Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal

pada manusia. Dahulu penyakit ini dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra toraks yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman noelitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru ini.1 Literatur Arab, yaitu Al Razi (850-953 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M) menyatakan adanya kavitas pada paru-paru dan hubungannya dengan lesi di kulit. Pencegahannya dengan makan makanan yang bergizi, menghirup udara yang bersih dan kemungkinan (prognosis) dapat sembuh dari penyakit ini. Disebutkan juga bahwa TB sering didapat pada usia muda (18-30 tahun) dengan tanda-tanda badan yang kurus dan dada yang kecil.1 Pada tahun 1882 Robert Koch menemukan kuman penyebab dari penyakit ini yaitu semacam bakteri berbentuk batang dan dari sini diagnosis secara mikrobiologis dimulai dan penatalaksanaannya menjadi lebih terarah. Apalagi pada tahun 1896 Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan diagnosis yang labih tepat. Penyakit ini kemudian dinamakan Tuberkulosis, dan hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang olehnyatetapi yang paling banyak adalah organ paru.1 Sejak awal abad 19, angka kesakitan dan kematian pertahun dapat diturunkan karena program perbaikan gizi dan kesehatan lingkungan yang baik serta adanya pengobatan lain/ tindakan bedah. Robert Koch mengidentifikasi basil tahan asam M. Tuberculosis untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB ini. Ia mendemonstrasikan bahwa basil ini bisa dipindahkan kepada binatang yang rentan, yang akan memenuhi kriteria postulat Koch yang merupakan prinsip utama dari patogenesis mikrobial.1 Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 dimana pasien dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomisin yang sebelumnya diisolasi oleh Selman Waksman. Segera disusul dengan penemuan asam para amino salisilik (PAS). Kemudian dilanjutkan dengan penemuan Isoniazid yang signifikan yang dilaporkan oleh Robitzek dan Selikoff pada tahun 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut
1

pirazinamid tahun 1954, etambutol tahun 1952, dan rifampisin tahun1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini.1 Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB.1 Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat di seluruh dunia. Sebagian besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Diantaranya 75 % berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65 % dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia.1 Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan (1) Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara maju (2) Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup (3) Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama di negara-negara miskin (4) Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter (5) Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat (6) Adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.1 Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati rangking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.1 Indonesia merupakan negara pertama diantara negara-negara dengan beban TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Global untuk TB (Millenium Development Goals)/ MDG pada tahun 2006, yaitu 70% penemuan kasus baru TB BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat ini peringkat Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi kelima diantara negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Meskipun demikian, berbagai tantangan baru yang perlu menjadi perhatian yaitu TB/HIV, TB-MDR (Multidrug Resistant) atau TB paru dengan resistensi ganda, TB pada anak dan masyarakat rentan
2

lainnya. Hal ini memacu pengendalian TB nasional terus melakukan intensifikasi, akselerasi, ekstensifikasi dan inovasi program.2 Meskipun program pengendalian TB nasional telah berhasil mencapai target MDG, akan tetapi penatalaksanaan TB terutama di sebagian besar rumah sakit, klinik dan praktek swasta belum sesuai dengan strategi DOTS ataupun standar pelayanan sesuai International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). Demikian pula ketersediaan fasilitas laboratorium, penerapan standar pencegahan infeksi nosokomial serta kolaborasi TB-HIV yang belum optimal berkontribusi terhadap munculnya tantangan TB resisten obat terutama TB MDR di Indonesia.2 Untuk menanggulangi TB resisten obat diperlukan suatu pendekatan yang menyeluruh dalam pengelolaan pasien TB resisten obat. Strategi untuk pengelolaan pasien TB resisten obat adalah menggunakan Programatic Management Drug Resistance TB (PMDT). Ujicoba implementasi PMDT telah diterapkan sejak tahun 2009 di Indonesia.2 Pada tahun 2008, WHO memperkirakan bahwa terdapat sekitar 440.000 kasus TB MDR setiap tahunnya di dunia dengan angka kematian sekitar 150.000. Dari jumlah tersebut baru sekitar 8,5% yang telah ditemukan dan diobati. Dalam Rencana Global Pengendalian TB (The Global Plan to Control TB) yang telah direvisi bertujuan untuk mengobati sekitar 1,6 juta pasien TB kebal obat antara tahun 2006 dan 2015. Jumlah tersebut mewakili 61% dari beban kasus TB MDR di negaranegara dengan beban TB tinggi.2 Di WHO SEARO (the South-East Asia Region) angka TB MDR adalah 2,8% dari kasus TB baru dan 18,8% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Mengingat besarnya jumlah kasus TB di kawasan ini, maka lebih dari seperempat jumlah kasus TB MDR di dunia atau sekitar 28% terdapat di kawasan ini.2 Indonesia menduduki rangking ke 5 dari 22 negara-negara yang mempunyai beban tinggi untuk TB dan memberikan kontribusi jumlah kasus TB di dunia sebesar 4,7%. Pada tahun 2009, perkiraan insidensi TB semua tipe adalah 189 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan penemuan kasus TB baru dan kambuh adalah 127 per 100.000 penduduk per tahun dan angka prevalensi sebesar 285 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kematian karena TB diperkirakan sebesar 27 per 100.000 penduduk per tahun. Dengan jumlah penduduk 230 juta, angka ini didukung dengan penemuan 660.000 total kasus; penemuan kasus baru semua tipe 430.000 dengan 169.213 kasus baru BTA-positif dan jumlah kematian 61.000.2 Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai beban tinggi dan prioritas kegiatan untuk TB MDR/XDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini
3

menyumbang 85% dari beban TB MDR global. Di negara-negara yang termasukdalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB MDR atau sekurang-kurangnya 10% dari seluruh kasus baru TB MDR. Laporan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB MDR di Indonesia sebesar 6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB MDR sebesar 2% dari kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang.2 Kombinasi TB dan HIV sudah cukup memberikan tantangan masalah yang belum bisa terpecahkan sampai saat ini. Dengan demikian ko-infeksi TB MDR dan HIV tentu saja menjadi kombinasi penyakit yang lebih mematikan dibanding TB-HIV. Prevalensi maupun insidensi infeksi TB pada penderita HIV, atau infeksi HIV pada penderita TB, belum rutin dilaporkan. Secara nasional diperkirakan angka TB-HIV di Indonesia adalah 3%.2 Besarnya data dan sulitnya penanganan kasus TB MDR terutama ko-infeksi pada HIV inilah yang menjadi alasan pembuatan referat yang berjudul Penatalaksanaan Multidrug Resistant (MDR) TB pada HIV, sehingga nantinya akan dapat dilakukan penatalaksanaan kasus TB paru dengan resistensi ganda ini dengan baik dan benar.

BAB II TUBERKULOSIS PARU

II.1

Definisi Tuberkulosis Paru

DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM 2. Programmatic Management of Drug resistance Tuberculosis Pengendalian Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai