Anda di halaman 1dari 37

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Saat ini di seluruh dunia tengah terjadi peningkatan prevalensi dan derajat asma, terutama pada anak-anak. Di lain pihak, walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap, namun hingga saat ini secara keseluruhan masih belum banyak diketahui. Pengetahuan tentang patologi, patofisiologi dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk asma pada orang dewasa dan anak. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui dengan pasti. Pada bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasa.(1,3)Akibat ketidakjelasan ini, defenisi asma pada anak sulit dirumuskan. Sehingga untuk menyusun diagnosis dan tatalaksana yang baku juga mengalami kesulitan. Akibat berikutnya adalah adanya under/overdiagnosis maupun under/overtreatment. Untuk mengatasi hal itu perlu adanya alur diagnosis dan tatalaksana asma yang disepakati bersama. Secara international saat ini panduan mengenai asma yang banyak diikuti adalah Global Initiative For Astma (GINA) yang disusun oleh National Hert, Lung, and Blood Institute (NHLBI) Amerika yang bekerja sama dengan WHO, dan dipublikasikan pada bulan januari 1995. GINA juga menyebutkan bahwa asma pada anak sulit didiagnosis. Untuk anak-anak, GINA tidak dapat sepenuhnya diterapkan, sehingga Pediatrich Astma Consensus Group mengeluarkan suatu pernyataan tentang Konsensus International. (2) Penyakit infeksi di Indonesia tetap menduduki peringkat teratas sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian. Berbagai jenis antimikroba terbaru telah dikembangkan untuk Hal.01. ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


mengatasinya. Sedangkan penanggulangan medic penyakit noninfeksi atau degenerative seperti kanker paru, bronchitis kronik, emfisema dan asma saat ini semata-mata ditujukan pada peningkatan kualitas hidup dan bukan penyembuhan dalam arti sebenarnya. Pasien asma sering dijumpai di beberapa rumah sakit baik di unit rawat jalan maupun gawat darurat. Survai kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 1986, 1992 dan 1995 memperlihatkan asma masih menduduki peringkat ke 3 dari 10 penyebab kematian utama di Indonesia.1 Kejadian akumulasi asma berimbas pada beban pelayanan kesehatan masyarakat. Mark dan Burney tahun 1998 melapor-kan sejak tahun 1950 sampai dengan akhir abad duapuluhan, walaupun rerata angka kematian asma pada orang tua menurun, angka kematian karena asma pada orang muda tetap atau meningkat dengan beberapa epidemi. Harrison dan Smith (1971) melaporkan peningkatan prevalensi asma pada anak sekolah di Birmingham, Inggris tahun 1960-an. Studi lain memperlihatkan mengi merupakan suatu atopi jalan napas yang memberikan respons terhadap agen kolinergik, merokok dan elektrolit. Di Amerika Serikat asma anak sebanyak 4,8 juta merupakan penyakit kronik dengan peningkatan prevalensi sampai dengan 75 % dari tahun 1980 sampai dengan 1994. Peningkatan kurang lebih 160 % pada anak 0 - 4 tahun, diiringi dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian. Tahun 1980-1994 angka rerata perawatan rumah sakit penderita asma anak dari lahir hingga 4 tahun meningkat 47%, sementara angka kematian pada anak dan orang dewasa meningkat dua kali lipat dari 1975-1995.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.02.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


B. TUJUAN PENULISAN Referat ini bertujuan menggali lebih lanjut dan membahas tentang penyakit asma bronchiale, sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penanganan dan cara mendiagnosis.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.03.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. (1) Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis dan patologis. Ciri- cirri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik , tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri- cirri utama fisiologis adalah obstruksi saluran napas , yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas (2,3,4) Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu dengan mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara Hal.04. ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


spontan maupun denganpengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya

B. EPIDEMOLOGI Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 017 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlahdewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebihbanyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita. Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan,laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada anak akibat asma jarang.

C. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.Mekanisme utama ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.05.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme. Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala. Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgEdependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.. Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthmareaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus,hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.06.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

Gambar. 1 Patogenesis Asma Bronkial

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan.Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan yang adekuat. Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.07.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


(EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hyperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitanlumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinophil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.08.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain allergen, virus dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom, jalur imunologis didominasi oleh antibody IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi laergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibody IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada intertisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkioulus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup allergen , terjadi fase sensitisasi, antibody IgE orang tersebut akan meningkat. Allergen kemudian berikatan dengan antibody IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan antara lain: histamine, leukotrien, factor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.pada reaksi alergi fase cepat obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan allergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cells (APC) merupakan sel-sel kunci dalam pathogenesis asma. Pada jalur saraf otonom , inhalasi allergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan reflex ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.09.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


bronkus , sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeable dan memudahkan allergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast, misalnya hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepaskannya neuropeptide sensorik senyawa p, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lender dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan cirri khas asma, besarnya hipereaktifitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi allergen maupun inhalasi zat nonspesifik. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yanglebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.010.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

D. FAKTOR RESIKO Faktor risiko asama dipengaruhi oleh beberapa factor : 1) Atopi/ alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronchial jika terpajan dengan faktor pencetusnya. 2) Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan 3) Jenis Kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak, sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. 4) Ras/etnik 5) Obesitas Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan factor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.011.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

E. FAKTOR PENCETUS Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma udah sedemikian jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu. Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah : 1. Faktor Lingkungan a. Alergen dalam rumah ,misalnya tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain b. Alergen luar rumah ( serbuk sari dan spora jamur ) 2. Faktor Lain a. Alergen makanan. Contoh susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan. b. Alergen obat-obatan tertentu ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.012.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritromisin, tetrasiklin, analgesic, antipiretik dan lain-lain. c. Bahan yng mengiritasi Contoh : Parfum, household spray dan lain-lain d. Ekspresi emosi berlebihan e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif f. Polusi udara dari luar maupun dalam ruangan g. Exercise induced asthma h. Perubahan cuaca i. Status ekonomi F. KLASIFIKASI Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksanalanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten, ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.013.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

Tabel.1 Klasifikasi Asma

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.014.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.015.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.016.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


G. DIAGNOSIS 1. Anamnesis Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. 4

Riwayat penyakit atau gejala : 1

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada. 3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari. 4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu. 5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit

1. Riwayat keluarga (atopi). 2. Riwayat alergi/atopi. 3. Penyakit lain yang memberatkan. 4. Perkembangan penyakit dan pengobatan. ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.017.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma. 5 Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin merupakan bentuk asma. 1 2. Pemeriksaan Fisik

a. Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan. b. Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal, kadangkadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah. c. Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.018.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


d. Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak. e. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas. f. Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya. 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai : 5 1. Derajat obstruksi bronkus 2. Menilai hasil provokasi bronkus 3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit. Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. peak flow meter adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.019.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut umumnya akan normal kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan : 1. Histamin 2. Metakolin 3. Beban lari 4. Udara dingin 5. Uap air 6. Alergen Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan. Foto rontgen toraks Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit dikontrol.

Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin Hal.020.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis polimormonuklear.

Uji kulit alergi dan imunologi

1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. 2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin 3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi. H. DIAGNOSIS BANDING 1. 2. 3. Rinosinusitis Rhinitis alergica Refluks gastroesofageal Hal.021.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


4. 5. 6. 7. 8. 9. Infeksi respiratorik bawah viral berulang Bronkiolitis Bronkiektasis Displasia bronkopulmoner Tuberkulosis Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik

10. Aspirasi benda asing 11. Penyakit jantung bawaan

I. PENATALAKSANAAN Tatalaksana pasien asma adalah menejemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien dapat hisup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol ). Tujuan : 1) 2) 3) 4) Menghilangkan dan mengendalikankan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat Mencegah eksaserbasi akut Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin Meningkatkan dan mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya 5) 6) Menghindari efek samping obat Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara irreversible Hal.022.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


7) Meminimalkan kunjungan ke gawat darurat

Pada prinsipnya pentalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi : 1) penatalaksanaan asma akut/serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang. Obat-obatan dalam tatalaksana medikamentosa dibagi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).1 Obat pereda ada yang menyebutnya obat pelega, atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi, maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi saluran nafas kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus-menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan /penanggulangan. Obat-obat pengendali diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten. ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.023.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator -agonis hirupan kerja pendek (Short Acting 2-agonist, SABA) atau golongan santin kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan.1,2 Anjuran memakai hirupan tidak mudah dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak selau tersedia di semua daerah. Di samping itu, pemakaian obat hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.11 Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka -agonis diberikan per oral. Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat -agonis oral pun tidak selalu ada, maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.11 Di samping itu penggunaan -agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin. Konsensus Internasional III dan juga Pedoman Nasional Asma Anak seperti terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak menganjurkan pemberian anti-inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan. Hal ini sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada asma intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. 1 Jika tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 4-6 minggu, maka tatalaksana berpindah ke Asma Episodik Sering. Konig11 menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tatalaksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada Asma Episodik Jarang, ternyata ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.024.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


dalam jangka panjang (8 tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak, Asma Episodik Sering yang mendapat kromoglikat, dan Asma Persisten yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari Asma Persisten menjadi Asma Episodik Sering atau Asma Episodik Jarang, bahkan sampai asmanya asimptomatik. Jika penggunaan -agonis hirupan sudah lebih dari 3x per minggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.5 Pada awalnya, antiinflamasi tahap pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimum 10 mg, 2-4 kali per hari. Obat ini diberikan 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali per hari. Penelitian terakhir, Tasche dkk,5 mendapatkan hasil bahwa pemberian kromolin kurang bermanfaat pada tatalaksana asma jangka panjang. Dengan dasar tersebut, PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin (kromoglikat atau nedokromil) sebagai tahap pertama melainkan steroid hirupan dosis rendah sebagai anti-inflamasi. Ada kekhawatiran beberapa dokter mengenai penggunaan kortikosteroid pada anak terutama bila diberikan untuk jangka lama karena efek sampingnya, yaitu gangguan pertumbuhan dan berkurangnya densitas tulang. Pemberian obat harus memperhatikan prinsip balancing safety and efficacy. Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 g/hari budesonid (50-100 g/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.025.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


dan 200-400 g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 g/hari, atau setara. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu, penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak ada respons (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 g/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat, namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksananya berpindah ke yang lebih berat (step up). Sebaliknya, jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan ( step down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.1,11 Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi penghindaran pencetus, cara penggunaan obat dan faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rhinitis dan sinusitis harus diatasi secara optimal untuk memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.7 Cara pemberian steroid hirupan, apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi, hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal.1

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.026.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400 g/hari. Di atas itu dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dosis 800 g/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA (hipotalamus-hipofisis-adrenal) sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di paru. 8 Selain itu untuk mengurangi efek samping steroid hirupan, bila sudah mampu, pasien dianjurkan berkumur dan air kumurannya dibuang setelah menghirup obat. Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan Long Acting 2 Agonist (LABA), atau ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR). Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Belum ada rekomendasi mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien.19 Yang dimaksud dosis medium adalah setara dengan 200-400 g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600 g/hari budesonid (200-300 g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.2 Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis steroid sampai dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau Theophylline Slow Release (TSR), atau ALTR. Pengelolaan asma persisten dengan pemberian inhalasi steroid setiap hari diberikan dengan pendekatan berjenjang (step-wise approach) dan bila gagal memberikan perbaikan harus ditambahkan obat-obat lain (add-on therapy) guna memberikan perbaikan gejala.8 ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.027.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.028.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.029.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.030.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.031.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


Selain pengobatan medikamentosa, juga diperlukan : 1. Edukasi terhadap pasien dan keluarga Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasiendan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi danpenghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan dan pemantauan, dan yang paling utama adalah menguasai cara penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya diberikan secara individual secara bertahap. Pada awal konsultasi perlu dijelaskan diagnosis dan informasi sederhana tentang macam pengobatan, alasan pemilihan obat, cara menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya. Kemudian perlu diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan dengan teknik yang benar. Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapatdiberikan pada pasien dan keluarganya: Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan terhadap faktor pencetus Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan rencana pengelolaanasma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang dengan efek samping minimal. penggunaan obat-obatan dengan benar Hal.032.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


pemantauan gejala, aktivitas dan PEF mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencanayang sudah diprogramkan segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparanalergen dan iritan Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaanmandiri (self management) untuk berperan-serta aktif. Penelitian yang dilakukan Guevara menunjukkan bahwa edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi sekolah, mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur padamalam hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai salah satu penatalaksanaan asma pada anak. 2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma

3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yangmenyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, danhipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangirangsangan terhadap saluran respiratorik.

J. KOMPLIKASI Berbagai komplikasi yang mungkin timbul : 1) Status asmatikus ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya Hal.033.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


2) Atelektasis 3) Emfisema 4) Hipoksemia 5) Pneumothoraks

K. PROGNOSIS Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. 1 Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 710 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 2678% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderita ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang. 1

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.034.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

BAB III KESIMPULAN

1. Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering ditemukan, penyakit ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak. 2. Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai yang berat dan mengancam kehidupan, faktor pencetus timbulnya serangan asma antara lain: latihan, alergen, infeksi, perubahan mendadak suhu udara dan pajanan terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain sebagainya. Selain itu faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi, dan faktor lingkungan. 3. Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). 4. Pengobatan asma mengandung komponen-komponen yang terintegrasi yaitu penyuluhan penderita dan keluarganya, pengontrol/pengendalian lingkungan dan obat-obatan, demikian juga penggunaan alat pengukur yang obyektif untuk memantau keberhasilan pengobatan, disamping faktor kejelian dokter dalam menilai kondisi penyakit asmanya. .

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.035.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. 2009.

Pedoman Pengendalian Penyakit Asma . Diakses dari

http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/756/4/BK2009-G127.pdf tanggal 3 November 2012. 2. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 87 3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, revised 2006. Accessed June 15, 2007. Available from

http://www.ginasthma.com/GuidelinesResources.asp 4. Elizur A, Bacharier LB, Strunk RC. 2007. Pediatric Asthma Admissions: Chronic Severity And Acute Exacerbations. J Asthma 2007; 44(4):285-9. 5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan Infomedika : Jakarta. 7. Sveum R, Bergstrom J, Brottman G, Hanson M, Heiman M, Johns K, Malkiewicz J, Manney S, Moyer L, Myers C, Myers N, OBrien M, Rethwill M, Schaefer K, Uden D. Institute for Clinical Systems Improvement. Diagnosis and Management of Asthma. http://bit.ly/Asthma0712. Updated July 2012. Hal.036.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK


8. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak.Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI 9. American International Health Alliance. 2005. Clinical Practice Guidelines for General Practitioners. Washington, DC > Diakses dari www.aiha.com 10. Sidhartani M. Peran Edukasi Pada Penatalaksanaan Asma Pada Anak . Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 2007; 2-4. 11. Jane Q, Teresea FM, Allen W, Jansen K, Lumley T, Sullivan JH, Trenga CA,Larson TV, Jane LS. Pulmonary Effects Of Indoor and Autdoor Generated Particles In Children With Asthma. American Journal Of Respiratory and Critical Care Medicine. 2005; 113 :4.

ASMA BRONCHIALE, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya

Hal.037.

Anda mungkin juga menyukai