Anda di halaman 1dari 5

Pemuda Kritis Anti Anarkis Oleh Athifah Utami

Darah muda, darahnya para remaja...yang selalu merasa ga gah tak pernah mau mengalah..masa muda masa yang berapi-api yang maunya menang sendiri walau salah tak peduli, darah muda... Rasanya dendang lagu raja dangdut yang satu ini tidak ada orang tidak tahu, bahkan tidak hanya kalangan pencinta dangdut, teman saya pun akan begitu lihai menyanyikannya ketika saya minta beliau untuk bernyanyi karena saya tidak begitu hafal. Saya tidak akan membahas lebih jauh tentang lagu yang didendangkan barusan, atau berbagai lagu yang menyertai lagu tersebut dalam albumnya. Benar, lirik dari lagu Darah Muda memang menceritakan dengan caranya bagaimana kondisi psikologi dari seorang darah muda pada kehidupannya. Darah muda yang selalu diorientasikan pada kehidupan masa muda yang memiliki semangat berapi-api dalam hidupnya, mencoba mengenal dunia lebih dari mengenal dirinya, mencari jati diri di sela-sela proses pembelajaran, bahkan jiwa kompetisi yang tak terkira benar-benar ada dan bisa ditemukan di dalam darah muda. Hidup sebagai jiwa muda terkadang memiliki berbagai dilematis dalam kehidupan, dikatakan sebagai seorang anak-anak sudah tidak pantas lagi, namun untuk mencapai sebuah kata kedewasaan memang belum pantas disandang. Karena berbagai psikologi pemuda yang cenderung labil, berfikir dengan mengedepankan ego daripada logika, hidup dalam pertimbangan yang kurang dipertimbangkan, dan berbagai permasalahan abstrak yang kadang tak terjelaskan pun memenuhi ruang alasan mengapa pemuda benar-benar dikatakan memiliki emosi labil dalam menghadapi problema hidup. Memang tak dapat dipungkiri, bahwa pemuda merupakan bagian besar dalam pranata masyarakat luas. Beberapa kondisi dikondisikan untuk melatih

pemuda menjadi pemuda yang terlatih dimasyarakat. Seperti dibentuknya karang taruna di kecamatan-kecamatan yang struktur keorganisasiannya diserahkan ditangan pemuda, ormas-ormas dimasyarakat pun sudah banyak yang dipelopori oleh pemuda-pemuda kreatif nan kritis. Tidak ada yang mempermasalahkan bagi pemuda dan siapa saja untuk berfikir kritis, berpendapat, bahkan dalam Undang-undang pun kita sebagai warga negara berhak berpendapat dan mengeluarkan suara kita, namun ingat..! Harus tetap bisa dipertanggungjawabkan. Mengkritisi suatu sistem maupun kebijakan memang hal biasa dikalangan masyarakat luas, bahkan ada yang pernah bilang ngeritik doang mah enak benar, mengeritik memang hal yang biasa, namun belum tentu kita bisa lebih baik atau bahkan memberikan solusi dari setiap krititk kita, jadi, tetap bicara namun harus ada kelanjutannya, kalau kata orang jangan ngomong doang. Memang, kalau kita sebagai pemuda yang hanya mengerti istilah yang kita sebut kulitnya saja dari sebuah apa yang kita sering kritisi ini, seperti contoh mengkritisi kebijakan sekolah, mengkritisi sebuah sistem baru di daerah kita, bahkan untuk lebih besarnya, mengkritisi kebijakan para petinggi bangsa ini, wah berarti kita sudah masuk tahap pemikiran kritis para pemuda yang peduli sama kondisi lingkungan kita sendiri, yah..meski kita tidak sepenuhnya tahu dapur dari sebuah kebijakan, maupun proses dari aturan itu dibuat. Hal ini baik, karena kita sudah masuk dalam tahap berfikir dengan logika, mencoba ingin tahu, membangun hipotesa yang kritis, bahkan nanti jika telah lebih maju dalam perkembangannnya, kita mampu menghadirkan solusi bagi masalah yang kita coba kritisi tadi. Wah, bangganya bangsa ini jika memiliki pemudapemuda yang kritis dan peduli dengan keadaan bangsa. Namun, pernah kita mendengar sebuah cara kritisi yang dianggap salah dalam mengkritisi atau sebuah luapan emosi yang tidak pada tempatnya oleh beberapa oknum pemuda. Jawabannya, pernah bahkan sering, tentunya kita pernah melihat, membaca, ataupun mendengar dari media massa yang memberitakan mengenai tindakan anarkis oleh beberapa kelompok pemuda dalam menyampaikan aspirasinya. Dalam bentuk membakar ban, memecahkan

kaca, melempar batu, memadati badan jalan hingga menyebabkan kemacetan, atau bahkan ada yang sampai baku hantam dengan pihak keamanan setempat. Apakah hal ini diperkenankan dalam sebuah tahap mengkritisi yang kita sebut tadi kulitnya saja pada sebuah hal yang kita coba kritisi. Fenomena diatas tidak menggambarkan seorang pemuda harapan bangsa yang dibanggakan, apalagi jika hanya ikut ramai dalam berdemo misalkan, hingga terjadi pertumpahan darah. Bukan menghadirkan sebuah solusi pada sebuah masalah yang dikritisi, namun hanya akan menimbulkan keributan dan masalah baru yang malah mempermalukan diri sendiri sebagai pemuda yang sudah dipercayai masyarakat. Inikah pemuda yang diharapkan dimasa depan oleh bangsa ini, jawabannya tidak, bangsa membutuhkan pemikir-pemikir kritis yang tidak anarkis dan tidak sembrono dalam mengambil keputusan. Apakah sekelompok pemuda yang menculik Ir.Soekarno dan Moh. Hatta dan mengasingkannya ke Rengasdengklok merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan hanya mementingkan diri sendiri dari ego jiwa muda yang ingin memerdekakan bangsanya, karena ingin dikenal bahwa dari kalangan pemuda juga ingin andil dalam proklamasi, sekali lagi jawabannya Tidak. Mereka tidak hanya membawa nama golongan muda, mereka hadir tidak hanya untuk alasan kelompok, tapi mereka hadir karena mereka benar-benar peduli dengan nasib bangsa. Merekalah contoh pemikir muda yang kritis namun tidak anarkis, mereka berjuang untuk negeri, mereka berfikir untuk dapat memerdekakan negeri dengan sedamai-damainya cara mereka tempuh. Lalu akan timbul pertanyaan, bagaimana dengan peperangan masa lampau yang dilakukan oleh para pemuda daerah pada massa penjajahan, karena ini seperti sebuah keputusan akhir dari jalan damai yang tak kunjung tercapai dan semakin tertekannya bangsa kita kala itu, tentunya pemuda sudah tak tahan lagi diperlakukan seperti itu. Kondisi ini terjadi karena telah melalui berbagai keputusan kritis para pemuda. Tentunya, kita tidak ingin lagi kan disamakan dengan masa penjajahan, jika kita tetap mengedepankan anarkisme dalam mengkritisi berbagai kebijakan dilingkungan kita, seolah-olah kita menjajah diri kita sendiri

di zaman yang telah merdeka dengan bertindak diluar kontrol dalam mengkritisi berbagai aspek di kehidupan ini. Sebenarnya suatu luapan yang berlebihan dari para pemuda yang mengkritisi sebuah kebijakan, sistem maupun cara baru yang ada dalam kehidupan, benar-benar tidak ada gunanya, mengapa saya berani berkata demikian, alasannya : 1. Kegiatan seperti ini justru akan mencerminkan generasi muda yang bisanya ngomong doang. 2. Luapan kritikan ini tidak terlalu jelas nantinya akan ditujukan pada siapa, jika hanya melakukan tindakan anarkisme di jalanan, dan tempat-tempat umum lainnya. 3. Rusaknya sarana dan prasarana publik yang justru akan merugikan negara, dan menelan biaya dalam perbaikannya. 4. Tidak dapat bermusyawarah dengan tenang, karena penyampaian aspirasi yang menggebu-gebu dan disertai emosi. 5. Akan sulit menemukan solusi jika kondisinya seperti gambaran diatas, karena kembali lagi ke poin sebelumnya, musyawarah damai pun terkadang sulit mencapai suatu mufakat, apalagi jika disertai dengan tindakan anarkis. Lalu, bagaimana agar kita tetap menjadi pemuda yang kritis anti anarkis. Sebenarnya banyak kegiatan penyaluran aspirasi remaja, seperti contoh mengikuti kegiatan Perlemen Muda yang diadakan oleh IFL (Indonesian Future Leaders) dengan menjadi anggota Parlemen Muda, kita dapat berdiskusi mengenai kebijakan kebijakan di daerah kita maupun nasional, isu isu global, pendidikan dan masih banyak lagi. Berpartisipasi dalam ajang ajang lomba, olimpiade sains, kesenian, dan banyak prestasi yang juga menunjukkan bahwa remaja merupakan pemikir kritis bangsa. Saya percaya, pada dasarnya kita semua tidak ingin bertindak anarkis, mungkin suatu kondisi, alasan, atau juga dorongan ego kelompok tertentu yang tetap membenarkan bahwa dengan tindakan anarkis sebuah aspirasi bisa

didengar lebih keras dan tegas, namun tidak pada kenyataannya. Tetaplah kita pertahankan nilai luhur kearifan bangsa dari pemudanya yang berfikir kritis, namun tetap arif dalam mengambil langkah dan menyuarakan aspirasi. Negeri ini sudah sarat dengan krisis, membutuhkan para pemikir kritis, sekali lagi tetaplah menjadi pemikir bangsa yang kritis namun tidak anarkis. Mari, kita benahi diri dari yang kritis yang anarkis jadi kritis yang arif tanpa anarkis.

Anda mungkin juga menyukai

  • Tentang Kopi Dan Thifah
    Tentang Kopi Dan Thifah
    Dokumen2 halaman
    Tentang Kopi Dan Thifah
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Orang Asing
    Orang Asing
    Dokumen10 halaman
    Orang Asing
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Nyok
    Nyok
    Dokumen1 halaman
    Nyok
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Satu Hal
    Satu Hal
    Dokumen1 halaman
    Satu Hal
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Mimpi
    Mimpi
    Dokumen1 halaman
    Mimpi
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Nyok
    Nyok
    Dokumen1 halaman
    Nyok
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Tukang Ojek
    Tukang Ojek
    Dokumen1 halaman
    Tukang Ojek
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Satu Hal
    Satu Hal
    Dokumen1 halaman
    Satu Hal
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Bab 7
    Bab 7
    Dokumen3 halaman
    Bab 7
    Athifah Utami
    Belum ada peringkat
  • Kalkulus
    Kalkulus
    Dokumen39 halaman
    Kalkulus
    Surya Fahrozi
    Belum ada peringkat