Anda di halaman 1dari 21

Pendahuluan Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsang cahaya.

Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina.1 Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisasi, dengan kemampuan untuk memulai pengolahan informasipenglihatan sebelum informasi tersebut ditransmisikan melalui nervus opticus ke korteks visual. Struktur yang terdiri dari lapisan-lapisan tersebut memungkinkan lokalisasi fungsi atau gangguan fungsional pada suatu lapisan atau sekelompok sel. Namun persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di dalam korteks.2 Ablatio retinae adalah pemisahan retina sensorik, yakni lapisan fotoreseptor dan jaringan bagian dalam, dari epitel pigmen retina di bawahnya. Terdapat tiga jenis utama: ablasi regmatogenosa, ablasi traksi, dan ablasi serosa atau hemoragik.2

I.

Anatomi retina Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh korpus siliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada sisi nasal. Permukaan luar sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan membrane Bruch, koroid dan sklera. Disebagian besar tempat, retina dan epiteli pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasi retina. Namun pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan subretina pada ablasi retina dapat dibatasi. Hal ini berlawanan dengan ruang subkhoroid yang dapat terbentuk antara khoroid dan sklera yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian ablasi koroid akan meluas melewati ora serrata, dibawah pars plana dan pars plikata. Lapisanlapisan epitel pada permukaan dalam korpus siliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan retina dan epitel pigmen retina ke anterior. Permukaan dalam retina menghadap ke vitreus.2 Retina terdiri dari tiga tipe sel dan masing-masing sinapsnya tersusun dalam sepuluh lapisan sebagai berikut: 1. Epitelium pigmen retina Seperti komponen sensoris neuroretina, sel epitel pigmen retina berasal dari neuroectodermal. Merupakan lapisan terluar dari retina. Epitel pigmen retina terdiri dari satu lapisan sel mengandung pigmen. Daerah basal sel melekat erat membran Bruch dari koroid. Pada retina orang dewasa terdiri dari 3,5 juta sel epitel pigmen retina. Kepadatan dari sel epitel pigmen retina lebih besar daripada fovea. Epitel pigmen retina berbentuk hexagonal dengan sel kuboid. Retinal pigment epithelium (RPE) berkontribusi dalam penyerapan cahaya, memelihara ruang subretinal, fagositosis

segmen luar sel batang dan kerucut, berperan dalam metabolisme asam lemak polyunsaturated, membentuk sawar darah-okuli, serta menyembuhkan dan menutup bekas luka jaringan.3,4,5 2. Lapisan sel batang dan kerucut. Sel-sel batang dan kerucut adalah organ terakhir penglihatan dan dikenal sebagi fotoreseptor. Sel batang dan kerucut hanya terdapat pada segmen luar dari fotoreseptor. Terdapat 120 juta sel batang dan 6,5 juta sel kerucut. Pigmen fotosensitif di dalam sel batang disebut rodopsin dan berfungsi untuk penglihatan dengan cahaya yang kurang (skotopik). Sel kerucut berfungsi untuk penglihatan siang hari (fotopik). 3 3. Membrana limitans externa 4. Lapisan inti luar, terdiri dari inti dari sel batang dan kerucut.3
5.

Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungansambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor .3

6. Lapisan inti dalam, terdiri dari badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal.3
7.

Lapisan

pleksiformis

dalam,

yang

mengandung

sambungan

sambungan antara sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar .3 8. Lapisan sel ganglion, sel ini terutama mengandung badan sel dari sel ganglion. Terdapat dua jenis sel ganglion, midget ganglion dan polysynaptic ganglion.3 9. Lapisan serat saraf, yang mengandung aksonakson sel ganglion yang berjalan melewati lamina cribosa membentuk nervus optikus.3 10. Membrana limitans interna. Ini adalah lapisan paling dalam dan

memisahkan retina dari vitreous. Itu terbentuk oleh persatuan ekspansi terminal dari serat Muller, dan pada dasarnya adalah dasar membran.3

Gambar 1. Lapisan retina dari luar ke dalam (3)

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior. Di tengahtengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal. Secara klinis makula dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil) yang berdiameter 1,5 mm. Secara histologis makula merupakan bagian retina yang lapisan ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Di makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning-xantofil.2 Fovea berdiameter 1,5 mm merupakan zona avaskular retina pada angiografi fluoresens. Secara histologi, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain karena akson akson sel fotoreceptor berjalan miring (lapisan serat Henle) dan lapisanlapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan-dalam retina lepas secara sentrifugal. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, merupakan bagian retina yang paling tipis dan hanya mengandung fotoreseptor sel kerucut. Gambaran histologis fovea dan foveola ini memungkinkan diskriminasi visual yang tajam. Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong cenderung paling

besar di makula dan penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan ekstrasel dapat menyebabkan penebalan daerah ini (edema makula).2

Gambar 2. Anatomi makula (5) Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang berada tepat diluar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina

termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotorreceptor, dan lapisan epitel pigmen retina serta cabang cabang dari arteri sentralis retinae yang mendarahi dua pertiga dalam retina. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaria dan rentan terhadap kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang yang membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh khoroid berlubang-lubang. Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.2

II.

Definisi Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya lapisan neurosensorik retina, yakni lapisan fotoreseptor (sel kerucut dan batang) dengan jaringan epitel pigmen retina dibawahnya. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. 1,3,6

Gambar 3 Ablatio retina (9)

III.

Epidemiologi Meskipun ablasio retina relatif jarang ditemukan dalam praktek klinik, namuns secara klinis ablasio retina secara signifikan dapat menyebabkan kebutaan bila tidak segera ditangani.6 Penyebab paling umum di seluruh dunia yang terkait dengan ablasio retina adalah miopi (rabun dekat), afakia, pseudofakia (pada operasi

pengangkatan katarak dengan penanaman lensa), dan trauma. Sekitar 4050% dari semua pasien dengan ablasio memiliki miopi, 30-40% mengalami pengangkatan katarak, dan 10-20% telah mengalami trauma okuli. Ablasio retina yang terjadi akibat trauma lebih sering terjadi pada orang muda, dan miopi terjadi paling sering pada usia 25-45 tahun. Meskipun tidak ada penelitian yang menunjukkan untuk terjadinya ablasio retina yang berhubungan dengan olahraga tertentu (misalnya tinju) tetapi olahraga tersebut meningkatkan resiko terjadinya ablasio retina.7

Berdasarkan usia, ablasio retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun. Namun, cedera paintball pada anak-anak dan remaja merupakan penyebab umum dari cedera mata, yang termasuk ablasio retina traumatik.7

IV.

Klasifikasi Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi: 1. Ablasio Retina Primer (Ablasio Retina Regmatogenosa) Merupakan tipe ablasio yang paling sering. Ablasio regmatogenosa berasal dara kata Yunani rhegma, yang berarti diskontuinitas atau istirahat . Pada ablasio retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid. Ablasio regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan vitreum posterior.1,2,5 Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmatogenosa antara lain:
2,3

a. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 60 tahun. Namun usia tidak menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang mempengaruhi. b. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki laki dengan perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2 c. Miopi. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa terjadi karena seseorang mengalami miop. d. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada seseorang yang fakia. Pasien bedah katarak diduga akibat vitreus ke anterior selama atau setelah pembedahan. Lebih sering terjadi setelah

ruptur kapsul, kehilangan vitreus dan vitrektomi anterior. Ruptur kapsul saat bedah katarak dapat mengakibatkan pergeseran materi lensa atau sesekali, seluruh lensa ke dalam vitreus. e. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi f. Fenile Posterior Vitreous Detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio retina dalam banyak kasus. g. Degenerasi retina di bagian perifer seperti Lattice degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-without or occult pressure, acquired retinoschisi, focal pigment clumps.

Ablasio retina akan memberikan gejala prodromal terdapatnya gangguan penglihatan yang kadang kadang terlihat sebagai tabir yang menutupi (floaters) akibat dari vitreous cepat degenerasi dan terdapat riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan akibat sensasi berkedip cahaya karena iritasi retina oleh gerakan vitreous.1,3 Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya karena dapat mengangkat macula. Penglihatan akan turun secara akut bila lepasnya retina mengenai macula lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang kadang terdapat pigmen didalam badan kaca. Pada pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun. Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi neovaskuler glaucoma pada ablasi yang telah lama.1

Gambar 4.
Ablasio retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan horseshoe tear (6)

2.

Ablasio Retina Sekunder (Non regmatogenosa) Ablasio Retina Eksudatif Ablasio retina eksudatif terjadi akibat neoplasma dan adanya penimbunan cairan eksudat di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid. Penyebab Ablasio retina eksudatif dibagi menjadi dua yaitu penyakit sistemik yang meliputi Toksemia gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis nodosa. Sedangkan penyakit mata meliputi akibat inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita), akibat penyakit vascular (central serous retinophaty, and axudative retinophaty of coats, akibat neoplasma (malignant neoplasma koroid dan retinoblastoma), akibat perforasi bola mata pada operasi intraokuler.1,2,3 Karakteristik lain dari ablasio retina eksudatif adalah bagian licin dari bagian yang ablasi sangat kontras jika dibandingkan dengan ablasio retina tipe regmatogenosa. Adanya lipatan pada retina biasanya mengindikasikan adanya proliferatif vitreotinopathy (PVR) meskipun jarang pada ablasio retina eksudatif.5

Gejala klinis ablasio retina eksudatif dapat dibedakan dengan ablasio retina primer dari:3 a. Tidak adanya photopsia, lubang / air mata, lipatan dan undulations. b. Ablasio retina eksudatif halus dan cembung. Pada puncak tumor itu biasanya bulat dan tetap dan bisa menunjukkan gangguan pigmen. c. Kadang-kadang, pola pembuluh retina mungkin terganggu akibat adanya neovaskularisasi di puncak tumor. d. Pergeseran cairan ditandai dengan mengubah posisi daerah terpisah dengan gravitasi adalah ciri khas yang dari detasemen retina eksudatif. e. Pada tes transillumination satu ablasio sederhana muncul transparan sedangkan ablasio padat.

Ablasio retina traksi Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut pada korpus vitreus (badan kaca) yang akan mengakibatkan ablasi retina dan penglihatan turun tanpa rasa sakit. Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan diabetes melitus proliferative, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi. Dibandingkan dengan ablasio retina regmatogenosa, ablasio retina akibat traksi memiliki permukaan yang lebih konkaf dan cenderung lebih terlokalisasi, biasanya tidak meluas ke ora serata.1,2,3,5 Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat retina semakin halis dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya proliferatif vitreotinopathy (PVR) yang sering ditenukan pada tipe Regmetogenosa yang lama. PVR juga dapat terjadi kegagalan dalam penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel

10

pigmen retina, sel glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar retina pada badan vitreus akan membentuk membrane. Kontraksi dari membrane tersebut akan menyebabkan retina tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya robekan baru atau berkembang menjadi ablasio retina traksi.5

V.

Diagnosis Ablasio Retina Regmatogenosa Sebanyak 60% dari pasien dengan ablasio retina regmatogenosa spontan melihat adanya kilatan cahaya (photopsia) dan floater yang disebabkan oleh PVD (Posterior Vitreus Detachment) akut. 8 1. Photopsia Photopsia kemungkinan disebabkan oleh traksi pada adhesi vitroretinal. Pada mata dengan PVD, photopsia dapat dipacu oleh gerakan bola mata dan semakin jelas dengan penerangan.8 2. Floaters Floaters adalah kekeruhan vitreus yang dirasakan bergerak saat bayangan kekeruhan tersebut sampai di retina. Kekeruhan vitreus pada mata dengan PVD akut dibagi dalam 3 tipe:8 Weiss ring Cobwebs Disebabkan kondensasi dari serat kolagen dalam korteks vitreus yang kolaps. A Sudden shower Tiba-tiba terlihat bayangan berwarna merah atau titik hitam biasanya mengindikasikan adanya perdarahan vitreus sekunder.

11

3. Defek Lapang Pandang Defek lapang pandang dirasakan sebagai black curtain.8 Localised relative loos in the field of vision Pada tahap awal masih relative terlokalisir, tetapi jika hal tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan berkembang menjadi lebih berat jika berlangsung sedikit sedikit demi sedikit menuju ke area makula.3 Sudden painless loss of vision Terjadi bila ablasi besar dan di tengah. Beberapa pasien mengeluh tiba-tiba muncul awan gelap atau selubung di depan mata.3 Tanda Umum:3,8 1. Pemeriksaan eksternal Mata biasanya normal. 2. Tekanan intraokular Biasanya sedikit rendah (sekitar lebih rendah 5mmHg

dibandingkan dengan mata normal) atau dapat juga normal. Jika menurun secara ekstrem kemungkinan berhubungan dengan choroidal detachment. 3. Pupil Marcus Gunn Defek afferent pupillary yang terlihat pada mata dengan retinal detachment yang luas. 4. Plane mirror examination Menunjukkan perubahan refleks merah pada area pupil (refleks keabu-abuan pada kuadaran ablasio retina). 5. Oftalmoskopi Dapat dilakukan dengan teknik direct maupun indirect. Cara terbaik untuk mendiagnosa ablasio retina dengan menggunakan oftalmoskop indirek. Pada pemeriksaan retina yang mengalami

12

ablasio memberikan refleks abuabu sementara pada mata normal berwarna merah muda.3 6. Visual field charting Menunjukkan scotoma yang sesuai dengan area ablasi retina.3 7. Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau tidak ada.3 8. Ultrasonography mengkonfirmasi diagnosis. Merupakan nilai khusus pada pasien media berkabut terutama pada katarak.3

Ablasio Retina Eksudatif Gejala: Tidak ditemukan photopsia karena tidak ada traksi vitreoretinalmeskipun dapat ditemukan floaters yang berkaitan dengan vitritis. Defek lapang pandang dapat terjadi secaratiba-tiba atau progresif tergantung pada penyebabnya.8 Tanda:8 Ablasio retina jenis ini terdapat configurasu convex sama seperti pada regmatogenosa akan tetapi permukannya lebih lembut dan tidak berkerut.8 Ablasio retina jenis ini sangat mobile dan menunjukkan fenomena shifting fluid.8 Penyebab seperti tumor koroid dapat terlihat saat pemeriksaan fundus atau pada pasien dengan penyakit sistemik yang berkaitan dengan ablasio retina (seperti Harada disease, toxemia gravidarum).8 Leopard spots dapat terlihat sebagai gumpalan pada area subretina.8

13

Gambar 5 Ablasio Retina eksudatif (8)

Ablasia Retina Traksi Photopsia dan floaters biasanya tidak dikeluhkan karena traksi vitreoretinal berkembang secara tersembunyi dan bukan terkait oleh PVD akut. Defek lapang pandang biasanya turun perlahan dan bisa menetap untuk beberapa bulan bahkan beberapa tahun.8 Tanda:8 Ablasio retina jenis ini memiliki konfigurasi konkaf dan tanpa pemutusan.8 Pergerakan retina menurun dan tidak disertai perubahan cairan.8 Cairan subretinal tidak sebanyak pada regmatogenosa dan jarang sampai ke orra serrata.8

14

Gambar 6 Diagnosis ketiga tipe ablasio retina (5)

15

VI.

Diagnosis Banding Degeneratif Retinoschisis8 Gejala: Tidak ada photopsia dan floater karena tidak terjadi vitreoretinal traction. Defek lapang pandang jarang terjadi karena penyebaran dari bagian posterior ke equator jarang. Jika terdapat defek lapang pandang hal tersebut absolut dan tidak relatif seperti pada ablasio retina. Biasanya gejala muncul sebagai akibat dari perdarahan vitreus atau perkembangan yang progresif dari ablasio retina.8 Pada retinoschisis terjadi absolut scotoma sementara pada ablasio retina menyebabkan scotoma relatif.5 Tanda:8 Kerusakan dapat terjadi pada satu atau dua lapis Elevasinya konveks, halus, thin, dan relatif imobile tidak seperti pada regmatogenosa yang terlihat opaq dan bergelombang.

Choroidal Detachment Gejala: Photopsia dan floater tidak ditemkan karena tidak ada traksi vitreoretina. Defek lapang dapat terjadi bila ablasi koroid luas.8 Tanda:8 Tekanan intraokular yang rendah COA bisa dangkal bila kerusakan koroid luas Elevasinya kecoklatan, konveks, halus, relatif imobile.

Sindrom efusi uvea Jarang terjadi, idiopatik, biasanya terjadi pada laki-laki hipermetropi usia pertengahan. Ditandai dengan pelepasan ciliochoroidal diikuti dengan ablasio retina eksudatif.8

16

Gambar 7 Diferensial diagnosis ablasio retina (8)

VII.

Penatalaksanaan Ablasio Retina Regmatogenosa Tujuan utama bedah ablasi adalah untuk menemukan dan memeperbaiki semua robekan retina; digunakan krioterapi atau laser untuk menimbulkan adhesi antara epitel pigmen dan retina sensorik sehingga mencegah influks cairan lebih lanjut kedalam ruang subretina, mengalirkan cairan subretina ke dalam ke luar, dan meredakan traksi vitreoretina.2 Prinsip bedah pada ablasio retina yaitu :5 1. 2. Menemukan semua bagian yang terlepas Membuat iritasi korioretinal pada sepanjang masing-masing daerah retina yang terlepas. 3. Menguhubungkan koroid dan retina dalam waktu yang cukup untuk menghasilkan adhesi dinding korioretinal yang permanen pada daerah subretinal.

17

Pada pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara : 1. Scleral buckling Mempertahankan retina di posisnya sementara adhesi korioretinanya terbentuk, dengan melekukkan sklera menggunakan eksplan yang dijahitkan pada robekan retina. Teknik ini juga mengatasi traksi vitroretina dan menyingkirkan cairan subretina dari robekan retina. Angka keberhasilannya adalah 92-94% pada kasus-kasus tertentu yang sesuai. Komplikasinya antara lain perubahan kelainan refraksi, diplopia akibat fibrosis atau terganggunya otot-otot ekstraokular oleh eksplan, ekstrusi eksplan, dan kemungkinan peningkatan resiko vitreoretinopati proliferatif. 2

Gambar 8 Teknik scleral buckling (8) 2. Retinopeksi pneumatik Retinopeksi pneumatik merupakan metode yang juga sering digunakan pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian superior dua pertiga dari fundus retina. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan

18

gelembung udara atau gas yang dapat memuai ke dalam vitreus untuk mempertahankan retina pada posisinya, sementara adhesi korioretina yang diinduksi oleh laser atau cryoterapi menutup robekan retina secara permanen. Teknik ini memiliki angka keberhasilan yang lebih rendah dibandingkan cara lain dan hanya digunakan pada robekan retina tunggal kecil yang mudah dicapai, cairan subretina yang minimal, dan tidak adanya traksi vitreoretina.2,5

Gambar 9 Retinopeksi pneumatik (8)

3. Vitrektomi pars plana Memungkinkan pelepasan traksi vitreoretina, drainase internal cairan cairan subretina jika diperlukan dengan penyuntikkan

perfluorocarbon atau cairan berat, dan penyuntikan udara atau gas yang dapat memuai untuk mempertahankan retina pada posisinya, atau penyuntikan dengan minyak jika dibutuhkan tamponade retina yang lebih lama. Teknik ini digunakan bila terdapat robekan retina yang multiple, di superior, atau di posterior; bila visualisasi retina

19

terhalang,

misalnya

oleh

perdarahan

vitreus;

dan

bila

ada

vitreoretinopati proliferatif yang bermakna. Vitrektomi menginduksi pembentukkan katarak dan mungkin dikontraindikasikan pada mata fakik. Mungkin diperlukan pengaturan posisi pasien pascaoperasi.2

VIII.

Prognosis Sekitar 95% dari ablasio retina regmatogenosa bisa diobati dengan pembedahan. Prognosis dari ablasio retina bentuk lain biasanya tidak baik dan kadang berkaitan dengan kehilangan daya visual yang signifikan.6 Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada keadaan makula sebelum dan sesudah operasi serta ketajaman visualnya. Jika, keadaannya sudah melibatkan makula, degenerasi dari fotoreseptor, maka akan sulit mendapatkan hasil operasi yang baik. Meskipun dari data yang ada sekitar 87 % dari operasi yang melibatkan makula dapat mengembalikan fungsi visual sekitar 20/50 atau lebih baik, hanya sepertiga atau setengah dengan keterlibatan makula mencapai hasil tersebut.6 Pasien dengan ablasio retina yang melibatkan makula dengan penanganan kurang dari 1 minggu, memiliki kemungkinan akan mencapai fungsi visual 20/70 atau lebih baik post operasi sekitar 75% sedangkan yang perlangsungannya 1-8 minggu memiliki kemungkinan 50%.6 Dalam 10-15 % kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio retina yang melibatkan makula, kemampuan visualnya tidak akan kembali sampai level sebelumnya dilakukannya operasi. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor seperti edema makula atau makula yang mengerut. Komplikasi dari pembedahan juga dapat menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.6

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2010. hal.9-10, 183-6 2. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. Oftalmologi umum (General ophthalmology) edisi 17. EGC: Jakarta. 2000. hal. 12-14, 196-7 3. Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition. New Age International Limited Publisher: India. 2007. hal. 250- 79 4. Reynolds,J. Olitsky,S. Anatomy and Physiology of Retina In : Pediatric retina. 2011. Springer-verlag : Berlin Heidelberg. hal. 40 5. American Academy of Ophtalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2007-2008. Singapore: LEO; 2008. hal. 8-12, 268-77 6. Lang, GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition. Thieme: Germany. 2006. hal. 328-33. 7. Pandya, Hemang K. Retinal Detachment. 29th January 201. Available from : http//emedicine.medscape.com/article/798501-overview 8. Kanski, Jack J. Clinical Ophthalmology 6th edition. Butterworth Heinemann. 2007. hal.710-14 9. Oliver, J dan L. Cassidy. Ophthalmology at a Glance. Blackwell Science Ltd: USA. 2005. hal.84-5

21

Anda mungkin juga menyukai