Anda di halaman 1dari 4

Dua Pasal UU Perkebunan Dibatalkan MK

Senin, 3 Oktober 2011 08:26 borneo tribune Dua pasal krusial dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan di batalkan. Pasal yang sarat kepentingan bagi perusahaan itu sering digunakan sebagai dasar agar rakyat tidak mengganggu investasi perusahaan. Dalam pasal itu rakyat diancam dengan hukuman pidana.Kran kebebasan rakyat memperjuangkan hak-hak mereka kini telah terbuka. Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Kalbar, Hendrikus Adam dalam keterangan yang dikirimnya via email kepada wartawan Borneo Tribune Sintang beberapa hari lalu mengatakan bahwa pada Senin (19/9) lalu, Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Ketentuan Pasal 21 UU Perkebunan pada pokoknya berisikan larangan bagi setiap orang yang melakukan segala tindakan yang dianggap dapat mengganggu jalannya usaha perkebunan. Sementara Pasal 47 berisi mengenai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku yang dianggap melanggar Pasal 21, jelasnya. Sejak awal menurutnya rumusan norma yang terkandung di dalam Pasal 21 dan Pasal 47 ini memang mengandung pengertian yang sangat luas dan tidak rigid. Hal ini disebabkan karena ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana dalam UU Perkebunan ini disusun dan dibentuk hanya berdasarkan atas praanggapanpraanggapan yang tidak diselidiki secara luas sampai di mana kebenarannya. Akibatnya, perbuatan-perbuatan yang ditetapkan sebagai perbuatan yang dilarang dan dapat dipidana oleh undang-undang Perkebunan ini, dirasakan bertentangan dengan nilai dan rasa keadilan di masyarakat, bertentangan dengan kepastian hukum, bahkan bertentangan dengan politik hukum dan politik sosial yang tertuang dalam UUD 1945, bebernya. Ketentuan Pasal 21 ini juga lanjut dia dianggap sangat menguntungkan pihak pengusaha atau perusahaan perkebunan, terutama dengan adanya pengakuan bersyarat terhadap tanah masyarakat adat yang tanahnya diperlukan untuk lahan perkebunan, dimana masyarakat hukum adat tersebut baru diakui apabila masyarakat adat dapat membuktikan bahwa menurut kenyataannya bahwa masyarakat adat tersebut masih ada. Sehingga, mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat, sebagai pemilik ulayat atas tanah yang banyak digunakan sebagai tempat usaha perkebunan, jelasnya.

Padahal kata Adam, reformasi 1998 telah menghasilkan pengakuan dan dinyatakannya secara eksplisit dan tegas akan eksistensi masyarakat adat. Hal ini lanjut dia secara jelas dan terang tertuang termaktub dalam UUD 1945 khususnya pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi ini sekaligus pula menegaskan pengakuan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap hak asasi manusia dan keberadaan Masyarakat Adat merupakan pengakuan eksistensialis, ucapnya. Sehingga hak asasi manusia dan keragaman, keunikan yang ada pada masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh negara. Pengakuan yang diberikan oleh negara terhadap keberadaan masyarakat adat tidak lagi bersifat simbolik semata, tetapi sudah pengakuan yang sifatnya eksistensialis, ucapnya. Artinya kata Adam, pengakuan negara yang didasarkan pada sifat dan hakekat masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam golongan yang salah satunya adalah masyarakat adat. Dan ini merupakan kenyataan atau kebenaran umum (noteire feiten) yang jelas, terang dan tidak membutuhkan bukti lagi akan kebenaran dan keberadaannya, tukasnya. Ditempat yang sama, Agus Sutomo dari Lembaga Gemawan mengatakan dibatalkannya ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan ini juga telah memberikan angin segar bagi setiap petani dan masyarakat untuk memperjuangan kembali lahan-lahan dan tanahnya yang selama ini dirampas dan digunakan perusahaan perkebunan. Demikian juga para pengambil kebijakan Negara, Presiden, Menteri Pertanian cq Dirjen Perkebunan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, serta aparat penegak hukum hingga jajaran paling bawah harus memperhatikan dan menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi ini sebagai indikator dan pegangan dalam setiap pengambilan kebijakan dan putusan yang berkaitan dengan hak-hak petani atau masyarakat adat serta konflik-konflik perkebunan, tukasnya. Terutama kata dia yang berkaitan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat, jaminan kepastian hukum yang adil, serta persamaan di depan hukum.

Kepekaan sikap Mahkamah Konstitusi dalam putusannya lanjut Tomo, begitu ia biasa disapa patut diapresiasi, karena berhasil melihat kenyataan konflik perkebunan. Mahkamah menyatakan bahwa kasus-kasus yang sekarang timbul di daerah-daerah perkebunan yang baru dibuka, sangat mungkin disebabkan oleh tiadanya batas yang jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat, dengan hak-hak baru yang diberikan oleh negara, berdasarkan ketentuan perundang-undangan, paparnya. Hal ini kata dia merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara. Kemudian, ketidakpastian hukum ini diikuti adanya ancaman hukuman berlebihan yang diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan. Dengan adanya Putusan atas Pengujian yang diajukan empat Petani ini, keberadaan masyarakat lokal dan masyarakat Adat di seluruh Indonesia tak lagi perlu takut dan merasa was-was dalam memperjuangkan hak asasinya, yang selama ini dilanggar perusahaan perkebunan besar melalui legalitas dan dukungan aparat negara, tukasnya. Beberapa hari lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalbar, Tim Pembela Masyarakat Adat Institut Dayakologi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalbar, Lembaga Bela Banua Talino, Gerakan Masyarakat Swadaya dan Mandiri Kalbar menyampaikan seruan melalui sejumlah media. Berdasarkan fakta dan argumentasi di atas, sejumlah lembaga ini meminta Mahkamah Agung dan seluruh lembaga peradilan di bawahnya agar memperhatikan putusan pengujian UU Perkebunan ini, dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang saat ini tengah diproses hukum, dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan yang telah dibatalkan tersebut. Pengadilan juga harus pula memperhatikan putusan tersebut, dalam memeriksa setiap langkah hukum, dalam rangka upaya pembebasan setiap warga negara para petani, yang telah dijerat dengan menggunakan kedua ketentuan dimaksud, jelas mereka dalam siaran pers nya. Mereka meminta Presiden harus memperhatikan putusan tersebut, khususnya dalam kerangka penyusunan kebijakan baru, yang terkait dengan langkah penyelesaian konflik-konflik perkebunan, yang melibatkan petanimasyarakat adat, dengan perusahaan-perusahaan perkebunan. Presiden harus melakukan perubahan pola kebijakan dalam menyelesaikan setiap sengketa perkebunan, tidak lagi menggunakan pendekatan hukum pidana para petani dan masyarakat adat.

Presiden harus memerintahkan Menteri Pertanian cq Dirjen Perkebunan, Kepala Badan Pertanahan Nasional maupun instansi terkait lainnya yang memiliki kewenangan untuk menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Presiden harus memerintahkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Untuk menghentikan proses penyidikan dan penuntutan terhadap petani-petani dan masyarakat adat yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan. Presiden harus memerintahkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung untuk menghentikan praktik-praktik korupsi yang selama ini menyertai dalam setiap pengambilalihan lahan-lahan milik petani dan masyarakat adat dan pembangunan perkebunan, khususnya yang berkaitan dengan suap untuk memperoleh izin, pemberian izin untuk keluarga atau kroni kepala daerah, pembiaran beroperasi tanpa izin, mark up dalam pengadaan bibit sawit, usaha perkebunan sawit fiktif, dan penghindaran atau manipulasi pajak dari sektor perkebunan. Mahkamah Agung dan seluruh lembaga Peradilan di bawahnya (khususnya di Kalbar), agar memperhatikan Putusan Pengujian UU Perkebunan ini, dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang saat ini tengah diproses hukum, dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan, yang telah dibatalkan tersebut. Apabila kelima hal ini di atas dilakukan oleh Presiden dan pengambil kebijakan lainnya (hingga ke daerah), maka putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dijadikan indikator membaiknya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, kata mereka.

Anda mungkin juga menyukai