Anda di halaman 1dari 4

SBY Menang Rakyat Marah

Adhari purnawan

Sidang pembaca, ini survei sederhana dan bersifat pribadi.


Mendekati
> Pemilu 2009 sekarang ini, teman-teman yang dekat dengan Partai
> Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri mendorong
> saya untuk segera merapat ke kubu Mega. Alasannya, Soekarnois dan
> nasionalis. Yang dekat dengan Partai Hanura mendorong agar
mendekat ke
> Pak Wiranto karena hubungan baik kami selama ini. Sementara itu,
saya
> dihantui oleh waham "Sentot" (Sentot syndrome).
>
> Bapak (almarhum) dulu pernah berpesan. Jika suatu masa saya
dihadapkan
> pada pilihan-pilihan, sebagai anak Madiun, sikap Sentot
Prawirodirjo
> yang harus dipilih, yaitu mengabdi pada Pangeran Diponegoro sebagai
> panglima perang. Dalam konteks sekarang, itu berarti mengabdi
kepada
> Orang Agung Mataram (Sultan Hamengku Buwono X). Tentu saja ini
hanya
> berlaku jika Sultan maju sebagai kandidat presiden nantinya.
>
> Betapa ribetnya pilihan-pilihan itu. Tidak tertutup kemungkinan,
besok
> atau lusa, teman-teman yang dekat dengan Partai Kebangkitan Bangsa
> akan menyarankan penulis untuk menjadi salah satu sekrup kecil
dalam
> tim sukses Gus Dur. Karena, meskipun jauh di pinggiran, saya tetap
> bagian dari nahdliyin. Siapa tokoh yang harus saya dukung?
>
> Tak mungkin netral
>
> Sejujurnya saya tidak bisa mendukung Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono
> pada pemilu nanti. Tidak ada hubungan emosional apa pun yang bisa
> dijadikan pijakan komitmen. Tidak ada getar-getar batin yang
> bersambung selama ini. Mungkin kebatinan publik (cara merasakan
> penderitaan rakyat) kami memang berbeda.
>
> Kalau melihat kondisi republik saat ini, rasanya tidak pantas kalau
> kita hanya diam saja. Sehebat apa pun sikap netral seorang
akademisi,
> kata sahabat saya, Ketua Umum Pemuda Ansor Saifullah Yusuf, bandul
> secara otomatis akan miring pada pilihan-pilihan kerakyatan.
>
> Faktanya, kemiskinan dan pengangguran memang beringsut terlalu
lambat
> untuk menuju perbaikan. Bahkan, kedelai dan daging sapi pun sempat
> langka di pasaran. Ini belum lagi kalau beberapa faktor, seperti
> pemadaman listrik, rencana pemotongan anggaran pertahanan, dan
> keputusan pemerintah untuk menyewakan lahan hutan dengan harga
murah,
> ikut diperhitungkan. Pendeknya, situasinya memang patologis.
>
> Dalam kondisi masyarakat yang secara umum sulit mesem (tersenyum)
itu,
> pemihakan nurani untuk memilih figur yang bisa membangkitkan
optimisme
> sulit dihindari. Ilmu "langit" yang berpijak pada tatanan dan etika
> obyektif terpaksa harus diurai menjadi ilmu "bumi". Di sini
> subyektivitas jadi pilihan.
>
> Idealnya, tentu seorang pemuda yang cerdas, berkarakter, dan
didukung
> oleh massa rakyat tampil memimpin Indonesia guna mengatasi
kurewetan
> bangsa. Tapi, riil politik bicara lain. Kentalnya budaya
paternalistik
> dan oligarki partai tampaknya hanya akan mendorong munculnya tiga
nama
> yang potensial menjadi lawan tangguh Presiden Susilo Bambang
> Yudhoyono. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengku
> Buwono X, dan Wiranto.
>
> Megawati Soekarnoputri, meskipun hanya tidur, misalnya, secara
> otomatis sudah mengantongi modal politik 17 persen pemilih. Mereka
> adalah para Soekarnois yang setia terhadap PDI-P. Terlepas dari
> kelemahan Megawati karena pernah menjadi presiden, jumlah itu pasti
> bertambah besar karena sikap partai yang beroposisi terhadap
pemerintah.
>
> Lawan kedua adalah Sultan Hamengku Buwono X. Sultan memang belum
punya
> partai. Tapi, kalau popularitasnya menanjak terus, dan saya yakin
itu,
> dia tidak akan terbendung. Akan banyak partai mendekati. Posisi
Sultan
> yang belum mempunyai "catatan" nasional justru menjadi kekuatan
luar
> biasa. Ruang geraknya untuk melakukan manuver politik terbuka
sangat
> luas, terlebih lagi dia tercatat sebagai salah satu tokoh
reformasi.
>
> Terakhir adalah Wiranto. Partainya, Hanura, mencoba membangun
sistem
> organik berbasis inisiatif dari bawah. Infrastruktur partainya
> terbangun baik, menyebar hampir di pelosok republik. Di dunia
militer,
> figur Wiranto dianggap sebagai "atasan" Presiden SBY. Oleh sebab
itu,
> dia dianggap sebuah antitesis. Jika Presiden SBY dicitrakan "tak
> tegas", Wiranto dicitrakan sebaliknya. Oleh sebab itu, ia juga
lawan
> potensial dalam kontestasi politik 2009.
>
> Salah satu dari ketiga nama tersebut sejujurnya diuntungkan
keadaan,
> yaitu situasi patologis sekarang ini. Sebagai modal politik,
> kontribusi situasi bagi kemenangan kontestasi sekitar 50 persen.
> Sisanya, tinggal kerja keras dan komunikasi politik yang sensitif
pada
> publik.
>
> Sedangkan untuk nama-nama lain yang beredar selama ini, sejatinya
> "setrum" mereka lemah di ranah publik. Namun, kalau mereka tetap
> memaksakan diri, ya, silakan.

Wiranto: Semua Pemimpin Indonesia


Gagal Wujudkan Cita-Cita Bangsa
Minggu, 30 Mei 2004 | 19:39 WIB

TEMPO Interaktif, Bandar Lampung: Calon presiden dari Partai Golkar, Wiranto,
menilai, semua pemimpin di Indonesia terdahulu telah gagal mencapai cita-cita bangsa.
Itu artinya, para pemimpin tersebut telah menafikan mandat rakyat, yang menjadi dasar
dibentuknya negara Indonesia. Mandat itu diantaranya yang terpenting adalah
meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. "Seharusnya,
siapa pun yang memimpin negara ini, harus melaksanakan mandat tersebut," kata
Wiranto saat menutup rapat kerja nasional perguruan Mathaul Anwar se-Indonesia di
Bandar Lampung, Minggu (30/5) sore.

Mantan Pangab dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan itu juga menilai, sejak
tahun 1998, ketika Orde Baru runtuh, pemimpin yang ada juga gagal mewujudkan
mandat rakyat. "Kita malah terjebak dalam situasi yang saling menyalahkan dan saling
menfitnah," ujarnya.

Wiranto menuturkan, dalam agama Islam disebutkan, ketika melihat kerusakan setiap
manusia harus berupaya untuk memperbaikinya. Bila tidak mampu dengan perbuatan,
dapat dilakukan dengan kata-kata atau dengan doa. "Jadi peran serta untuk memperbaiki
kerusakan itu adalah kewajiban. Itu lah yang menjadi alasan saya ingin berkompetisi
menjadi presiden. Bukan karena ambisi pribadi," katanya yang disambut pekik riuh
seribuan peserta rakernas dan keluarga besar Mathaul Anwar Lampung.

Wiranto mengatakan, seorang pemimpin yang baik adalah yang dapat memberikan
keinginan rakyat, tanpa rakyat harus memintanya. Dikatakannya, ada lima agenda yang
dilakukan untuk menyelamatkan bangsa. Yaitu peningkatan kesejahteraan, menarik
kembali investasi dari luar negeri, menegakkan hukum, menyempurnakan sistem
pendidikan, dan rekonsiliasi nasional.

Bila kelak terpilih menjadi presiden, Wiranto berjanji akan mengganjar koruptor bukan
dengan hanya dengan hukuman seumur hidup, tapi dengan hukum mati. "Koruptor
memang harus dihukum berat. Bagaimana pun seorang pemimpin bangsa, harus
memberikan teladan yang baik pada rakyatnya," katanya.

Sedangkan langkah rekonsiliasi harus dilakukan, untuk menyelesaikan kasus-kasus lama


yang pernah terjadi, utamanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). "Kita tidak bisa
terus menerus berkutat dengan masa lalu, tetapi harus lebih terfokus pada masa depan,"
tegasnya.

Dalam rakernas yang digelar selama tiga hari, Mathaul Anwar se-Indonesia sepakat untuk
mendukung pasangan Wiranto-Solahuddin Wahid sebagai presiden dan wakil presiden.
"Dukungan ini bukan hanya dibuat oleh 500 pengurus Mathaul Anwar yang mengikuti
rakernas, tapi juga 34 juta keluarga besar kami di seluruh Indonesia," kata M. Irsyad
Djuwaeli, Ketua Umum Mathaul Anwar.

Anda mungkin juga menyukai