Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENGOBATAN MANDIRI BATUK

Di susun oleh : Rita Della Valentini Rotua Winata Nopelia Silitonga Francisca Devi Permata 108114012 108114013 108114015

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013

DAFTAR ISI

Halaman Judul.1 Daftar Isi..2 A. Definisi Batuk..3 B. Mekanisme Batuk.3 C. Penyebab Batuk....4 D. Jenis Jenis Batuk....5 E. Terapi a. Terapi Non-Farmakologis....6 b. Terapi Farmakologis....6 DAFTAR PUSTAKA.15

A. Definisi Batuk Batuk merupakan mekanisme tubuh dalam merespon iritan yang masuk ke dalam tenggorokan dan saluran pernapasan berupa dorongan udara yang kuat dari dalam paru untuk mengeluarkan iritan tersebut (Djunarko, 2011). Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga jalan napas tetap terbuka (paten) dengan cara menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk pada jalan napas. Tidak hanya lendir yang akan disingkirkan oleh refleks batuk tetapi juga gumpalan darah dan benda asing. Namun, sering terdapat batuk yang tidak bertujuan untuk mengeluarkan lendir maupun benda asing, seperti batuk yang disebabkan oleh iritasi jalan napas. Jalan napas dapat menjadi hiperaktif sehingga hanya dengan iritasi sedikit saja sudah dapat menyebabkan refleks batuk. Daerah pada jalan napas yang peka terhadap rangsangan batuk adalah laring, karina, trakea, dan bronkus utama. Selain pada jalan napas, daerah yang juga dapat merangsang batuk adalah pleura, membran timpani, dan terkadang iritasi pada visera juga menimbulkan refleks batuk (Djojodibroto, 2007). B. Mekanisme Batuk Mekanisme batuk memerlukan adanya penutupan glottis dan peningkatan tekanan intratoraks (sebagi elemen eksplosif). Jika terdapat kelumpuhan pita suara, elemen eksplosif batuk tidak terjadi dan keadaan seperti ini disebut sebagai bovine cough. Paralisis motorik pada laring biasanya disebabkan oleh terganggunya nervus laringeus rekuren kiri, karena terdapat karsinoma bronkial pada region hilus kiri, aneurisma aorta karena sifilis, karsinoma esophagus, karsinoma tiroid atau dapat juga karena adanya pembengkakan mediastinum (mediastinal swelling) (Djojodibroto, 2007). Batuk merupakan suatu refleks kompleks yang melibatkan banyak sistem organ. Batuk akan terbangkitkan apabila ada rangsangan pada reseptor batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan impuls ke pusat batuk tersebar difus di medula. Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls diteruskan ke efektor batuk yaitu berbagai otot respiratorik (Phelan, 1994, Irwin, 1998). Bila rangsangan pada reseptor batuk ini berlangsung berulang maka akan timbul batuk berulang, sedangkan bila rangsangannya terus menerus akan menyebabkan batuk kronik. Anatomi refleks

batuk telah diketahui secara rinci. Reseptor batuk terletak dalam epitel respiratorik, tersebar di seluruh saluran respiratorik, dan sebagian kecil berada di luar saluran respiratorik misalnya di gaster. Lokasi utama reseptor batuk dijumpai pada faring,
3

laring, trakea, karina, dan bronkus mayor. Lokasi reseptor lainnya adalah bronkus cabang, liang telinga tengah, pleura, dan gaster (Chung, 2003, Cloutier, 1994). Ujung saraf aferen batuk tidak ditemukan di bronkiolus respiratorik ke arah distal. Berarti parenkim paru tidak mempunyai resptor batuk (Irwin, 1998). Reseptor ini dapat terangsang secara mekanis (sekret, tekanan), kimiawi (gas yang dapat bermanifestasi sebagai batuk). Sebagian besar etiologi berasal dari sistem respiratorik, namun tidak boleh dilupakan kelainan atau penyakit dari sistem lain yang memberikan gejala batuk. Untuk mendeteksi etiologi batuk, pemahaman tentang mekanisme batuk, termasuk lokasi reseptor batuk sangat penting diketahui. Ingat bahwa batuk kronik juga dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit di luar sistem respiratorik. Batuk merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada infeksi jalan napas atas. Jika batuk tidak hilang selama tiga minggu sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto bronkus untuk menentukan kemungkianan adanya tuberkulosis, karsinoma bronkus atau penyakit paru lain. Batuk juga terjadi pada perokok yang biasanya menganggap batuknya sebagai batu normal (Djojodibroto, 2007). C. Penyebab Batuk Batuk adalah reaksi protektif normal terhadap iritasi tenggorokan atau paruparu. Pada bayi usia di bawah 6 bulan, batuk adalah hal yang tidak wajar dan bisa menandakan ada infeksi serius diparu-paru bila si bayi tampak tidak sehat. Pada anak yang lebih besar, kebanyakan batuk disebabkan infeksi ringan tenggorokan atau saluran pernafasan atas, misalnya pilek. Hidung berlendir bisa menyebabkan batuk, terutama di malam hari karena lendir turun melalui belakang tenggorokan dan menimbulkan iritasi. Batuk dimalam hari, walaupun tidak disertai bengek, bisa merupakan gejala asma, dan harus diperiksakan bila membuat anda cemas (Smith, 20005). Refleks batuk dapat ditimbulkan oleh : 1) Mekanik : stimulasi pada reseptor iritan pada epitel permukaan saluran napas, oleh debu, asap, distorsi saluran napas, fibrosis paru, atelektasis atau massa intrabronkial. 2) Proses inflamasi : seperti post nasal drip, refluks gastro esophageal, laryngitis, trakeobronkritis. 3) Stimulasi psikogenik : rangsangan psikogenik dapat meningkatkan batuk karena stimulasi mekanis dan inflamasi.

(Djojodibroto, 2007). Jika ditemukan gejala batuk maka perlu dicermati : 1. Apakah rangsangan batuknya pada rongga dada, nasofaring,atau telinga. 2. Telah berapa lama 3. Kapan terjadinya, siang hari, malam hari atau keduanya 4. Batuk berlangsung persisten atau intermiten 5. Apakah menimbulkan rasa nyeri 6. Apakah terdapat kemungkinan bahwa batuk disebabkan oleh benda asing yang masuk ke dalam sistem pernapasan (Djojodibroto, 2007). D. Jenis-Jenis Batuk Menurut lamanya, batuk dibagi menjadi 2 jenis : 1. Batuk akut (<3 minggu) 2. Batuk kronik (> 3 minggu) Secara umum, batuk dibedakan menjadi 2 jenis batuk, yaitu : 1. Batuk produktif (dengan dahak) merupakan suatu mekanisme perlindungan dengan fungsi mengeluarkan zat-zat asing (kuman, debu, dsb) dan dahak dari batang tenggorokan. Batuk ini pada hakekatnya tidak boleh ditekan oleh obat pereda. Tetapi dalam praktek sering kali batuk yang hebat menggangu tidur dan meletihkan pasien ataupun berbahaya, misalnya setelah pembedahan. Untuk meringankan dan mengurangi frekuensi batuk umunya dilakukan terapi simtomatis dengan obat-obat batuk (antitussiva), yaitu zat pelunak, ekspektorasia, mukolitika, pereda batuk (Tjay, 2007).

2. Batuk non-produktif bersifat kering tanpa adanya dahak, misalnya pada batuk rejan (pertussis, kibkhoest), atau juga karena pengeluarannya memang tidak mungkin, seperti pada tumor. Batuk menggelitik ini tidak ada manfaatnya, menjengkelkan dan sering kali menggangu tidur. Bila tidak diobati, batuk

demikian akan berulang terus karena pengeluaran udara cepat pada waktu batuk akan kembali merangsang mukosa tenggorakan dan faring (Tjay, 2007). E. Terapi a. Terapi Non-Farmakologis Minum banyak cairan (air putih atau sari buah), jangan minum soda atau kopi Berhenti merokok Hindari makanan yang merangsang batuk (berminyak atau dingin) Hindari penyebab-penyebab alergi (udara dingin dan debu) Tutup dengan tisu atau saputangan apabila batuk (Djunarko, 2011)

Hal-hal lain yang dapat dilakukan : Inhalasi uap air (mendidih), dihirup untuk memperbanyak secret yang diproduksi di tenggorokan. Untuk meningkatkan efek inhalasi sering dibubuhkan minyak atsiri atau mentol pada air mendidih , agar uapnya turut dihirup dan menimbulkan vasodilatasi serta perasaan lega di saluran napas (Tjay, 2007). b. Terapi Farmakologis 1. Untuk batuk berdahak (produktif) digunakan obat obat-obatan golongan mukolitik yang berfungsi sebagai pengencer dahak dan ekspektoran yang berfungsi untuk membantu mengeluarkan dahak, zat pelunak dan pereda batuk. Zat pelunak batuk (emolliensia, L. mollis = lunak), yang memperlunak rangsangan batuk, melumas tenggorokan agar tidak kering dan melunakkan mukosa yang teriritasi. Untuk tujuan ini banyak digunakan sirop (Thymi dan Altheae), zat-zat lender (Infus Carrageen) dan gula-gula seperti drop (akar manis, succus liquiritiae), permen, pastilles hisap (memperbanyak sekresi ludah).
6

Golongan Mukolitik Terdiri dari kandungan asetilsistein, mesna, bromheksin dan

ambroksol. Zat-zat ini berdaya, merombak dan melarutkan dahak sehingga viskositasnya dikurangi dan pengeluarannya dipermudah. Lendir memilki gugus-sulfhidril (-SH) yang saling mengikat makromolekulnya. Senyawa-sistein dan mesna berdaya membuka jembatan-disulfida ini. Bromheksin dan ambroksol bekerja dengan jalan memutuskan serat-serat (rantai panjang) dari

mucopolysaccharida. Mukolitika digunakan dengan efektif pada batuk dengan dahak yang kental sekali, seperti pada bronchitis, emfisema, dan mucoviscidosis (= cystic fibrosis) (Tjay, 2007). a. Asetilsistein (Fluimucil), Mesna (Mistabronco) Penggunaan terapi : 1. Mukolitik pada penyakit jalan pernapasan 2. Mukovisidosis 3. Asetilsistein : antidot pada keracunan dengan parasetamol; Akhrilnitril dan Metakrilnitril; Metil bromida, mencairkan dahak yang liat, berdaya antioksidan, memperbaiki bulu getar (cilia) dan membantu efek antibiotika Dosis : oral 3-6 dd 200 mg atau 1-2 dd 600 mg granulat, anak-anak 2-7 tahun 2 dd 200 mg, di bawah 2 tahun 2 dd 100 mg. Farmakodinamika : Mekanisme kerja : pengurangan viskositas mucus bronchial karena pemutusan jembatan-jembatan disulfida secara reduksi pada bagian protein dari glikoprotein. Penggunaan secara inhalasi, hanya asetilsistein per oral. Efek samping : 1. Gangguan GI, alergi, bronkospasme (pada penderita asma) 2. Asetilsistein : rhinitis, stomatitis 3. Mesna : pewarnaan kuning pada gigi

Kontraindikasi : 1. Asetilsistein : Awas: Penggunaan pada neonatus hanya dengan indikasi vital. 2. Mesna : status asmatikus, asma tanpa pengumpulan dahak, kelemahan ekstrem atau hambatan lain untuk mengeluarkan batuk (hanya bila ada kemungkinan aspirasi bronkus) Interaksi : Asetilsistein : karena gangguan absorpsi, Tetrasiklin dan Sefalosporin hanya boleh diberikan dengan jarak waktu 2 jam. b. Karbosistein (Transbrochin) Merupakan derivate dengan daya mukolitis yang lebih lemah dan penggunaan yang sama. Mungkin efeknya terhadap lambung lebih jarang terjadi. Plasma t1/2 nya 2 jam Efektivitasnya masih sangat diragukan, dikatakan dapat mengencerkan dan memperbanyak sekret sebagian hanya merupakan plasebo. Dosis : oral 3-4 dd 750 mg, anak-anak 3 dd 100-375 mg. Efek samping : nyeri kepala, gangguan GI, alergi Tidak boleh diberikan apabila ada kecenderungan tukak lambung c. Bromheksin (Bisolvon), Ambroksol (Mucosolvan) Pengguanaan terapi : 1. Sekretolitik pada infeksi jalan pernapasan yang akut dan kronis serta pada penyakit paru dengan pembentukan mukus berlebihan. 2. Mucosolvan Amp : Sindrom krisis pernapasan pada bayi premature dan neonates untuk menstimulasi zat-zat yang bekerja aktif pada permukaan (surfaktan) di alveoli. 3. Bila digunakan per inhalasi efeknya sudah tampak setelah 20 menit, sedangkan bila per oral baru setelah beberapa hari dengan berkurangnya rangsangan batuk. 4. Dalam hati zat ini dirombak praktis tuntas menjadi metabolit aktif ambroxol yang juga digunakan sebagai mukolitikum.
8

bronkial, namun

Farmakodinamika : Efek-efek : pengurangan viskositas dahak, stimulasi pada sekresi; gerakan siliar; pembentukan surfaktan, mungkin perbaikan penangkalan imunologis setempat. Efek samping : jarang alergi : keluhan lambung-usus, perasaan pusing dan berkeringat. Pada inhalasi dapat terjadi

bronchokontriksi ringan. Farmakokinetika : Absorpsi oral 100 % 100 % Ikatan protein plasma 99 % 90 % T 1 jam 9 jam (metabolit aktif) Eliminasi Ginjal (metabolit) Ginjal (metabolit)

Bromheksin Ambroksol

Dosis bromheksin: dewasa : 8-16 mg diminum 3-4 x sehari 1 tablet anak-anak (5-10 tahun) : 4 mg diminum 2 x sehari, apabila perlu (apabila batuk) (Djunarko, 2011).

Golongan ekspektoran Terdiri dari kandungan minyak terbang, guaikol, radix Ipeca (dalam tablet/ pulvis Doveri), dan ammonium klorida (dalam Obat Batuk Hitam). Zat-zat ini memperbanyak produksi dahak (yang encer) dan dengan demikian mengurangi kekentalannya, sehingga mempermudah pengeluarannya dengan batuk. Mekanisme kerjanya adalah

merangsang reseptor-reseptor di mukosa lambung yang kemudian meningkatkan kegiatan kelenjar-sekresi dari saluran lambung-usus dan refleks memperbanyak sekresi dan kelenjar yang berada di saluran napas. Kegiatan ekspektoransia dapat dipicu dengan meminum banyak air (Tjay, 2007). a. Air, larutan NaCl 0,7-2 %, larutan NaHCO3 2-5 %
9

1. Efek ekspektoran tercapai dengan jalan inhalasi (larutan hipertonis atau isotonis) 2. Pengenceran sekret bronkial secara langsung atau osmotik 3. Bahaya bronkospasmus pada orang yang peka, pasien asma b. Guaifenesin (Gufen), Guaiakolat (Anastil) 1. Merangsang selaput lendir lambung, sehingga sekresi bronkial naik melalui refleks parasimpatik 2. Guaifenesin, eter gliserin dari guaikolat, masih dapat terdapat dalam banyak sediaan kombinasi, misalnya Cito-Guaikalin Sirup Obat Batuk, efektivitas klinisnya memang masih di ragukan. Dosis Gliseril Guaikolat atau Guaifenesin: dewasa : 100 mg diminum 3 x sehari anak-anak (6-12 tahun) : 50 - 100 mg diminum 3 x sehari anak-anak (2-6 tahun) : 50 mg diminum 3 x sehari (Djunarko, 2011). Efek samping : sedasi, gangguan GI, muntah yang dapat dikurangi bila diminum dengan segelas air. c. Minyak atsiri, simplisia yang mengandung saponin 1. Pada batuk : minyak atsiri yang berkhasiat mengandung Adas wangi, Adas, Eukaliptus, Menthae piperitae, Salvia dan Timi. 2. Cara kerja : ekspektorasia dengan stimulasi sekresi langsung dan efek rangsangan nonspesifik terhadap mukosa, sebagian antiseptik, mengendorkan kejang, anestetik lokal. 3. Simplisia yang mengandung saponin: akar Senegal, bunga Primula veris, kayu manis. 4. Minyak atsiri/ terbang banyak digunakan dalam sirop batuk atau juga sebagai obat inhalasi uap (obat sedot) 5. Efek : merangsang mukosa GI, sehingga melalui refleks vagal terjadi stimulasi kelenjar lendir di bronki. d. Amoniumklorida (NH4Cl), Kalium iodide (KI) 1. Penimbunan ion-ion di sel-sel yang memproduksi lendir di selaput lendir bronkial dan stimulasi sekresi langsung
10

2. Amoniumklorida : berdaya diuretic lemah yang menyebabkan acidosis, yakni kelebihan asam dalam darah. Keasaman darah merangsang pusat pernapasan, sehingga frekuensi napas meningkat dan gerakan bulu getar (cilia) di saluran napas distimulasi. Sekresi dahak juga menungkat. Maka senyawa ini banyak digunakan dalam sediaan sirop batuk, misalnya Obat Batuk Hitam. Dosis : oral 3-4 dd 100-500 mg, maksimal 3 g sehari. 3. Kalium iodida : iodida menstimulasi sekresi mukus di cabang tenggorakan dan mencairkannya, tetapi sebagai obat batuk (hampir) tidak efektif. Namun, obat ini banyak digunakan dalam sediaan batuk, khususnya pada asma, meskipun resiko akan efek samping besar sekali. Dosis: pada batuk oral 3 dd 0,5-1 g, maksimal 6 g sehari. Bagi pasien yang tidak boleh diberikan KI, obat ini dapat dganti dengan Natriumiodida dengan khasiat yang sama. Efek samping tidak boleh diabaikan : NH4Cl : muntah, haus, nyeri kepala, linglung; dosis lebih tinggi: asidosis dengan hiperventilasi; pemakain jangka panjang; hipokalemia. KI : gangguan pada kelenjar tiroid, struma, urticaria dan iod-akne dan hiperkalimea (pada fungsi gunjal buruk). e. Emetin 1. Pada dosis rendah (0,5-2 mg, sebagai emetic 20-30 mg) melalui refleks vagal bekerja sebagai ekspektoran 2. Satu-satunya sediaan Ekspektoran Solucampher tidak lagi diperdagangkan, yang masih tersedia hanya sebagai Siripus Ipecacuanhae. (Schmitz, 2008). 2. Untuk batuk kering (non-produktif) digunakan obat-obatan golongan antitusif yang berfungsi sebagai penekan batuk. Klasifikasi antitusif : a. Antitusif yang bekerja sentral
11

Memiliki efek meredam pada pusat batuk di medulla oblongata. Opoid Noskapin (Capval) Penyakit jalan pernafasan yang akut, kronis; batuk iritasi, batuk rejan, asma bronkial; tindakan prabedah dan pascabedah, bronkoskopi pada fraktur tulang rusuk. Dosis : oral 3-4 kali sehari 15-50 mg, maksimal 250 mg. Farmakodinamik : Efek-efek : antitusif sentral; alkaloid opium tanpa efek analgesik, sedatif maupun adiktif, merangsang lemah pada pernafasan, bronkodilator. Efek samping : Kadang-kadang nyeri kepala, nausea, linglung, vertigo, eksantem. Kontraindikasi : Kehamilan, masa menyusui (Schmitz, 2008).

Dekstrometorfan (Arpha Sirup Obat Batuk, Wick Formel 44 Penekan Batuk) Bekerja dengan menekan pusat batuk di otak dan membantu meringankan batuk kering. Dosis Dekstrometorphan HBr : o dewasa : 10-20 mg diminum 3 x sehari 1 tablet, jika perlu. o anak-anak (2-6 tahun) : 3-4 kali sehari 8 mg o anak-anak (6-12 tahun) : 5-10 mg diminum 3 x sehari, jika perlu (jika batuk). Dalam bentuk sirop Dekstrometorphan HBr tersedia dalam dosis 10 mg/5 ml sirop. Dosis untuk anak-anak (6-12 tahun) 2,5-5 ml (1/2 1 sendok takar). Dosis untuk dewasa 5 10 ml jika perlu diminum 3 x sehari. Pemakaian Dekstrometorphan HBr berlebihan dapat

menyebabkan penurunan refleks bernapas.selain itu, tidak digunakan untuk menangani batuk berdahak karena

dikhawatirkan dengan menekan batuk, dahak yang ada di


12

saluran pernapasan tidak dapt dikeluarkan dan akan membuat penderita sulit bernapas (Djunarko, 2011).

Penggunaan terapi : batuk merangsang (menyerupai kejang) Farmakodinamika : Efek: derivate morfin sintetik dengan efek antitusif sentral Farmakokinetika :

Dekstrometorfan

Lama kerja Dewasa 56 jam, Anakanak 6-9 jam

Absorpsi oral Baik

Metabolisme Ya

Eliminasi Ginjal (metabolit)

Efek samping : 1. Kadang-kadang rasa lelah, vertigo, mual, pengurangan nafsu makan, keluhan lambung-usus, muntah 2. Tidak menyebabkan ketergantungan Interaksi : 1. Zat penghambat MAO, keadaan emosional dan hiperpireksi 2. Obat penekan sentral : saling menguatkan efek Kontraindikasi : asma bronkial, kerusakan hati (Schmitz, 2008). b. Antitusif yang bekerja sentral dan/ atau perifer Penghambatan terhadap penerimaan rangsang pada ujung saraf yang sensitive atau hantaran rangsang di serabut saraf aferen; selain itu, efek antitusif sentral terdapat dalam kekuatan yang berbeda-beda Secara kimia, obat ini termasuk golongan yang sangat beragam. Banyak di antaranya selain berefek antitusif juga mengandung komponen

bronkospasmolitik, analgetik lemah atau lokal anestetik. Emolliensia Serbuk yang berwarna hitam ini diperoleh dari ekstrak akar tumbuhan Glycyrrhiza glabra (akar manis). Banyak digunakan sebagai salah satu
13

komponen dari sediaan obat batuk guna mempermudah pengeluaran dahak dan sebagai bahan untuk memperbaiki rasa Efek samping : pada dosis lebih tinggi dari 3 d sehari berupa nyeri kepala, udema, dan terganggunya keseimbangan elektrolit, akibat efek mineralkortikoid dan hipernatriemia dari asam glycyrrizinat. Dosis: oral 1-3 g sehari. Klobutinol (Silomat) Penggunaan terapi : 1. Batuk pada infeksi kataral ari saluran napas bagian atas 2. Untuk bronkoskopi juga i.v., i.m. atau s.k Farmakodinamik : Efek-efek : 1. Antitusif sentral, efek sekuat kodein 2. Tidak menyebabkan ketagihan, kelumpuhan pernapasan, sedasi atau obstipasi Farmakokinetik Lama kerja Klobutinol 4-56 jam Absorpsi oral Cepat dan lengkap Eliminasi 80 90 % di ginjal

Efek samping: jarang rasa lelah, vertigo, gangguan tidur, keluhan GI. Toksisitas : pada overdosis dapat terjadi gejala perangsangan sentral, konvulsi dan instabilitas peredaran darah.untuk terapi dianjurkan : 1. Pada kejang diazepam i.v. 2. Tindakan penunjang sirkulasi 3. Tindakan pengeluaran racun apabila yang ditelan dalam jumlah yang besar : bilas lambung Kontraindikasi : keahamilan trimester ke-1. Pentoksiverin (Sedotussin)
14

Penggunaan terapi : batuk, batuk rejan Farmakodinamika : Efek-efek : efek pada refluks batuk dengan jalan menekan ambang rangsang di pusat rangsang batu. Selain itu, juga bekerja bronkodilator lemah. Efek samping : kadang-kadang sedative, keluhan GI, alergi Kontraindikasi : 1. Masa menyusui 2. Neonates dan bayi berusia dibawah 4 bulan Interaksi : penguatan efek sedasi dari dan oleh obat yang menekan sentral Yang lain: Benproperin, Butetamat, Dropropizin, Natriumdibunat, Okseladin, Pipazeta (Schmitz, 2008). Daftar Pustaka Chung, K., 2003, The clinical and pathophysiological challenge of cough. Dalam: Chung, K.F., Widdicombe, J., Boushey,H., Penyunting. Cough. Massachusetts: Blackwell Publishing,pp. 3-10. Cloutier, M.M., 1994, Cough. Dalam: Loughlin GM, Eigen H. Penyuntings, Respiratory disease in children. Baltimore. Williams & Wilkins. Djojodibroto, R. D., 2007, Respirologi (Respiratory Medicine), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 53-55. Djunarko, I. dan Y. Dian Hendrawati, 2011, Swamedikasi yang Baik dan Benar, PT. Citra Aji Parama, Yogyakarta, pp. 34-37. Irwin, R.S., dan Boulet, L.P, 7tier,M.M., 1998 , Managing cough as a defense mechanism and as a symptom, A consensus panel report of the American College of Chest Physicians. Chest, pp. 114:133S-181S. Phelan PD. Cough. Dalam: Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF, 1994, Penyunting Respiratory illness in children, Oxford: Blackwell S Publications Smith, T. dan Sue Davidson, 2005, Dokter di rumah Anda, Dian Rakyat, Jakarta, pp. 108. Tjay, T. H. dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya, Edisi ke enam, Gramedia, Jakarta, pp. 660.

15

Anda mungkin juga menyukai