Mansyur Arif
Bagian Ilmu Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, MAKASSAR
PENDAHULUAN Anemia adalah keadaan dimana massa sel darah merah (eritrosit) di dalam sirkulasi berada di bawah kadar normal. Secara kuantitatif dan praktis dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan hemoglobin (Hb), eritrosit atau hematokrit (Ht). Anemia adalah suatu tanda klinik dan bukan suatu diagnosis klinik. Dasar mekanisme fisiologis di dalam menjelaskan dan mencari penyebab anemia adalah penurunan produksi eritrosit atau terjadi peningkatan destruksi eritrosit.
1,2
EFEK ANEMIA Pengaruh anemia terhadap kondisi seseorang tergantung pada beberapa faktor, antara lain: 1. Beratnya anemia 1,2 Menurut WHO anemia ringan apabila kadar Hb 10-12 g/dl untuk laki-laki dan 9-11 g/dl untuk perempuan. Anemia sedang apabila kadar Hb 8-10 g/dl untuk laki-laki dan 7-9 g/dl untuk perempuan, sedangkan anemia dikelompokkan ke dalam kategori berat apabila Hb-nya berada di bawah kadar tersebut di atas. 2. Kecepatan terjadinya anemia 1,2 Biasanya gejala-gejala letih dan lesu berhubungan dengan anemia yang
perkembangannya terjadi perlahan-lahan, sedangkan gagal jantung dan koma berhubungan dengan anemia yang terjadi secara cepat. Anemia bisa tetap asimtomatik apabila perkembangannya perlahan-lahan karena terjadi mekanisme adaptasi kardiovaskuler dan pergeseran affinitas oksigen dari Hb melalui kerja 2,3DPG yang mengkompensasi massa sel darah merah yang rendah. .
Dipresentasikan pada Workshop dan Seminar Nasional Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tanggal 15 Agustus 2009 di Hotel Mercure, Makassar
3. Adanya penyakit penyerta yang lain 1 Penyakit dasar atau penyakit peserta menjadi salah satu pertimbangan di dalam mengatasi anemia. Anemia ringan mungkin dapat ditoleransi oleh beberapa pasien tetapi bisa berakibat fatal pada pasien dengan penyakit arteri koroner. RIWAYAT PENYAKIT DAN PEMERIKSAAN FISIK 1 Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik yang teliti dapat membantu di dalam menentukan jenis tes laboratorium yang diperlukan. Anamnesis meliputi lamanya gejala anemia dan sejak kapan mulai muncul gejala tersebut, riwayat keluarga serta obat-obatan atau bahan kimia lain yang potensial dapat menimbulkan anemia. (Gambar 1) Obat-obatan yang dapat menimbulkan anemia dapat dibagi atas 3 golongan yaitu: 1. 2. 3. Menekan secara langsung eritropoesis (kloramfenikol dan fenilbutazon). Gangguan maturasi eritrosit normal (fenitoin, alkohol). Mempercepat hemolisis (sulfonamide, metildopa)
TES LABORATORIUM Salah satu pendekatan yang dianjurkan adalah: 1,3 1. Pastikan bahwa memang terjadi anemia. Kadang-kadang diperlukan konfirmasi dengan hematokrit berulang-ulang untuk memastikan anemia dan bukan akibat kelebihan cairan yang akut (acute fluid overload). 2. Tentukan kemungkinan adanya kehilangan darah yang kronik yang mungkin tidak disadari pasien. Pemeriksaan darah di dalam feses mutlak diperlukan sebagai bagian dari pemeriksaan rutin. Perdarahan yang sifatnya akut tidak memberikan gejala akibat anemia tetapi disebabkan disebabkan karena efek hipovolemia. 3. Menentukan respon sumsum tulang terhadap anemia yaitu dengan melakukan tes jumlah retikulosit. 4. Evaluasi morfologi eritrosit dengan pedoman 4 S (size, shape, staining, and structure).
5. Evaluasi kemungkinan adanya hemolisis. Selain morfologi diperlukan pemeriksaan LDH (lactate dehydrogenase), bilirubin lengkap dan haptoglobin. PENDEKATAN TERHADAP PASIEN DENGAN ANEMIA HIPOPROLIFERATIF 1. ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROM 1, 2, 4 Algoritme pendekatan diagnostik pada anemia normositik normokrom dapat dilihat pada Gambar 2. Penurunan eritropoesis dapat ditelusuri kemungkinan penyebabnya dengan memeriksa beberapa faktor sebagai berikut: a. Kadar eritropoetin (Epo) yang rendah. Apabila ditemukan kadar epo yang rendah maka harus dicari faktor sistemik antara lain: (1) Peningkatan kreatinin dan BUN (Blood urea nitrogen) menunjukkan penurunan fungsi ginjal akibat penyakit ginjal. (2) Gangguan endokrin seperti hipotiroidisme, hipopituitarisme dan hipogonadisme. (3) Inflamasi kronik ataupun keganasan. b. Pemeriksaan sumsum tulang untuk menilai langsung keadaan sumsum tulang.
2. ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROM 1,2,4-6 Algoritme pendekatan diagnostik pada anemia mikrositik hipokrom dapat dilihat pada Gambar 3 dan dapat didiagnosis melalui beberapa tes berikut : a. Cadangan besi. Pengukuran kadar feritin serum atau pewarnaan besi pada apusan sumsum tulang akan membedakan kondisi di bawah ini : 1. Kadar feritin serum yang rendah atau tidak ada cadangan besi dalam sumsum tulang, menunjukkan defisiensi besi. 2. Peningkatan feritin serum atau cadangan besi di sel retikuloendotelial sumsum tulang, mengindikasikan kelainan seperti adanya penyakit kronik. 3. Adanya ringed sideroblast yang abnormal dalam prekursor eritroid sumsum tulang, mengindikasikan kelainan sintesis porfirin yang didapat seperti anemia sideroblastik.
b. Kelainan sintesis globin, menampilkan berbagai bentuk talassemia, yang dapat dideteksi dengan : 1. Elektroforesis hemoglobin 2. Tes Heinz bodies
3. ANEMIA MAKROSITIK a. Kelainan sintesis DNA dan maturation defects in erythropoiesis dapat menyebabkan anemia makrositik. Perbedaan anemia megaloblastik dengan yang non megaloblastik dapat dilihat pada Gambar 4. Hitung retikulosit dengan cara langsung untuk mencari penyebab makrositik atau hemolitik atau penyebab kehilangan darah pada anemia. 1-4,7,8 1. Hitung retikulosit yang tinggi menunjukkan hemolisis atau perdarahan. 2. Hitung retikulosit yang rendah menunjukkan bahwa kadar folat serum dan vitamin B12 harus diukur. Hasilnya akan membedakan antara dua penyebab terbanyak anemia megaloblastik. a. Rendahnya kadar vitamin B12 menunjukkan bahwa Schilling test harus dilakukan. b. Kadar vitamin B12 serum atau folat yang normal menunjukkan bahwa evaluasi sumsum tulang harus dilakukan. b. Obat-obatan, dapat menyebabkan anemia makrositik, seperti : 1-4,7,8 1. Inhibitor sintesis DNA, seperti hydroxyurea. 2. Antagonis folat, seperti pentamidine, pyrimethamine, AZT. 3. Inaktivator vitamin B12, seperti nitrous oxide. PENDEKATAN TERHADAP PASIEN DENGAN ANEMIA HEMOLITIK 1,9,10 Algoritme pendekatan terhadap pasien dengan anemia hemolitik dapat dilihat pada Gambar 5. 1. Hemolisis Ekstravaskular, ditandai dengan adanya splenomegali. Penyebab terbanyak dari anemia hemolitik adalah imunologi, dan tes Coombs merupakan salah satu tes yang penting.
a. Tes Coombs positif, menunjukkan proses imun yang berhubungan dengan hemolitik yang selanjutnya dapat dibedakan sebagai berikut : (a) Autoantibodi tipe panas, dapat karena idiopatik atau sekunder dari obat seperti metildopa, penyakit jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik atau arthritis rheumatoid, penyakit limfoproliferatif seperti leukemia limfositik kronik, limfoma Hodgkin atau limfoma non-Hodgkin (b) Autoantibodi tipe dingin, dapat karena idiopatik atau sekunder dari infeksi seperti pneumonia mikoplasma, mononukleosis infeksiosa atau sekunder dari limfoma b. Tes Coombs negatif, menunjukkan bahwa dibutuhkan beberapa tes lebih lanjut, yaitu : (a) Evaluasi apusan darah tepi, dapat menunjukkan kelainan eritrosit : sickled red cells, spherocytes, spur cells. (b) Hemolisis berhubungan dengan agen oksidatif yang ditunjukkkan dengan tes Heinz bodies untuk melihat hemoglobin yang tidak stabil atau defisiensi G6PD.
2. Hemolisis Intravaskular, terjadi bila terdapat hemoglobinemia dan hemoglobinuria meliputi mekanisme fisiologik haptoglobin. a. Tidak adanya haptoglobin, menunjukkan adanya hemolisis. b. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria biasanya disertai dengan hemoglobinuria atau kondisi trombotik yang berhubungan dengan keadaan hiperkoagulabilitas. Tes Ham dan tes Sugar Water dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. c. Penyebab hemolisis intravaskular dapat karena mekanikal ataupun imunologik. (1) Mekanikal, bila apusan darah tepi menunjukkan peningkatan fragmen ertitrosit dan adanya skistosit, akibat: artificial heart valves, coagulopathy, malignant
hypertension, keganasan. (2) Imunologik, akibat isoimmune hemolytic anemia, inkompatibilats ABO atau rhesus, delayed hemolytic transfusion reaction.
RINGKASAN Anemia secara kuantitatif dan praktis dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan hemoglobin, jumlah eritrosit atau hematokrit melalui beberapa cara pendekatan untuk memudahkan penegakan diagnosis. Salah satu pendekatan yang dianjurkan untuk tes laboratorium adalah pastikan bahwa memang terjadi anemia, tentukan kemungkinan adanya kehilangan darah yang kronik yang tidak disadari oleh pasien, menentukan respon sumsum tulang terhadap anemia, evaluasi morfologi eritrosit dengan pedoman 4S dan yang terakhir evaluasi kemungkinan hemolisis. Beberapa algoritme yang telah disajikan diharapkan dapat membantu dalam melakukan pendekatan diagnosis terhadap pasien anemia.
Hct/Hb low
Hct/Hb normal
Stop
Bleeding
High Ret Ret count, count, normal count, High normal WBC WBC and and PC PC
Determine presence of RBC destruction, measure LDH, haptoglobin, and indirect bilirubin
No hemolysis
Hemolysis
Determine cause of hemolysis OB = occult bleeding WBC= white blood cell count PC = platelet count Microcytic anemia Normocytic anemia Macrocytic anemia
Figure 1.
A sequential approach to the evaluation of anemia through three common pathophysiologic mechanisms
Sumber: Bessa EC. Approach to patients with red cell disorders. In: Hematology. Philadelphia: Horwall
Publishing.
Reticulocyte count
Increased
Low or normal
Abnormal
Normal
Systemic disease
Chronic disease
Publishing.
Normal RDW
High RDW
Sideroblastic anemia
Hemoglobin electrophoresis
Iron deficency
Thalassemia
Publishing.
Reticulocyte count
Increased
Decreased
Low
Normal
Megaloblastic anemia
Nonmegaloblastic anemia
Drugs
B12 deficiency
Folate dificiency
Schilling test
Horwall Publishing.
10
Extravascular hemolysis
Intravascular hemolysis
Positive
Negative
Transfusion
Abnormal PB smear
Traumatic hemolysis
Hereditary spherocytosis
Horwall Publishing.
11
DAFTAR PUSTAKA 1. Bessa EC. Approach to patients with red cell disorders. In: Hematology. Philadelphia: Horwall Publishing. 1992; 137-50. 2. Mehta R. Anemias: Red blood cell morphology and approach to diagnosis. In: Hematology Clinical Principles and Applications. 3rd ed. Missouri: Saunders Elsevier. 2007; p. 219-31. 3. Bates I, Bain BJ. Approach to the diagnosis and classification of blood diseases. In: Dacie and Lewis Practical Haematology. 10th ed. Philadelphia: Churchil Livingstone Elsevier. 2006; p. 609-16. 4. Elghetany MT, Banki K. Erythrocytic disorders. In: Henrys Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 21st ed. New York: Saunder Elsevier. 2007; p. 50444. 5. Doig K. Disorders of iron and heme metabolism. In: Hematology Clinical Principles and Applications. 3rd ed. Missouri: Saunders Elsevier. 2007; p. 232-41. 6. Brugnara C. Iron deficiency and erythropoiesis: new diagnostic approaches. Clin Chem 2003; 49(10): 1573-8. 7. Doig K. Anemias caused by defects of DNA metabolism. In: Hematology Clinical Principles and Applications. 3rd ed. Missouri: Saunders Elsevier. 2007; p. 248-58. 8. Savage DG, Ogundipe A, Allen RH, Stabler SP, Lindenbaum J. Etiology and diagnostic evaluation of macrocytosis. Am J Med Sci 2000; 319(6): 343-52. 9. Reddy VB. Extracorpuscular defects leading to increased erythrocyte destruction nonimmune causes. In: Hematology Clinical Principles and Applications. 3rd ed. Missouri: Saunders Elsevier. 2007; p. 311-.24. 10. Reddy VB. Extracorpuscular defects leading to increased erythrocyte destruction immune causes. In: Hematology Clinical Principles and Applications. 3rd ed. Missouri: Saunders Elsevier. 2007; p. 325-32.
12