Anda di halaman 1dari 2

MILITER DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Agustus 17, 2009 oleh sekber umy Tinggalkan sebuah Komentar Oleh : Sandy Punkeo[1] Militer, Militerisme dan Militerisasi Dalam arti yang sederhana, militer dapat diartikan sebagai sebuah lembaga atau institusi yang bertugas sebagai badan pertahanan untuk menjaga daerah teritorial dan kedaulatan sebuah negara dari serangan luar. Jika dilihat kembali kesejarahan militer pra-kemerdekaan, rakyat pribumi secara konvensional membentuk milisi-milisi dan laskar-laskar untuk menghadapi kolonial Belanda dan Fasisme Jepang. Akan tetapi disisi lain, tentara profesional hasil didikan dari Belanda yaitu KNIL dan Jepang yaitu PETA juga melakukan terhadap kaum jajahan tersebut yaitu Belanda dan Jepang. Sementara militerisme adalah faham militer yang meng-ideologi-kan dan budaya militer yang terasosiasi dalam perilaku masyarakat. Faham ini tidak akan timbul jika tidak ada proses militerisasi dalam masyarakat. Militerisasi sendiri adalah sebuah proses transformasi budaya dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Kalau seandainya militer telah menjadi sebuah budaya (militerisme) akibat proses militerisasi maka jangan heran jika kekerasan menjadi sebuah penyelesaian dalam setiap masalah. Yang ebih berbahaya lagi jika ketika faham militer sudah memasuki tingkat sosio-politik yang terbangun dalam sistem pemerintahan yang otoriter yang kemudian sudah dapat dipastikan akan terjadi banyak tindak represifitas terhadap masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah untuk tetap melanggengkan kekuasaannya. Militer di Indonesia Pembentukan angkatan bersenjata di negara-negara modern ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa suatu negara. Namun kenyataannya, terdapat beberapa perluasan peran yang melekat pada angkatan bersenjata tersebut. Perluasan ini terkait dengan ideografis dan perkembangan suatu negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh militer dengan multi fungsinya dalam politik pemerintahan lebih disebabkan sejarah perjuangan bangsa dan negara yang bersangkutan, terutama di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Lebih jauh lagi hal ini dapat dilihat dari sistem politiknya berupa orientasi nilai terhadap struktur dan fungsi sistem politik, dan orientasi nilai terhadap pimpinannya. Selain itu juga sangat dipengaruhi oleh sejarah ideografis negaranya. Militer di Indonesia lahir dan berkembang sebagai militer yang revolusioner dengan ideografis Jawa. Akan tetapi pada saat itu sebenarnya pemerintahan kelihatan enggan untuk membentuk tentara dengan fungsi kemiliteran yang penuh. Hal tersebut disebabkan karena pemerintah menitikberatkan pada jalan perdamaian dengan jalan diplomasi perundingan dan mencoba memainkan mekanisme perimbangan kekuatan negara besar, terutama negara sekutu. Tetapi dalam kenyataan, akibat dari dinamika masa pendudukan Jepang, waktu itu banyak sekali pemuda dengan semangat menggebu-gebu menginginkan wadah militer yang jelas karena mereka juga telah menerima

pelatihan militer dan mengembangkan semangat nasionalisme. Dengan konsep ABRI manunggal dengan rakyat ditujukan bahwa doktrin Dwifungsi ABRI dapat setara dengan ideologi yang harus disadari oleh baik kalangan sipil maupun militer. Berdasarkan kelahiran doktrin itulah dua fungsi militer dalam sistem politik Indonesia dilaksanakan. Berdasarkan tataran empiris, konsepsi doktrin itu telah mengalami pergeseran terutama pada tingkat operaional. Dwifungsi yang tadinya menyangkut tugas pembelaan negara berubah menjadi multifungsi militer dalam orientasinya terhadap struktur dan fungsi sistem politik Indonesia. Pelaksanaan peran militer dalam politik sangat dipengaruhi oleh konflik kepentingan dan ketegasan dalam poros elit militer, elit sipil dalam lembaga eksekutif dan kehidupan infrastruktur politik yang dimotori oleh partai politik. Hal tersebut sangat terlihat jelas di Indonesia dimana kepentingan ideologi mereka sendiri dan tentu saja kepentingan elit yang ada dibelakangnya. Dapat diambil contoh misalnya pada saat pemerintahan Orba. Militer dan Demokrasi Indonesia Ada fenomena lain yang terbentu dalam opini masyarakat bahwa institusi militer relative dianggap sebagai ancaman dan kendala bagi dibangunnya negara Indonesia yang demokratis. Opini ini cenderung terbentuk karena militer memiliki sifat yang represif dengan sistem komando dan hierarki yang kuat, apalgi yang dipersenjatai dengan senjata yang mematikan. Dalam negara yang demokratis, militer adalah alat negara yang profesional sesuai dengan bidangnya, namun dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik. Politik militer adalah politik negara. Oleh karenannya militer adalah lembaga yang sangat ekslusif, berorientasi pada korps dan aristokrasi yang berlandasakan kedisiplinan, kepatuhan dan ketaatan pada hierarki dan struktur komando. Jika militer diberi hak politik praksis, maka yang akan terjadi adalah kekacauan, karena militer akan terbagi menjadi berbagai kelompok partisan sesuai kehendak nilai dan kepentingan dan ideologinya. Hal demikian dapat membahayakan bagi peraturan dan kesatuan bangsa, apalagi militer dibekali ketrampilan represif dan disandangi senjata yang mematikan, oleh karena itu dalam sebuah negara yang demokratis harus menjamin militernya tidak cenderung berkiprah dalam politik praksis. Minimalisasi intervensi militer berarti mengurangi hal prerogatif militer dan membatasi misi profesionalnya yang ketat, dimana perhatian utamanya adalah pertahanan negara. Minimalisasi sering menciptakan situasi dilematis. Satu sisi, supremasi sipil mengharuskan pengurangan sejumlah kewenangan militer, sebagai upaya mengantisipasi kemungkinan intervensi militer. Disisi lain, agar tercipta stabilitas politik, maka konflik sipil militer harus ditekan sekecil mungkin. Padahal, mengurangi hak prerogatif militer hampir selalu melahirkan konflik. Jika politisi lemah dan tidak efektif, akan mengundang intervensi militer. Sebaliknya, jika institusi politik kuat dan elite sipil bersatu maka akan membantu pengurangan hak-hak prerogatif militer.

Anda mungkin juga menyukai