Anda di halaman 1dari 6

Beratnya Memuji Anak Didik kita?

oleh Tony Dwi Susanto pada 6 April 2012 pukul 10:19 Nggak terasa 2 bulan saya sudah aktif mengajar kembali di SI. Cara ngajar model diskusi yang selama ini rutin dilakukan saat ngajar di Flinders university saya coba lakukan juga saat ngajar di kelas di SI, bahkan saat nguji seminar proposal TA. Eit...tapi nanti dulu rasa-rasanya kok ada yang kurang ya saat saya ngajar. Mikir2...ternyata baru minggu ini saya disadarin. Entah kenapa, ternyata selama 2 bulan ini kata2 pujian/penyemangat yang begitu ringan biasanya dulu saya ucapkan (& diucapkan pengajar2 di luar negeri sono) kok menjadi 'berat' ya saat diucapkan di kelas saya di Indonesia (ditranslate kan ke bahasa Indonesia)? :) Contoh: kata-kata "Good idea!".."Excellent!".."Wonderful!"..."Amazing!"..."Great!" yang rasanya dulu ngalir gitu aja untuk menghargai dan memotivasi mahasiswa agar selalu berani berpendapat dan mengembangkan gagasannya, tiba-tiba begitu berat saya ucapkan di kelas saya sekarang. Hari Rabu kemaren, tiba-tiba saja saya coba memaksakan diri untuk 'bermurah hati' memuji mahasiswa2 saya yang berani berpendapat saat saya mengajar. Saya katakan: "Wah ini jawaban CERDAS dari mas *** ....!"...."Nah..ini jawaban MENARIK dari mbak *** ....!"...."HEBAT pendapatnya mas!"...."PINTER mbak!"...."CERDAS Mas!"...hasilnya saya lihat wajah-wajah mereka tersenyum kaget & senang dan makin bersemangat untuk aktif dan aktifitas belajar di kelas semakin 'hidup'. Saya juga mencoba mengevaluasi apa yang terjadi saat di Ruangan Sidang TA, apakah saya juga pelit untuk memuji sebuah ide penelitian mahasiswa yang memang bagus? ternyata iya, saya sangat jarang memuji. Banyak diantara kita yang menguji semata untuk menyudutkan/menjatuhkan, tidak mengiringinya dengan memberikan jalan keluar, alternative2 solusi, ataupun semangat/motivasi ke anak-anak didik kita. Alhamdulillaah, diingatkan Alloh :) kini rasanya saya harus kembali melatih lidah saya yang mungkin sudah kelu ini untuk kembali fasih dan ringan mengucapkan kata-kata pujian untuk anak-anak didik kita. Ucapan2 pujian ini tentu bukan sekedar untuk 'pencitraan' agar terpilih sbg dosen terfavorite :) tapi lebih untuk memotivasi mahasiswa, membangun mental berani mahasiswa, menguji pendapat/ilmu kita dan tentunya juga bisa mendidik diri saya sendiri untuk bisa lebih murah senyum, murah menghargai, murah memotivasi, dan mudah2an benar2 dapat menjadi pendidik yang bener2 mendidik bukan hanya mengajar :) Sudahkah kita Murah Memuji Anak-Anak Didik kita? ...Yuk baca juga tulisan lama pak Rhenald Kasali dibawah ini. Selamat menikmati liburan teman-teman..have a wonderful holiday! :)

Salam, Tony D Susanto http://motivasibeasiswa.org http://tonyteaching.wordpress.com ***************

Ditulis oleh : Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. Maaf Bapak dari mana?

Dari Indonesia, jawab saya.

Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUMPertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

Saya mengerti, jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini, lanjutnya. Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! Dia pun melanjutkan argumentasinya.

Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat, ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai A, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut menelan mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marahmarah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan, ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguhsungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan gurunya salah. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut ? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman : gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman : Awas; Kalau,; Nanti,; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Mari kita instropeksi diri.Kalau di dunia luar sana (dunia nyata) sudah begitu banyak tekanan yang bisa menghambat laju perkembangan otak kita, janganlah menambah tekanan itu di dunia maya ini. Semoga semua yang memposting dan yang berkomentar punya visi dan

semangat membangun, bukan saling menjatuhkan dan merasa benar sendiri, sehingga dunia maya ini bisa menjadi wadah bagi pengungkapan pikiran yang belum tersampaikan di dunia luar sehingga ilmu-ilmu yang kita dapatkankan bisa lebih membumi karena adanya komunikasi yang baik.

Anda mungkin juga menyukai