Anda di halaman 1dari 16

Alergi latex alami merupakan masalah kesehatan yang sering timbul dan belum terselesaikan.

Sejak menghindari paparan penyebab tergolong hal yang sulit, imunoterapi menjadi terapi yang direkomendasikan.
Akan tetapi, sebelum digunakan oleh pasien, adalah hal yang penting untuk membuktikan efektifitas dan keamanannya.

untuk menilai efektifitas dan toleransi imunoterapi latex sublingual pada pasien dewasa yang sedang menghindari latex sebagai penyebab alergi.

Penelitian ini merupakan penelitian independen yang didukung investigator yang sebagiannya didanai oleh institusi masyarakat.

Penelitian ini didesain dengan dua fase: Pertama, dilakukan uji klinis acak, double blind, terkontrol plasebo. Di mana di akhir tahun pertama dilakukan follow up (T1). Blinding kemudian tidak dilanjutkan dan pasien yang mengalami perlakuan melanjutkan terapi dengan tambahan selam satu tahun. Pasien yang termasuk di dalam kelompok plasebo menerima terapi aktif selama setahun dengan perlakuan yang terbuka.

Penelitian ini telah disetujui oleh komite etik independen lokal di bawah pengawasan Agensi Kesehatan Spanyol. Penelitian mengacu kepada praktek klinis yang baik, dan melibatkan seluruh pihak untuk menyetujui baik secara tertulis maupun secara verbal. Pengawasan eksternal dilakukan oleh investigator independen.Semua prosedur penelitian ditampilkan di tabel 1.

28 pasien (5 laki-laki dan 23 perempuan) dengan rata-rata umur 39 tahun yang diterima dan masuk dalam kriteria inklusi.

Seluruh pasien sebelumnya telah didiagnosis dengan alergi lateks dan telah diperintahkan untuk menghindari paparan lateks. Karakteristik klinis pasien ditampilkan di tabel 2.

Kriteria inklusi terdiri dari riwayat alergi lateks (terdapat gejala yang biasanya timbul seperti urtikaria, angioedema, rhinitis, conjunctivitis, asma atau anafilaksis) atau hasil positif terhadap tes penggunaan sarung tangan, conjunctival test, dan prick test lateks (wheal 3 x 3 mm). Kriteria eksklusi adalah kontraindikasi terhadap imunoterapi (asma kronis atau tidak terkontrol, penyakit lain yang dimediasi imun, penyakit arteri koroner, atau sedang dalam penggunaan beta blocker atau ACE inhibitor) dan adanya penyakit sistemik atau penyakit psikiatri, dan urtikaria kronis atau dermografisme. Pasien yang memenuhi kriteria kemudian diacak ke dalam kelompok imunoterapi atau plasebo.

Skin prick test terhadap 4 konsentrasi latex (4,20,100 dan 500) dilakukan setiap kali kunjungan. Positif (histamine hidroklorid 10 mg/ml) dan negative (larutan salin) sebagai kontrol dimasukkan di setiap tes. Area papul yang timbul diterjemahkan ke dalam kertas dan dinilai menggunakan planimetry menggunakan software khusus. Rata-rata area papula di kedua kelompok dihitung, baik kelompok aktif maupun plasebo. Untuk membandingkan hasil prick tes sebelum dan sesudah imunoterapi dilakukan penghitungan berdasarkan Indeks Toleransi Kutan (CTI). Indeks ini merupakan faktor yang diperlukan untuk menggandakan dosis ekstra untuk mendapatkan respon kutan yang serupa untuk memperkirakan sensitivitas kutan yang lebih besar atau kecil dalam satu grup dan hubungannya dengan grup lain. Dan ketika ini digunakan untuk mengevaluasi perubahan pada salah satu kelompok, CTI lebih dari satu mengindikasikan pengurangan respon kutan.

Dilakukan dengan: 1. Sarung tangan yang mengandung lateks cukup tinggi 2. Sarung tangan yang mengandung vinyl 100 % bebas lateks (Torval, China).

Pasien menggunakan satu jenis sarung tangan (lateks atau vinyl) pada setiap tangan selama 5, 15, dan 30 menit dengan interval 20 menit. Gejala (pruritus, eritem, dan bula) dihitung dengan skor (0 = tidak ada, 1 = ringan 2 = sedang 3 = berat) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tes dihentikan ketika skor gejala telah menyentuh angka 5. Hasil kemudian dilihat dari berapa jumlah waktu yang dibutuhkan untuk Mencapai angka 5.

Dilindungi dengan kacamata dan masker bebas lateks

PEMBERIAN menempatkan satu tetes dosis terendah di fornix konjungtiva mata kanan dan larutan saline sebagai kontrol di mata kiri.

TES DILAKUKAN DENGAN CARA

Pemberian 5 konsentrasi LA yang berbeda dari yang rendah higga yang tinggi (0.08 0.4 2 10 dan 50 mg/ml) dengan interval 15 menit.

dikatakan negative jika tidak terdapat reaksi setelah 15 menit, dan selanjutnya diberikan satu tetes konsentrasi yang lebih tinggi di mata kanan. Gejala berupa hiperemis, kemosis, epifora, pruritus, bersin, dan hidung tersumbat dihitung dengan skor (0 = tidak ada, 1 = ringan 2 = sedang 3 = berat). Tes dihentikan jika skor gejala 5. Hasil kemudian dilihat dari tingkat konsentrasi yang menimbukan gejala hingga angka 5.

IgE spesifik kepada lateks alami (k82) dan alergen rekombinan (rHev b 1, rHev b 5, rHev b 6,01; r Hev b 8) dinilai dari sistem yang terstandarisasi berdasarkan fluroesensi padat enzyme immunoassay (CAP-FEIA), Phadia, Sweden)

Persentase basofil yang mengekspresi CD 63 sebagai tanda aktivasi setelah stimulasi in vitro dengan ekstrak lateks dinilai berdasarkan flow citometry, yang diikuti double labeling dengan antibody monoclonal antibody anti-CD-63-PE dan anti IgE FITC. Kami juga menggunakan larutan aqua steril yang telah distandarisasi dengan ekstrak lateks dan tanpa bahan pengawet dengan konsentrasi 0.125 dan 0.03125 mg protein/ml (BIAL-Aristegui, Bilbao, Spain). Sebagai perbandingan antara hasil BAT di setiap waktu yang berbeda, kami menghitung nilai rata-rata persentase basofil yang mengekspresikan CD63 setelah stimulasi in vitro dengan ekstrak alergen lateks di konsentrasi 0.125 dan 0.03125 mg protein/ml.

Sejak fase induksi dimulai di rumah sakit dan pasien berada dibawah pengawasan langsung selama 30 menit setelah pemberian perlakuan, maka efek samping langsung dicatat dalam laporan. Sebagai tambahan, denyut jantung dan tekanan darah dinilai saat sebelum dan setelah pemberian perlakuan. Selama fase pemeliharaan, pasien diinstruksikan untuk mencatat segala ketidaknyamanan dalam sebuah kartu. Keamanan dipantau oleh investigator di setiap kesempatan. Sebagai tambahan, pasien selalu memiliki keuntungan untuk menghubungi alergologist atau datang ke ruang gawat darurat ketika terjadi reaksi efek samping yang berat. Reaksi efek samping diklasifikasikan menurut European Academy of Allergy, Asthma, dan Clinical Immunology (EAACI).

Untuk evaluasi Glove Use Test, regresi linier dari skor gejala dihitung pada setiap individu pasien berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai skor 5 poin. Dalam prosedur yang sama, untuk mengevaluasi Conjunctival Challenge Test, regresi linier skor konsentrasi/gejala dihitung pada setiap individu pasien berapa lama konsentrasi yang diperlukan untuk mencapai skor 5 poin. Perbandingan antara kelompok satu dengan yang lain diperlihatkan melalui Non Parametric Mann Whitneys dan Wilcoxons test. Nilai P < 0.05.

Perubahan pada reaksi kutan oleh skin prick test dianalisa menggunakan parallel lines assay dan ALASA CRS PLA software (Madrid, Spain). Perbedaan CTI dihitung sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas. CTI menunjukkan tingkat kepercayaan 95% dan 99%. Ketika CTI diterapkan kepada kedua kelompok diperkirakan sensitivitas kutan antara satu kelompok dengan kelompok lain bisa lebih besar atau lebih kecil. Ketika itu digunakan untuk mengevaluasi perubahan yang tampak pada kelompok, skor CTI lebih dari 1 mengindikasikan penurunan respon kutan.

Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal efektifitas variabel in vivo yang diobservasi antara kelompok aktif dan plasebo baik saat penelitian maupun saat kedua kelompok dibandingkan di akhir penelitian (setelah dua tahun). Kami menemukan terdapat peningkatan rata-rata persentasi basofil aktif. Saat fase induksi, terdapat 4 reaksi pada kelompok aktif dan 5 reaksi pada kelompok plasebo. Saat fase pemeliharaan, 2 pasien dieksklusi karena mengalami pruritus dan dermatitis akut.

Jumlah sampel yang sedikit, perbedaan distribusi pasien yang mengalami asma yang dipicu lateks, dan nilai rata-rata IgE spesifik lateks antara kelompok aktif dengan kelompok plasebo dapat mempengaruhi keampuhan terapi.

Mengingat bagaimana baikya terapi yang bisa ditoleransi, keampuhan dan efektifitas yang kurang dapat dijelaskan dengan rendahnya dosis yang digunakan selama fase pemeliharaan terapi. Selama fase awal perlakuan, dosis 500 mcg dicapai di hari keempat, tetapi setelah itu hanya 40 mcg/hari diberikan selama sisa waktu terapi. Kami menghipotesis, bahwa dosis yang lebih besar seharusnya digunakan untuk fase pemeliharaan, khususnya ketika kita menginginkan efek jangka panjang.

Sebagai kesimpulan, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menilai keampuhan imunoterapi lateks sublingual. Khususnya, penggunaan dosis yang lebih tinggi selama fase pemeliharaan, sejak adanya toleransi yang baik pada dosis tinggi di fase awal perlakuan. Walau bagaimanapun juga, penelitian ini meningkatkan keraguan akan penggunaan imunoterapi pada pasien yang bisa menghindari kontak dengan lateks.

Anda mungkin juga menyukai