Anda di halaman 1dari 36

KELOMPOK 12

Wawasan Islam Tentang Ilmu Sosial

ANGGOTA
IKA DWI DAMAYANTI MUTIARA ZEIN RADEN RISMA OKSA DAENG

Wawasan Islam Tentang Ilmu Sosial


1. Stratifikasi Sosial A. Pengertian Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial adalah suatu pembedaaan masyarakat berdasarkan lapisan sosial tertentu yakni terdiri atas lapisan atas, menengah dan bawah. Dan semuanya itu diukur dari kekayaan, keturunan, kekuasaan, serta pendidikan dalam suatu masyarakat. Oleh karena status, baik yang berupa harta, kedudukan atau jabatan seringkali menciptakan perbedaan dalam menghargai seseorang.

B. Sifat Stratifikasi Sosial Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedakan menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran. 1. Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification) Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja. Contoh: 1. Sistem kasta ; Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana, 2. Rasialis ; Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih. 3. Feodal ; Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan atau majikan. 2.Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification) Stratifikasi ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Contoh: 1. Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya. 2. Seorang yang tidak atau kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha. 3. Stratafikasi Sosial Campuran Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya : orang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.

C. Sebab Timbulnya Stratifikasi Sosial Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat atau seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.

D. Macam Terbentuknya Proses Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial terjadi melalui proses sebagai berikut: 1. Terjadinya secara otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya, kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat. 2. Terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama. Biasanya dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasiorganisasi formal, seperti : pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata.

E. Macam-macam Stratifikasi Sosial Berdasarkan Cara Memperolehnya 1. Ascribed Status Ascribed Status merupakan status yang diperoleh seseorang secara alamiah, artinya posisi yang melekat dalam diri seseorang diperoleh tanpa melalui serangkaian usaha. Beberapa status sosial yang melekat pada seseorang yang diperoleh secara otomatis, adalah sebagai berikut : 1.Status Perbedaan Usia 2.Stratifikasi Berdasarkan Jenis Kelamin (Gender Sex Stratification) 3.Status di dasarkan pada system kekerabatan 4.Stratifikas Berdasarkan Kelahiran (Born Stratification) 5.Stratafikasi Berdasarkan Kelompok Tertentu (Grouping Stratification)

2. Archieved Status
Achieved Status merupakan status sosial yang disandang melalui perjuangan. Pola-pola ini biasanya banyak terjadi distruktur sosial yang telah mengalami perubahan dari polapola tradisional kearah modern. Lebih-lebih dalam struktur masyarakat kapitalis liberal dengan menekan pada kebebasan individu untuk mencapai tujuan masing-masing yang sarat dengan persaingan, dalam struktur seperti itu, biasanya struktur sosial lebih terbuka sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk meraih status sosial ekonomi sesuai dengan tujuan masing-masing, beberapa contoh model ini adalah sebagai berikut :
1.Stratifikasi Berdasarkan Jenjang Pendidikan (Education Stratification) 2. Stratifikasi di Bidang Senioritas 3.Stratifikasi di Bidang Pekerjaan 4.Stratifikasi di Bidang Ekonomi

3. Assigned Status Assigned Status adalah status sosial yang diperoleh seseorang atau kelompok orang dari pemberian. Akan tetapi status sosial yang berasal dari pemberian ini sebenarnya juga tak luput dari usaha-usaha seseorang atau sekelompok orang sehingga dengan usaha-usaha tersebut ia memperoleh penghargaan. F. Stratifikasi Sosial Dalam Pandangan Islam Dalam pandangan islam, semua manusia adalah ciptaan Allah. Semua mempunyai kedudukan yang sama di hadapan-Nya. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Allah SWT berfirman Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa di antara kamu (QS. Al-Hujurat : 15) Stratifikasi umat islam berdasarkan ketaqwaan digambarkan Allah sebagai berikut : I. Golongan Nabi II. Golongan Orang yang Shidiq III. Golongan Orang yang Mati Syahid IV. Golongan Orang yang Sholeh

2. Agama dan Perubahan Sosial: (Sebuah Telaah Pemikiran Karl Marx dan Emile Durkheim)

I. Pengantar Fenomena perubahan sosial dewasa ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil kebudayaan, yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan penting dalam perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan adanya agama. II. Agama dan Masyarakat

Keberadaan agama atau kepercayaan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Manusia pada awalnya menyadari bahwa ada kekuatan yang melampaui kekuatan yang ada pada dirinya. Karenanya manusia mulai menyembah dewa-dewa; animisme dan dinamisme mulai berkembang. Bersamaan dengan kesadaran dan tindakan penyembahan ini, manusia lalu menciptakan agama dan secara serentak pula bersamaan mereka menciptakan karya-karya seni. Kesadaran diri sebagai manusia jelas tidak dapat dilepaskan dari adanya manusia lain di luar dirinya yang kemudian membentuk masyarakat atau kelompok manusia

III. Karl Marx : Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial

Dalam kerangka memahami dan menganalisa hubungan antara agama dan perubahan sosial, menurut Karl Marx, maka terlebih dahulu perlulah melihat garis besar gagasan dan pandangannya tentang agama. Agama Sebagai Alat Penindasan Pemahaman terhadap pemikiran Marx mau tidak mau perlu memahami dan mengikuti pemikirannya dan memasukkan agama ke dalam suatu kerangka kehidupan bermasyarakat. Marx memang bahwa agama hanyalah merupakan suatu gejala sosial yang berupaya meyakinkan masyarakat kelas bawah yang kemudian berdampak pada kelanggengan kekuasaan kelas atas atau kelompok yang berkuasa. Dengan jelas ia katakan bahwa agama adalah candu rakyat.

IV. Emile Durkheim: PerubahanSosial

Tentang

Relasi

Agama

dan

Agama, menurut Durkheim, didefinisikan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Definisi ini menyiratkan dua unsur yang penting, yang menjadi syarat adanya agama. Prasyarat itu adalah sifat kudus agama dan praktek-praktek ritual agama. Bertitik tolak dari pengertian atau pengartian yang dikatakan sebelumnya, agama dengan demikian tidak serta merta melibatkan konsep adanya suatu makhluk supranatural. Durkheim juga melihat agama sebagai sesuatu yang selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis. a. Sifat Kudus Agama b. Ritual Agama c. Fungsi Agama

3. AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL INDONESIA


Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial diIndonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia.Dalam konteks ini pula, penulis ingin membedah dengan pisau analisis sosiologis arah perubahan di Indonesia yang disebabkan keberadaan agama dengan berbagai potretnya. Kehadiran agama pada dasarnya selalu disertai dengan dua muka (janus-face). Pada satu sisi, secara fungsional agama mempunyai watak sebagai perekat sosial, memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan yang memelihara kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain, agama juga mempunyai kecenderungan atomisasi (memecahbelah), disintegrasi, dan intoleransi. Secara teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami dari dua bentuk antagonisme dalam agama. Pertama, ketegangan atau konflik yang berkembang di kalangan umat suatu agama (intern). Kedua, ketegangan atau konflik yang terjadi antar umat beragama (ekstern).

Untuk beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan agama Islam dengan kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui pengamatan yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah institusi-institusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas terkesan kegairahan menghayati agama meningkat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang nota-bene terdidik. Atau paling tidak pendidikannnya relatif sudah mapan. Kenyataan ini tidak memberikan jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini mencerminkan bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab hal ini berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang bernuansa agama (Islam) dan adanya tekanan-tekanan terhadap para penganutnya. Dari kenyataan demikian, nampak adanya dapat disebut ideologi yang dapat menyaingi keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat dengan cara menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup apabila sudah melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah. Sedangkan tanggung jawab sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal semestinya ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan akan tetapi kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama (Islam) lebih ditekankan.

Merujuk pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di Indonesia sampai sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi (penjungkirbalikan nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun yang tak kunjung selesai. Hal ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail (2001:239), bahwa alienasi tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan semata. Dehumanisasi semakin marak ekses dari proses pembangunan yang mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan. Kenyataan ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba) membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh subur munculnya aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan.

Pada hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap kehidupan manusia. Agama dan Perubahan merupakan dua entitas yang seperti berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau lebih, adalah sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kemungkian saja dua entitas itu saling melengkapi ( complementary), dan boleh jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa juga, agama dan perubahan dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya, perubahan dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti ajaran agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert N.Bellah, dan yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial. Makna perubahan kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam, sebagai keharusan universal meminjam istilah Islam sunnnahtullah agar dapat merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrindoktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah demikian, tidak mustahil agama akan ditinggalkan oleh umatnya dan boleh jadi belakangan menjadi gulung tikar karena dianggap sudah tidak up to date. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman diskursus agama di satu sisi, dan perubahan di sisi lain sebagai bagian satu entitas yang tak dapat dipisahkan sebab yang satu mensifati yang lain. Perubahan berfungsi sebagai sifat kecenderungan, titik tekan, atau melingkupi keberadaan agama. Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai peristiwa di belahan dunia tentang perubahan sosial yang diakibatkan ekses dari agama, seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau belakangan kasus bom Bali di Indonesia.

Identifikasi di atas tidak hanya di fokuskan pada perubahan yang berorientasi progress (arah kemajuan) semata, tetapi ke arah regress (kemunduran) pun menarik untuk dijadikan contoh. Memang tidak selamanya perubahan yang diakibatkan sepak terjang agama dapat berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak sedikit perubahan yang mengarah pada kemunduran (regress) sebuah peradaban bangsa tertentu yakni seperti terjadinya perang Salib di masa lalu (antara Islam dan Kristen) atau konflik-konflik yang mengatasnamakan agama. Sedangkan perubahan yang mengarah pada kemajuan (progress) peradaban manusia, posisi agama pun memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama, manusia dapat menebarkan perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis dalam menatap masa depan, menciptakan alat-alat teknologi untuk peningkatan kesejahteraan, menegakkan keadilan, sekaligus pemihakan terhadap golongan lemah. Tanpa itu, dapat dipastikan semakin lama sesuai dengan tuntutan zaman, agama akan ditinggalkan oleh pemeluknya dan pada akhirnya gulung tikar seperti yang di alami oleh agama-agama Mesir kuno. Meskipun acap kali tidak mudah untuk mensosialisasikan agama sebagai bagian dari spirit proses perubahan sosial. Adalah ilustrasi yang menarik dari beberapa contoh kasus diIndonesia yakni, perubahan sosial yang dilandasi oleh semangat keagamaan seringkali menghadirkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat beranggapan, bahwa agama semestinya banyak mengambil peran dalam berbagai aspek, terutama dalam rangka pengandalian masyarakat (social control). Mereka berdalih, secara common-sense menjadi lumrah kalau agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari berbagai aktivitas kehidupan sosial di Indonesia. Kenapa? Sebab mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama. Kemudian masalah berkembang, yakni agama mana yang layak menjadi dominan mempengaruhi pola prilaku masyarakat? Pernyataan terakhir ini, dapat didiskusikan dalam konteks logika kekuasaan dengan lebih intens.

Sementara bagi sebagian masyarakat yang tidak menghendaki agama hadir di berbagai moment, beranggapan, agama adalah urusan privat dan sangat personal. Urusan yang berkaitan dengan persoalan seperti, politik, ekonomi, budaya, dan semua yang ada kaitannya dengan publik, maka tidak menjadi kemestian agama dilibatkan, apalagi agama tertentu. Semisal, kasus RUU APP, poligami dan lain sebagianya, merupakan potret fenomena komunitas yang berpaham perlunya pemisahan antara urusan agama pada satu sisi, dan urusan sosial di sisi lain. Komunitas ini berpendapat, untuk menjaga keutuhan bangsa tidak diperlukan kehadiran agama apapun dalam konstelasi pembangunan bangsa. Apalagi Indonesia menurut mereka, tidak mengenal paham teokrasi ( negara agama). Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah keberadaan agama cukup kita hadirkan hanya dalam urusan yang sifatnya privat/personal dan domestik. Dengan begitu, jargon keutuhan bangsa adalah harga mati dan mutlak harus dikedepankan ketimbang menjadikan agama tertentu sebagai pedoman atau norma pergaulan sosial. Ataukah dengan menghadirkan agama sebagai landasan norma bernegara dan berkebangsaan dapat menjamin akan adanya ketertiban masyarakat pada umumnya. Untuk memastikan survival-nya di antara kedua paham ini, sebetulnya lebih ditentukan oleh seleksi alam, artinya, paham mana yang dapat menjamin ketertiban dan kelangsungan hidup masyarakat pada umumnya dan paham mana yang hanya sebatas psedoideologi semata.

Dalam konteks pergolakan politik di Indonesia, belakangan ini banyak mengalami perubahan yang sangat signifikan. Semenjak pasca Orba, keberadaan partai politik yang bernuansa agama bermunculan seperti jamur di musim hujan. Kebanyakan mereka berpandangan bahwa, idealisme-religiusitas akan bisa digulirkan apabila memaksimalkan partisipasi politik secara langsung. Bagi mereka, pelajaran paling berharga adalah marginalisasi aspirasi politik partai bernuansa agama di era Orba. Oleh karena itu, peluang di era reformasi ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mewujudkan obsesi berpolitik dengan melibatkan agama secara eksplisit. Terlepas dari apakah adanya partai politik aliran ini, hanya sekedar menarik minat partisipasi masyarakat beragama untuk kepentingan kekuasaan kelompok tertentu atau murni untuk mewujudkan sebuah refleksi semangat religiusitas. Maksud dari asumsi terakhir ini adalah, mendirikan partai politik agama dalam rangka merubah keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai agama sebagai sumber utama untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang jelas, semenjak partisipasi politik keagamaan dilembagakan, memberikan warna tersendiri dalam percaturan politik di Indonesia. Paling tidak, dalam konteks demokrasi modern, fenomena yang demikian ini menjadi batu uji sebuah makna sejati dari demokrasi.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya untuk didiskusikan adalah, Indonesia yang dikenal mayoritas beragama, belum nampak terrefleksikan dalam prilaku sehari-hari. Agama mungkin hanya sebatas identitas formalistis semata (melengkapi administrasi KTP). Pernyataan ini sepertinya sumir dan sinisme untuk masyarakat beragama pada umumnya. Tetapi ditilik dari realitas yang berkembang, banyak indikasi yang mendukung pernyataan ini, semisal merebaknya kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di seantero Nusantara. Padahal oknum yang melakukan praktek KKN notabene beragama, bahkan mungkin lebih terdidik. Hal ini menandakan bahwa nafsu sahwat materialisme lebih dominan ketimbang semangat keberagamaan. Dari konteks yang demikian ini, ternyata keberadaan agama di Indonesia belum dapat mengejawentah dalam proses perubahan sosial ke arah yang lebih progres atau lebih baik. Atas dasar demikian, proses perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab seluruh masyarakatnya, terutama para pemeluk agama. Dalam konteks sosiologis (fungsional-struktural), merubah masyarakat ke arah yang lebih baik dan produktif, merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, umat beragama dengan semangat ajarannya, bukan saja memikul tanggung jawab untuk memperkuat nilai-nilai moral, etik dan spiritual sebagai landasan pembangunan, tetapi juga dituntut untuk memerankan fungsi inspiratif, korektif, kreatif dan integratif agama ke dalam proses keharmonisan sosial. Berhubungan dengan itu, tugas merubah kondisi sosial ke arah yang lebih baik, bukan sekedar sebagai tugas kemanusiaan, akan tetapi sekaligus merupakan pengamalan sejati ajaran setiap agamanya.

4. KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN

A. KESEJAHTERAAN SOSIAL Kemiskinan adalah kesukaran. "Sejahtera" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "aman, sentosa dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran dan sebagainya." Dengan demikian kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang sejahtera. Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan.

Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran. Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman. Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa: Sistem kesejahteraan sosial yang diajarkan Islam bukan sekadar bantuan keuangan --apa pun bentuknya. Bantuan keuangan hanya merupakan satu dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan Islam.

B. MEMULAI KESEJAHTERAAN SOSIAL Kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra', dan lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan kesejahteraan sosialnya. Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split personality): Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29). Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal-- adalah pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu Allah memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran bahwa: Tiada satu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu jangan berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu, dan jangan juga terlalu gembira (melampaui batas) terhadap hal yang diberikannya kepada kamu... (QS Al-Hadid [57]: 22-23).

Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum diminta oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu) (QS AlHasyr [59]: 9). Setiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan jiwa dan hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik dari segi jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan. Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap pribadi. Kewajiban tersebut --sebagaimana halnya setiap kewajiban-- melahirkan hak-hak tertentu yang sifatnya adalah keserasian dan keseimbangan di antara keduanya. Sekali lagi kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan.

Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka yang berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan pekerjaan untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah monopoli dilarang-Nya. Jangankan di dalam bidang ekonomi, pada tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan kelapangan: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu, "Berlapang-lapanglah di dalam majelis!", maka lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk kamu (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya. Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang didambakan (QS AlHujurat [49]: 11-12).

Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw. tidak memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu. Di sisi lain, perlu diingat bahwa Al-Quran menegaskan perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan tingkah laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik daripada memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang menyakitkan. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (QS Al-Baqarah [2]: 263). Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian hubungan antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah[2]: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19).

5. TOLERANSI

Di dalam Islam, juga dikenal istilah toleransi. Toleransi (tasamuh) di dalam Islam hanya berkenaan dengan masalah masalah duniawiyyah / masalah kemasyarakatan di dunia saja. Sedangkan dalam masalah itiqad / aqidah Islamiyyah juga dalam masalah syariah tidak diketemukan toleransi di dalamnya. Semua sudah terbingkai rapi dan teratur di dalam satu aturan / perundang undangan yang berasal langsung dari Alloh (Tuhan Segala makhluk) dengan sistem aturan dari langit . Jadi sangatlah jelas bahwa Alloh Azza wa Jalla melarang Rasul-Nya untuk bertoleransi dalam masalah aqidah dan syariah kepada orang kafir bahkan di ayat itu juga, secara tidak langsung Alloh melalui Nabi-Nya menyuruh ummatnya agar menyebut mereka (yang bukan Islam) dengan sebutan Kafir (orang yang ingkar kepada Alloh). Tidak pernah Alloh menyebut mereka ataupun orang semacam mereka dengan sebutan Yaa Ayyuha Ghoirul Muslimuun (Wahai, orang orang non-Islam), tapi Alloh menyebut mereka dengan sebutan Yaa Ayyuhal Kaafiruun (Wahai, orang orang kafir). Meskipun agak terdengar kasar (bagi orang Indonesia) tetapi itulah sebutan langsung dari Alloh Azza wa Jalla untuk mereka, dan kita wajib mengikutinya. Tidak oleh membantahnya. Hal itu semata mata hanya untuk menyatakan bahwa Islam tidak bisa bertoleransi dalam hal aqidah.

Toleransi Saat Ini Sebetulnya, tidak ada bedanya antara toleransi ummat beragama zaman ini dengan toleransi ummat beragama zaman dulu (yani zaman Nabi SAW dan para Shahabatnya RA), dimana toleransi itu hanya sebatas muamalah duniawiyyah saja. Bahkan, jika dilihat kenyataannya saat ini kaum Kafir tidak ada sikap toleransinya sama sekali terhadap kaum Muslimin. Bahkan masalah duniapun mereka memusuhi ummat yang telah dibangun atas dasar tauhid ini. Telah benarlah firman Alloh Tabaroka wa TaAla : Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Alloh itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Alloh tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Al Baqarah : 120)

Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. (Ali Imran : 118)
Islam Tidak Memaksa Islam Tidak Disebarkan dengan Pedang

TOLERANSI DALAM ISLAM Toleransi erat kaitannya dengan perbedaan. Syaikh Muhammad Awwamah seorang ahli hadits zaman ini, menyusun dua buah kitab yang menjelaskan adab-adab dalam berbeda pendapat dan asal-usul perbedaan para ulama ditinjau dari ilmu hadits. Dari kedua kitabnya ini kita akan dapat memahami perbedaan yang terjadi dan bagaimana seharusnya kita bersikap dan akan menambah penghormatan kita kepada para ulama ummat. Dalam kesempatan ini kami menukil beberapa poin penting dalam kitab beliau tentang adab berbeda pendapat. Alikhtilaf atau perbedaan dari segi definisi sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ar Roghif Al Ashfahany dalam kitab Mufradat Al Quran adalah mengambilnya setiap orang jalan selain jalan yang diambil oleh orang lain baik dalam hal dan perkataannya. Secara umum perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga bagian : 1. Perbedaan Adyan (Agama) seperti Islam, Nasrani dan Yahudi 2. Perbedaan Aqoid (keyakinan) seperti Qodariyyah, jabariyyah, dan jahmiyyah selama tidak termasuk dalam bagian yang pertama. 3. Perbedaan Furu Fiqhiyyah (cabang-cabang fiqih) seperti mazhab Hanafi, mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Mazhab Hambali. Atau dengan kata lain dapat diungkapkan untuk istilah yang kedua dan ketiga dengan perbedaan dalam usul (pokok) islam selama tidak keluar dari agama dan perbedaan furu (cabang) islam.

6. Pranata Sosial

1. Pengertian dan Fungsi Pranata Sosial Pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat. Pranata sosial berasal dari bahasa asing social institutions, itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan, di antaranya adalah Soerjono Soekanto. Lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai himpunan norma dari berbagai tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, pranata sosial merupakan kumpulan norma (sistem norma) dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Secara umum, pranata sosial mempunyai beberapa fungsi.

Berikut ini fungsi-fungsi pranata sosial : a. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat dalam hal bertingkah laku dan bersikap dalam menghadapi masalah kemasyarakatan. b. Menjaga keutuhan dan integrasi masyarakat. c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya. Selain fungsi umum tersebut, pranata sosial memiliki dua fungsi besar yaitu fungsi manifes (nyata) dan fungsi laten (terselubung). a. Fungsi manifes adalah fungsi pranata sosial yang nyata, tampak, disadari dan menjadi harapan sebagian besar anggota masyarakat. Misalnya dalam pranata keluarga mempunyai fungsi reproduksi yaitu mengatur hubugnan seksual untuk dapat melahirkan keturunan. b. Fungsi laten adalah fungsi pranata sosial yang tidak tampak, tidak disadari dan tidak diharapkan orang banyak, tetapi ada. Misalnya dalam pranata keluarga mempunyai fungsi laten dalam pewarisan gelar atau sebagai pengendali sosial dari perilaku menyimpang.

2. Ciri-Ciri Pranata Sosial a. Memiliki Lambang-Lambang/Simbol b . Memiliki Tata Tertib dan Tradisi c . Memiliki Satu atau Beberapa Tujuan d . Memiliki Nilai

3. Penggolongan Pranata Sosial A. Berdasarkan perkembangannya, pranata sosial dapat dibedakan menjadi crescive institutions dan enacted institutions. B. Berdasarkan sistem nilai/kepentingan yang diterima masyarakat C. Berdasarkan penerimaan masyarakat D. Berdasarkan faktor penyebarannya, E. Berdasarkan fungsinya,

4. Macam-Macam Pranata
a. Pranata Keluarga B. Pranata Agama c . Pranata Ekonomi d . Pranata Pendidikan e . Pranata Politik

Kesimpulan Stratifikasi sosial adalah sebuah pembedaan golongan pada masyarakat berdasarkan lapisan sosial tertentu.. Status sosial adalah sebuah unsur terbentuknya stratifikasi sosial, sedangkan stratifikasi sosial adalah pembedaan golongan berdasarkan status sosialnya. Faktor yang mempengaruhi terjadinya stratifikasi sosial adalah jenis kelamin, kekayaan, keturunan,senioritas, dan pendidikan. Macam-macam terbentknya stratifikasi sosial yakni melalui proses otomatis yaitu telah terjadi sejak lama dan turun temurun, dan proses sengaja untuk tujuan bersama. Ada tiga macam sifat stratifikasi, yakni : Stratifikasi sosial tertutup, stratifikasi sosial terbuka, dan stratifikas sosial campuran.

Anda mungkin juga menyukai