Anda di halaman 1dari 16

BAB IV SUMBER LUAR DALAM HUKUM ISLAM Pasal 1 PERUBAHAN HUKUM Sumber-sumber Luar Syariaat adalah hukum Ketuhanan,

baik mengenai sumbernya ataupun dasardasarnya. Karena sifatnya inilah maka dalam masalah perubahan hukum berhubungan dengan keadaan tempat, waktu dan kepentingan, menurut adanya kecerdasan dan ketelitian yang sungguh-sungguh serta mendalam. Tujuan Syariat Ulama membagi syariat dalam dua bagian besar, yaitu bagian ibadat dan bagian Muamalat keduniawian. Bagian ibadat membahas soal-soal ibadat yang biasanya dikenal dengan istilah Syara. Yang menjadi masalah pembahasan bagian yang kedua, ialah soal yang berkenaan dengan masalah kemaslahatan hidup duniawai. Tujuan hukum muamalat, bias diketahui dengan kesadalan akal, yaitu berdasarkan atas prinsip menarik kemanfaatan bagi kepentingan manusia dan menghindarkan perbuatan yang merugikan serta membahayakan kepentingannya. Hukum syariat didasarkan didasarkan atas ketentuan bahwa yang menjadi dasar kemanfaatan ialah kewenangan, sedang yang menjadi dasar kemelaratan dan kerusakan ialah larangan-larangan.

Dasar Perubahan Hukum

Kemaslahatan manusia menjadi dasar setiap macam hukum, maka sudah menjadi kelaziman yang masuk akal apabila terjadi perubahan hukum disebabkan karena berubahnya zaman dan keadaan serta pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan itu. Kemaslahatan itu menjadi alasan dan asas hukum, maka seharusnya pengertian ini diikuti dengan kaidah lain, yaitu bahwa jika alasan itu sudah tiada lagi ataupun sudah berubah, maka hukum yang berdasarkan atas alasan dan asas tersebut harus ditinggalkan ataupun diubah.

Contoh-contoh tentang Perubahan Hukum dan Ijtihad Menurut penyelidikan ulama-ulama fiqh mutakhir dari mazhab Hanafi, Imam Hanafi sudah berijtihad dalam beberapa masalah hukum berdasarkan atas adat kebiasaan yang berlaku pada zamannya pada saat dimana adat kebiasaan sudah harus berubah, maka mereka menyatakan pendapatnya yang berbeda daripada yang sudah dilakukan sebelumnya. Abu Hanifah dan kedua orang sahabatnya tidak membolehkan mengajar AlQuran dengan memungut upah. Akan tetapi setelah keadaan berubah dimana guruguru sudah tidak lagi menerima hadiah atas amalnya itu, maka ulama-ulama mutakhir memberikan fatwa yang membolehkan pemungutan upah atas pekerjaannya tersebut disebabkan karena berubahnya kebiasaan. Contoh lain, behwa keadaan rumah-rumah pada zaman dahulu mempunyai model bentuk yang sama. Oleh karena itu, jika seorang pembeli rumah sudah melihat salah satu kamar dari rumah-rumah itu, maka ia dianggap sudah tau keteluruhannya. Akan tetapi model bangunan rumah pada zaman ulama-ulama mutakhir sudah berbeda dari zaman sebelumnya dengan model yang bermacam-macam. Oleh karena itu, dalam soal jual beli rumah ini ulama-ulama mutakhir memberikan fatwanya, bahwa si pembeli diharuskan melihat kamar-kamar rumah keseluruhan sebelum membelinya.

Perubahan Aturan Undang-undang Alasan perubahan waktu dan tempat ataupun berubahnya keadaan, tidak ada artinya bagi soal agama dan ibadat, sebab apa yang sudah ditetapkan akan terus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya, untuk segala tempat, zaman dan keadaan. Khalifah, imam-imam dan para ahli hukum hanya membolehkan perubahan penafsiran nas dan cara-cara ijtihad saja yang berdasarkan atas ketentuan nas-nas itu pula, yaitu atas alasan-alasan berubahnya alasan hukum atau karena berubahnya adat kebiasaan yang tidak lepas dari dasar nas, atau karena factor-faktor darurat dan prinsip kemaslahatan.

Jurisprudensi Umar bin Khattab Pada masa beliau perluasan kekuasaan negara Islam, penuh dengan kemenangan di berbagai tempat, karena itu pula maka banyak sekali terjadi perubahan-perubahan kebijaksanaan, timbulnya kepentingan-kepentingan baru dan perubahan adat kebiasaan lama. Perubahan dalam adat istiadat dan kepentingan mengakibatkan perubahan pula dalam hukum dan fatwa dari yang telah berjalan sejak zama Rasulullah saw. Dan zama Khalifah Abu Bakar as-Siddiq.

Beberapa contoh jurisprudensi Khalifah Umar :

1. Muallaf Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60, muallaf merupakan salah satu orang yang berhak menerima sedekah. Di sini ketentuan dalam ayat tersebut didasarkan kepada keadaan darurat dalam rangka dakwah Islam dan usaha untuk kemenangan Islam. Akan tetapi setelah kekuasaan Islam sudah menjadi kuat, maka alasan itu menjadi tidak berlaku lagi. Maka Khalifah Umar bin Khattab menasakh ketentuan nas itu atas dasar alasan tersebut.

2. Talak Pada zaman Rasulullah, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar, jika terjadi seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga kepada isterinya pada suatu mejelis, maka talak dengan cara demikian itu dianggap jatuh satu kali talak.

Umar pernah memerintahkan agar talak seperti itu dianggap sebagai talak bain, tegasnya jatuh talak tiga seperti yang diucapkan. Umar menganggap perlu mengeluarkan perintah itu karena beliau mengingat kenyataan, bahwa orang-orang telah mempermainkan talak semacam itu seolah-olah menjadi kebiasaan.

3. Jual Beli Ummahtul Aulad Ummahatul aulad adalah perempuan-perempuan amat yang melahirkan anak darituannya. Pada zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar jual beli amat diperbolehkan akan tetapi dilarang pada zaman Khalifah Umar bin Khattab.

4. Pencurian Hukuman yang diancamkan terhadap pencurian menurt hukum pidana Islam, ialah hukuman had yaitu potong tangan. Akan tetapi Khalifah Umar pernah menggugurkan hukuman tersebut pada suatu tahun terjadinya kelaparan, yaitu atas dasar alasan darurat, alasan kepentingan dan alasan menghidupi jiwa orang.

5. Zina Ancaman hukuman terhadap pezina gair muhsan, ialah hukuman dera seratus kali atau pengasingan satu tahun penuh. Ketentuan hukuman ini menjadi ketetapan berdasarkan Sunnah masyhur.

6. Tazir Diterangkan di dalam sebuh hadits yang artinya : tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali kecuali dalam salah satu jarimat hudud. Khalifah Umar bin Khattab pernah menjatuhkan hukuman jilid seratus kali cambukan terhadap seorang yang memalsu cap baitulmal.

7. Diat Terhadap Kabilah atau Aqilah Kadang-kadang diat dikenakan terhadapkabilah atau aqilah. Sebab aqilah pada zaman Rasulullah dan diikuti oleh ulama-ulama fiqh mazhab Maliki adalah kabilahnya si pelaku perbuatan pidana. Akan tetapi pada zaman Khalifah Umar, dikarenakan kemenangan pada saat itu beralih darikabilah kepada dewan maka Khalifah Umar menimpakan diatkepada pendukung ahli waris. Jurisprudensi Khalifah-khalifah lainnya

Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin Khattab mau menerima hadiah dari rakyat. Akan tetapi, Umar bin Abdul Aziz, tidak mau menerimanya, sebab menurut beliau penerimaan itu suatu perbuatan tercela, karena dianggap sebagai suapan. Contoh lain, pada zama Muawiyah, beliau mengambil separo dari diat itu untuk baitulmal dan yang separo lainnya untuk keluarga si terbunuh. Umar bin Abdul Aziz memutuskan separo dari diat orang Muslim, dengan meniadakan pemasukan daripadanya untuk baitulmal. Ketentuan yang dibuat oleh Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz berbeda dari ketentuan yang dinyatakan oleh Sunnah dan praktekpara sahabat, hal mana disebabkan karena berubahnya pandangan hukum berhubungan dengan kebijaksanaan atau politik hukum pada waktu itu.

Imam Abu Yusuf al-Hanafi

Apakah nas boleh berubah disebabkan karena berubahnya adat kebiasaan ?. Abu Yusuf seorang hakim di Baghdad berpendapat dengan berdasarkan dalil ihtihsan, ia mengharuskan meninggalkan nas itu dan mengikuti hukum adat. Beliau berkata : Adat kebiasaan itulah yang harus lebih diutamakan. Pendapat Abu Yusuf ini diikuti oleh Majallah al-Ahkam al-adaliyah.

Imam Qarafi al-Maliki Imam Syihabuddin Abul-Abbas Ahmad bin Idris menjadi imam dari mazhab Maliki di Mesir. Mengenai hubungan antara perubahan adat kebiasaan dan ketentuan hukum, AlQarafi menjawab : Bahwa semua bab-bab fiqh yang memuat adat kebiasaan, jika adat kebiasaan itu berubah, maka ketentuan hukum di dalam bab itu berubah pula.

Imam Tufi Al-Hambali Imam Najamudin Abur-Rabi Sulaiman bin Abdullah bin Abdul-Qawi atTufi salah seorang imam yang terkenal dari mazhab Hambali. Berbeda dengan ajaran Imam Maliki, system yang dipakai oleh At-Tufi bersandar kepada nas dan ijma dalam soal ibadat dan bersandar kepada prinsip kemaslahatan dalam soal muamalat dan bagian-bagian hukum lainnya.

Jadi sesungguhnya perubahan nas itu sendiri, materinya tidak begitu jauh dari jiwa syariat yang berdasarkan atas prinsip memudahkan dan menggembirakan. Maksud perubahan di sini ialah perubahan penafsiran dan ijtihadterhadap nas itu, atas dasar peruahan alasan dan adat kebiasaan.

Pasal 2

FIKSI HUKUM Tujuan Sejarah

Kepentingan kehidupan masyarakat menuntut perubahan dengan yang lebih sesuai dan lebih mendekatkan antara teori dengan kenyataan-kenyataan praktis. Hal ini dapat juga kita lihat dalam pendapat-pendapat ahli hukum bangsa Romawi dan di dalam jurisprudensi pengadilan-pengadilan di Inggris dimana kita bias menjumpai contoh-contoh berdasarkan fiksi hukum. Kesemuanya itu berkisar atas pengakuan bahwa hukum lama pada lahirnya ada sebagai keadaannya itu, hanya di dalam kenyataan yang sesungguhnyaia telah mengalami perubahan-perubahan.

Hukum Islam

Fiksi hukum yang diperbolehkan ialah fiksi atas dasar system yang berlaku atas perkara tertentu, dan dipergunakan untuk hal baru dengan maksud untuk menetapkan kebenaran atau untuk menghilangkan kesamaran ataupun untuk memudahkan karena dorongan kepentingan yang mendesak. Fiksi hukum yang kedua, yakni fiksi hukum yang masih diperselisihkan di antara ulama-ulama fiqh yaitu fiksi terhadap pokok ketentuan hukum yang lain, dengan perbuatan yang secara formal ada kebenarannya, akan tetapi secara material kosong belaka. Fiksi Menurut Mazhab Hanafi dan Beberapa Ulama Mazhab Syafii Diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, beliau telah berkata: bahwa meksud membatalkan aturan-aturan hukum dengan terang-terangan adalah terlarang, akan tetapi tidak secara inklusif. Ulama-ulama mazhab Hanafi dan beberapa ulama mazhab Syafii sangat menerima fiksi hukum cara kedua.

Mazhab-mazhab Islam Lainnya Diriwayatkan dari iman SyafiI, bahwa beliau sesungguhnya sangat tidak setuju dengan fiksi hukum. Imam Malik dan Imam Ibnu Hambal, juga ulama-ulama pengikutnya melarang semua fiksi hukum. Alasan tentang terlarangnya fiksi berdasarkan atas kaidah pokok dari syariat, yaitu bahwa segala peraturan hukum harus disandarkan kepada tujuan atau prinsip kemaslahatan. Jika pembuat aturan hukum yang berdasarkan atas kemaslahatan yang dituju kemudian membolehkan suatu fiksi yang dimaksud untuk melepaskan diri dari peraturan, maka dengan sendirinya bertentangan dengan tujuan tersebut, dan berarti melawan peraturan, adalah suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi. Dan seandainya ada yang berpendapat lain yang sebaliknya maka itu berarti menyalahi jiwa syariat . Inilah yang tetap ditolak oleh pembuat aturan hukum atau undang-undang, bahkan juga politik negara di dunia ini.

Para ahli hukum dan hakim-hakim dalam ijtihadnya mereka lebih condong untuk menerima fiksi dalam soal syufaat dan soal lainnya. Sedang yang dijadikan alasan oleh mereka, ialah dua kaidah umum yang berbunyi: bahwa perkara-perkara harus diartikan menurut maksudnya dan keterangan dalam macam-macam perjanjian harus menurut maksudnya dan makna yang sebenarnya bukan menurut lafaz dan bentuknya.

Pasal 3 PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA

Perundang-undangan dan Kepala Negara

Khalifah atau kepala negara juga membuat peraturan perundang-undangan secara langsung ataupun dengan cara ijtihad, apabila kemaslahatan umum mengharuskan demikian. Wewenang dalam perundang-undangan ini dan kewajiban rakyat untuk mematuhinya adalah berdasarkan atas nas Al-Quran, Sunnah dan Ijma. Berdasarkan atas ijma, bahwa khalifah-khalifah Islam dahulu telah berijtihad dalam berbagai masalah yang dikemukakan pada mereka. Ijtihad mereka ini apabila diterima dengan ijma maka itu pun menjadi bagian dari syariat.

Beberapa Segi Perundang-undangan

Faktor utama yang melahirkan adanya wewenang perundang-undangan dari kepala negara, ialah tidak adanya ketentuan pada saat diperlukan mengenai masalahmasalah baru yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Di antara faktor-faktor yang lain dari perundang-undangan ini, ialah apa yang lazim disebut politik hukum dan fungsi-fungsi keuangan negara yang memungkinkan kepala negara, imam dan penguasa-penguasa lain memelihara dan mengaturnya untuk kemaslahatan rakyat. Khalifah-khalifah juga mengubah penafsiran ketentuan hukum yang sudah menjadi ketetapan, apabila hal itu diperlukan terkait dengan politik hukum dan kemaslahatan umum.

Batas-batas Kekuasaan Kepala Negara

Di Negara Islam Kepala Negara merupakan sumber kekuasaan dan perintah. Khalifah dalam melakukan kekuasaan perundang-undangan terikat dalam hukum syariat dan prinsip-prinsip keadilan. Pasal 4 ADAT DAN KEBIASAAN Arti Adat Secara Umum Adat dalam pengertian umum ialah segala sesuatu yang dibiasakan oleh rakyat umum atau golongan. Adat kebiasaan memainkan peranan penting di dalamsejarah perkembangan dan kebangkitan manusia. Peranan hukum adat di dalam banyak hal banyak dipengaruhi oleh factor iklim dan semangat kebangsaan. Adat kebiasaan berbeda-beda menurut keadaan tempat dan waktu. Pengaruh Adat dalam Hukum Islam Adat bangsa Arab sebelum Islam datang, merupakan kaidah asasi bagi setiap aspek-aspek kehidupannya. Setelah agama Islam lahir, maka yang menjadi asas hukum mereka berganti dengan aturan-aturan atau nas-nas yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Adat sudah tidak lagi dianggap sebagai dalil khas dari hukum Islam oleh ulama-ulama ushul. Hanya saja memang ada yang dimasukkan di berbagai hal dalam hukum Islam, diantaranya adalah :

1. Ada beberapa nas terutama nas hadis yang berdasarkan adat kebiasaan.

10

2. Di antara Sunnah taqriri banyak yang ditetapkan yang dasarnya dari kebiasaan yang dianggap adat yang baik. 3. Imam Malik menganggap keputusan sahabat Madinah sebagai ijma sebagai dalil hukum saat tidak ada nas, padahal apa yang mereka lakukan pada banyak perkara adalah kebiasaan yang menjadi adat.

4. Apabila timbul kebiasaanbaru kerena suatu desakan kepentingan atau apabila bangsa Arab tersandung di dalam perjuangannya kepada kebiasaan yang belum pernah mereka kenal dan di situ tidak ada aturan nas Al-Quran ataupun Sunnah yang bertentangan dengan kebiasaan itu, maka kebiasaan yang sudah berbentuk adat ini bisa diterima.

Pengaruh Adat di dalam Hukum Perincian

Ada dua macam adat kebiasaan, yang pertama bersifat umum, yaitu kebiasaan yang dianut oleh seluruh rakyat dari suatu bangsa mengenai perbuatan-perbuatan yang termasuk mamalat. Yang kedua bersifat khusus, yaitu yang dianut oleh segolongan rakyat atau sebagian daerah saja dari suatu negara. Akan tetapi keduaduanya tetap dianggap sebagai ketentuan hukum yang mengikat. Adat bisa dijadikan dasar hukum untuk menetapkan ketentuan hukum syariat.

Syarat-syarat Adat

Syarat-syarat adat kebiasaan diterima sebagai atauran hukum :

1. Adat kebiasaan harus diterima oleh watak yang baik. 2. Hal-hal yang dianggap sebagai adat, harus terjadi berulang kali dan tersebar luas.

11

3. Yang dianggap berlaku bagi perbuatan muamalat ialah adat kebiasaan yang lama atau yang campuran, bukan yang terakhir. 4. Suatu kebiasaan tidak boleh diterima apabila di antara dua belah pihak terdapat syarat yang berlainan, sebab kebiasaan itu kedudukannya sebagai yang implicit syarat yang sudah dengan sendirinya. 5. Diterangkan dalam Al-majami : bahwa adat kebiasaan hanyalah

bolehdijadikanalasan hukum apabila tidak bertentangan dengan ketentuan nas dari ahli fiqh.

Contoh-contoh tentang Berlakunya Hukum Adat

Jika seorang bapak menyerahkan anaknya kepada seorang guru supaya mengajarnya bertukang dengan tanpa syarat tentang upah di antara keduanya, maka jika setelah pelajaran anakitu selesai salah seorang menuntut upah, maka ketentuan hukum yang harus berlaku ialah kebiasaan yang dianut di negeri yang bersangkutan. Jika menurut kebiasaan di situ sang guru yang harus member upah, maka ia wajib memberikannyya kepada anak tersebut dan begitu sebaliknya. Diperkenankannya perjanjian jual beli bersyarat dimana jika si penjual mengembalikan harga barang, maka si pembeli harus mengembalikan barang yang dibelinya kepada si penjaul tersebut. Pada zaman Ibnu Najm ada ketentuan yang berlaku di pasar Kairo yang disebut khalwul-hawanit, dimana si pemilik toko tidak berhak untuk

mengeluarkanburuhnya dan mengganti dengan buruh lain. Ulama-ulama Bukhara membolehkan membayar upah menenun dengan separuh hasil tenunannya, dan ulama-ulama fiqh mazhab Hanafi membolehkan menyusui dengan jaminan makan dan pakaian, yaitu berdasarkan atas kebiasaan. Jikamisalnya seorang pedagang menjual barang kepada pembeli tanpa persetujuan tentang ketentuan waktu pembayarannya, apakah tunai atau tidak tunai, sedangkan kebiasaan yang umum penjual pada setiap minggunya mengambil

12

keuntungan dari harga barang, maka perjanjian jual beli tersebut berlaku menurut kebiasaan ini. Contoh lain, apabila seseorang melakukan suatu pekerjaan dengan pembayaran upah di belakang, dengan tidak disebutkan jumlah upah, maka buruh tersebut berhak menerima sejumlah upah menurut adat dalam pekerjaan itu.

Pasal 5

HUBUNGAN HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM ROMAWI

Perbedaan Pendapat

Pendapat pertama menyatakan adanya pengaruh hukum Romawi ke dalam hukum Islam, timbul dari para orientalisten, ahli ketimuran dan para ahli hukum bangsa Barat pada umumnya. Golongan kedua yaitu yang membantahpendapat pertama. Mereka yang termasuk golongan kedua diantaranya Prof. Faiz al-Khuri, Arif an-Naqdi dan Syaikh Muhammad Sulaiman. Adapun mereka yang bersifat moderat yang pendapatnya tengah-tengah, di antaranya Sayid Muhammad Hafiz Sabri, Sayid Ahmad Amin, Sayid tiyah Mustafa dan Dr. Syafiq Syahanah.

Nilai Keserupaan antara Hukum Islam dengan Hukum Romawi

Von Kremer berkata bahwa keserupaan di antara hukum Islam dengan hukum Romawi dia nataranya ialah mengenai soal kaidah-kaidah dan aturan-aturan tentang pembuktian atas si penggugat, batas umur dewasa dan kecakapan, beberapa macam hukum muamalat perniagaan.

13

Kaidah pembuktianatas si penggugat,yakni kaidah tentang pemberian buktibuktigugatan di muka pengadilan di dalam hukum Islam adalah berdasarkan hadis yang artinya: buktiadalah kewajiban penggugat, dan sumpah kewajiban orang yang menolah gugatan. Secara historis hadis tersebut lebih dahulu daripada kemenangan Islam di negeri-negeri yang semulatunduk kepada kekuasaan Romawi. Maka berdasarkan atas fakta historis ini tidaklah mungkin terjadi suatu pengambilan oleh hukum syariat. Keserupaan yang hanya berdasarkan perkiraan saja, dalam masalah pembedaan antara perjanjian jual beli dengan tukar-menukar hanya suatu sangkaan belaka. Mengenai perjanjian jual beli dan sewa-menyewa ada keserupaan disebabkan karena titik beratnya ketentuan tersebut. Di dalam masalah betas kedewasaan dan kecakapan, di antara hukum Islam dengan hukum Romawi tidak terdapat suatu keserupaan yang jelas. Tidak ada buktiyang bias membenarkan tentang adanya pengaruh hukum Romawi pada para ahli hukum Islam lebih-lebih pada hukumnya itu sendiri.

Dalil Keserupaan dengan Adanya Materi Keserupaan itu Sendiri

Kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum, seprti larangan membunuh, mencuri, zina dan sebagainya berpangkal kepada prinsip keadilan.oleh sebab itu, sifatnya abadi dan tunggal. Adapun hukum perincian tidak selamanya terdapat persamaan dan keserupaan antara yang satu dengan lainnya, bahkan pada umumnya berbeda-beda menurut keadaan tempat, waktu dan keadaan masyarakat tertentu. Ketentuan-ketentuan hukum adalah berdasarkan atas alasan dan sebab. Jadi, apabila suatu ketentuan hukumdari dua negara terdapat kesamaan alasan dan sebab, maka dengan sendirinya bias diterima apabila ketentuan-ketentuan hukum dari hukum di keduanegara atau bangsa itu mempunyai ketentuan yang sama atau serupa.

14

Faktor keserupaan itu sendiri tidak bisa diterima sebagai dalil yang cukup dengan sendirinya untuk menerapkan adanya pengambilan atau pengoperan hukum. Ahli-ahli hukum keluaran perguruan Folonia dan perguruan Eropa lain di dalam persoalan ini sangat berpengaruh oleh peradaban Arab yang sampai kepada mereka dengan perantaraan Andalusia dan negara-negara lainnya. Apabila kita kembali melihat kepada teori pembuktian yang disusun oleh ahliahli hukum abad pertengahan, terutama di Spanyol, kita akan mendapatkan suatu kenyataan adanya keserupaan dan kesamaan dengan teori dalam hukum Islam.

Pendirian Para Ahli Hukum Islam tentang Hukum Romawi

Ahli

hukum

Islam

belum

pernah

mempelajari

hukum

Romawi,

menerjemahkan kitab-kitab Romawi ataupun memperbincangkannya di dalam tulisan-tulisan mereka. Sebab utama dari ketidaksediaan mereka dan keengganan untuk mempelajari hukum Romawi, tidak lain adalah kepercayaan mereka yang mendalam akan kesempurnaan hukum Islam.

Hubungannya dengan Hukum Yahudi

Von Kremer mengatakan bahwa pengaruh hukum Romawi terhadap hukum Islam datangnya dengan perantaraan Yahudi, dan dari adat kebiasaan di negari-negeri yang dikuasai bangsa Arab sendiri. Adanya keserupaan tidak dapat dijadikan alasan tentang adanya pengaruh. Greiger mengatakan tentang adanya keserupaan antara hukum Islam dengan hukum Yahudi di dakam beberapa masalah hukum. Tetapi keserupaan itu sendiri di dalam maslah-masalh perincian ini tidak dapat dijadikan alasan, sebab di dalam masalah-masalah lainnya yang lebih penting daripada itu, terdapat perbedaanperbedaan yang tajam

15

Adat Kebiasaan Romawi di Negeri-negeri Jajahan

Saat meluasnya kemenangan Islam, dimana umat Islam berkuasa di beberapa negeri yang semula tunduk pada kekuasaan Romawi. Maka, ulama-ulama Islam pada waktu itu menerapkan adat kebiasaan di negeri-negeri tersebut kepada syariat Islam. Sedang adat kebiasaan yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat dibuang, bahkan melarang menganutnya. Adat kebiasaan ini sama sekali bukanlah adat kebiasaan murni bangsa Romawi, melainkan memang sudahmenjadi kebiasaan bangsa-bangsa sejak dahulu. Kemenangan Islam pada zaman lalu, menjadi factor pendorong yang utama bagi terjadinya percampuran kebudayaan Islam dengan kebudayaan-kebudayaan lama dari negeri-negeri yang dikuasainya.

Materi persamaan sama sekali tidak menunjukkan adanya pengaruh hukum Romawi kepada hukum Islam. Hukum Islam adalah syariat yang berdiri sendiri yang tidak diambil dari syariat atau hukumlain,ia mempunyai dasar-dasar dan sumbe-sumbernya sendiri.

16

Anda mungkin juga menyukai