Anda di halaman 1dari 9

2.2.

4 Penatalaksanaan Abses Vestibular disertai dengan Lymphadenitis akut Prinsip penatalaksanaan pasien dengan diagnosa abses vestibular maupun infeksi odontogen lainnya secara umum (Archer 1975), yaitu: 1. Mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita, meliputi : a. meningkatkan kualitas nutrisi, termasuk pemberian multivitamin tambahan, diet tinggi kalori dan protein, b. mempertahankan keseimbangan cairan tubuh, dan c. pemberian obat analgesik dan pemberian antibiotik yang tepat dengan dosis yang memadai; 2. Tindakan drainase secara bedah dari infeksi yang ada; 3. Menghilangkan secepat mungkin sumber infeksi. Pencabutan gigi atau

menghilangkan faktor penyebab lain yang menjadi sumber infeksi harus segera dilakukan setelah gejala infeksi akut mereda. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekambuhan dari infeksi; 4. Evaluasi terhadap efek perawatan yang diberikan. Pada kasus-kasus infeksi facial space, pada prinsipnya sama dengan perawatan infeksi odontogen lainnya, tetapi tindakan yang dilakukan harus lebih luas dan agresif. (Archer, 1975)

2.2.4.1 Insisi dan Drainase Tindakan insisi pada kasus abses rongga mulut yang disebabkan oleh infeksi odontogen dapat dilakukan dengan tehnik insisi ekstra oral maupun intra oral, tergantung dari jenis dan anatomi absesnya (Fragiskos, 2007). Insisi merupakan pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel) dengan membuang materi purulent yang toksik, sehingga mengurangi tekanan pada jaringan, memudahkan suplai darah yang mengandung antibiotik dan elemen pertahanan tubuh serta meningkatkan kadar oksigen di daerah infeksi (Hambali, 2008). Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan. Tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada, pemberian antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. (Topazian et al, 1994).

Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses vestibular adalah insisi dan drainase pada puncak fluktuasi dan drainase menggunakan hemostat dan dapat dipertahankan dengan pemasangan drain (drain karet atau kasa), untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus tuntas (Kruger, 1984). Pemberian antibiotik juga dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi dan analgesik sebagai penghilang sakit. Apabila sudah terjadi drainase spontan (sudah ada fistula) maka dapat langsung dilakukan pencabutan gigi penyebab. Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan setelah gejala akutnya mereda yakni sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi osteomyelitis. (Bim and Winter, 1975)

2.2.4.1 Prinsip dan Teknik Insisi dan Drainase Insisi dan drainase biasanya merupakan prosedur bedah yang sederhana namun menjadi perawatan yang terbaik pada abses (Topazian et al, 1994). Untuk itu terdapat prinsip - prinsip yang harus digunakan bila memungkinkan pada saat melakukan insisi dan drainase (Topazian et al., 1994; Peterson, 2003; Odell, 2004), yaitu: 1. Melakukan insisi pada kulit dan mukosa yang sehat. Insisi yang ditempatkan pada sisi fluktuasi maksimum di mana jaringannya nekrotik atau mulai perforasi dapat menyebabkan kerutan, jaringan parut yang tidak estetis 2. Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas agar drainase sesuai dengan gravitasi. 3. Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari, sampai ke jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas abses dengan perlahan-lahan sehingga daerah kompartemen pus terganggu dan dapat diekskavasi. Perluas pemotongan ke akar gigi yang bertanggung jawab terhadap infeksi 4. 5. 6. Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan jahitan. Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang submandibula. Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang ditentukan; lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya drain dapat mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang masuknya bakteri penyerbu sekunder. 7. Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk membersihkan bekuan darah dan debris.

Gambar 2._: Atas (A). Contoh pembuatan insisi pada daerah abses (Abses sublingual). (B) Hemostat diinsersika ke dalam kavitas ruang abses. Bawah (A/B). Pemasangan rubber drain pada daerah abses. (Peterson, 2003)

Teknik insisi tajam yang cepat pada mukosa oral yang berdekatan dengan tulang alveolar biasanya cukup menghasilkan pengeluaran pus yang banyak. Hal ini dapat membuat kelegaan instan dan kesembuhan setelah sembuh dengan pengeluaran pus dari abses.. Berikut adalah tahapan teknik insisi yang dilakukan (Peterson, 2003):
1. 2. Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi.

Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan dilakukan dengan anestesi infiltrasi.

3.

Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka direncanakan insisi :


Menghindari duktus (Wharton, Stensen) dan pembuluh darah besar. Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian superfisial pada titik terendah akumulasi untuk menghindari sakit dan pengeluaran pus sesuai gravitasi.

Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik secara estetik, jika memungkinkan dilakukan secara intraoral.

Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat, saat fluktuasi positif.

4.

Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses dengan ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian dikeluarkan dengan unjung terbuka. Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah pengeluaran pus.

5.

Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan jahitan pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan drainase.

6.

Pencabutan gigi penyebab secepatnya.

2.2.5 Terapi Medikasi 2.2.5.1 Pemakaian Antibiotik Pemakaian antibiotik dalam perawatan medikasi lebih diutamakan dengan tujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan bakteri penyebab infeksi. Idealnya, pemberian antibiotik disesuaikan dengan jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi maupun mikroorganisme yang ditemukan pada lesi infeksi. Pada kenyataannya, penderita infeksi odontogen biasanya secara klinis tampak sehat sehingga biasanya pemberian antibiotik tidak melalui tahap pemeriksaan laboratorium. Tetapi pemilihan obat tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan menggunakan pendekatan empiris dari data yang telah ada sebelumnya dan pengetahuan terhadap flora mikrobiologi yang biasanya terdapat pada rongga mulut yang terinfeksi. (Katzung, 2004) Terdapat dua faktor mikrobiologi yang harus ada di dalam benak dokter gigi pada saat memilih antibiotik. Mikroorganisme yang terdapat dalam infeksi odontogen adalah campuran dari bakteri anaerob dan aerob. Seperti Streptococcus aerob (, , dan ), Streptococcus anaerob (Peptostreptococcus), Bacteriodes (Porphyromonas, Prevotella), Fusobacterium, Einkenella. Selain itu terkadang terdapat Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermis. Mikroorganisme-mikroorganisme ini kemudian membentuk simbiosis mutualisme dimana sisa metabolit bakteri aerob memberikan nutrisi bagi bakteri anaerob dan bakteri anaerob memberikan lingkungan yang diperlukan bagi bakteri aerob untuk tumbuh. (Katzung, 2004) Karena itu, antibiotik harus efektif melawan

organisme Streptococcus selama bakteri ini paling banyak ditemukan dan antibiotik harus efektif melawan bakteri anaerobik sprektrum luas.(Mycek, 2001) Antibiotik memiliki beberapa golongan. Pada umumnya antibiotik yang paling sering digunakan untuk mengeliminasi bakteri tersebut berasal dari golongan penisilin. Penisilin merupakan antibiotik yang memiliki sifat bakteriosid (dapat membunuh) terhadap mikroorganisme aerob yang kemudian secara tidak langsung dapat membunuh bakteri anaerob. Penisilin dibagi menjadi penisilin alam dan semisintetik. Penisilin alam memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak tahan asam lambung, inaktivasi oleh penisilinase, spektrum sempit dan sering menimbulkan sensitivitasi pada penderita yang tidak tahan terhadap penisilin. (Katzung, 2004)

Penisilin

masih

menjadi drug

of

choice yang

sensitif

terhadap

organisme

Streptococcus (aerob dan anaerob), namun sayangnya antibiotik jenis ini telah mengalami resistensi. Yaitu dengan adanya sinergis antara beberapa mikroorganisme yang mampu menghancurkan cincin beta laktam menyebabkan efektivitas penicillin berkurang. Selain itu, penggunaan penisilin mulai berkurang karena biasanya penisilin dapat menimbulkan alergi dengan angka insidensi 1-10%. Reaksi alergi dapat bervariasi mulai dari manifestasi di kulit saja hingga kematian akibat syok anafilaktik. (Topazian, 2002) Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan penisilin semisintetik antara lain ampisilin (sprektrum luas, tidak dirusak asam lambung, tetapi dirusak oleh penisilinase) dan kloksisilin (efektif terhadap abses, osteomielitis, tidak dirusak oleh asam lambung dan tahan terhadap penisilinase). (Katzung, 2004)

Gambar 2._: Rantai Penicillin G.(Mycek, 2001)

Penggunaan penisilin di dalam klinik antara lain adalah ampisilin dan amoksisilin. Absorbsi ampisilin oral seringkali tidak cukup memuaskan sehingga perlu peningkatan dosis. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada ampisilin, sedangkan masa paruh eleminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedangkan amoksisilin tidak. Namun, akhir-akhir ini penggunaan metronidazole sangat populer dalam perawatan infeksi odontogen. Metronidazole tidak memiliki aktivitas dalam melawan bakteri aerob, tetapi efektif terhadap bakteri anaerob.(Katzung, 2004)

Tabel 2._ Antibiotik yang sering diresepkan untuk infeksi odontogenik (Natarajan, 2004)

Antibiotik biasa Penicilin Amoxicillin Metronidazole Clindamisin

Dosis dewasa 600 mg tiap 6 jam 500 mg tiap 8 jam 500 mg dua kali sehari 300-450 mg tiap 6 jam

Dosis anak-anak 25-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis 25-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis 25-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis 15-30 mg/kg/hari dibagi 3 atau 4 dosis

Moxifloxasin Erithtomycin

400 mg setiap hari 500 mg enterik berlapis setiap 8 jam 333 mg enterik berlapis setiap 6 jam 250 mg (dasar) setiap 6 jam

30-50 mg/kg/hari dibagi 2- 4 dosis

2.2.5.2 Pemakaian NSAID Obat anti inflamasi non steroid (non streroidal antiinflammatory drugs/ NSAIDs) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer dan memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin melalui

penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase (COX). Efek analgesik yang ditimbulkan ini menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Prostaglandin dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata.(Katzung, 2004) Efek analgesik NSAIDs telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian peroral. Sementara efek antiinflamasi telah tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul bervariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya di dalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan.(Mycek, 2001)

Gambar 2._: Mekanisme aksi NSAIDs (non streroid antiinflammatory drugs)(Mycek, 2001).

PEMBAHASAN

Terapi yang dapat diberikan pada vestibular abses adalah drainase, pemberian antibiotik serta ekstraksi gigi 36. Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. Untuk mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus tuntas. (Kruger, 1984) Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses vestibular adalah insisi dan drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan pemasangan drain (drain karet atau kasa), pemberian medikasi berupa antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi dan analgesik sebagai penghilang sakit. (Archer, 1975 dan Kruger, 1984) Sebelum dilakukan insisi diberikan keputusan apabila spesimen pus ingin dikultur dan dilihat keadaannya, apabila setuju, maka dilakukan aspirasi dengan syringe 18 gauge, permukaan diusap dengan betadine sebagai disinfektan, lalu 1-2 ml. Setelah itu, pasien diberi anestesi secara regional, yaitu dengan nerve block, namun bila tidak cukup untuk mengurangi sakit atau pasien kesusahan membuka mulut, maka diindikasikan anestesi umum. Insisi dengan scalpel dengan sudut tegak lurus dengan posisi tulang, insisi dengan scalpel dan blade no 11 melalui mukosa dan submukosa secara horizontal. Insisi dilakukan tidak lebih dari 1 cm. Lalu hemostat berbentuk kurva dimasukan dan dibuka secara perlahan ke segala arah untuk membuka lokulasi atau kavitas yang tidak ikut terbuka saat awal insisi. Pus yang terdrainase keluar tidak boleh dibiarkan di mulut pasien, tetapi harus di aspirasi dengan suction. Setelah didrainase, diberikan drain kecil untuk tetap mempertahankan insisi terbuka dengan menggunakan seperempat inci penrose drain (kasa) yang steril. Drain tersebut akan dijahit dengan benang yang tidak dapat diserap tubuh. (Archer, 1975 dan Kruger, 1984) Apabila sudah terjadi drainase spontan (sudah ada fistula) maka dapat langsung dilakukan pencabutan gigi penyebab. Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi osteomyelitis. (Bim and Winter, 1975)

Tindakan insisi dan drainase bertujuan untuk mencegah terjadinya perluasan abses atau infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian antibiotok lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab. (Bim and Winter, 1975) Selain itu terapi medikasi abses vestibular dengan memakai antibiotik juga bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan bakteri penyebab infeksi, efektifitas obat melawan organisme yang banyak ditemukan pada infeksi odontogen seperti Streptococcus, dan antibiotik efektif mematikan bakteri anaerob bersprektrum luas. Antibiotik jenis Penisilin masih menjadi drug of choice yang sensitif terhadap organisme Streptococcus (aerobik dan anaerobik), namun telah mengalami resistensi. Penisilin dibagi menjadi penisilin alam dan semisintetik. Penisilin alam memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak tahan asam lambung, inaktivasi oleh penisilinase, spektrum sempit dan sering menimbulkan sensitivitasi pada penderita yang tidak tahan terhadap penisilin. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan penisilin semisintetik antara lain ampisilin (sprektrum luas, tidak dirusak asam lambung, tetapi dirusak oleh penisilinase) dan kloksisilin (efektif terhadap abses, osteomielitis, tidak dirusak oleh asam lambung dan tahan terhadap penisilinase). (Mycek, 2001) Penggunaan penisilin biasanya adalah ampisilin dan amoksisilin. Absorbsi ampisilin oral seringkali tidak cukup memuaskan sehingga perlu peningkatan dosis. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada ampisilin, sedangkan masa paruh eleminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedangkan amoksisilin tidak. Namun, akhir-akhir ini penggunaan metronidazole sangat populer dalam perawatan infeksi odontogen. Metronidazole tidak memiliki aktivitas dalam melawan bakteri aerob, tetapi efektif terhadap bakteri anaerob. (Katzung, 2004) Hendaknya pasien diberi resep antibiotic, sebagai contoh Penicillin dosis dewasa 600 mg diminum tiap 6 jam sekali, Amoxicillin 500 mg tiap 8 jam sekali, Eritromisin 250 mg tiap 6 jam sekali. (Natarajan, 2004) Selain itu obat-

obatan analgesik (NSAIDs) juga diberikan kepada pasien seperlunya untuk mengurangi rasa nyeri dan mempercepat penyembuhan jaringan. Perlu di tekankan kepada pasien bahwa mereka harus makan dan minum yang cukup. Dapat dianjurkan kumur dengan larutan saline hangat dengan konsentrasi 1 sendok teh garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dan dilakukan paling tidak setiap selesai makan. Pasien dianjurkan untuk memperhatikan timbulnya gejala-gejala penyebaran infeksi yaitu demam, meningkatnya rasa sakit dan pembengkakan, trismus/disfagia.

DAFTAR PUSTAKA

Archer, W.H. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery. Vol. I & II. 5thed. Philadelphia & London: W.B. Saunders.Co. Birn,H. & Winter, J.E. 1975. Manual of Minor Oral Surgery. Philadelphia, London & Toronto.W.B. Fragiskos dkk. 2007. Oral Surgery. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. New York. Katzung, Bertram G. 2004. Basic and Clinical Pharmacology. Prentice. Kruger. 1984. Oral and Maxillofacial Surgery, 6th ed, C.V Mosby Compny, St. Lois: Toronto. Mycek, Mary J. 2001. Lippincotts Illustrated Reviews: Pharmacology. Limppincott. Natarajan S. 2004. Antibiotic treatment for odontogenic infections. CPJ/RPC. No. 137 vol.10, p. 115. Available at: www.pharmacists.ca/. Accessed April 4th, 2013. Rasuna, G. 2010. Patogenesa, Pola Penyebaran, dan Prinsip Terapi Abses Rongga Mulut. Available from: http://gilangrasuna.wordpress.com/2010/06/01/patogenesa-pola-penyebaran-danprinsip-terapi-abses-rongga-mulut/. Accessed on: 30 March 2012. Topazian et al. 2002. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. Philadelphia: Saunders.

Anda mungkin juga menyukai