Anda di halaman 1dari 21

Anatomi hati

Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg pada orang dewasa yang menempati sebagian kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang intercostal 5 kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga 9 ke iga 8 kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari system porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus. System porta terletak di depan vena kava dan dibalik kandung empedu. Permukaan anterior yang cembung yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiforme yaitu lobus kanan dan kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiforme dengan kandung empedu di lobus kanan kadangkadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior. Pada dasarnya garis cantlie yang terdapat mulai dari vena kava sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional namun jika berdasarkan aliran cabang pembuluh darah dan saluran empedu-nya hati dapat dibagi menjadi 8 segmen. Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobus berbentuk hexagonal yang terdiri atas sel hati yang berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Diantara membrane sel hati terdapat

kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatica. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel kupffer) yang merupakan system retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing lain di dalam tubuh. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatica yang mengelilingi bagian perifer lobulus hati juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati.

Histologi hati
Hati tersusun atas berbagai macam sel, hapatosit meliputi +/- 60 % sel hati sedangkan sisanya terdiri atas sel-sel epithelial system empedu dan sel-sel non parenkimal yang termasuk didalamnya endothelium, sel kupffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Sinusoid hati memiliki lapisan endothelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang disse (ruang perisinusoidal). Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik kupffer dan sel stellata yang dapat membantu pengaturan aliran darah sinusoidal disamping sebagai factor penting dalam perbaikan sel hati.

Fisiologi hati
Hati memiliki fungsi yang sangat beraneka ragam, salah satu fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati dapat mensekresikan sebanyak 1 liter empedu per hari kedalam usus halus. Unsur utama empedu adalah air (97%),

elektrolit dan garam empedu. Empedu berperan dalam membantu pencernaan dan absorbsi lemak, ekskresi metabolit hati dan produk sisa seperti kolesterol, bilirubin dan logam berat. Asam empedu berfungsi seperti deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim pancreas dan penyerapan lemak intraluminal. Empedu dihasilkan oleh hepatosit dan disekresikan kedalam kanalikuli yang selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu yang terletak didalam hati dan secara perlahan akan membentuk saluran yang lebih besar lagi yang dapat menyalurkan empedu dari ke-8 segmen hati. Didalam segmen hati kanan gabungan cabang-cabang ini membentuk sebuah saluran di anterior dan posterior yang kemudian bergabung membentuk duktus hepatikus kanan. Duktus ini kemudian bergabung dengan 3 segmen dari lobus kiri (duktus hepatikus kiri) dan kemudian menjadi duktus hepatikus komunis. Setelah penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung empedu duktus hepatikus menjadi duktus koledokus, dari sini empedu kemudian disekresikan ke duodenum. Bilirubin merupakan salah satu komposisi empedu yang sebagian besar berasal dari katabolisme hem sel-sel darah yang telah mati. Hati berperan dalam mengubah bilirubin larut lemak (unconjugated bilirubin) menjadi bilirubin larut air (conjugated bilirubin) melalui beberapa langkah yang terdiri dari fase pengambilan spesifik, konjugasi dan ekskresi. Didalam saluran pencernaan bilirubin berfungsi memberi warna feses, sehingga feses dapat berwarna kekuningan. Selain itu di kolon sebagian bilirubin di reabsorbsi dan dikonversi untuk membentuk urobilinogen yang akan mewarnai urin.

Fungsi hati dalam metabolism protein adalah menghasilkan protein plasma berupa albumin (yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotic koloid), protrombin, fibrinogen, dan factor bekuan lainnya. Selain itu hati juga berperan dalam metabolisme monosakarida dari usus halus dan mengubahnya menjadi

glikogen dan disimpan di hati (glikogenesis) yang kemudian depot glikogen ini disuplai dalam darah dalam bentuk glukosa secara konstan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Hati juga merupakan komponen sentral sistem imun, sel kupffer yang meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit.

Pendekatan klinis pada pasien ikterus


Ikterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat. Ikterus ringan dapat di lihat paling awal pada sclera mata, kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl. Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka kemungkinan bilirubin sudah mencapai angka 7 mg/dl.

Patofisiologi
Ikterus merupakan tanda dari adanya gangguan metabolisme bilirubin. Menurut letaknya tahapan metabolisme bilirubin dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu pre-hepatik, hepatic dan post-hepatik. Pre-hepatik: setiap harinya terjadi pembentukan bilirubin sekitar 250-350 mg atau sekitar 4 mg/kg BB, 70-80 % nya merupakan hasil dari pemecahan sel darah merah yang matang sedang sisanya (20-30%) datang dari protein hem lainnya yang berada terutama dalam sum-sum tulang dan hati. Adanya peningkata hemolisis sel darah merah dapat menjadi penyebab peningkatan kadar bilirubin yang akhirnya bermanifes sebagai ikterus. Hepatic: bilirubin bebas dalam darah di ambil oleh hati dan di konjugasi dengan bantuan enzim glukoronil transferase menjadi bilirubin diglukuronida (bilirubin direk). Bilirubin direk bersifat larut dalam air sehingga dapat larut dalam cairan empedu yang kemudian disekresikan kedalam kandung empedu dan saluran pencernaan. Gangguan pada aliran empedu intra hepatic (kanalikulus-ampula vater) seperti hepatitis maupun sirosis dapat bermanifes sebagai ikterus. Post-hepatik: setelah diubah menjadi bilirubin direk, bilirubin bersama cairan empedu dikeluarkan dan sebagian di tampung dalam kantung empedu. Adanya kelainan dan gangguan pada ekskresi empedu melalui duktus hepatikus komunis, duktus duktus sistikus dan duktus koledokus seperti kolestasis dapat bermanifes sebagai ikterus.

Tes paling sederhana pada pasien-pasien dengan riwayat ikterik adalah dengan melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak kemudian dipastikan melalui pemeriksaan bilirubin dalam darah. Ikterus tanpa disertai warna urine yang gelap kemungkinan disebabkan oleh hiperbilirubin indirek (pre-hepatik) yang bukan disebabkan kelainan hepatobilier. Namun ikterus yang disertai warna urine yang gelap merupakan tanda-tanda kelainan pada hepato bilier. Jika ikterus disertai oleh tanda-tanda adanya hipertensi porta maka harus dicuriai adanya penyakit hepar kronis (ex.sirosis).

Sirosis hati
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif dan ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar serta pembentukan nodulus regenerative. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular, jaringan penunjang retikulin kolaps, disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vascular, dan regenerasi nodularis parenkim hati. Sirosis secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis dekompensata yang ditandai dengan gejala-gejala dan tanda klinis yang nyata. Sirosis hepatis merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.

Epidemiologi
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan menyebabkan steatohepatitis nonalkoholik dan berakhir dengan sirosis. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di bagian penyakit dalam.

Klasifikasi dan etiologis


Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular atau mikronodular atau campuran antara makro dan mikro. Selain itu juga di klasifikasikan berdasarkan etiologi menjadi 1. alkoholik, 2. kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis), 3. biliaris, 6. kardiogenik, 5. metabolic, keturunan, dan terkait obat. Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus

hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C. Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.

Patologi dan pathogenesis


1. Alkoholik Sirosis alkoholik ditandai oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadangkadang disebut sirosis mikronodular. Tiga lesi hati utama pada sirosis akibat induksi alkohol adalah 1.perlemakan hati, 2.hepatitis alkoholik, 3.sirosis alkoholik. Sirosis dapat disebabkan akibat perlemakan hati alkoholik dimana hepatosit teregang oleh vakuola lunak dalam sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke membrane sel. Selain itu sirosis juga dapat disebabkan oleh hepatitis akibat induksi alkohol. Meskipun mekanisme cidera hati alkoholik belum pasti, diperkirakan mekanismenya akibat hipoksia sentrilobular. Metabolism asetildehid etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular yang menyebabkan hipoksemia relatif dan cedera sel didaerah yang jauh dari aliran darah yang teroksigenasi. 2. Sirosis hati pasca nekrosis

Gambaran patologi hati biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Ukuran

nodulus sangat bervariasi dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur. Pathogenesis sirosis menurut penelitian terakhir memperlihatkan adanya peranan sel stellata. Dalam keadaan normal sel stellata berperan dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses degenerasi. Jika terpapar factor tertentu secara terus menerus (ex. Hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stellata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus di dalam sel stellata jaringan hati akan digantikan oleh jaringan ikat. 3. Non-alcoholic fatty liver sirosis

Fatty liver pada beberapa keadaan dapat disebabkan oleh kelainan selain akibat intoksikasi alkohol, seperti obesitas dan DM tipe 2. Fatty liver ini kemudian dapat berkembang menjadi sirosis maupun HCC. Sirosis hati yang disebabkan oleh etiologi lain frekuensinya sangat kecil sehingga tidak dibahas secara mendalam.

Manifestai Klinis
1. Gejala gejala Sirois Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi peraasan mudah lelah dan lemas, nafsu mkan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada

laki-laki timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangngnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin diertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma. 2. Temuan Klinis Temuan klinis Sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau spider telangiektasis), suatu lesi vascular dikelilingi vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme kerjanya tidak diketahui, ada anggapan dikaitan dengan rasio estradiol/testosterone bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pada orang sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil. Eritema Palmaris, warna ,merah saga pada tenar dan hipotenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitan Pada perubahan hormone estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan juga pada kehamilan, arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi. Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkerikan akibat

hipoalbuminuria. Tanda ini juga bisa ditemukan pada keadaan hipoalbuminuria yang lain seperti sindrom nefrotik. Jarang ada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri. Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia lamaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien DM, distrofi reflek simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alcohol. Ginekomastia secara hitologi berupa proliferasi benigna jaringan Glandula mamae laki-laki. Kemungkinan karena peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan rambut aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan kea rah feminism. Kebalikannya pada perempuan menstruasi lebih cepat berhenti sehingga dikira fase menoupause. Atrofi testis hipongonadiase menyebabkan impoteni dan infertile. Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromosis. Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. Splenomegali sering ditemukan terutama pada pasien sirosis hepatis non alkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.

Asites, penimbunan pada rongga peritonitis akibat hipertensin portadan hipoalbuminuria. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. Asites merupakan komplikasi tersering dari sirosis yang menyebabkan pasien dating kerumah sakit. Ikterus pada kulit dan membrane mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air the. Asterixis bilateral tapi tidak sikron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan. Tanda- tanda lainyang menyertai : Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar Batu pada vesika felea akibat hemolisis kelenjar parotis akibat sirosis alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrasi

lemak, fibrosis dan edema. Diabetes mellitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat retensi insulin dan tidak adekuatnya ekresi insulin oleh sel beta pankreas. 3. Gambaran Laboratoris Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemerikasaan laboratorium waktu seorang memeriksaka kesehatan rutin, atau waktu screening untuk evaluasi keluhan

spesifik. Tes fungi meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin. Aspartat Amino Transferas (AST) atau Serum Glutamil Oksalo Asetat (SGOT) dan Alanin Aminotranferase (ALT) atau Serum Glutamil Piruvat Transaminae (SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat dari pada ALT, namun bila transminae normal tidak mengyampingkan adanya sirosis. Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampa 3 kali batas normal atas. Konsentrasi yagn tinggi ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata, tapi bisa meningkata pada fase lanjut. Gamma glutamil transpeptidase (GGT), tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena alcohol selain ,menginduki GGT mikrosomal hepatic juga bisa menyebabkan bocornya GGT pada hepatosit. Albumin, sintesisnya dijaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan memburuknya kondisi hati. Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan, antigen bakteri dari system porta ke jaringan limfoid., selanjutnya menginduksi produksi immunoglobulin.

Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum menurun terutama pada sirosis ddengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas. Kelainan hematologi anemia, penyebabya bisa bermacam-macam,nanemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer, atau hipokrom makrositer. Anemia dengan trombositopenia, lekopenia, dan netropeniaakibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehinga terjadi hipersplenisme. Pemeriksaan radiologis dengan Barium meal dapat meilhat varises untuk konfirmasi adanya hipertensi porta. USG sudsh secara rutin digunakan karena pemeriksaanya non invasive dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG yaitu sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular dan ada eksogenitas jaringan parenkim hati. Selain itu USG juga bisa melihat asites, splenomgali, thrombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta srining adanya Ca hati pada pasien sirosis. Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USg. Tidak rutin dilakukan karena biayanya mahal. Magnetic resonance imaging, pernananya tidak jelas pada sirosis selain itu biayanya juga mahal.

DIAGNOSIS
Pada stadium kompnsasi sempurna kadang-kadang sulit menegakan diagnosis sirosis hepatis. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin dapat ditegakan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/erologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hepatis dilakukan dengan pemeriksaan fisis, laboratorium dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronis yang aktif dengan sirosis dini. Pada sirosis dekompensata kadang tidak sulit karena gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.

Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya. Komplikasi yang sering ditemui antara lain spontaneous bacterial peritonitis (SBP), yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. SBP terjadi pada 10-15% pasien sirosis yang disertai dengan asites, mortalitas pasien sirosis dengan SBP berkisar antara 20-40%. Diagnosis SBP ditegakkan berdasarkan penghitungan sel polymorphonuclear leucosit (PMN) yang lebih dari sama dengan 250 sel/mm3. Pada sindrom hepatorenal terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organic ginjal. Kerusakan hati lanjut dapat menyebabkan penurunan aliran darah ginjal yang berakibat turunnya fungsi glomerulus. Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esophagus. Dua puluh sampai 40% pasien sirosis dengan varises esophagus pecah yang menimbulkan perdarahan didapatkan angka kematian yang sangat tinggi. Sebanyak duapertiganya meninggal dalam waktu satu tahun walaupun sudah diberikan terapi untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.

Ensefalopati hepatic merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati. Mulamula ditandai adanya gangguan tidur, selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.

Pengobatan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis karena pada dasarnya terapi ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Bila tidaka ada koma hepatic diberikan diet yang mengandung protein 1g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari. Tatalaksana pada sirosis kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi ditujukan untuk menghilangkan factor etiologis diantaranya alkohol, dan bahan-bahan lain yang dapat mencederai hati. Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau immunosupresif, pada hepatitis B interveron alfa dan lamifudin merupakan terapi utama,sedangkan pada hepatitis C kronik kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Pemberian asetaminofen, koliksin, dan obat herbal dapat menghambat kolagenik. Pengobatan untuk mengurangi aktivasi dari sel stellata juga bisa manjadi salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktivitas fibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivitas sel stellata. Koliksin memiliki efek anti peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis.

Pengobatan sirosis dekompensata

Asites: tirah baring dan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan pemberian obatobatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton 100-200 mg sekali sehari. Respon diuretic diukur dengan penurunan berat badan 0,5 kg/ hari tanpa ada edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat dapat dikombinasi dengan furosemid dosis 20-40 mg/ hari. Pemberian furosemid dapat di tingkatkan sampai dosis 160mg/ hari. Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites dapat mencapai 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin. Ensefalopati hepatic: laktulosa dan lactiol dapat membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein dikurangi sampai 0.5gr/ kgBB per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang. Varises esophagus: sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan beta bloker (propanolol). Waktu perdarahan akut bisa diberikan preparat somatostatin dan oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. SBP: diberikan antibiotic seperti sefotaksim intra vena, amoksilin, atau aminoglikosida. Sindrom hepato renal: mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air Transplantasi hati: terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata.

Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah factor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.

Karsinoma hati
Karsinoma hepatoseluler/HCC merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit. Sirosis hepatis merupakan factor resiko utama yang melatarbelakangi lebih dari 80% kasus HCC. Selain sirosis factor resiko lain HCC adalah infeksi virus hepatitis B, hepatitis C, alfatoksin, obesitas, diabetes mellitus, dan alkohol.

Karakteristik klinis
HCC dapat asimtomatik sampai disertai gejala yang sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas abdomen. Pasien sirosis hati yang kondisinya makin memburuk disertai keluhan nyeri abdomen kuadran kanan atas atau teraba pembengkakan local di hepar, juga pasien dengan penyakit hati kronik dengan HbsAg atau anti HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak patut dicurigai menderita HCC. Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi atau diare. Sesak dapat terjadi akibat besarnya tumor yang menekan diafragma, atau

karena sudah ada metastasis di paru. Temuan fisis tersering pada HCC adalah hepatomegali, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot.

Pemeriksaan penyaring
Alfa Feto Protein (AFP): rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/ml, pada HCC kadar AFP dapat meningkat sampai 70% dan bila ditemukan kadar >400 ng/ml adalah diagnostic atau sangat sugestif untuk HCC. False positif dapat ditemukan pada keadaan hepatitis akut, kronik, maupun kehamilan. Des-gamma carboxyl prothrombin (DPC): pada pasien HCC kadar DPC dapat meningkat sampai 91%, selain itu DPC juga meningkat pada defisiensi vit K hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma. USG Abdomen: untuk meminimalkan kesalahan pemeriksaan AFP pasien sirosis hati dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap 3 bulan. Untuk tumor kecil USG lebih sensitive daripada AFP serum.

Pengobatan
Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan multi nodularis, resektabilitas HCC sangat rendah. Disamping itu kangker juga sering kambuh meski sudah menjalani terapi operatif. Bagi pasien HCC transplantasi memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan mengganti parenkim hati yang mengalami disfungsi.

Daftar pustaka
Budihusodo, Unggul 2007, Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid 1: Karsinoma Hati, Jakarta FK UI, Jakarta, halaman 455-459. Cheong, Hae Suk 2009, Clinical Significance and Outcome of Nosocomial Acquisition of Spontaneous Bacterial Peritonitis in Patients with Liver Cirrhosis, Clinical Infectious Diseases, Samsung Medical Center, Sungkyunkwan University School of Medicine, no. 48, pp.12306. Garcia, Diego 2009, Liver cirrhosis and diabetes: Risk factors, pathophysiology, clinical implications and management, World J Gastroenterol, no. 15(3), pp. 280-288 Moriwaki, Hisataka 2009, Hepatic encephalopathy as a complication of liver cirrhosis: An Asian perspective, Department of Internal Medicine, Gifu University School of Medicine, Gifu, Japan, pp 501-1194. Nurdjanah, Siti 2007, Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid 1: Sirosis Hati, Jakarta FK UI, Jakarta, halaman 443-446. Pereira, Gustavo 2011, Spontaneous Bacterial Peritonitis, European Gastroenterology & Hepatology, no. 8(1), pp. 2228. Runyon, Bruce A 2009, Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis: An Update, American Association for the Study of Liver Diseases, no. 39, pp. 841-856. Sulaiman, Ali 2007, Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid 1: Pendekatan Klinis Pada Pasien Ikterik, Jakarta FK UI, Jakarta, halaman 420-423.

Anda mungkin juga menyukai