Anda di halaman 1dari 65

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak kelahirannya, ilmu-ilmu sosial tidak memiliki batasan atau definisi pokok bahasan yang bersifat eksak atau pasti. Artinya berbeda dengan ilmu eksakta (bidang ilmu tentang hal-hal yg bersifat konkret yg dapat diketahui dan diselidiki berdasarkan percobaan serta dapat dibuktikan dng pasti), rumusan dalam ilmu sosial bersifat tidak pasti karena titik beratnya pada prilaku manusia yang dinamis, selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Akan tetapi kajian tentang prilaku manusia tetaplah ilmu sosial, sebab kajian tentang prilaku manusia di dalam kehidupan sosial telah dikaji berdasarkan metodelogi ilmiah dan memenuhi persyaratan sebagai kajian ilmu pengetahuan. Manusia, masyarakat dan lingkungan merupakan fokus kajian sosiologi yang dituangkan dalam kepingan tema utama sosiologi dari masa kemasa. Mengungkap hubungan luar biasa anatara keseharian yang dijalani oleh seseorang dan perubahan serta pengaruh yang ditimbulkannya pada masyarakat tempat dia hidup, dan bahkan kepada dunia secara gelobal. Banyak sekali sub kajian dan istilah dlam sosiologi yang membahas perihal tentang, manusia, masyarakat dan lingkungan, yang diantaranya adalah stratifikasi sosial, kesejahteraan dan keadilan sosial, serta toleransi. Dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan apakah itu stratifikasi sosial, kesejahteraan dan keadilan sosial, serta toleransi dengan pembahasannya.

B. Tujuan dan Manfaat Memberikan informasi untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai stratifikasi sosial, kesejahteraan dan keadilan sosial, serta toleransi dalam islam itu sendiri.

BAB II PEMBAHASAN STRATIFIKASI SOSIAL A. Pengertian Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial adalah suatu pembedaaan masyarakat berdasarkan lapisan sosial tertentu yakni terdiri atas lapisan atas, menengah dan bawah. Dan semuanya itu diukur dari kekayaan, keturunan, kekuasaan, serta pendidikan dalam suatu masyarakat. Oleh karena status, baik yang berupa harta, kedudukan atau jabatan seringkali menciptakan perbedaan dalam menghargai seseorang. Dalam suatu masyarakat, orang yang memiliki harta berlimpah lebih dihargai daripada orang yang miskin. Demikian pula orang yang lebih berpendidikan dihargai lebih daripada yang kurang berpendidikan. Atas dasar itu, kemudian masyarakat di kelompokkelompokan secara vertikal atau bertingkat-tingkat sehingga membentuk lapisan-lapisan sosial tertentu dengan kedudukannya masing-masing. Pemahaman antara stratifikasi sosial dan kelas sosial sering kali di samakan, padahal di sisi lain pengertian antara stratifikasi sosial dan kelas sosial terdapat perbedaan. Penyamaan dua konsep pengertian stratifikasi sosial dan kelas sosial akan melahirkan pemahaman yang rancu. Stratifikasi sosial lebih merujuk pada pengelompokan orang kedalam tingkatan atau strata dalam heirarki secara vertical. Membicarakan stratifikasi sosial berarti mengkaji posisi atau kedudukan antar orang atau sekelompok orang dalam keadaan yang tidak sederajat. Adapun pengertian kelas sosial sebenarnya berada dalam ruanglingkup kajian yang lebih sempit, artinya kelas sosial lebih merujuk pada satu lapisan atau strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial. Kelas sosial cenderung diartikan sebagai kelompok

yang anggota-anggota memiliki orientasi polititik, nilai budaya, sikap dan prilaku sosial yang secara umum sama. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt mengatakan bahwa terbentuknya stratifikasi dan kelas sosial di dalammnya sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang. Stratifikasi sosial adalah strata atau pelapisan orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian kesatuan status sosial. Namun lebih penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai dan gaya hidup yang sama. Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan kedudukan sosialnya. Sebab asasi mengapa ada pelapisan sosial dalam masyarakat bukan saja karena ada perbedaan, tetapi karena kemampuan manusia menilai perbedaan itu dengan menerapkan berbagai kriteria. Artinya menganggap ada sesuatu yang dihargai, maka sesuatu itu (dihargai) menjadi bibit yang menumpuhkan adanya system berlapis-lapis dalam masyarakat. Sesuatu yang dihargai dapat berupa uang atau benda-benda bernilai ekonomis, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau keturunan keluarga yang terhormat. Tingkat kemampuan memiliki sesuatu yang dihargai tersebut akan melahirkan lapisan sosial yang mempunyai kedudukan atas dan rendah. Proses terjadinya system lapisan-lapisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya, atau sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama. Proses pelapisan sosial dalam masyarakat dengan sendirinya berangkat dari kondisi perbedaan kemampuan antar individuindividu atau antara kelompok sosial, contohnya sekelompok orang yang memiliki kemampuan lebih dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tentunya akan menempati strata sosial yang lebih tinggi dari pada kelompok yang memiliki sedikit kemampuan. Adapun proses pelapisan sosial yang disengaja disusun biasanya mengacu kepada pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal. Agar dalam masyarakat

manusia hidup dengan teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada harus dibagi-bagi dalam suatu organisasi. Sifat dari system berlapis-lapis dalam masyarakat ada yang tertutup dan ada yang terbuka. Yang bersifat tertutup tidak mungkin pindahnya seorang dan lapisan ke lapisan lain, baik gerak pindahnya keatas maupun kebawah. Keanggotaan lapisan tertutup diperoleh dari kelahiran, system ini dapat dilihat pada masyarakat yang berkasta, dalam masyarakat yang feodal atau pada masyarakat yang system pelapisannya ditentukan oleh perbedaan rasial. Pada masyarakat yang lapisannya bersifat terbuka, setiap anggota mempunyai kesempatan berusaha dengan kecakapannya sendiri untuk naik lapisan sosial atau jika tidak beruntung dapat terjatuh kelapisan bawahnya.

B. Sifat Stratifikasi Sosial Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedakan menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran. 1. Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification) Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja. Contoh: 1. Sistem kasta ; Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana, 2. Rasialis ; Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih. 3. Feodal ; Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan atau majikan.

2. Stratifikasi

Sosial

Terbuka

(Opened

Social

Stratification)

Stratifikasi ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Contoh: 1. Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya. 2. Seorang yang tidak atau kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha. 3. Stratafikasi Sosial Campuran Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya : orang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta. C. Sebab Timbulnya Stratifikasi Sosial Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat atau seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah. Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pejabat atau ketua atau pemimpin pasti menempati lapisan yang tinggi daripada sebagai anggota masyarakat yang tidak mempunyai tugas apa-apa. Karena penghargaan terhadap jasa atau pengabdiannya seseorang bisa pula ditempatkan pada

posisi yang tinggi, misalnya pahlawan, pelopor, penemu, dan sebagainya. Dapat juga karena keahlian dan ketrampilan seseorang dalam pekerjaan tertentu dia menduduki posisi tinggi jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak mempunyai ketrampilan apapun. D. Macam Terbentuknya Proses Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial terjadi melalui proses sebagai berikut: 1. Terjadinya secara otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya, kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat. 2. Terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama. Biasanya dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasiorganisasi formal, seperti : pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata. E. Macam-macam Stratifikasi Sosial Berdasarkan Cara Memperolehnya 1. Ascribed Status Ascribed Status merupakan status yang diperoleh seseorang secara alamiah, artinya posisi yang melekat dalam diri seseorang diperoleh tanpa melalui serangkaian usaha. Beberapa status sosial yang melekat pada seseorang yang diperoleh secara otomatis, adalah sebagai berikut : 1) Status Perbedaan Usia Umumnya dalam masyarakat Indonesia terdapat pembagian antara hak dan kewajiban antara orang-orang yang lebih tua dan yang lebih muda. Misalnya, dalam suatu kehidupan rumah tangga, anak yang

usia lebih muda, dalam ritual keagamaan islam dimana membaca doa selalu mengutamakan yang lebih tua. Bentuk lain penghormatan yang lebih tua adalah dengan mempersilahkan mereka untuk duduk di barisan depan. 2) Stratifikasi Berdasarkan Jenis Kelamin (Gender Sex Stratification) Penstrataan sosial berdasarkan jenis kelamin ini dipengaruhi oleh adat tradisi dan ada ajaran agama yang membedakan antara hak dan kewajiban berdasarkan jenis kelamin. Akan tetapi, pergeseran sosial budaya juga berpengaruh pada pergeseran peran wanita dimana kaum wanita terkadang memiliki status sosial yang lebih tinggi dibanding dengan kaum laki-laki. 3) Status di dasarkan pada system kekerabatan Fenomena ini dapat dilihat berbagai peran yang harus diperankan oleh masing-masing anggota keluarga dalam suatu rumah tangga. Munculnya kedudukan kepala keluarga, ibu rumah tangga dan anakanak berimplikasi pada status dan peran yang harus diperankan oleh masing-masing orang dalam rumah tangga. Seorang istri harus berbakti kepada suami dan suami juga harus menghormati istri karena perannya sebagai pengasuh anak, pendidik anak, dan sebagainya, sedangkan anak-anak harus menaati nasehat orang tua dan dari orang tuanya ia berhak mendapatkan kasih sayang. 4) Stratifikas Berdasarkan Kelahiran (Born Stratification) Seorang anak yang dilahirkan akan memiliki status sosial yang mengekor pada status orang tuanya. Tinggi rendahnya seorang anak biasanya mengikuti status orang tuanya.

5) Stratafikasi Berdasarkan Kelompok Tertentu (Grouping Stratification) Perbedaan ras yang sering kali menimbulkan pemahaman

sekelompok manusia tertentu memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan manusia lain. Pemahaman sebagian orang bahwa ras kulit putih lebih superior dibandingkan ras kulit hitam, merupakan salah satu contohnya. 2. Archieved Status Achieved Status merupakan status sosial yang disandang melalui perjuangan. Pola-pola ini biasanya banyak terjadi distruktur sosial yang telah mengalami perubahan dari pola-pola tradisional kearah modern. Lebih-lebih dalam struktur masyarakat kapitalis liberal dengan menekan pada kebebasan individu untuk mencapai tujuan masing-masing yang sarat dengan persaingan, dalam struktur seperti itu, biasanya struktur sosial lebih terbuka sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk meraih status sosial ekonomi sesuai dengan tujuan masing-masing, beberapa contoh model ini adalah sebagai berikut : 1) Stratifikasi Berdasarkan Jenjang Pendidikan (Education Stratification) Jenjang seseorang biasanya mempengaruhi status sosial seseorang di dalam struktur sosialnya. Seseorang yang berpendidikan tinggi hingga bergelar doktor tentunya akan berstatus lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang lulusan SD. 2) Stratifikasi di Bidang Senioritas Gejala ini biasanya di kaitkan dengan profesi atau pekerjaan yang dimiliki seseorang. Tingkat senioritas dalam berbagai lembaga pekerjaan biasanya di tentukan berdasarkan tingkat tenggang waktu

10

bekerja dan jenjang kepangkatan atau golongan yang lazim sering disebut dengan jabatan. Biasanya jabatan seseorang dalam suatu lembaga perkerjaan ditentukan oleh tingkat keahlian dan tingkat pendidikannya, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dan keahlian seseorang, maka akan semakin tinggi juga jabatan yang disandangnya. Karena system lapisan sosial seperti ini bersifat terbuka, maka bagi siapa saja bisa menempati status sosial yang relative dianggap lebih mapan asal mereka mempunyai kemampuan dan usaha yang gigih. 3) Stratifikasi di Bidang Pekerjaan Berbagai jenis pekerjaan juga berpengaruh pada system pelapisan sosial. Anda tentu sering memiliki penilaian bahwa orang yang berprofesi sebagai panrik becak, kuli bangunan, buruh pabrik dan para pekerja kantoran yang berpakaian bersih, berpenampilan rapi, berdasi dan mengendari mobil, selalu membawa Hp tentu memiliki perbedaan status sosial dalam masyarakat. Para pekerja kantoran akan memiliki status sosial yang relative lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang berprofesi sebagai penarik becak. Pola seperti ini juga bersifat terbuka artinya system pelapisan sosial seperti ini membuka peluang bagi siapa saja yang memiliki kegigihan dalam usaha untuk meraihnya termasuk anda. 4) Stratifikasi di Bidang Ekonomi Gejala ini hampir ada diseluruh penjuru dunia. Yang paling mudah di identifikasi di dalam struktur sosial adalah didasarkan pada besar kecilnya penghasilan dan kepemilikan benda-benda materi yang sering disebut harta benda. Indikator antara kaya dan miskin juga mudah sekali di identifikasi, yaitu melalui pemilikan sarana hidup. Orang kaya

11

perkotaan dapat dilihat dari tempat tinggalnya seperti di kawasan real estate elite dengan rumah mewahnya yang dilengkapi dengan taman, kolam renang, memiliki mobil mewah dan benda-benda berharga lainnya. Sedangkan kelompok masyarakat miskin berada dikawasan marginal (pinggiran), hidup di pemukiman kumuh, tidak sehat, kotor, dan sebagainya. Adapun orang kaya perdesaan biasanya diidentifikasi dengan kepemilikan jumlah lahan pertanian, binatang ternak, kebun yang luas dan sebagainya 3. Assigned Status Assigned Status adalah status sosial yang diperoleh seseorang atau kelompok orang dari pemberian. Akan tetapi status sosial yang berasal dari pemberian ini sebenarnya juga tak luput dari usaha-usaha seseorang atau sekelompok orang sehingga dengan usaha-usaha tersebut ia memperoleh penghargaan.

F. Stratifikasi Sosial Dalam Pandangan Islam Dalam pandangan islam, semua manusia adalah ciptaan Allah. Semua mempunyai kedudukan yang sama di hadapan-Nya. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Allah SWT berfirman Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa di antara kamu (QS. Al-Hujurat : 15) Lantas bagaimana kita bersikap terhadap orang yang mempunyai kelebihan di antara kita? Islam sangat memperhatikan akhlak atau perilaku yang baik terhadap orang lain. Umat Islam diperintahkan untuk menghormati orang yang mempunyai keutamaan, apakah itu kekuasaan, ilmu, kekayaan, dan kehormatan, bila semua itu dalam konteks ketaqwaan.

12

Penguasa yang adil sangat dimuliakan dalam Islam. Kita harus taat padanya. Orang yang berilmu ('alim) sangat dimuliakan dalam Islam. Kita harus menghormatinya. Orang kaya yang dermawan, mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam. Kita harus menghormatinya. Orang yang berjasa kepada masyarakat, mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam. Kita harus menghormatinya. Itu artinya, adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat merupakan hal yang wajar. Karena anggota masyarakat mempunyai perbedaan kelebihan. Penghormatan kepada orang yang mempunyai kelebihan, dalam konteks ketaqwaan, juga diperintahkan dalam Islam. Namun, ada tapinya. Bila strata itu dalam konteks kasta, seperti kasta di India, yang menetapkan kasta tertentu lebih tinggi kedudukannya dan ada beberapa aturan yang membeda-bedakan antar kasta, hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Stratifikasi umat islam berdasarkan ketaqwaan digambarkan Allah sebagai berikut : I. Golongan Nabi II. Golongan Orang yang Shidiq III. Golongan Orang yang Mati Syahid IV. Golongan Orang yang Sholeh Agama dan Perubahan Sosial: (Sebuah Telaah Pemikiran Karl Marx dan Emile Durkheim) I. Pengantar Fenomena perubahan sosial dewasa ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil kebudayaan, yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan penting dalam perubahan

13

sosial tersebut. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan adanya agama. Dalam hal ini, menggagas pemikiran tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial bertitik-tolak dari pengandaian bahwa perubahan sosial merupakan suatu fakta yang sedang berlangsung, yang diakibatkan oleh kekuatankekuatan yang sebagian besar berada diluar kontrol kita, bahwa tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk menghentikannya. Di sini, disposisi agama, pada satu sisi dapat menjadi penentang perubahan dan pada sisi lain dapat menjadi pendorong adanya perubahan sosial. Perubahan sosial dalam masyarakat atau komunitas manusia tertentu dapat berakibat atau berdampak positif maupun negatif. Kenyataan perubahan itulah yang kemudian menarik minat para pemikir dan pengamat sosial untuk merumuskan dan menjelaskan mengapa hal tersebut sampai bisa terjadi. Uraian berikut ini merupakan suatu bentuk pemaparan yang mencoba menelaah dan mendalami pandangan Karl Marx dan Emile Durkheim tentang agama dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. II. Agama dan Masyarakat Keberadaan agama atau kepercayaan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Manusia pada awalnya menyadari bahwa ada kekuatan yang melampaui kekuatan yang ada pada dirinya. Karenanya manusia mulai menyembah dewa-dewa; animisme dan dinamisme mulai berkembang. Bersamaan dengan kesadaran dan tindakan penyembahan ini, manusia lalu menciptakan agama dan secara serentak pula bersamaan mereka menciptakan karya-karya seni. Kesadaran diri sebagai manusia jelas tidak dapat dilepaskan dari adanya manusia lain di luar dirinya yang kemudian membentuk masyarakat atau kelompok manusia. Seorang individu

14

menyadari dirinya sebagai manusia ketika ia mengalami manusia lain yang ada di luar dirinya. Karya seni, juga agama, adalah hasil dari proses kreatifproduktif masyarakat melalui pengembangan kemampuannya sebagai mahluk rasional (homo sapiens) tetapi sekaligus manusia spiritual (homo religius). Agama sebagai kepercayaan kolektif dapat dikatakan terbentuk setelah adanya masyarakat. Agama tidak dapat dipandang sebagai kepercayaan individu belaka yang berusaha mengenali kekuatan di luar dirinya lepas dari masyarakat. Pokok tersebut menjadi jelas bahwa agama dapat dibedakan dari kepercayaan pribadi dalam hal sifat sosial-kolektif yang dimilikinya. Agama dalam pengertian inilah yang hendak dihubungkan dengan masyarakat. Masyarakat muncul ketika ada pergeseran cara hidup manusia dari nomaden menjadi manusia menetap, dari berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi bercocok tanam. Saat itulah manusia mulai berkelompok dan menemukan dirinya berada dalam ketegangan antara kepentingannya dengan kepentingan orang lain dalam kelompok itu. Di satu sisi masyarakat yang terbentuk itu mendorong terbentuknya peradaban manusia yang mengangkat harkat dan martabatnya sebagai makhluk berakal budi ke tingkat yang lebih tinggi. Akan tetapi di sisi lain, masyarakat yang terbentuk itu membawa dampak negatif berupa persaingan sumber daya alam yang berfungsi vital demi kelangsungan hidup bangsa manusia itu sendiri, lebih khusus lagi bagi kelompoknya masing-masing. Dua macam dampak kemunculan masyarakat ini dapat menjadi kunci kepada dua corak teori asal-usul agama. Sosiolog seperti Robertson Smith dan Emile Durkheim memandang kemunculan agama secara positif sejalan dengan perkembangan masyarakat. Agama bagi mereka bukanlah persoalan individu melainkan representasi kolektif dari masyarakat. Mereka menekankan bahwa agama pertama-tama adalah aksi bersama dari masyarakat dalam bentuk ritual-ritual, upacara keagamaan, larangan-

15

larangan praktis dari pada keimanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat secara positif berperan dalam terbentuknya atau munculnya agama.

Di lain pihak pemikir seperti Marx memandang kemunculan agama sebagai reaksi manusia atas keadaan masyarakat yang rusak. Kenyataan masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial mendorong sekelompok orang dari kelas yang tertindas untuk melarikan diri dari keadaan struktural masyarakat yang represif dan kemudian melarikan impian dan harapannya kepada agama. Agama adalah usaha manusia untuk menemukan makna dan arti kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasadnya. Keterkaitan yang demikian erat antara agama dan masyarakat ini berdampak pada pemanfaatan fungsi kolektif agama untuk menggerakkan masyarakat demi perubahan sosial atau juga demi tujuan tertentu yang entah menguntungkan atau merugikan masyarakat itu sendiri. III. Karl Marx : Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial Dalam kerangka memahami dan menganalisa hubungan antara agama dan perubahan sosial, menurut Karl Marx, maka terlebih dahulu perlulah melihat garis besar gagasan dan pandangannya tentang agama. Agama Sebagai Alat Penindasan Pemahaman terhadap pemikiran Marx mau tidak mau perlu memahami dan mengikuti pemikirannya dan memasukkan agama ke dalam suatu kerangka kehidupan bermasyarakat. Marx memang bahwa agama hanyalah merupakan suatu gejala sosial yang berupaya meyakinkan masyarakat kelas bawah yang kemudian berdampak pada kelanggengan kekuasaan kelas atas atau kelompok yang berkuasa. Dengan jelas ia katakan bahwa agama adalah candu rakyat.

16

Pernyataan Marx ini menyatakan dan memuat suatu serta sering diartikan sebagai tuduhan bahwa agama dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kematian, di dunia lain dari kehidupan manusia, membuat orang miskin dan tertindas semakin tertindas serta menerima nasib mereka daripada memberontak terhadapnya. Kenyataan yang demikian dengan jelas menggambarkan suatu warna atau gejaka ketertindasan. Penindasan yang dipahami oleh Marx adalah suatu perilaku eksploitatif-ekonomistik, di mana manusia dijadikan objek yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Marx yakin bahwa orang jatuh dalam kemiskinan karena tindakantindakan penindasan kelas atas, para pemilik modal terhadap mereka yang dikategorikan dalam kelas bawah, para buruh. Agama pada titik ini dijadikan sebagai tempat perlindungan yang aman bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka; agama menjadi instrumen kekuasaan. Dengan kata lain, kemiskinan itu disebabkan oleh struktur-struktur ekonomi masyarakat yang menindas, yang diciptakan oleh para kapitalis demi memperbesar modal mereka. Berhadapan dengan struktur-struktur yang menindas dan memiskinan itu, orang tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah dan akhirnya bersimpuh di hadapan Tuhan yang diciptakannya sendiri. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai alienasi bahwa dalam agama alienasi itu terjadi karena manusia tunduk dan berada di bawah entitas suci yang diciptakannya sendiri. Dengan menciptakan Tuhan, dengan sendirinya manusia merendahkan martabatnya sendiri sehingga ia semakin asing dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, agama tidak lain adalah instrumen penindas yang diciptakan manusia sendiri. Berangkat dari perihal di atas, Marx kemudian menjelaskan bagaimana usaha agama untuk melestarikan diri. Agar tetap exist, agama akan melanggengkan kemiskinan, kesengsaraan, dan

17

perbudakan. Sehingga baginya agama hanya akan berakhir ketika kondisi-kondisi yang diperlukan untuk survivenya kesengsaraan, kekuasaan kelas, eksploitasi komoditas- dihilangkan. Lalu muncul pertanyaan mengapa setiap masyarakat mempunyai agama? Tanggapan Marx bahwa agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas. Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas. IV. Emile Durkheim: Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial Agama, menurut Durkheim, didefinisikan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Definisi ini menyiratkan dua unsur yang penting, yang menjadi syarat adanya agama. Prasyarat itu adalah sifat kudus agama dan praktek-praktek ritual agama. Bertitik tolak dari pengertian atau pengartian yang dikatakan sebelumnya, agama dengan demikian tidak serta merta melibatkan konsep adanya suatu makhluk supranatural. Pada titik ini dapat kita lihat bahwa agama bukan semata-mata ditilik dari substansi isinya, melainkan dari bentuknya, yang melibatkan cirinya yang bersifat kudus dan yang terungkapkan dalam praktek-praktek ritual agama. Durkheim juga melihat agama sebagai sesuatu yang selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis. a. Sifat Kudus Agama Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan

18

pembahasan agama tidak dalam artinya yang bersifat teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang kudus itu dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi. Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengudusan ini dengan perkembangan masyarakat. Durkheim kemudian menjelaskan fenomena totemisme untuk menjelaskan fenomen keagamaan. Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Totemisme Australia tidak memisahkan secara jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Lain halnya dengan Totemisme di Amerika Utara dan Melanesia. Di wilayah ini, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut berdasarkan nama yang disematkan padanya. Totemisme yang ada pada masyarakat tertentu, oleh Durkheim, dikembangkan dan dijadikan suatu titik pijak untuk menjelaskan fenomena moralitas yang ada dalam masyarakat. Ia menyatakan bahwa Sifat kudus itu juga terdapat dalam aturan moral. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifat kudus, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat kudus dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengan demikian, kekudusan-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekudusan suatu

19

obyek tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich, tetapi tergantung dari pemberian sifat kudus itu oleh masyarakatnya.

b. Ritual Agama Agama juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat satu sama lain. Pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan. Praktekpraktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi. Pemisahan ini menjadi dasar dari eksistensi kekudusan itu. Praktek tersebut menjamin agar kedua dunia, yaitu yang kudus dan yang profan tidak saling mengganggu atau menekan satu sama lain. Contohnya adalah liburan pada hari raya besar keagamaan tertentu. Kedua, praktek ritual yang positif. Hal ini berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya. Adapun praktek-praktek ritual yang positif -yang adalah upacara keagamaan itu sendiri-, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusuk, dan dengan demikian berfungsi untuk memperbaharui keagamaan. c. Fungsi Agama Teori keagamaan Emile Durkheim menyatakan fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat. Agama bagi Durkheim adalah sebuah kekuatan kolektif dari masyarakat yang mengatasi individu-individu dalam masyarakat. Setiap individu, sebaliknya, merepresentasikan masyarakat dalam agama, yaitu melalui ketaantan kepada aturan-aturan tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal

20

keagamaan, misalnya dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan. Agama, dengan demikian, menjadi tempat bersatunya individu-individu, bahkan ketika terjadi banyak perbedaan antara individu karena agama sebagai kekuatan kolektif masyarakat bersifat mengatasi kekuatankekuatan individual. Selain itu, agama juga turut menjawab masalah, persoalan dan kebutuhan hidup pribadi atau individu tertentu. Dalam agama, individu merasa dikuatkan dalam menghadapi derita, frustrasi, dan kemalangan. Melalui upacara keagamaan, individu dapat membangun hubungan yang khusus dengan Yang Ilahi. Ritus-ritus itu memberi jaminan akan hidup, kebebasan dan tanggung jawab atas nilai-nilai moral dalam masyarakat. Tidak hanya itu, agama juga berfungsi untuk menjalankan dan menegakkan serta memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri persatuan masyarakat. Dengan demikian menjadi jelas bahwa agama dapat menjadi kekuatan yang menyatukan masyarakat, bahkan jika terjadi banyak perbedaan antar individu atau golongan, apalagi jika terdapat artikulasi kepentingan-kepentingan yang membuahkan ideologi bersama. Dalam hal menyatukan masyarakat ritual-ritual keagamaan mempunyai tempat yang vital. Melalui ritual-ritual keagamaan individuindividu dalam masyarakat disatukan oleh kekuatan moral dan sentimen moral maupun sosial . Dengan berdasar pada pandangan Emile Durkheim di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, agama dengan segala ritual yang ada dan hidup serta yang dijalankan oleh para pemeluknya sesungguhnya dapat berdampak pada perubahan sosial dan membentuk tatanan masyarakat yang terintegrasi. Fenomena agama dalam dari perspektif Durkheim menjadi sangat positif yang mana melekatkan agama dengan penciptaan suatu masyarakat yang harmonis dan yang

21

mengutamakan serta membangkitkan semangat kebersamaan dalam perkembangan dan perubahan kehidupan bermasyarakat.

AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL INDONESIA Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial diIndonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditundatunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia.Dalam konteks ini pula, penulis ingin membedah dengan pisau analisis sosiologis arah perubahan di Indonesia yang disebabkan keberadaan agama dengan berbagai potretnya. Kehadiran agama pada dasarnya selalu disertai dengan dua muka (janus-face). Pada satu sisi, secara fungsional agama mempunyai watak sebagai perekat sosial, memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan yang memelihara kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain, agama juga mempunyai kecenderungan atomisasi (memecah-belah), disintegrasi, dan intoleransi. Secara teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami dari dua bentuk antagonisme dalam agama. Pertama, ketegangan atau konflik yang berkembang di kalangan umat suatu agama (intern). Kedua, ketegangan atau konflik yang terjadi antar umat beragama (ekstern). Untuk beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan agama Islam dengan kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui pengamatan yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah institusiinstitusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas terkesan

22

kegairahan menghayati agama meningkat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang nota-bene terdidik. Atau paling tidak pendidikannnya relatif sudah mapan. Kenyataan ini tidak memberikan jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini mencerminkan bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab hal ini berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang bernuansa agama (Islam) dan adanya tekanan-tekanan terhadap para penganutnya. Dari kenyataan demikian, nampak adanya dapat disebut ideologi yang dapat menyaingi keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat dengan cara menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup apabila sudah melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah. Sedangkan tanggung jawab sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal semestinya ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan akan tetapi kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama (Islam) lebih ditekankan. Merujuk pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di Indonesia sampai sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi (penjungkirbalikan nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun yang tak kunjung selesai. Hal ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail (2001:239), bahwa alienasi tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan semata. Dehumanisasi semakin marak ekses dari proses pembangunan yang

23

mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan. Kenyataan ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba) membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh subur munculnya aliranaliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan. Pada hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap kehidupan manusia. Agama dan Perubahan merupakan dua entitas yang seperti berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau lebih, adalah sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kemungkian saja dua entitas itu saling melengkapi ( complementary), dan boleh jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa juga, agama dan perubahan dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya, perubahan dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti ajaran agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert N.Bellah, dan yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial. Makna perubahan kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam, sebagai keharusan universal meminjam istilah Islam sunnnahtullah agar dapat merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan

24

dan dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah demikian, tidak mustahil agama akan ditinggalkan oleh umatnya dan boleh jadi belakangan menjadi gulung tikar karena dianggap sudah tidak up to date. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman diskursus agama di satu sisi, dan perubahan di sisi lain sebagai bagian satu entitas yang tak dapat dipisahkan sebab yang satu mensifati yang lain. Perubahan berfungsi sebagai sifat kecenderungan, titik tekan, atau melingkupi keberadaan agama. Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai peristiwa di belahan dunia tentang perubahan sosial yang diakibatkan ekses dari agama, seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau belakangan kasus bom Bali di Indonesia. Identifikasi di atas tidak hanya di fokuskan pada perubahan yang berorientasi progress (arah kemajuan) semata, tetapi ke arah regress (kemunduran) pun menarik untuk dijadikan contoh. Memang tidak selamanya perubahan yang diakibatkan sepak terjang agama dapat berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak sedikit perubahan yang mengarah pada kemunduran (regress) sebuah peradaban bangsa tertentu yakni seperti terjadinya perang Salib di masa lalu (antara Islam dan Kristen) atau konflikkonflik yang mengatasnamakan agama. Sedangkan perubahan yang mengarah pada kemajuan (progress) peradaban manusia, posisi agama pun memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama, manusia dapat menebarkan perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis dalam menatap masa depan, menciptakan alat-alat

25

teknologi untuk peningkatan kesejahteraan, menegakkan keadilan, sekaligus pemihakan terhadap golongan lemah. Tanpa itu, dapat dipastikan semakin lama sesuai dengan tuntutan zaman, agama akan ditinggalkan oleh pemeluknya dan pada akhirnya gulung tikar seperti yang di alami oleh agama-agama Mesir kuno. Meskipun acap kali tidak mudah untuk mensosialisasikan agama sebagai bagian dari spirit proses perubahan sosial. Adalah ilustrasi yang menarik dari beberapa contoh kasus diIndonesia yakni, perubahan sosial yang dilandasi oleh semangat keagamaan seringkali menghadirkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat beranggapan, bahwa agama semestinya banyak mengambil peran dalam berbagai aspek, terutama dalam rangka pengandalian masyarakat (social control). Mereka berdalih, secara common-sense menjadi lumrah kalau agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari berbagai aktivitas kehidupan sosial di Indonesia. Kenapa? Sebab mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama. Kemudian masalah berkembang, yakni agama mana yang layak menjadi dominan mempengaruhi pola prilaku masyarakat? Pernyataan terakhir ini, dapat didiskusikan dalam konteks logika kekuasaan dengan lebih intens. Sementara bagi sebagian masyarakat yang tidak menghendaki agama hadir di berbagai moment, beranggapan, agama adalah urusan privat dan sangat personal. Urusan yang berkaitan dengan persoalan seperti, politik, ekonomi, budaya, dan semua yang ada kaitannya dengan publik, maka tidak menjadi kemestian agama dilibatkan, apalagi agama tertentu. Semisal, kasus RUU APP, poligami dan lain sebagianya, merupakan potret fenomena komunitas yang berpaham perlunya pemisahan antara urusan agama pada satu sisi, dan urusan sosial di sisi lain. Komunitas ini berpendapat, untuk menjaga keutuhan bangsa tidak diperlukan kehadiran agama apapun dalam konstelasi pembangunan bangsa. Apalagi Indonesia menurut mereka, tidak mengenal paham teokrasi ( negara agama).

26

Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah keberadaan agama cukup kita hadirkan hanya dalam urusan yang sifatnya privat/personal dan domestik. Dengan begitu, jargon keutuhan bangsa adalah harga mati dan mutlak harus dikedepankan ketimbang menjadikan agama tertentu sebagai pedoman atau norma pergaulan sosial. Ataukah dengan menghadirkan agama sebagai landasan norma bernegara dan berkebangsaan dapat menjamin akan adanya ketertiban masyarakat pada umumnya. Untuk memastikan survival-nya di antara kedua paham ini, sebetulnya lebih ditentukan oleh seleksi alam, artinya, paham mana yang dapat menjamin ketertiban dan kelangsungan hidup masyarakat pada umumnya dan paham mana yang hanya sebatas psedo-ideologi semata. Dalam konteks pergolakan politik di Indonesia, belakangan ini banyak mengalami perubahan yang sangat signifikan. Semenjak pasca Orba, keberadaan partai politik yang bernuansa agama bermunculan seperti jamur di musim hujan. Kebanyakan mereka berpandangan bahwa, idealisme-religiusitas akan bisa digulirkan apabila memaksimalkan partisipasi politik secara langsung. Bagi mereka, pelajaran paling berharga adalah marginalisasi aspirasi politik partai bernuansa agama di era Orba. Oleh karena itu, peluang di era reformasi ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mewujudkan obsesi berpolitik dengan melibatkan agama secara eksplisit. Terlepas dari apakah adanya partai politik aliran ini, hanya sekedar menarik minat partisipasi masyarakat beragama untuk kepentingan kekuasaan kelompok tertentu atau murni untuk mewujudkan sebuah refleksi semangat religiusitas. Maksud dari asumsi terakhir ini adalah, mendirikan partai politik agama dalam rangka merubah keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai agama sebagai sumber utama untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang jelas, semenjak partisipasi politik keagamaan dilembagakan, memberikan warna tersendiri dalam percaturan politik di Indonesia. Paling tidak, dalam konteks

27

demokrasi modern, fenomena yang demikian ini menjadi batu uji sebuah makna sejati dari demokrasi. Masalah lain adalah, Indonesia yang yang tidak kalah pentingnya untuk didiskusikan dikenal mayoritas beragama, belum nampak

terrefleksikan dalam prilaku sehari-hari. Agama mungkin hanya sebatas identitas formalistis semata (melengkapi administrasi KTP). Pernyataan ini sepertinya sumir dan sinisme untuk masyarakat beragama pada umumnya. Tetapi ditilik dari realitas yang berkembang, banyak indikasi yang mendukung pernyataan ini, semisal merebaknya kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di seantero Nusantara. Padahal oknum yang melakukan praktek KKN notabene beragama, bahkan mungkin lebih terdidik. Hal ini menandakan bahwa nafsu sahwat materialisme lebih dominan ketimbang semangat keberagamaan. Dari konteks yang demikian ini, ternyata keberadaan agama di Indonesia belum dapat mengejawentah dalam proses perubahan sosial ke arah yang lebih progres atau lebih baik. Atas dasar demikian, proses perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab seluruh masyarakatnya, terutama para pemeluk agama. Dalam konteks sosiologis (fungsional-struktural), merubah masyarakat ke arah yang lebih baik dan produktif, merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, umat beragama dengan semangat ajarannya, bukan saja memikul tanggung jawab untuk memperkuat nilai-nilai moral, etik dan spiritual sebagai landasan pembangunan, tetapi juga dituntut untuk memerankan fungsi inspiratif, korektif, kreatif dan integratif agama ke dalam proses keharmonisan sosial. Berhubungan dengan itu, tugas merubah kondisi sosial ke arah yang lebih baik, bukan sekedar sebagai tugas kemanusiaan, akan tetapi sekaligus merupakan pengamalan sejati ajaran setiap agamanya.

28

KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN Keadilan sosial bukan mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial didefinisikan sebagai "kerja sama untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing." Diantara mereka ada yang tidak dapat meraih prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya, masyarakat yang berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar mereka pun dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial. Keadilan akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan? Dengan kata lain, bukti atau anak sah keadilan sosial adalah kesejahteraan sosial. A. KESEJAHTERAAN SOSIAL Kemiskinan adalah kesukaran. "Sejahtera" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "aman, sentosa dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran dan sebagainya." Dengan demikian kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang sejahtera. Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta kelak dihuninya secara

29

hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan Allah kepada Adam: Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga maupun kepanasan (QS Thaha [20]: 117- 119). Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial. Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran ataupun sesuatu yang siasia: Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan sia-sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS AlWaqi'ah [56]: 25 dan 26). Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman (Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur [52]: 21). Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewujudkan bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi. Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran. Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman. Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap

30

penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa: Sistem kesejahteraan sosial yang diajarkan Islam bukan sekadar bantuan keuangan --apa pun bentuknya. Bantuan keuangan hanya merupakan satu dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan Islam. B. MEMULAI KESEJAHTERAAN SOSIAL Kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra', dan lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan kesejahteraan sosialnya. Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split personality): Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29). Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal-- adalah pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu Allah memerintahkan kepada manusia

31

berusaha semaksimal mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran bahwa: Tiada satu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu jangan berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu, dan jangan juga terlalu gembira (melampaui batas) terhadap hal yang diberikannya kepada kamu... (QS Al-Hadid [57]: 22-23). Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum diminta oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu) (QS Al-Hasyr [59]: 9). Setiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan jiwa dan hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik dari segi jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan. Dari sini Al-Quran memerintahkan penyisihan sebagian hasil usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu penggalan ayat yang diulang-ulang AlQuran sebagai tanda orang bertakwa adalah, Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan (QS Al-Baqarah [2]: 3), Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka gabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga. Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejabteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa

32

kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS AlNisa' [4]: 9). Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap pribadi. Kewajiban tersebut --sebagaimana halnya setiap kewajiban-- melahirkan hak-hak tertentu yang sifatnya adalah keserasian dan keseimbangan di antara keduanya. Sekali lagi kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak mampu maka dengan lidah, dan bila (inipun) ia tak mampu, maka dengan hati dan inilah selemah-lemahnya iman (Diriwayatkan oleh Muslim). Demikian sabda Nabi Saw. yang pada akhirnya melahirkan pesan, bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan manis atau pahitnya sesuatu yang terjadi di dalam masyarakatnya, bukan bersikap tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan ratusan hadis yang menekankan keterikatan iman dengan rasa senasib dan sepenanggungan, di antaranya: Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mereka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin (QS Al-Ma'un [107]: 1-3) Redaksi ayat di atas bukanlah "tidak memberi makan", melainkan "tidak menganjurkan memberi pangan". Ini mencerminkan kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi, minimal harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang mendustakan agama dan hari pembalasan. Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka yang berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan pekerjaan untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah monopoli dilarang-Nya. Jangankan di

33

dalam bidang ekonomi, pada tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan kelapangan: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu, "Berlapanglapanglah di dalam majelis!", maka lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk kamu (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya. Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang didambakan (QS Al-Hujurat [49]: 11-12). Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw. tidak memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu. Di sisi lain, perlu diingat bahwa Al-Quran menegaskan perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan tingkah laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik daripada memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang menyakitkan. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (QS AlBaqarah [2]: 263). Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian hubungan antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah[2]: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang

34

membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun sedekah (QS AlDzariyat [51]: 19). TOLERANSI Di dalam Islam, juga dikenal istilah toleransi. Toleransi (tasamuh) di dalam Islam hanya berkenaan dengan masalah masalah duniawiyyah / masalah kemasyarakatan di dunia saja. Sedangkan dalam masalah itiqad / aqidah Islamiyyah juga dalam masalah syariah tidak diketemukan toleransi di dalamnya. Semua sudah terbingkai rapi dan teratur di dalam satu aturan / perundang undangan yang berasal langsung dari Alloh (Tuhan Segala makhluk) dengan sistem aturan dari langit. Jadi sangatlah jelas bahwa Alloh Azza wa Jalla melarang Rasul-Nya untuk bertoleransi dalam masalah aqidah dan syariah kepada orang kafir bahkan di ayat itu juga, secara tidak langsung Alloh melalui Nabi-Nya menyuruh ummatnya agar menyebut mereka (yang bukan Islam) dengan sebutan Kafir (orang yang ingkar kepada Alloh). Tidak pernah Alloh menyebut mereka ataupun orang semacam mereka dengan sebutan Yaa Ayyuha Ghoirul Muslimuun (Wahai, orang orang non-Islam), tapi Alloh menyebut mereka dengan sebutan Yaa Ayyuhal Kaafiruun (Wahai, orang orang kafir). Meskipun agak terdengar kasar (bagi orang Indonesia) tetapi itulah sebutan langsung dari Alloh Azza wa Jalla untuk mereka, dan kita wajib mengikutinya. Tidak oleh membantahnya. Hal itu semata mata hanya untuk menyatakan bahwa Islam tidak bisa bertoleransi dalam hal aqidah. Dan ayat Lakum Diinukum WaLiyadiin BUKANLAH ayat toleransi, melainkan ayat PENEGASAN untuk TIDAK mengikuti apa apa yang orang kafir suruh kepada kita ummat Islam. Disinilah banyak yang salah kaprah.

35

Toleransi Saat Ini Sebetulnya, tidak ada bedanya antara toleransi ummat beragama zaman ini dengan toleransi ummat beragama zaman dulu (yani zaman Nabi SAW dan para Shahabatnya RA), dimana toleransi itu hanya sebatas muamalah duniawiyyah saja. Bahkan, jika dilihat kenyataannya saat ini kaum Kafir tidak ada sikap toleransinya sama sekali terhadap kaum Muslimin. Bahkan masalah duniapun mereka memusuhi ummat yang telah dibangun atas dasar tauhid ini. Telah benarlah firman Alloh Tabaroka wa TaAla : Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Alloh itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Alloh tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Al Baqarah : 120) Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. (Ali Imran : 118)

Islam Tidak Memaksa Islam sendiri tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam Islam. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), (Al Baqarah : 256) Tapi perlu diingat, masih ada lanjutan dari satu ayat itu, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Al Baqarah : 256) Islam tidak mengenal paksaan, karena paksaan hanya melahirkan ketidak setiaan bahkan ketidakikhlasan, oleh karena itu Islam hanya mengenal ajakan. Ajakan kepada Islam adalah dakwah Islamiyyah yang mengajak manusia yang masih berkubang di dalam lumpur kejahiliyahan (kebodohan / ketidak pahaman masalah ad-din) ke dalam cahaya yang terang benderang. Oleh karena itu al-

36

Islam juga bermakna yang membedakan antara yang Haq (Jalan yang Benar) dengan yang Bathil (Jalan yang Sesat). Di dalam membedakan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat / bathil, Islam tidak mengenal kompromi apalagi toleransi, karena itu menyangkut hal yang prinsip (aqidah). Jadi, inti dari ayat tidak ada paksaan dalam Islam itu tidak ada hubungannya dengan kompromi atau toleransi dengan kekafiran dan kemaksiyatan. Tiap tiap yang mengaku ummat Islam wajib menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia guna menancapkan kemuliaan Islam yang didasari dengan akhlak dan prinsip (aqidah) yang baik. Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Alloh memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Al Maidah : 67[u1] ) Islam Menghargai Pluralitas Agama Tapi Tidak Untuk Pluralisme Agama Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Alloh menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (Huud : 188 119) Imam Qotadah rahimahullah- menjelaskan : Kalaulah Alloh menghendaki, tentu Dia akan menjadikan seluruh umat manusia ini sebagai Muslimin. (Kitab Jamiul Bayan jilid 7, hal 137 nomor 18712)

37

Tetapi mereka senantiasa berikhtilaf (berselisih pendapat) . Dari perselisihan itu bercerailah antara dua kubu, sebagian menjadi Kafir dan sebagian lagi menjadi Mukmin. Seorang kafir berhak untuk tetap dalam agamanya, tapi di akhirat, ia harus mempertanggung jawabkan atas pilihannya itu. Tapi tetap, kaum Muslim wajib mengajak mereka dengan seruan Islam. Islam pun menghargai adanya pluralitas (kemajemukan, keberagaman, perbedaan) agama selama kemajemukan itu tidak memerangi, menistai dan melecehkan agama Islam-, akan tetapi Islam tidak menerima pluralisme agama. Jika pluralitas diubah menjadi isme (suatu paham yang harus diyakini keberadaannya) maka otomatis Islam harus membenarkan keimanan / prinsip dasar orang kafir. Maka dari itu, ajaran Islam menolak pluralisme agama dan tidak memungkiri adanya pluralitas agama. Perlu diketahui, kesesatan pluralisme dalam beragama bisa berdampak buruk : 1. Pernikahan beda agama, yang akan melahirkan anak yang cacat aqidah dan akhlaknya. Dan Alloh pun tidak merestui / meridhoi pernikahan itu. "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Alloh mengajak ke sorga dan ampunan dengan izin-Nya." (Al Baqarah : 221) Dan para ulama SEPAKAT bahwa, pernikahan tersebut (beda agama) termasuk dari zina dan dosa besar, juga harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. 2. Akan munculnya orang orang yang bodoh (jahil) dalam perkara ad-din (agama), karena semua agama dijadikan satu dan diaduk secara sistematis dengan pemikiran yang berasal dari akal insani dan membuang wahyu Ilahi

38

Yang Suci. Jika sudah begitu, maka lahirlah orang orang bodoh yang berpengetahuan agama yang kosong. 3. Akan munculnya kesesatan dimana mana, karena kebohodan dalam perkara agama. Orang orang yang mengusung ideologi pluralisme agama akan menafsirkan ayat ayat suci berdasarkan percampur adukkan dari semua agama. Jika sudah begitu, agama bukan lagi suatu produk dari langit (Alloh), tapi sudah berupa produk dari manusia (ciptaan Alloh). 4. Akan terjadi kemaksiyatan dimana mana. Agama mengajarkan menyeru orang untuk berbuat baik / maruf dan mencegah dari hal hal yang munkar / maksiyat. Jika pluralisme agama sudah merebak di suatu masyarakat, maka hal hal yang maruf akan dianggap menjadi hal yang munkar / maksiyat, sedangkan hal hal yang munkar / maksiyat dianggap sebagai hal hal yang maruf / baik. Jika sudah begitu, orang orang yang tidak mau agamanya dilecehkan, dinistakan bahkan dicampur aduk dengan agama lain, mereka akan mempertahankan agamanya dengan caranya sendiri. Maka dari itu, Islam sangat menolak apapun bentuk pluralisme dalam beragama. Dan tiada toleransi maupun kompromi dengan pluralisme agama. Karena itu (pluralisme agama) bisa menjadi indikasi senjata orang orang kafir untuk menghancurkan agama Alloh Yang Mulia ini. Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Alloh membalas tipu daya mereka itu. Dan Alloh sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ali Imran : 54) Salah satu ciri Islam yang penting adalah Islam berusaha untuk menguatkan perdamaian untuk umat manusia dan untuk tercapainya tujuan itu Islam meletakkan dasar toleransi beragama. Salah satu ajaran pokok Islam yang mendapat tempat pertama adalah pengakuan kebenaran semua utusan Tuhan

39

yang diutus-Nya untuk petunjuk bagi manusia yang untuknya mereka diutus sejak masa Adam a.s. Kita baca dalam Alquran Suci: Dan untuk semua umat ada seorang rasul. (10:48). Dan untuk setiap kaum ada petunjuk (13:8). dan sesungguhnya telah kami bangkitkan dalam setiap umat seorang rasul dengan ajaran sembahlah Allah dan jauhilah Thagut. (16:37). Dan tiada satu umat kecuali telah berlalu di dalamnya seorang pemberi peringatan. (35:25) Islam adalah agama pertama yang mengakui nabi-nabi dan seluruh agama yang diwahyukan walaupun nabi-nabi agama-agama terdahulu itu memusatkan perhatian mereka hanya kepada bangsa-bangsa dan suku-suku tertentu yang kepadanya mereka diutus. Nabi Suci Islam, Muhamamd saw diutus bukan hanya untuk bangsa Arab tetapi untuk seluruh manusia. Dan kami utus engkau sebagai Rasul bagi sekalian manusia. (4:80) Katakanlah Hai manusia , sesunggunya aku Rasulullahuntuk kalian semua yang pada-Nya kerajaan langit dan bumi. (7:159) Dan tidaklah kami utus engkau melainkan sebagai pembawa kabar suka dan pemberi peringatan kepada seluruh manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui . (34:29) Mari kita lihat kembali sejarah Islam dan lihatlah betapa prinsip-prinsip toleransi beragama diterapkan. Nabi Muhamamd saw dan pengikut beliau menderita bertahun-tahun oleh penganiayaan di Mekkah sebelum berhijrah ke tempat yang lebih aman di Madinah yang letaknya 200 mil dari Mekkah. Disana nabi Muhammad saw mengatur masyarakat kaum Muslimin dan salahsatu langkah per tama yang beliau ambil adalah mengadakan perjanjian dengan tiga golongan utama di Madinah meliputi kaum Yahudi, pengikut-pengikut beliau di Madinah (Anshor) dan golongan Muslim dari Mekkah (muhajirin). Dalam perjanjian per tama dengan golongan lain, kebebasan beragama diberikan kepada yang bukan muslim. Yahudi madinah bebas menjalankan agama mereka

40

sendiri. Mereka bebas untuk hidup menurut kepercayaan dan amalan mereka sendiri. Meman tak diragukan bahwa kemudian mereka dihalau dari Madinah tetapi itu bukanlah disebabkan kepercayaan agama mereka namun disebabkan merka tidak setia kepada negara. Nabi Suci Muhammad saw juga memberi jaminan kebebasan kepada kaum Kristen Najran, menjamin perlindungan terhadap jiwa, harta dan agama mereka. Bahwa gereja-gereja mereka tidak akan dihancurkan dengan cara apapun. Mereka tidak dibenarkan untuk diambil pajak nya secara tidak adil dan tidak dibenarkan ada gereja diruntuhkan untuk tujuan pembangunan Mesjid di tempat itu. Seandainya seorang Muslim menikahi wanita Kristen, wanita itu bebas menjalankan kewajiban agama nya sendiri. Orang-orang muslim harus siap membantu orang Kristen jika mereka perlu bantuan dalam memperbaiki tempat-tempat ibadah mereka. Kitab Suci Alquran secara jelas menjunjung perlakuan baik semua tempat ibadah dan juga kebebasan dalam memilihdan menjalankan agama: Jika tuhan tidak menolak manusia dengan sebagaian yang lain, niscaya diruntuhkan kebanyakan biara dan kuil dan Gereja dan Sinagog dan Mesjid yan dialamnya nama Tuhan banyak diingat. (22:41) tak ada Paksaan dalam agama (2:257) Islam lebih lanjut tidak membatasi keselamatan hanya untuk orang-orang Islam, Ayat berikut ini menunjukkan siapa saja yang beriman kepada Tuhan dan hari akhirat dan tulus serta beramal saleh tidak ada sebab untuk takut dan duka cita. Sesungguhnya mereka yang beriman, Yahudi dan Nasrani serta Sabiin yang percaya kepada Allah dan Hari Akhirat dan beramal saleh akan menerima ganjaran dari Tuhan mereka dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka berduka cita.

41

Islam Tidak Disebarkan dengan Pedang Ada satu kesalahpahaman yang berakar kuat bahwa Islam disebarkan dengan perdang, takada yang dapat lebih jauh kebenaran. Seperti telahdisebutkan Alquran menetapkan tak ada paksaan sama sekali dalam masalah agama. Dan Jika Tuhan engkau mau memaksakan kehendak-Nya pasti akan beriman mereka semua yang ada di bumi. Apakah engkau kemudian akan memaksa manusia menjadi beriman? (10:100) Barangsiapa menghendaki biarlah dia beriman dan barangsiapa menghendaki biarlah dia kafir. (18:30) Katakanlah: Hai Manusia, telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu. Maka barangsiapa mengikuti mengikuti petunjuk adalah untuk kebaikan dirinya sendiri, dan barangsiapa sesat adalah merugikan dirinya sendiri. Dan aku tidak menjadi penjaga atas kamu. (10:109) Tak ada paksaan dalam agama sesungguhnya telah nyata petunjuk daripada kesesatan. (2:257) Jangan kalian mencaci maki berhala-berhala yang diseru selain Allah, sebab bila kalian melakukannya, mereka akan balas mencaci maki Allah disebabkan mereka tidak mengetahui. (6:109) Benar bahwa kaum musimin berperang tetapi mereka hanya dibenarkan melakukan di bawah ketentuan-ketentuan tertentu. Kitab Suci Alquran menyatakan: Diizinkan berperang bagi mereka yang diperangi sebab mereka telah dianiaya dan sesungguhnya Allah berkuasa untuk menolong mereka. Yakni mereka yang diusir dari rumah-rumah mereka secara tidak adil hanya karena mereka mengatakan, tuhan kami adalah Allah (22: 40-41) Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang telah memerangi kamu tetapi janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

42

Ayat-ayat ini mengizinkan kaum uslimin untuk berperang hanya ketika mereka menjadi korban agresi dan kemerdekaan beragama ada dalam bahaya. Setiap orang yang mempelajari sejarah Islam mengetahui bahwa untuk waktu lama nabi Suci Muhmammad saw dan para pengikut beliau dianiaya oleh para penentang dalam usaha mereka untuk menghapuskan Islam dan kaum muslimin awal di tanah Arab. Islam berarti damai dan nabi Suci Muhammad saw selalu berusaha untuk menegakkan perdamaian dan membuat perjanjian-perjanjian damai dengan orang-orang yang memusuhi beliau, diantaranya adalah perjanjian Hudaibiah yang disetujui bahwa jika seorang kafir pergi kepada kaum muslimin dia harus dikembalikan. Perjanjian ini membuktikan bahwa tidak ada pemaksaan yang digunakan terhadap orang kafir. Itu merupakan perjanjian toleransi beragama, Alquran hanya mengizinkan perang mempertahankan diri. Sungguh tidak benar bahwa Islam mengizinkan memasukkan orang bukan islam dengan kekerasan dan paksaan, kenyatannya musuh-musuh Islam yang mengangkat senjata memerangi kaum muslimin. Ketika pasukan Salib Kristen merebut Yerusalem dari tangan kaum muslimin, mereka tanpa belas kasihan membantai penduduknya, tetapi ketika Salahuddin merebut kembali kota itu beliau memberi kebebasan kepada semua orang Kristen, membantu merkea dengan makanan dan uang serta memberi mereka kebebasan untuk pergi dan suatu jaminan untuk diri, harta dan gereja-gereja mereka dan kepada setiap orang mereka membayar jizyah yang ditetapkan bagi mereka. Khalifah Umar r.a. mengeluarkan perintah berikut ini kepada pasukanIslam: Jangan menghancurkan pohon-pohon buah atau tanah pertanian di jalan yang kalian lalui. Adillah dan jagalah perasaan orang-orang lemah. Hormatilah pemuka-pemuka agama-agama yang tinggal di biara atau pertapaan dan berilah tempat di gedung mereka. (church History by Andrew Miller).

43

Bukan hanya orang-orang itu menikmati kehidupan toleransi Islam dibawah pemerintah muslim tetapi juga perlakuan baik, pertimbagnan dan pemikiran yang jujur. Toleransi pemerintah-pemerintah Islam ini telah diletakkan dengan tepat oleh H.J. Schoops: Derajat toleransi yang demikian tetap asing untuk (pemerintah)Kristen Eropa selama berabad-abad. (The Religion of Mankind) Kadang-kaadang dinyatakan bahwa Islam tidak mengizinkan kaum muslimin menjalin hubungan dengan orang-orang dari agama-agama lain. Ini tidak benar dan tak ada dasar untuk keberatan ini. Sepanjang sejarah kita dapati orang-orang bukan Islam hidup di bawah pemerintahan-pemerintahan Islam dengan menikmati perlakuan hormat dan penghargaan. Khalifah kedua, Umar r.a. Mengeluarkan perintah bahwa orangorang Kristen dan YAHudi yang miskin harus dibantu dari perbendaharaan kaum muslimin (baitul Maal) Banyak contoh toleransi Islam dapat dicatat dari sejarah Islam dan dapat juga dilihat di masa sekarang. Kaum muslimin telah dapat memenangkan orangorang kepada Islam dengan kasihsayang, simpati dan kerendahan hati mereka. TOLERANSI DALAM ISLAM Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih Yang telah mengajarkan Al Quran. Shalawat dan salam tercurahkan atas Baginda Nabi Besar Muhammad SAW Sang Tauladan ummat dan segenap keluarganya, sahabatnya, dan bagi siapa saja yang mengikuti jalan mereka sampai dengan hari kiamat. Dunia Islam saat ini sedang didera oleh berbagai macam ujian baik dari luar maupun dari dalam. Salah satu yang membuat Islam semakin terpuruk adalah hilangnya sikap toleransi di antara ummat islam itu sendiri dengan sesama ummat islam. Faktor yang menyebabkan hal ini adalah mulai hilangnya ilmu dan ulama yang rabbany, sehingga banyak kita lihat masalah-masalah agama yang seyogyanya berbicara adalah orang-orang yang memiliki kapasitas

44

dan keahlian, sekarang ini semua ikut bicara. Jangankan orang yang hanya belajar dari buku dan terjemahan, bahkan orang yang tidak tahu pun ikut berbicara. Para ulama telah banyak memberikan petunjuk tentang tata cara menuntut ilmu dan adab-adab dalam menuntut ilmu, bahkan dalam berfatwa dan meminta fatwa, sehingga jika setiap pribadi muslim dapat menjalankan hal ini, maka pertentangan, sikap permusuhan maupun pertikaian yang muncul akibat perbedaan akan dapat diletakkan pada tempatnya sesuai dengan petunjuk agama. Toleransi erat kaitannya dengan perbedaan. Syaikh Muhammad Awwamah seorang ahli hadits zaman ini, menyusun dua buah kitab yang menjelaskan adab-adab dalam berbeda pendapat dan asal-usul perbedaan para ulama ditinjau dari ilmu hadits. Dari kedua kitabnya ini kita akan dapat memahami perbedaan yang terjadi dan bagaimana seharusnya kita bersikap dan akan menambah penghormatan kita kepada para ulama ummat. Dalam kesempatan ini kami menukil beberapa poin penting dalam kitab beliau tentang adab berbeda pendapat. Alikhtilaf atau perbedaan dari segi definisi sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ar Roghif Al Ashfahany dalam kitab Mufradat Al Quran adalah mengambilnya setiap orang jalan selain jalan yang diambil oleh orang lain baik dalam hal dan perkataannya. Secara umum perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga bagian : 1. Perbedaan Adyan (Agama) seperti Islam, Nasrani dan Yahudi 2. Perbedaan Aqoid (keyakinan) seperti Qodariyyah, jabariyyah, dan jahmiyyah selama tidak termasuk dalam bagian yang pertama. 3. Perbedaan Furu Fiqhiyyah (cabang-cabang fiqih) seperti mazhab Hanafi, mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Mazhab Hambali. Atau dengan kata lain dapat diungkapkan untuk istilah yang kedua dan ketiga dengan perbedaan dalam usul (pokok) islam selama tidak keluar dari agama dan perbedaan furu (cabang) islam.

45

Sebagai sebuah contoh adalah Iman dengan perkara yang gaib. Kalau kita telusuri sebagian dari perkara gaib ada yang termasuk usul islam yang tidak boleh khilaf padanya seperti iman dengan malaikat atau iman dengan hari akhir. Tetapi, sebagiannya ada juga yang merupakan perkara juziy (cabang) seperti masalah apakah Nabi Muhammad SAW melihat Allah SWT pada malam Miraj ataukah tidak?Masalah ini terjadi perbedaan dikalangan sahabat, dimana sahabat Ibnu Abbas menetapkan melihatnya Nabi dan Sayyidah Aisyah mengingkarinya, dan ini hal yang masyhur. Tetapi kita tidak mendengar keduanya saling mengkafirkan ataupun saling menyesatkan. Berkata Imam Adz Zahabi dalan sair alam an Nubala ketika menulis biografi Imam Muhammad bin Nashr : Sekiranya setiap ada seorang ulama salah dalam ijtihadnya pada perkara-perkara yang ahad dengan suatu kesalahan yang diampuni, lalu kita tindak keras dia dan kita bidahkan dan kita asingkan, maka tidak ada yang selamat, tidak kita ataupun Ibn Nashr, tidak pula Ibn Mandah dan tidak pula orang yang lebih besar dari keduanya. Allah SWT yang memberi petunjuk makhluk ke jalan kebenaran dan Kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan kasar (keras hati). Yang menjadi fokus pembahasan pada kali ini adalah perbedaan dalam hal furu fiqhiyyah. Ada tiga hal yang utama yang menjadi sebab perbedaan dalam furu islam yaitu : 1. Karakteristik akal seseorang yang dibebankan kepadanya hukum dan kejiwaannya 2. Karakteristik Nusus Attaklifiyyah (Ayat atau hadits yang berisikan hukum) 3. Karakteristik bahasa arab itu sendiri Akal dan kejiwaan seseorang sangat berpengaruh di dalam menyikapi suatu permasalahan, semakin luas aqalnya dengan ilmu dan bersih hatinya maka akan lebih mudah dan paham terhadap masalah yang dihadapi, demikian pula sebaliknya. Adapun ayat ataupun hadits yang berisikan hukum, banyak kita dapatkan dalam satu permasalahan mengandung lebih dari satu makna

46

(ihtimalat) yang memerlukan ijtihad yang kuat untuk dapat mengkuatkan makna yang satu atas yang lain. Demikian pula dengan karakteristik bahasa arab yang banyak mengandung hakikat dan majaz ataupun adl dad (makna yang berlawanan dalam satu kata) ataupun Isytirok (makna yang berbeda dalam satu kata). Contoh yang masyhur dalam hal ini adalah firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 228 : Dan wanita-wanita yang ditalak supaya menunggu dengan diri mereka tiga kali quru. Imam Baghawy dalam tafsirnya menukil perbedaan pendapat baik dari kalangan sahabat dan para ulama tentang makna Quru, apakah haid atau suci. Pendapat yang menyatakan bahwa Quru itu adalah Haid merupakan pendapat Umar, Ali, ibnu Masud, Ibnu Abbas, Hasan, Mujahid, Al Auzai, At Tsauri, dan Ashabu rayi. Sedangkan yang berpendapat bahwa Quru itu adalah suci merupakan pendapat dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Aisyah Fuqoha As sabah, Az Zuhri, Robiah, Malik dan Syafii. Dan tidak pernah dinukil dari mereka semua bahwa satu dengan yang lain mencela, menghina ataupun memutus silaturahmi (persaudaraan) karena hal tersebut Selain dari tiga sebab yang diatas ada hal lain pula yang mempengaruhi terjadinya perbedaan pendapat, yaitu sudut pandang dalam ilmu hadits dan usul fiqh. Untuk menjadi sebuah renungan kita simak sebuah kisah dari Ibnu Qutaibah dalam Uyunul Akhbar tentang percakapan antara Khalifah Makmun dan seorang yang murtad. Berkata Khalifah Makmun : Beritahu kepada kami apa yang menyebabkan engkau tidak betah dalam agama ini padahal sebelumnya engkau merasa damai dengannya dan tidak suka dengan yang lain. Jika engkau menemukan obat pada kami maka obatilah dengannya. jika ada yang salah memberi obat kemudian dia memberi obat atas penyakitmu itu dan engkau tidak bisa, maka tiada kembali atas dirimu itu suatu celaan. Dan jika kami bunuh engkau tentunya dengan hukum syariat dan engkau kembali pada dirimu dengan mata yang terbuka dan percaya diri dan engkau tahu bahwa engkau tidak lalai dalam ijtihadmu dan tidak melampui batas masuk dari segi

47

kepastian.. Si murtad berkata : Yang membuat aku tidak betah adalah banyaknya perbedaan yang terjadi pada kalian. Al Makmun berkata : kami memiliki dua perbedaan, salah satunya berupa perbedaan azan, takbir sholat jenazah, tasyahud, sholat hari raya, takbir hari tasyriq, macam bacaan, metodologi fatwa. Dan itu semua bukanlah perbedaan tapi sebuah pilihan, keluasan dan keringanan yang merupakan sebuah anugrah. Maka barang siapa yang azan dua-dua dan iqomah dua-dua tidak menyalahkan yang azan dua-dua dan iqomah satu-satu dan mereka tiada saling mencela. Perbedaan yang lain adalah perbedaan kami dalam hal menafsiri ayat kitab kami demikian pula hadits beserta kesepakatan kami dalam hal asal turunnya maupun hadits itu sendiri. Maka jika hal ini yang membuat engkau tidak betah seharusnya juga lafaz-lafaz Taurat dan Injil bersesuaian maknanya sebagaimana bersesuaian tentang turunnya dan harus tidak ada perbedaan antara orang yahudi dan orang nasrani tentang penafsirannya dan engkau seharusnya tidak kembali kecuali kepada bahasa yang tidak ada perbedaan dalam lafaznya. Jika Allah SWT berkehendak untuk menurunkan kitab atau menjadikan bahasa para Nabi dan pewaris Rasul tidak perlu kepada penafsiran, sungguh Allah SWT mampu melakukan itu. Tetapi kita tidak melihat sesuatupun dari perihal dunia dan agama yang diberikan kepada kita telah Jadi semua. Dan jika hal itu terjadi, hilanglah ujian dan cobaan dan tidak akan ada saling berlomba dan kejar mengejar dalam kemuliaan. Tentunya Allah SWT tidak membangun dunia ini untuk itu. Berkata Si Murtad :Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Isa itu seorang hamba dan Muhammad benar dan engkau amirulmuminin yang hak. Perbedaan pemahaman terhadap suatu nash tidak hanya terjadi setelah wafatnya Rasulullah SAW, akan tetapi perbedaan tersebut sudah terjadi semasa Beliau hidup. Dan yang berbeda pendapat itu adalah para sahabat. Salah satu contoh yang masyhur sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari juz 2 hal 15

48

no: 946 dan Imam Muuslim juz 3 hal 1391 no : 1770. dari sahabat Abdullah bin Umar RA : : : :

Artinya : Ibnu Umar Berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW kepada kami manakala Beliau kembali dari Perang Ahzab : Janganlah seorang dari kalian sholat asar kecuali di Bani Quraizhoh. Maka sebagian mereka mendapati waktu asar di jalan. Sebagian berkata Kami tidak akan sholat kecuali kami sampai disana. dan sebagin berkata Bahkan kami sholat, Beliau tidak menghendaki yang demikian itu. Maka diceritakanlah hal tersebut kepada baginda Nabi SAW maka Beliau tidak marah terhadap seorangpun dari mereka.(HR. Bukhari) Dari hadits tersebut dapat kita lihat bagaimana Para Sahabat memahami perintah Nabi SAW dan perbedaan pendapat mereka. Sebagian mengambil zohir (makna tersurat) dari hadits sehingga mereka meninggalkan sholat ashar pada waktunya karena melaksanakan perintah untuk tidak sholat ashar kecuali di Bani Quraizhoh, dan sebagian lagi mengambil makna tersirat dari perintah tersebut yaitu bersegera ke Bani Quraizhoh bukan berarti meninggalkan kewajiban sholat pada waktunya. Kedua pemahaman sahabat ini diakui oleh Baginda Nabi SAW. Demikian pula dengan masail furuiyyah, para ulama banyak berbeda pendapat karena perbedaan pemahaman baik terhadap ayat maupun hadits, namun mereka bersikap sesuai dengan akhlak Rasul SAW dan Sahabat dalam menyikapi perbedaan.

49

Pranata Sosial
1. Pengertian dan Fungsi Pranata Sosial Pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat. Pranata sosial berasal dari bahasa asing social institutions, itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan, di antaranya adalah Soerjono Soekanto. Lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai himpunan norma dari berbagai tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, pranata sosial merupakan kumpulan norma (sistem norma) dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Secara umum, pranata sosial mempunyai beberapa fungsi. Berikut ini fungsi-fungsi pranata sosial. a. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat dalam hal bertingkah laku dan bersikap dalam menghadapi masalah kemasyarakatan. b. Menjaga keutuhan dan integrasi masyarakat. c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya. Selain fungsi umum tersebut, pranata sosial memiliki dua fungsi besar yaitu fungsi manifes (nyata) dan fungsi laten (terselubung). a. Fungsi manifes adalah fungsi pranata sosial yang nyata, tampak, disadari dan menjadi harapan sebagian besar anggota masyarakat. Misalnya dalam pranata keluarga mempunyai fungsi reproduksi yaitu mengatur hubugnan seksual untuk dapat melahirkan keturunan. b. Fungsi laten adalah fungsi pranata sosial yang tidak tampak, tidak disadari dan tidak diharapkan orang banyak, tetapi ada. Misalnya dalam pranata keluarga mempunyai fungsi laten dalam pewarisan gelar atau sebagai pengendali sosial dari perilaku menyimpang.

50

2. Ciri-Ciri Pranata Sosial Meskipun pranata sosial merupakan sistem norma, tetapi pranata sosial yang ada di masyarakat memiliki ciri serta kekhasan tersendiri yang membedakannya dengan norma sosial. Adapun ciri-ciri atau karakteristik pranata sosial adalah meliputi hal-hal berikut ini. a. Memiliki Lambang-Lambang/Simbol Setiap pranata sosial pada umumnya memiliki lambang-lambang atau simbolsimbol yang ter-wujud dalam tulisan, gambar yang memiliki makna serta menggambarkan tujuan dan fungsi pranata yang bersangkutan. Contoh cincin pernikahan sebagai simbol dalam pranata keluarga, burung garuda merupakan simbol dari pranta politik negara Indonesia. b . Memiliki Tata Tertib dan Tradisi Pranata sosial memiliki aturan-aturan yang menjadi tata tertib serta tradisitradisi baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang akan menjadi acuan serta pedoman bagi setiap anggota masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya dalam pranata keluarga seorang anak wajib bersikap hormat kepada orang tua, namun tidak ada aturan tertulis yang baku tentang deskripsi sikap tersebut. Sementara itu dalam pranata pendidikan ada aturan-aturan tertulis yang wajib dipatuhi semua warga sekolah yang tertuang dalam tata tertib sekolah. c . Memiliki Satu atau Beberapa Tujuan Pranata sosial mempunyai tujuan yang disepakati bersama oleh anggota masyarakat. Tujuan pranata sosial kadang tidak sejalan dengan fungsinya secara keseluruhan. Contoh: Pranata ekonomi, antara lain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. d . Memiliki Nilai Pranata sosial merupakan hasil pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku dari sekelompok orang atau anggota masyarakat, mengenai apa yang baik dan apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian pranata sosial terdiri atas adat istiadat, tradisi atau kebiasaan serta unsur-unsur

51

kebudayaan lain yang secara langsung maupun tidak langsung bergabung dalam suatu fungsi, sehingga pranata sosial tersebut mempunyai makna atau nilai di dalam masyarakat tersebut. Contoh tradisi dan kebiasaan dalam pranata keluarga adalah sikap menghormati atau sikap sopan santun terhadap orang yang lebih tua. e . Memiliki Usia Lebih Lama (Tingkat Kekekalan Tertentu) Pranata sosial pada umumnya memiliki umur lebih lama daripada umur manusia. Pranata sosial pada umumnya tidak mudah berganti atau berubah. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya pranata sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pranata sosial yang telah diterima akan melembaga pada setiap diri anggota masyarakat dalam jangka waktu relatif lama sehingga dapat di-tentukan memiliki tingkat kekekalan tertentu. Contohnya tradisi silaturahmi pada waktu hari raya lebaran, merupakan tradisi turun temurun dari dulu hingga sekarang. f . Memiliki Alat Kelengkapan Pranata sosial dan memiliki sarana dan prasarana yang digunakan untuk mencapai tujuan. Misalnya mesin produksi pada sebuah pabrik merupakan sarana dalam pranata ekonomi untuk menghasilkan barang. 3. Penggolongan Pranata Sosial Berdasarkan fungsi-fungsi secara umum dan karakteristiknya tersebut, pranata sosial dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut. Berikut ini beberapa tipe atau penggolongan pranata sosial. A. Berdasarkan perkembangannya, pranata sosial dapat dibedakan menjadi crescive institutions dan enacted institutions. 1) Crescive institutions adalah pranata sosial yang secara tidak sengaja tumbuh dari kebiasaan masyarakat. Misalnya: tata cara perkawinan, norma-norma, dan berbagai upacara adat.

52

2) Enacted institutions adalah pranata sosial yang sengaja dibentuk untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Misalnya: lembaga pendidikan, lembaga keuangan, lembaga kesehatan, dan lain-lain. B. Berdasarkan sistem nilai/kepentingan yang diterima masyarakat, pranata sosial dapat dibedakan menjadi basic institutions dan subsidiary institutions. 1) Basic institutions adalah pranata sosial yang dianggap penting dalam upaya pengawasan terhadap tata tertib di masyarakat. Misalnya keluarga, sekolah, dan negara. 2) Subsidiary institutions adalah pranata yang dianggap kurang penting. Misalnya tempat-tempat hiburan atau rekreasi. C. Berdasarkan penerimaan masyarakat, pranata sosial dapat dibedakan menjadi approved institutions dan unsanctioned institutions. 1) Approved institutions adalah bentuk pranata sosial yang diterima secara umum oleh masyarakat. Misalnya lembaga pendidikan, lembaga peradilan, dan lainlain. 2) Unsanctioned institutions adalah bentuk pranata sosial yang secara umum ditolak oleh masyarakat. Misalnya berbagai perilaku penyimpangan, seperti merampok, memeras, pusat-pusat perjudian, prostitusi, dan lain-lain. D. Berdasarkan faktor penyebarannya, pranata sosial dapat dibedakan menjadi general institutions dan restricted institutions. 1) General institutions adalah bentuk pranata sosial yang diketahui dan dipahami masyarakat secara umum. Misalnya keberadaan agama dalam kehidupan. 2) Restricted institutions adalah bentuk pranata sosial yang hanya dipahami oleh anggota kelompok tertentu. Misalnya pelaksanaan ajaran agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, atau berbagai aliran kepercayaan lainnya.

53

E. Berdasarkan fungsinya, pranata sosial dapat dibedakan menjadi cooperative institutions dan regulative institutions. 1) Cooperative institutions adalah bentuk pranata sosial yang berupa kesatuan pola dan tata cara tertentu. Misalnya pranata perdagangan dan pranata industri. 2) Regulative institutions adalah bentuk pranata sosial yang bertujuan mengatur atau mengawasi pelaksanaan nilai-nilai atau norma-norma yang berkembang di masyarakat. Misalnya pranata hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan). 4. Macam-Macam Pranata Pranata sosial pada dasarnya adalah sistem norma yang mengatur segala tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hidup bermasyarakat. Seperti yang telah dijelaskan di depan, pranata sosial di masyarakat mempunyai beberapa fungsi. Fungsi-fungsi pranata tersebut terwujud dalam setiap macam pranata yang ada di masyarakat. Adapun macam-macam pranata sosial yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, antara lain pranata keluarga, pranata agama, pranata ekonomi, pranata pendidikan, dan pranata politik. a. Pranata Keluarga Pranata keluarga adalah bagian dari pranata sosial yang meliputi lingkungan keluarga dan kerabat. Pembentukan watak dan perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh pranata keluarga yang dialami dan diterapkannya sejak kecil. Bagi masyarakat, pranata keluarga berfungsi untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. 1 ) Pengertian Keluarga Keluarga adalah satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat. Satuan kekerabatan dapat disebut keluarga disebabkan adanya perkawinan atau keturunan. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan adalah suatu ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

54

Berdasarkan jumlah anggotanya, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga inti dan keluarga luas. a) Keluarga inti atau batih (nuclear family) adalah satuan kekerabatan yang terdiri atas ayah dan ibu (orang tua) beserta anak-anaknya dalam satu rumah. Ada juga keluarga inti yang belum atau tidak mempunyai anak. b) Keluarga luas (extended family) adalah satuan kekerabatan yang terdiri atas lebih dari satu generasi atau lebih dari satu keluarga inti dalam satu rumah. Misalnya, keluarga yang memiliki kakek atau nenek, paman atau bibi, keponakan, dan lain-lain yang tinggal serumah. Keluarga dianggap sebagai satuan sosial mendasar yang akan membentuk arah pergaulan bagi masyarakat luas. Artinya, keluarga yang serasi dan harmonis akan membentuk lingkungan masyarakat yang harmonis pula, demikian juga sebaliknya. 2 ) Peran atau Fungsi Pranata Keluarga Sebagai salah satu bentuk pranata sosial, pranata keluarga mempunyai beberapa fungsi, Berikut ini beberapa fungsi keluarga. a) Fungsi reproduksi; keluarga merupakan sarana untuk memperoleh keturunan secara sehat, terencana, terhormat, sesuai dengan ajaran agama, dan sah di mata hukum. b) Fungsi keagamaan; pada umumnya suatu keluarga penganut agama tertentu akan menurunkan agama atau kepercayaannya kepada anak-anaknya. Anakanak akan diajari cara berdoa atau beribadah sesuai dengan keyakinan orang tuanya sejak dini. Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita temui keluarga yang terdiri atas berbagai macam agama di dalamnya, akan tetapi prosentasenya sangat kecil. c) Fungsi ekonomi; keluarga merupakan suatu wadah dalam usaha mengembangkan serta mengatur potensi dan kemampuan ekonomi. Di masyarakat pedesaan atau pertanian, keluarga merupakan sumber tenaga kerja,

55

mereka bersama-sama mengelola lahan pertanian sesuai dengan kemampuan dan tenaga masing-masing. d) Fungsi afeksi; norma afeksi ada dan diadakan oleh para orang tua untuk mewujudkan rasa kasih sayang dan rasa cinta, sehingga dapat menjaga perasaan masing-masing anggota keluarga agar tercipta kerukunan dan keharmonisan hubungan di dalam keluarga. Fungsi afeksi berisi norma atau ketentuan tak tertulis mengenai bagaimana seseorang harus bersikap atau berperilaku di dalam keluarga dan masyarakat. Norma afeksi penting ditanamkan pada anakanak sejak dini agar anak dapat mengenal, mematuhi, dan membiasakan diri dalam perilakunya sehari-hari. e) Fungsi sosialisasi; memberikan pemahaman tentang bagaimana seorang anggota keluarga bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain dalam keluarga. Anak-anak telah dikenalkan dengan kedudukan dan status tiap-tiap anggota keluarga dan kerabat lainnya. Dengan demikian, anak secara tidak langsung telah belajar dengan orang lain dalam keluarga dan kerabat, sehingga mereka bisa membedakan sikap dan cara bicaranya saat ber-interaksi dengan anggota keluarga lainnya. Misalnya, sikap terhadap kakek tentu berbeda dengan sikap terhadap adik atau keponakan. f) Fungsi penentuan status; melalui keluarga seorang anak memperoleh statusnya dalam masyarakat, seperti nama, jenis kelamin, hak waris, tempat dan tanggal lahir, dan sebagainya. g) Fungsi pendidikan; keluarga merupakan satuan kekerabatan yang pertama kali dikenal oleh anak, sehingga di keluargalah anak memperoleh pendidikan pertamanya dari orang tua atau kerabat lainnya. Orang tua, dalam hal ini ayah dan ibu memiliki tanggung jawab yang sama untuk memberikan dasar pendidikan yang baik bagi anak sebelum mereka memasuki masa bermain di lingkungan dan sekolahnya. h) Fungsi perlindungan; keluarga merupakan tempat berlindung lahir batin bagi anak khususnya dan bagi seluruh anggota keluarga pada umumnya.

56

Berdasarkan fungsi ini, anak atau anggota keluarga lain merasa aman, nyaman, dan dapat menerima curahan kasih sayang dari orang tua atau dari sesama anggota keluarga. Mengingat arti penting pranata keluarga tersebut, maka perlu diciptakan suasana keluarga yang harmonis sehingga dapat digunakan sebagai tempat pendidikan anak yang pertama dan utama. B. Pranata Agama 1 ) Pengertian Agama Agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta mencakup pula tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan antarmanusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, agama memiliki arti yang lebih luas, karena mencakup juga aliran kepercayaan (animisme atau dinamisme) yang sebenarnya berbeda dengan agama. 2 ) Peran atau Fungsi Pranata Agama Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat penganut agama. Berbagai jenis agama dan kepercayaan tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan suatu pranata, yaitu norma yang mengatur hubungan antarmanusia, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan Tuhannya sehingga ketenteraman dan kedamaian batin dapat dikembangkan. Sebagai salah satu bentuk pranata sosial, pranata agama memiliki beberapa fungsi berikut ini. 1) Fungsi ajaran atau aturan; memberi tujuan atau orientasi sehingga timbul rasa saling hormat antarsesama manusia. Agama juga dapat menumbuhkan sikap disiplin, pengendalian diri, dan mengembangkan rasa kepekaan sosial. Tiap-tiap ajaran agama pada dasarnya mengarah ke satu tujuan, yaitu kebaikan. 2) Fungsi hukum; memberikan aturan yang jelas terhadap tingkah laku manusia akan hal-hal yang dianggap benar dan hal-hal yang dianggap salah.

57

3) Fungsi sosial; sehubungan dengan fungsi hukum, aturan agama juga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial manusia, yaitu sebagai dasar aturan kesusilaan dalam masyarakat, misalnya dalam masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, perkawinan, kesenian, arsitektur bangunan, dan lain-lain. 4) Fungsi ritual; ajaran agama memiliki cara-cara ibadah khusus yang tentu saja berbeda dengan agama lainnya. Seseorang yang telah menentukan agamanya, harus mau menjalankan ibadah sesuai yang diperintahkan Tuhan dengan ikhlas sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam kitab suci. Dengan mendalami dan memahami ajaran agama, seseorang akan mengetahui sanksi yang akan diterimanya jika ia melakukan pelanggaran. Hal ini akan membuat orang melakukan pengendalian diri agar dapat selalu menjauhi larangan-Nya dan berusaha selalu melakukan perintah-Nya. 5) Fungsi transformatif; agama dapat mendorong manusia untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Misalnya, dengan agama, umat manusia mampu menciptakan karyakarya seni besar, seperti candi, masjid, dan bangunan-bangunan lainnya; penyebab timbulnya penjelajahan samudra salah satunya didorong oleh keinginan menyebarkan agama. Pada umumnya, suatu agama memiliki aturan yang berbeda dengan ajaran agama lain. Oleh karena itu, kita harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat agar tidak terjebak dalam fanatisme agama yang berlebihan. Dengan kata lain, kita harus mampu menyeimbangkan antara hubungan vertikal kita dengan Tuhan (melalui ajaran agama) dan hubungan horizontal kita dengan sesama manusia atau masyarakat. Bila keadaan ini dapat kita ciptakan dan pelihara, maka akan tercipta suatu kehidupan keagamaan yang serasi dan saling menghormati sebagaimana termuat dalam butir II sila I Pancasila, Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.

58

c . Pranata Ekonomi 1 ) Pengertian Ekonomi Secara umum, ekonomi diartikan sebagai cabang ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan konsumsi barang-barang serta kekayaan (seperti halnya keuangan, perindustrian, dan perdagangan). Dalam hal ini, ekonomi diartikan sebagai tata tindakan dalam memanfaatkan uang, tenaga, waktu, atau barang-barang berharga lainnya. 2 ) Peran atau Fungsi Pranata Ekonomi Pranata ekonomi merupakan bagian dari pranata sosial yang mengatur kegiatan ekonomi, seperti produksi, distribusi, dan konsumsi barang/jasa yang dibutuhkan manusia. Pranata ekonomi ada dan diadakan oleh masyarakat dalam rangka mengatur dan membatasi perilaku ekonomi masyarakat agar dapat tercapai keteraturan dan keadilan dalam perekonomian masyarakat. Pranata ekonomi muncul sejak adanya interaksi manusia, yaitu sejak manusia mulai membutuhkan barang atau jasa dari manusia lain. Bentuk paling sederhana dari pelaksanaan pranata ekonomi adalah adanya sistem barter (tukar menukar barang). Akan tetapi, untuk kondisi saat ini, sistem barter telah jarang digunakan dan sulit untuk diterapkan. Secara umum, peran-peran pranata ekonomi dapat dibedakan atas peran pranata ekonomi produksi, peran pranata ekonomi distribusi, dan peran pranata ekonomi konsumsi. a) Peran pranata ekonomi produksi Kegiatan produksi meliputi unsur-unsur bahan dasar, modal, tenaga kerja, dan manajemen. Pemanfaatan unsurunsur produksi tersebut harus melalui aturan yang berlaku agar tercapai suatu keseimbangan dan keadilan sosial. Sebagai contoh, penggunaan tenaga kerja harus memenuhi beberapa syarat, antara lain, usia pekerja, jam kerja, jam lembur, upah kerja, hak cuti, dan sebagainya. Di dalam pemanfaatan sumber daya alam, pranata ekonomi berperan dalam menjaga keseimbangan dalam pemanfaatannya. Aturan-aturan dibuat

59

sedemikian rupa sehingga para pelaku produksi dapat memanfaatkan ketersediaan sumber daya alam secara efektif dan efisien. Beberapa aturan dalam pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia, antara lain, dilakukan dengan cara-cara berikut ini. (1) Monopoli pemerintah; dilakukan oleh negara untuk menjamin ketersediaan suatu sumber produksi. Pada umumnya sumber-sumber produksi tersebut sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, misalnya minyak, air, listrik, dan lain-lain. (2) Monopoli swasta; dilakukan oleh pihak swasta melalui perjanjian atau kontrak kerja khusus dengan pemerintah untuk memanfaatkan suatu sumber daya alam tertentu. Contoh monopoli swasta adalah monopoli garam, monopoli cengkih, Hak Pengusahaan Hutan, dan lainlain. (3) Kuota; dilakukan pemerintah untuk membatasi produksi dan konsumsi terhadap suatu barang atau sumber alam. Hal ini dimaksudkan agar produksi dan pengolahan sumber daya alam tersebut dapat dilakukan dengan hemat atau tidak berlebihan. (4) Proteksi; dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi produk lokal dari persaingan produk luar negeri (impor). Dalam hal ini, pemerintah memandang bahwa produk lokal akan kalah bersaing dengan produk impor, sehingga pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk impor tertentu atau bahkan melarangnya sama sekali. b) Peran pranata ekonomi distribusi Distribusi merupakan kegiatan menyalurkan barang hasil produksi ke konsumen untuk dikonsumsi. Pendistribusian penting dilakukan untuk mencapai kemakmuran rakyat dengan cara memeratakan ketercukupan kebutuhan rakyat akan barang atau jasa. Dengan adanya proses distribusi, maka produsen dapat menjual hasil produknya dan konsumen dapat memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan. Melalui distribusi pulalah, arus perdagangan dapat berjalan.

60

c) Peran pranata ekonomi konsumsi Konsumsi adalah kegiatan menghabiskan atau menggunakan nilai guna suatu barang atau jasa. Penggunaan atau pemanfaatan nilai guna barang atau jasa tersebut dapat dilakukan sekaligus ataupun secara berangsurangsur. Pemenuhan kebutuhan manusia dalam berkonsumsi dipengaruhi oleh kemampuan manusia yang diukur melalui tingkat pendapatan atau penghasilan. Hal yang harus diperhatikan adalah kebutuhan manusia dalam berkonsumsi tidak terbatas, sedangkan kemampuan manusia terbatas. Oleh karena itu, manusia harus pandai-pandai membelanja-kan uangnya sesuai dengan tingkat kebutuhan. Berdasarkan peran-peran tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa peran atau fungsi pokok pranata ekonomi adalah mengatur kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi agar dapat berjalan dengan lancar, tertib dan dapat memberi hasil yang maksimal dengan meminimalisasi dampak negatif yang ditimbulkan. d . Pranata Pendidikan 1 ) Pengertian Pendidikan Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran atau pelatihan. Di Indonesia, pendidikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pendidikan sekolah (pendidikan formal) dan pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal). Pada perkembangannya, ada beberapa ahli sosiologi yang menambahkan satu golongan pendidikan lagi, yaitu pendidikan yang diperoleh melalui pengalaman atau kehidupan sehari-hari (pendidikan informal). 2) Peran atau Fungsi Pranata Pendidikan Pranata pendidikan berfungsi untuk mempersiapkan manusia agar mampu mencari nafkah hidup saat ia dewasa kelak. Persiapan-persiapan yang dimaksud, meliputi kegiatan dalam: a) meningkatkan potensi, kreativitas, dan kemampuan diri;

61

b) membentuk kepribadian dan pola pikir yang logis dan sistematis; serta c) mengembangkan sikap cinta tanah air. Dengan pranata pendidikan, diharapkan hasil sosialisasi akan membentuk sikap mental yang cocok dengan kehidupan di masa sekarang dan yang akan datang. e . Pranata Politik 1 ) Pengertian Politik Politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, meliputi segala urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Di dalam hal ini, yang dimaksud politik adalah semua usaha dan aktivitas manusia dalam rangka memperoleh, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Pranata politik adalah serangkaian peraturan, baik tertulis ataupun tidak tertulis yang berfungsi mengatur semua aktivitas politik dalam masyarakat atau negara. Di Indonesia, pranata politik tersusun secara hierarki, berikut ini. a) Pancasila b) Undang-Undang Dasar 1945 c) Ketetapan MPR d) Undang-Undang e) Peraturan Pemerintah f) Keputusan Presiden g) Keputusan Menteri h) Peraturan Daerah Pranata-pranata tersebut diciptakan masyarakat Indonesia sesuai dengan jenjang kewenangannya masing-masing, dan dimaksudkan untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara.

62

2 ) Fungsi atau Peran Pranata Politik Seperti halnya pranata sosial lainnya, pranata politik juga mempunyai peran atau fungsi. Beberapa peran atau fungsi pranata politik, antara lain, meliputi halhal berikut ini. a) Pelindung dan penyaluran aspirasi/hak asasi manusia; sesuai dengan UUD45, bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka rakyat berhak berpolitik sejauh tetap mematuhi kaidah-kaidah politik yang telah ditetapkan. b) Memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat; dalam hal ini rakyat secara langsung mulai dilibatkan dalam proses penentuan kebijakan. Rakyat ditempatkan sebagai subjek dan bukannya objek kebijakan. Dengan cara ini, akan dapat tercapai keberhasilan pembangunan dan meningkatkan stabilitas sosial. c) Meningkatkan kesadaran berpolitik di kalangan masyarakat; hal ini terlihat dari meningkatnya keikutsertaan masyarakat dalam pemilu, kesadaran dalam mengawasi jalannya pemerintahan, dan adanya tuntutan transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

63

BAB III PENUTUP Kesimpulan

Stratifikasi sosial adalah sebuah pembedaan golongan pada masyarakat berdasarkan lapisan sosial tertentu.. Status sosial adalah sebuah unsur terbentuknya stratifikasi sosial, sedangkan stratifikasi sosial adalah pembedaan golongan berdasarkan status sosialnya. Faktor yang mempengaruhi terjadinya stratifikasi sosial adalah jenis kelamin, kekayaan, keturunan,senioritas, dan pendidikan. Macam-macam terbentknya stratifikasi sosial yakni melalui proses otomatis yaitu telah terjadi sejak lama dan turun temurun, dan proses sengaja untuk tujuan bersama. Ada tiga macam sifat stratifikasi, yakni : Stratifikasi sosial tertutup, stratifikasi sosial terbuka, dan stratifikas sosial campuran.

64

SUMBER http://xa.yimg.com/kq/groups/......../agama+dan+perubahan+social.pdf http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/15/agama-dan-perubahan-sosialsebuah-telaah-pemikiran-karl-marx-dan-emile-durkheim/ http://punyahari.blogspot.com/2010/04/agama-dan-perubahan-sosialindonesia.html www.scribd.com/doc/32303474/islam-dan-perubahan-sosial http://pancalongka.blogspot.com/2012/01/keadilan-dan-kesejahteraan.html http://knights-of-masjid-blogspot.com/2011/04/meluruskan-makna-toleransidalam-islam.html http://agama-islam.org/toleransi-dalam-islam/ http://bergaqmuslim.blogspot.com/2012/03/toleransi-dalam-islam.html

65

Anda mungkin juga menyukai