk larutan. f. Titik didih Karena ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengancara penguapan, destilasi atau retifikasi, maka titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat dan keduanya tidak membentuk aseotrop. Ditinjau dari segi ekonomi, akan menguntungkan jika pada proses ekstraksi titik didih. g. Kriteria yang lain Pelarut sedapat mungkin harus murah, tersedia dalam jumlah besar, tidak beracun,tidak dapat terbakar, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif, tidak menyebabkan timbulnya emulsi, memiliki viskositas yg rendah dan stabil secara kimia maupun termis.

(Handojo, 1995: 180) Pengaruh pelarut aprotik terhadap titrasi bebas air adalah senyawa HCl yang dilarutkan akan tidak bereaksi dengan pelarut, karena itu kekuatan asamnya tidak berkurang. Sebagai ukuran untuk kekuatan asam adalah afinitas proton. Makin kuat proton terikat makin sedikit proton yang diberikan dan asamnya akan semakin meningkat / kuat. Begitupun dengan basa (Rivai, 1995). Dalam penitrasian bebas air, indikator bereaksi dengan H+ atau melepaskan H+, masing-masing disertai dengan terjadinya perubahan warna. Perubahan warna sangat tergantung dari jenis sampel. Oleh karena itu, pemilihan indikator secara empiris, yaitu menggunkan potensiometer bersama-sama dengan indikator visual yang diselidiki. Indkator yang diplih adalah yang memperlihatkan perubahan warna yang tajam dekat dengan titik ekuivalen. Untuk titrasi basa lemah dan garam-garamnya dapat digunakan crystal violet, methyl-rosaniline chloridee, quanalfine red, naphtholbenzein dan malchite green. Untuk basa-basa yang realtif lebih kuat dapat digunakan methyl red, methyl orange, dan thymol blue (Harmita, 2006). Reaksi yang terjadi pada titrasi bebas air dapat diterangkan dengan konsep dari Bronsted dan Lowry, yaitu bahwa asam adalah pemberi proton (proton donor) sedangkan basa adalah penerima proton (Proton acceptor) (Harmita, 2006). Maka akan terdapat konsentrasi yang lebih besar dari proton yang tersolvasi dalam pelarut tersebut. Jadi, bisa terlihat bahwa jika HB itu asam lemah untuk dititrasi dengan layak larutan berair, jika dapat meningkatkan keasamannya dan juga titrabilitasnya dengan memilih pelarut yang lebih basa dari air (Underwood, 1993). Pada pelarut asam lemah dan basa lemah dalam lingkungan bebas air harus diperhatikan pengaruh pelarut bukan air terhadap tetapan ionisasi, tetapan dissosiasi, tetapan asam asam dan basa senyawa yang hendak dititrasi. Yang tidak kalah penting adalah pengaruh konstanta dialetrik pada reaksi protolisis pada pelarut bukan air (Wunas, 1986). Titrasi bebas air atau titrasi non-Aqua adalah titrasi yang menggunakan pelarut organik sebagai pengganti air. Dengan pelarut organik tertentu, kekuatan asam atau basa lemah dapat diperbesar sehingga memungkinkan suatu titrasi yang tidak memuaskan dalam pelarut air. Dibidang farmasi teknik kini banyak dipakai karena banyak obat bersifat asam atau basa lemah yang suka larut dalam air. Dengan pemilih pelarut yang tepat, penetapan kadar dari komponen campuran asam atau basa juga dimungkinkan. Teori asam-basa dari arrhenius ternyata tidak berhasil menjelaskan sifat karakteristik dari asam dan basa dalam pelarut organik. Dalam hal ini, teori yang umum telah dikemukakan oleh bronsted. Menurut teori ini, asam adalah pemberi proton, sedangkan basa adalah penerima proton (Anonim, 2012). Dalam pemilihan pelarut, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu sifat asam-basa dari pelarut. Untuk menitrasi basa lemah, maka dipilih pelarut yang lebih bersifat asam dan demikian pula sebaliknya. Misalnya, pada titrasi basa lemah, asam asetat lebih baik daripada air, Tetapan dan

autoprotolisis serta Tetapan dielektrik. Asam perklorat sejauh ini merupakan asam yang telah luas digunakan untuk titrasi basa lemah, karen asam ini adalah asam yang sangat kuat yang sangat mudah didapat. Basa lemah dititrasi paling sering dalam larutan asam asetat glasial. Normalnya pengaruh temperatur pada volume titran teukur dapat diabaikan dengan diabaikan dengan larutab berair pada variasi temperatur kamar basa. Pelarut organik seperti asam asetat, benzena, dan metanol sebaiknya mempunyai koefisien ekspansi ternal yang agak besar, dan perubahan volumenya tidak bisa diabaikan jika titran tersebut berada pada temperatur standarisasinya (Underwood, 1993) Titrasi titrimetri dalam lingkungan bebas air, pelarut mengambil bagian yang amat penting untuk reaksi stoikiometri, dimana pelarut tersebut dapat mengambil bagian dalam reaksi. Ada tiga teori yang menerangkan reaksi netralisasi dalam suatu pelarut yaitu teori ikatan hidrogen, teori Lewis dan teori Bronsted. Penggunaan pelarut aprotik pada titrasi bebas air memberikan dua keuntungan. Pelarut tidak mempunayi efek menyetingkatkan keasaman/kebasaan asam basa yang bereaksi sesamanya. Garam yang terjadi pada titrasi tidak akan diuraikan secara protolitik oleh pelarut. Kerugiannya adalah sifat yang sedikit polar atau non polar yang mempunyai daya pelarutan kecil uuntuk protolit dan pendesakan kembali disosiasi. Disebabkan terdesaknya kembali disosiasi, maka kemampuan hantaran suatu larutan akan sangat dikurangi, sehingga misalnya penentuan potensiometri suatu titrasi tidak mungkin dilakukan (Roth, 1988). Seperti telah diuraikan diatas, kekuatan asam basa ditentukan pula oleh kemampuan pelarut untuk menerima dan melepaskan proton. Berdasarkan hal ini maka pelarut dapat dibedakan menjadi (Anonim, 2012) : 1. Pelarut protogenik, adalah pelarut yang mudah memberikan proton. Misalnya : asam-asam 1. Pelarut protofilik, adalah pelarut yang mudah menerima proton. Misalnya : basa-basa, eter, keton 1. Pelarut amfiprotik, adalah pelarut yang dapat menerima maupun memberikan proton. Misalnya : air, asam asetat, alkohol 1. Pelarut aprotik, adalah pelarut yang tidak dapat menerima maupun memberikan proton. Misalnya : kloroform, benzen, dioksan Digunakan pelarut organic bukan air karena senyawa tersebut tidak dapat larut dalam air, disamping itu kurang reaktif dalam air seperti misalnya garam-garam amina, dimana garamgaram ini dirombak lebih dahulu menjadi basa yang bebas larut dalam air, sari dengan pelarut organik lain dan direaksikan dengan asam baku berlebih, yang kemudian pelarutnya diuapkan dan barulah kelebihan asam ditentukan kembali dengan basa baku sedangkan senyawa-senyawa organik yang mengandung nitrogen ditentukan dengan metode Kjeldahl. (Dhanar Dani, 1998).

Anda mungkin juga menyukai