Anda di halaman 1dari 18

PERKEMBANGAN PROGRAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT Direktorat Gizi Masyarakat-Depkes RI

I. PENDAHULUAN

Pembangunan suatu bangsa merupakan upaya pemerintah bersama masyarakat dalam mensejahterakan bangsa. Keberhasilan pembangunan nasional ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Indikator yang digunakan untuk pengukur tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain indeks kualitas hidup atau yang lebih dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Pada dasarnya IPM dan IKM mempunyai komponen yang sama, yaitu angka harapan hidup (tingkat kesehatan), penguasaan ilmu pengetahuan (tingkat pendidikan) dan standar kehidupan yang layak (tingkat ekonomi), Pada IPM standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita, sementara IKM diukur dengan persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih, fasilitas kesehatan dan balita kurang gizi. Pada tahun 2003 IPM Indonesia pada peringkat 112 dari 175 negara, sementara IKM pada peringkat 33 dari 94 negara, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti pada tabel berikut; Negara Singapore Brunei Darussalam Malaysia Thailand Philipine Vietnam Indonesia Cambodia Myanmar Laos IPM 88.4 87.2 79.0 76.8 75.1 68.8 68.2 55.6 54.9 52.5 peringkat 28 31 58 74 85 109 112 130 131 135 IKM 6.3 12.9 14.8 19.9 17.9 42.8 25.7 40 Peringkat 6 24 28 39 33 73 45 66

Tiga faktor utama penentu IPM yang dikembangkan UNDP adalah tingkat pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut erat kaitannya dengan status gizi masyarakat. Salah satu prioritas pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah upaya perbaikan gizi yang berbasis pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Kurang gizi berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat pada kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian. Seperti halnya di negara berkembang lain, di Indonesia masalah gizi utama adalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kekurangnan Yodium (GAKY) dan pada kota-kota besar sudah mulai terjadi masalah gizi lebih.

II. PENYEBAB MASALAH GIZI

Dampak
Makan Tidak Seimbang

KURANG GIZI

Penyebab langsung

Penyakit Infeksi

Penyebab Tidak langsung

Tidak Cukup Persediaan Pangan

Pola Asuh Anak Tidak Memadai

Sanitasi dan air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak memadai

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Pokok Masalah di Masyarakat

Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Akar Masalah (nasional)

Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial

Masalah gizi merupakan masalah yang multi dimensi, dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab. Penyebab langsung gizi kurang adalah makan tidak seimbang, baik jumlah dan mutu asupan gizinya, di samping itu asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat adanya penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah tidak cukup tersedianya pangan di rumah tangga, kurang baiknya pola pengasuhan anak terutama dalam pola pemberian makan pada balita, kurang memadainya sanitasi dan kesehatan lingkungan serta kurang baiknya pelayanan kesehatan. Semua keadaan ini berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan. Akar masalah gizi adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk kejadian bencana alam, yang mempengaruhi ketidak seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balit a. Kemiskinan dan kurang gizi merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh karena itu meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat kaitannya dengan upaya peningkatan ekonomi. Beberapa penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa proporsi bayi dengan BBLR berkurang seiring dengan peningkatan pendapatan nasional suatu negara.

Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi sebagai dampak dari berkurangnya kurang gizi dapat dilihat dari dua sisi, pertama berkurangnya biaya berkaitan dengan kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan produktivitas. Manfaat ekonomi yang diperoleh sebagai dampak dari perbaikan status gizi adalah: berkurangnya kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya perawatan untuk neonatus, bayi dan balita, produktivitas meningkat karena berkurangnya anak yang menderita kurang gizi dan adanya peningkatan kemampuan intelektualitas, berkurangnya biaya karena penyakit kronis serta meningkatnya manfaat intergenerasi melalui peningkatan kualitas kesehatan. Berdasarkan analisis HL Bloomm (1978) menunjukan bahwa status kesehatan termasuk status gizi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, perilaku , pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Faktor lingkungan antara lain lingkungan fisik, boilogis dan sosial memegang peranan yang terbesar dalam menentukan status kesehatan dan gizi, selanjutnya faktor yang cukup berpengaruh adalah faktor perilaku yang berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan yang menentukan perilaku seseorang atau kelompok untuk berperilaku sehat atau tidak sehat. Faktor pelayanan kesehatan memegang peranan yang lebih kecil dalam menentukan status kesehatan dan gizi dibandingkan dengan kedua faktor tersebut, sedangkan faktor keturunan mempunyai pengaruh yang lebih kecil dibandingkan faktor lingkungan, perilaku da pelyanan kesahatan. Dengan demikian disarankan dalam meningkatkan status kesehatan dan gizi disamping peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi harus disertai dengan upaya perbaikan lingkungan dan perilaku masyarakat yang berdampak positf pada status kesehatan dan gizi.
Lingkungan

Perilaku Status Kesehatan & Gizi


Genetik/keturunan

Pelayanan Kesehatan

Gambar. Bagan Bloomm

Perbaikan gizi masyarakat merupakan salah satu investasi pembangunan ekonomi. Pada tahun 1992 Bank Dunia menyatakan bahwa perbaikan gizi merupakan salah satu prioritas dalam memberikan pimjaman kepada negara berkembang sebagai suatu investasi pembangunan. Sumber daya yang dialokasikan untuk perbaikan gizi adalah suatu investasi dengan keuntungan jangka pendek dan jangka panjang yang nyata. Hasil investasi di bidang gizi mendukung kebijakan Bank Dunia yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Adanya keterkaitan upaya perbaikan gizi dengan pembangunan ekonomi juga dikemukakan oleh Sekjen PBB Kofi Annan bahwa : Gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan

perkembangan mental, melindungi kesehatannya dan meletakan fondasi untuk masa depan produktivitas anak.

Faktor Yang Berkaitan dengan Peningkatan Mutu SDM

Kemiskinan Kurang

Ekonomi Meningkat

Peningkatan Produktivitas

Perbaikan Gizi, tumbuh kembang fisik & mental anak

Investasi Sektor Sosial (Gizi, Kes, Pendidikan)

Peningkatan Kualitas SDM


Sumber : Martorell 1992

Investasi di sektor sosial (gizi,kesehatan dan pendidikan) akan memperbaiki keadaan gizi masyarakat yang merupakan salah satu faktor penentu untuk meningkatkan kualitas SDM. Dengan meningkatnya kualitas SDM, akan meningkatkan produktivitas kerja yang selanjutnya akan meningkatkan ekonomi. Dengan terjadinya perbaikan ekonomi akan mengurangi kemiskinan dan selanjutnya akan meningkatkan keadaan gizi, meningkatkan kualitas SDM. Meningkatkan produktivitas dan seterusnya.

KURANG GIZI DAN TINGKAT PEMBANGUNAN 14 13 4


Pengangguran Produksi pangan Persediaan pangan di pasar Rendahnya Pendapatan

PEMBANGUNAN KURANG BERKEMBANG

5 6

Sistem pasar yg buruk

Harga tidak stabil Kebijakan harga

12 3
Pendidikan rendah/ rendahnya ketrampilan

7
Suply pangan Jumlah Anggota kel Perilaku Pola asuh

11 2 10
DO sekolah

Konsumsi pangan RT

8
KURANG GIZI
SAKIT MENINGGAL
Lingkungan buruk, sanitasi Sistem yankes tidak baik

Sumber: The National BIDANI Network 1998, UPLB

Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Konvensi Hak Anak adalah perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis diantara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Ada empat prinsip yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak (KHA) : 1. Non diskiriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa perbedaan apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip universal HAM. 2. Yang terbaik bagi anak (best interests of the child) artinya bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama. 3. Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development ) artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin. Prinsip ini mencerminkan prinsip indivisibility HAM. 4. Penghargaan terhadap pendapat anak ( respect for the views of the child ), maksudnya bahwa pendapat anak terutama jika menyangkut hal hal yang mempengaruhi kehidupannya perlu diperhatikan dalam mengambil setiap keputusan. Salah satu dari hak anak tersebut adalah hak atas kesehatan dan kesejahteraan dasar. Hak tersebut merupakan berbagai ketentuan yang pada prinsipnya memberikan hak kepada anak untuk memperoleh standar kehidupan yang layak agar mereka bisa berkembang fisik, mental, spiritual, moral maupun sosial dengan baik termasuk hak anak untuk memperoleh pelayanan kesehatan serta jaminan sosial.

Dalam konteks siapa saja pihak yang terkait dengan KHA pada dasarnya : anak sebagai pemegang hak ; negara sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi hak anak. Anak berhak mendapat keluarga atau keluarga pengganti agar kehidupan dan perkembangannya bisa dipenuhi dengan baik. Keluarga atau keluarga pengganti bertanggung jawab untuk memenuhi hak hak dasar, sedangkan negara berkewajiban untuk mengambil langkahlangkah agar hak anak untuk memperoleh keluarga atau keluarga pengganti dapat terpenuhi dan agar keluarga dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan maksimal. Undang Undang No.23 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Undang undang ini sejalan dengan prinsip prinsip dasar KHA: meliputi :a). Non diskriminasi ; b). Kepentingan yang terbaik bagi anak ; c). Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan dan d).Penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam penyelenggaraan perlindungan, BAB IX Penyelenggaraan Perlindungan Bagian Kedua : Kesehatan Pasal 44 : (1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. (2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat. (3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. (4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagai mana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara cuma cuma bagi keluarga yang tidak mampu. (5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku Dengan adanya Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak diperlukan upaya-upaya terintegrasi dari berbagai sektor untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif dan upayaupaya lainnya yang terbaik untuk anak agar anak mendapatkan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak yang optimal. Hal ini sejalan dengan upaya perbaikan gizi dimana anak merupakan kelompok yang paling rentan dan penting dalam siklus kehidupan berikutnya.

III.

DAMPAK KURANG GIZI

Kehidupan manusia dimulai sejak di dalam kandungan ibu. Sehingga calon ibu perlu memounyai kondisi yang baik. Kesehatan dan gizi ibu hamil merupakan kondisi yang sangat diperlukan bagi sang bayi untuk menjadi sehat. Jika tidak, maka dari awal kehidupan kehidupan manusia akan bermasalah pada kehidupan selanjutnya.

Masalah Gizi Menurut Siklus Kehidupan


I MR, perkembangan mental terhambat, risiko penyakit kronis pada usia dewasa Kurang makan, sering terkena infeksi, pelayanan kesehatan kurang, pola asuh tidak memadai Tumbuh kembang terhambat

USI A LANJ UT KURANG GI ZI

BBLR
Pelayanan Kesehatan kurang memadai Konsumsi tidak seimbang Gizi janin tidak baik

Proses Pertumbuhan lambat, ASI ekslusif kurang, MP-ASI tidak benar

BALI TA KEP
Konsumsi gizi tidak cukup, pola asuh kurang

WUS KEK BUMI L KEK (KENAI KAN BB RENDAH)


MMR

Pelayanan kesehatan tidak memadai

REMAJ A & USI A SEKOLAH GANGGUAN PERTUMBUHAN


Produktivitas fisik berkurang/rendah

Konsumsi Kurang

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah keadaan bayi lahir dengan berat badan <2500 gram. Keadaan gizi ibu yang kurang baik sebelum hamil dan pada waktu hamil cenderung melahirkan BBLR, bahkan kemungkinan bayi meninggal dunia. Sejak anak dalam kandungan hingga berumur 2 tahun merupakan masa emas yang merupakan masa kritis untuk tumbuh kembang fisik, mental dan sosial. Pada masa ini tumbuh kembang otak paling pesat (80%) yang akan menentukan kualitas SDM pada masa dewasa. Sehingga potensi anak dengan IQ yang rendah sangat memungkinkan. Anak yang dilahirkan dengan berat badan rendah berpotensi menjadi anak dengan gizi kurang bahkan menjadi buruk. Lebih lanjut lagi gizi buruk pada anak balita berdampak pada penurunan tingkat kecerdasan atau IQ. Setiap anak gizi buruk mempunyai risiko kehilangan IQ 10-13 poin. Lebih jauh lagi dampak yang diakibatkan adalah meningkatnya kejadian kesakitan bahkan kematian. Mereka yang masih dapat bertahan hidup akibat kekurangan gizi yang bersifat permanen kualitas hidup selanjutnya mempunyai tingkat yang sangat rendah dan tidak dapat diperbaiki meskipun pada usia berikutnya kebutuhan gizinya sudah terpenuhi. Istilah generasi hilang terutama disebabkan pada awal kehidupannya sulit memperoleh pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Gambaran kurang gizi lainnya yang juga menjadi masalah gizi utama adalah Kurang zat gizi mikro, seperti kurang vitamin A, kurang zat besi, dan kurang yodium terutama di beberapa daerah endemis. Lebih dari 100 juta penduduk berisiko untuk kurang zat gizi mikro ini. Kurang zat besi pada wanita hamil meningkatkan risiko kematian wanita pada saat melahirkan, dan meningkatkan risiko kematian risiko bayi yang dilahirkan kurang

zat besi. Bayi yang kurang besi dapat berdampak pada gangguan pertumbuhan selsel otak yang dikemudian hari dapat mengurangi IQ anak Kurang vitamin A selain berdampak pada risiko kebutaan juga risiko kematian balita karena infeksi. Kurang vitamin A ikut berperan pada tingginya angka kematian balita di Indonesia dan berpotensi terhadap rendahnya produktivitas kerja. Kekurangan Yodium dapat menyebabkan kerusakan mental. Pada ibu yang kekurangan yodium menyebabkan bayi lahir mati, cacat fisik atau kerusakan berat pada otak. Penduduk yang tinggal di daerah rawan kurang yodium berpotensi kehilangan IQ sebesar 50 poin IQ per orang. Diperkirakan 10% penduduk usia dewasa di perkotaan atau 10 juta orang mengalami gizi lebih. Hal ini perlu disikapi mengingat kelebihan gizi dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti diabet, jantung koroner, hypertensi, osteoporosis dan kanker. IV. KEBIJAKAN Kebijakan upaya perbaikan gizi dikembangkan dan diarahkan untuk meningkatkan status gizi masyarakat, Pada saat krisis ekonomi di Indonesia yang berlangsung cukup lama, kebijakan yang dilakukan bersifat penyelamatan (rescue) dan pencegahan lost generation, sekaligus pembaharuan (reform) agar kejadian ini tidak terulang kembali. Untuk itu maka kebijakan harus menjangkau berbagai faktor, yaitu: Kebijakan jangka pendek, bertujuan menangani anak dan keluarga yang terpuruk akibat krisis. Program penyelamatan ini dikenal dengan Jaring Pengaman Sosial Bidang kesehatan (JPSBK) termasuk perbaikan gizi. Kebijakan diarahkan pada peningkatan upaya penanggulangan kasus pemulihan keadaan gizi anak, penurunan kematian akibat gizi buruk dan peningkatan mutu sumberdaya manusia melaui peningkatan keadaan gizi masyarakat. Pemberian makanan tambahan untuk bayi dan anak umur 6 24 bulan serta ibu hamil dan menyusui yang berasal dari keluarga miskin. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dalam rangka identifikasi dini kekurangan pangan dan gizi di suatu daerah, Revitalisasi pos pelayanan terpadu (Posyandu) untuk menggalakkan kembali peran serta masyarakat. Kebijakan jangka menengah dan panjang, berupa reformasi kebijakan yang tujuannya adalah menyempurnakan subsistem pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan agar menjadi lebih proaktif, professional serta mandiri. Untuk melakukan kebijakan ini maka diperlukan hal-hal yang menunjang, yaitu: Mengembangkan sistem ketahanan pangan dan gizi berbasis keluarga dan kemampuan produksi, keragaman sumberdaya bahan pangan serta kelembagaan dan budaya lokal. Mengembangkan agribisnis komoditas pangan berorientasi global dengan membangun keunggulan lokal. Pola pengasuhan yang tepat dan bermutu pada anak termasuk asuhan nutrisi.

Pendelegasian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah (desentralisasi) dan menyelenggarakan upaya penanganan masalah spesifik daerah. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Pada dasarnya kemampuan daya beli pangan dan akses pelayanan sosial sangat mempengaruhi keadan gizi masyarakat

V. STRATEGI 1. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat melalui peningkatan lintas sektor dan melibatkan sektor swasta dan dunia usaha. Pemberdayaan diarahkan pada peningkatan pengetahuan, kesadaran serta kemampuan keluarga berperilaku sadar gizi serta mampu memanfaatkan sumberdaya keluarga untuk meningkatkan status gizi keluarga. Pelaksanaan intervensi harus dilakukan secara fokus pada upaya menurunkan kematian bayi, ibu, anak dan gizi kurang, dengan pendekatan pada daur kehidupan dan multi-program/pelayanan kepada masyarakat secara terpadu. Mengkaji semua komponen yang berakibat pada tingginya angka kematian tersebut terutama yang berkait pada indikator IPM, IKM. Komponen tersebut antara lain angka harapan hidup, angka melek huruf, pendapatan perkapita, presentase penduduk tanpa akses air bersih, fasilitas kesehatan dan persentase balita kurang gizi. Menggunakan peluang desentralisasi, yaitu pendelegasian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur sistem pemerintah sendiri dan menyelenggarakan upaya penanganan masalah gizi harus mulai dari masalah dan potensi masing-masing daerah. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Pada dasarnya kemampuan daya beli pangan dan akses pelayanan sosial sangat mempengaruhi keadaan gizi masyarakat Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dengan meningkatkan cakupan pelayanan serta profesionalisme petugas Mengalokasikan anggaran secara efektif sesuai skala prioritas (wilayah dan sasaran)

2.

3.

4.

5. 6. 7.

VI. POKOK PROGRAM 1. Program pemberdayaan keluarga, melalui Upaya Perbaikan Gizi Keluarga secara terintegrasi dengan upaya peningkatan ekonomi dan ketahanan pangan 2. Pemantauan dan promosi pertumbuhan balita, pokok program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan keluarga melakukan deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak. 3. Program Pendidikan gizi, untuk mendukung tercapainya keluarga sadar gizi. 4. Program supplementasi gizi, bertujuan untuk memberikan tambahan gizi kepada kelompok rawan utamanya untuk keluarga miskin dalam jangka pendek. Jenis suplementasi gizi yang diberikan berupa : Makanan Pendamping Asi untuk anak usia 6-11 bulan pada keluarga miskin Pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil Supplemntasi kapsul Vitamin A untuk anak balita dan ibu nifas Supplementansi zat besi untuk ibu hamil dan sirup besi untuk anak balita. Suppplementasi kapsul Yodium terutama pada daerah endemis sedang dan berat.

10

5.

Program Fortifikasi bahan makanan, bertujuan meningkatkan mutu gizi pada bahan makanan yang sering dan banyak dikonsumsi masyarakat utamanya pada keluarga miskin dan rawan gizi. 6. Program pelayanan gizi, mencakup pengembangan tatalaksana kasus salah gizi, konsultasi gizi dan pelayanan gizi di institusi kesehatan dan non kesehatan. 7. Program surveilans gizi, bertujuan menyediakan sistem informasi untuk mendukung strategi dan kebijakan program gizi. Terdiri dari: pemantauan status gizi, surveilans gizi, jejaring informasi pangan dan gizi VII. HASIL Masalah gizi utama di Indonesia masih di dominasi oleh masalah gizi kurang atau Kurang Energi Protein (KEP), anemia gizi besi, Gangguan Akibat kekurangan Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A (KVA). Masalah gizi lebih (obesitas) terutama sudah mulai terjadi terutama di kota-kota besar. A. GIZI KURANG Anak umur di bawah lima tahun (balita) Prevalensi Gizi kurang dan buruk menurut SUSENAS tahun 1989 - 2003
40 35 37.5 35.6 31.6 29.5 26.4 24.7 26.1 27.3 27.5

presen (%)

30 25 20 15 10 5 0 1989 1992 1995

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1989 2003 prevalensi gizi-kurang secara perlahan menurun dari 37,5% (tahun 1989) menjadi 27,5%, walaupun pada saat krisis angka tersebut tetap pada prevalensi 20 30 persen.

1998

1999

2000

2001

2002

2003

tahun

Jumlah gizi kurang dan buruk menurut SUSENAS tahun 1989 2003
Tahu n
1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001

Jumlah penduduk
177.614.965 185.323.456 95.860.899 206.398.340 209.910.821 203.456.005 206.070.000

Jumlah balita gizi kurang dan buruk


7.986.279 7.910.346 6.803.816 6.090.815 5.256.587 4.415.158 4.733.028

Jumlah balita gizi buruk


1.324.769 1.607.866 2.490.567 2.169.247 1.617.258 1.348.181 1.142.455

11

2002 2004

208.749.460 211.567.577

5.014.028 5.119.935

1.469.596 1.528.676

Catatan: Jumlah balita tahun 2003 diperkirakan 8,5% dari jumlah penduduk

Jika dilakukan estimasi berdasarkan laju pertumbuhan penduduk, maka jumlah balita yang menderita gizi-kurang dan buruk tahun 1989 sebesar 7.986.279 menurun menjadi 5.119.935 pada tahun 2003. Namun demikian angka tersebut masih stagnant diantara tahun 1999 sampai tahun 2003 Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) Pada kelompok anak setelah balita, yaitu anak umur umur 5 9 tahun atau anak baru masuk sekolah diukur pertumbuhan fisik, yaitu tinggi badan. Pada tahun 1994 dan 1999 menunjukkan prevalensi anak pendek yang menurun, dari 37.0% menjadi 36.1%. Pada wanita usia subur (WUS) Prevalensi risiko kekurangan energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS)

30 25

24.9 21.5 19.1 17.6

persen (%)

20 15 10 5 0 1999 2000

2001

2002

tahun

Kurang Energi Kronis (KEK) pada WUS dapat berdampak pada tingginya angka bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Data SUSENAS tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 menunjukkan penurunan yaitu 24.9% menjadi 17.6%

ANEMIA GIZI BESI (AGB) Prevalensi anemia baik pada ibu hamil maupun balita menunjukkan kecenderungan penurunan secara tajam dalam dekade terakhir. Pada tahun 1989 prevalensi anemia gizi pada ibu hamil 70.0% turun menjadi 50.9% (1995) dan sampai tahun 2001 prevalensi menunjukkan angka 40.1%

12

B. GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM (GAKY) Prevalensi GAKY Masalah GAKY diidentifikasi berdasarkan angka Total Goiter Rate (TGR). Pada tahun 1980 prevalensi TGR 30.0% turun menjadi 11.0% pada tahun 2003, Walupun demikian dari tahun 1998 angka menunjukkan 9.8%, berarti ada kenaikan sekitar 1.2%.

13

Prevalensi GAKY
35 30 25 20 15 10 5 0 1980 1986 1990 1995 1998 2003 30 24.95 19.9 13.59 9.8 11

Prevalensi

Tahun

C. KURANG VITAMIN A (KVA)


KVA yang ditunjukkan dengan prevalensi xeropthalmia telah menurun dengan tajam dari 1.3% pada tahun 1978 menjadi 0.33% pada tahun 1992. Berdasarkan WHO dengan batasan masalah kesehatan 0.5%, maka Indonesia sudah dinyatakan berhasil. Namun demikian masih perlu tetap waspada karena masih ditemukan 50% balita atau sekitar 10 juta anak secara subklinis masih menderita KVA yang dapat terancam kebutaan. D. GIZI LEBIH Selain masalah gizi kurang, Indonesia sudah mengalami gizi-lebih terutama didaerah perkotaan dan banyak dialami pada wanita dewasa. Pada tahun 1998 dilaporkan 21.0% responden gemuk Jika dilihat dari jenis pekerjaan, maka wiraswasta, Pegawai Negri Sipil (PNS), dan orang yang tidak bekerja mempunyai risiko gemuk masing-masing 11.3%, 16.1% an 48.5% dibandingkan dengan ABRI, buruh, petani. VIII.MASALAH, TANTANGAN DAN PEMIKIRAN PROGRAM PERBAIKAN GIZI PADA MASA YANG AKAN DATANG Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus kehidupan dan saling berpengaruhnya masalah gizi kepada siklus kehidupan (intergenerational impact), maka diperlukan kebijakan dan strategi baru perbaikan gizi di setiap siklus kehidupan. Faktor geografis dan demografi. Lebih dari 50% penduduk tinggal di daerah perdesaan dan daerah sulit. Untuk meningkatkan pelayanan gizi dan pemantauan pertumbuhan pada masyarakat sasaran yang sulit dijangkau dengan fasilitas pelayanan yang ada seperti puskesmas dan posyandu, perlu ada upaya khusus untuk mendekatkan pelayanan kepada kelompok ini. Dampak krisis ekonomi telah menurunkan kemampuan daya beli masyarakat. Jumlah penduduk miskin masih 18% atau sekitar 38 juta. Pada masyarakat ini daya beli terhadap

14

makanan dan pelayanan kesehatan sangat terbatas, oleh karena itu untuk mencegah kurang gizi, upaya peningkatan daya beli melalui pemberian kredit usaha kecil dan menegah dan bantuan pemasarannya dan peningkatan keterampilan (income generating) yang disertai dengan upaya KIE gizi menuju keluarga sadar gizi kepada masyarakat miskin menjadi sangat penting. Meningkatnya kasus gizi buruk, hal ini menunjukkan rendahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, untuk mengatasi situasi ini upaya pemenuhan kesehatan dan gizi melalui program jaring pengaman sosial masih perlu mendapat prioritas, misalnya pemberian supplementasi gizi yang tepat sasaran, tepat waktu dengan mutu yang baik, perlu mendapat prioritas. Melakukan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga dilakukan secara profesional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal. Transisi bidang kesehatan dan gizi. Indonesia dan juga negara berkembang lainnya sedang menghadapi transisi epidemiologi, demografi, dan urbanisasi. Di bidang gizi telah terjadi perubahan pola makan seperti rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi garam dan meningkatnya konsumsi makananan yang tinggi lemak serta berkurangnya aktifitas olah raga pada sebagian masyarakat terutama di perkotaan. Gaya hidup demikian akan meningkatkan gizi lebih yang merupakan faktor risiko terhadap penyakit tidak menular dan kematian. Untuk mengatasi masalah gizi ganda diperlukan upaya lebih komprehensif melalui pemberdayaan keluarga, masyarakat, peningkatan kerjasama lintas sektor, kemitraan dengan LSM dan swasta dan terintegrasi dengan intervensi diberbagai bidang seperti konseling kesehatan dan gizi, pencegahan penyakit tidak menular, kebugaran jasmani, olah raga, pendidikan dll. Oleh karena itu sudah saatnya mengembangkan strategi nasional gizi, aktifitas fisik dan kesehatan, yang bertujuan untuk mencegah meningkatnya masalah gizi lebih dan penyakit degeneratif. Tingkat pendidikan. Meskipun tingkat melek huruf relatif tinggi (90%), akan tetapi pengetahuan dan kesadaran gizi masyarakat akan pentingnya gizi masih kurang, oleh karena itu upaya peningkatan pengetahuan dan sadar gizi kepada keluarga dan masyarakat perlu diprioritaskan dan mendapat dukungan dari berbagai sektor termasuk masyarakat. Secara bertahap mutu pendidikan ditingkatkan, karena dalam jangka panjang akan memberi kontribusi yang besar mengatasi masalah kesehatan dan gizi masyarakat. Ketersediaan data yang akurat. Monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan terbatas hanya pada program perbaikan gizi berskala nasional seperti program penanggulangan GAKY. Untuk menghasilkan program yang efektif diperlukan ketersediaan data dan informasi secara periodik baik untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam upaya perbaikan gizi kedepan adalah sebagai berikut: 1. Upaya perbaikan gizi akan lebih efektif jika merupakan bagian dari kebijakan penangulangan kemiskinan dan pembangunan SDM. Membiarkan penduduk menderita masalah kurang gizi akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan dalam hal pengurangan kemiskinan. Berbagai pihak terkait perlu memahami problem masalah gizi dan

15

dampak yang ditimbulkan begitu juga sebaliknya, bagaimana pembangunan berbagai sektor memberi dampak kepada perbaikan status gizi. Oleh karena itu tujuan pembangunan beserta target yang ditetapkan di bidang perbaikan gizi memerlukan keterlibatan seluruh sektor terkait. 2. Dibutuhkan adanya kebijakan khusus untuk mempercepat laju percepatan peningkatan status gizi. Dengan peningkatan status gizi masyarakat diharapkan kecerdasan, ketahanan fisik dan produktivitas kerja meningkat, sehingga hambatan peningkatan ekonomi dapat diminimalkan. 3. Pelaksanaan program gizi hendaknya berdasarkan kajian best practice (efektif dan efisien) dan lokal spesifik. Intervensi yang dipilih dengan mempertimbangkan beberapa aspek penting seperti: target yang spesifik tetapi membawa manfaat yang besar, waktu yang tepat misalnya pemberian Yodium pada wanita hamil di daerah endemis berat GAKY dapat mencegah cacat permanen baik pada fisik maupun intelektual bagi bayi yang dilahirkan. Pada keluarga miskin upaya pemenuhan gizi diupayakan melalui pembiayaan publik. 4 Pengambil keputusan di setiap tingkat menggunakan informasi yang akurat dan evidence base dalam menentukan kebijakannya. Diperlukan sistem informasi yang baik, tepat waktu dan akurat. Disamping pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang baik dan kajian-kajian intervensi melalui kaidah-kaidah yang dapat dipertanggung jawabkan.

5. Mengembangkan kemampuan (capacity building) dalam upaya penanggulangan masalah gizi, baik kemampuan teknis maupun kemampuan manajemen. Gizi bukan satu-satunya faktor yang berperan untuk pembangunan sumber daya manusia, oleh karena itu diperlukan beberapa aspek yang saling mendukung sehingga terjadi integrasi yang saling sinergi, misalnya kesehatan, pertanian, pendidikan diintegrasikan dalam suatu kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. 6. Meningkatkan upaya penggalian dan mobilisasi sumber daya untuk melaksanakan upaya perbaikan gizi yang lebih efektif melalui kemitraan dengan swasta, LSM dan masyarakat. IX. PENUTUP Upaya perbaikan gizi masyarakat yang dilaksanakan secara intensif selama 30 tahun terakhir secara umum telah dapat menurunkan prevalensi beberapa masalah gizi utama, walaupun masih jauh tertinggal dari negara lain. Namun demikian masih perlu adanya perbaikan secara holistik, karena pada saat krisis prevalensi masalah gizi meningkat dengan tajam. Program perbaikan gizi kedepan lebih diharapkan menggunakan pendekatan preventif selain kuratif. Target perlu tepat dan benar-benar pada sasaran yang membutuhkan, tidak hanya berorientasi pada pemberian makan tambahan saja akan tetapi juga pada pendidikan gizi serta pemberdayaan masyarakat pada kemandirian gizi yang mengarah pada hidup sehat.

16

TABEL. JUMLAH MASALAH GIZI SERTA DAMPAKNYA Masalah gizi BBLR Gizi kurang Gizi buruk Gangguan akibat kekurangan Yodium (GAKY) - CEBOL - GONDOK Masalah gizi Anemi gizi besi - BALITA - Usia produktif Jumlah penderita + 400 ribu/th 3.5 juta/th 1.5 juta /th IQ lost Potensi IQ 10 13 Total IQ lost 19.5 juta

9000 10 juta Jumlah penderita 8.5 juta 51.8 juta

10 50 Dampak IQ lost 5 10

140 juta

Kurang Vitamin A 10 juta anak sub klinis Masalah gizi usia + 10 juta orang dewasa dewasa Gizi lebih MASALAH INTAKE GIZI Kalori (,< 70% AKG) Protein (<70% AKG) % RUMAH TANGGA 48.9 25.9

MENURUNKAN 20 30% - Merusak sistem kekebalan - Meningkatkan risiko kematian Penyakit tidak menular/degeneratif (diabet, jantung, dll) KETERANGAN AKG 2.150 Kkal AKG 46.2 gram

Total IQ lost 40 85 juta PRODUKTIVITAS

17

Yang Terbaik Untuk Anak

Kelangsungan Hidup dan Perkembangan

nn Hidup
Non Diskriminasi Partisipasi anak

BAGAN I NTERVENSI GI ZI
SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI ( Lintas Sektor ) Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) POSYANDU

SELURUH KELUARGA
Intervensi jangka menengah/ panjang

Anak sehat BB Naik (N)

1. Penyuluhan/konseling Gizi: a. Hanya ASI saja 0-6 bulan & Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) > 6 bln-24 bln (masa emas) Semua b. Gizi seimbang dan penganekaragaman pangan balita c. Pola asuh ibu & anak punya 2. Pemantauan pertumbuhan balita KMS 3. Pemanfaatan pekarangan 4. Peningkatan Daya Beli 5. Lumbung Pangan Masyarakat KELUARGA MISKIN 6. Bantuan pangan darurat: - PMT balita, ibu hamil - Raskin

Gizi Buruk Ditimbang (D) Penyuluhan gizi Supplementasi gizi Pelayanan Kes Dasar Tanda-tanda INFEKSI Gizi Kurang

Intervensi jangka pendek, emergency

Pulih

Panti Pemulihan Gizi PMT Pemulihan Konseling Gizi buruk Tanda-tanda sakit 1. PUSKESMAS

Sembuh, perlu Pemberian Makanan tambahan (PMT) Sembuh tidak perlu PMT

2. RUMAH SAKIT

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

18

Anda mungkin juga menyukai