Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit yang disebabkan penyempitan lumen arteri koroner akibat aterosklerosis pada dinding arteri koroner sehingga terjadi penurunan aliran darah dan gangguan suplai oksigen ke miokardium. Pada perjalanan penyakitnya, PJK dapat progresif dan sering terjadi perubahan secara mendadak dari keadaan stabil menjadi keadaan akut yang dikenal sebagai sindrom koroner akut (SKA). Sindrom ini terdiri dari angina pektoris tidak stabil, non-ST segment elevation myocardinfarction (NSTEMI), serta ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI). Diagnosis SKA ditegakkan berdasarkan gejala klinis (berupa nyeri dada yang dijalarkan ke leher, bahu dan lengan, sesak nafas dan berkeringat), adanya riwayat PJK, gambaran elektrokardiografi (EKG), dan penanda biokimia jantung. (referensi : nomor) The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun, dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.46 Penyakit jantung koroner juga merupakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika. Di Indonesia data lengkap PJK belum ada. Pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap menempati urutan pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%) dibandingkan dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7 diempat rumah sakit (RS) selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%. PJK terus menerus menempati urutan pertama di antara jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%. (referensi : nomor)

TINJAUAN PUSTAKA

I.

DEFINISI

Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI) dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevationmyocardial infarction/STEMI). (referensi : nomor) APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS. (referensi : nomor) Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan spesifik untuk nekrose miosit dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap dipengaruhi obatobat yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik, beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI merupakan SKA yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur. (referensi : nomor)

II.

EPIDEMIOLOGI The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1

juta orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun, dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.46 Penyakit jantung koroner juga merupakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika. Di Indonesia data lengkap PJK belum ada. Pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap menempati urutan pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%) dibandingkan dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7 diempat rumah sakit (RS) selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%. PJK terus menerus menempati urutan pertama di antara jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%.

III.

ANATOMI DAN FISIOLOGI (SESUAIKAN DG KASUS)

IV.

ETIOLOGI

ACS timbul karena pasokan oksigen yang tidak memadai ke miokardium dan dapat dikaitkan dengan interaksi lima variabel: trombosis, obstruks imekanik, obstruksi dinamis, meningkatnya kebutuhan oksigen miokard dan peradangan atau infeksi, tetapi pembentukan plak aterosklerotik paling mendasari penyebab ACS. (referensi : nomor) Proses aterosklerosis dimulai sejak dini berupa disfungsi endotel yang berlangsung selama beberapa dekade hingga berkembang menjadi plak dan aterosklerosis. Banyak faktor yang bertanggung jawab langsung terhadap pembentukan dan perkembangan disfungsi endotel dan aterosklerosis,

termasuk hipertensi, usia, jenis kelamin laki-laki, penggunaan tembakau, diabetes, obesitas, peningkatan konsentrasi homosistein plasma, dan

dislipidemia. (referensi : nomor) Disfungsi endotel ditandai dengan ketidakseimbangan antara zat vasodilatasi (termasuk oksida nitrat dan prostasiklin) dan zat vasokonstriksi (termasuk endotelin-1, angiotensin II, dan norepinefrin) yang mengakibatkan peningkatan reaktivitas vaskular. Hal ini juga menyebabkan

ketidakseimbangan antara zat prokoagulan (plasminogen activator inhibitor-1 dan faktor jaringan) dan zat antikoagulan (aktivator plasminogen jaringan dan proteinC), sehingga meningkatkan agregasi platelet dan pembentukan trombus. Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan ekspresi adesi molekul leukosit, yang memicu respon sel inflamasi pada dinding pembuluh subintimal. Akhirnya, disfungsi endotel meningkatkan permeabilitas endotelium terhadap kolestrol low density lipoprotein (LDL) dan sel-sel inflamasi yang memicu respon dan infiltrasi didinding pembuluh subintimal. Secara keseluruhan, semua faktor ini berkontribusi pada evolusi disfungsi endotel untuk pembentukan fatty streak di arteri koroner dan akhirnya menjadi plak aterosklerotik. (referensi : nomor)

V.

PATOFISIOLOGI (4881-7541-1-SM)

Secara patofisiologi, penyebab terbanyak sindrom koroner akut adalah kerusakan dari plak aterosklerotik yang telah ada sebelumnya. Plak aterosklerotik memicu terjadinya sindrom koroner akut yang bersifat relatif non obstruktif sebelum menjadi sindrom koroner akut, dengan predisposisi rupturnya plak menjadi faktor memperberat karena penonjolan ke lumen koroner. (referensi : nomor) Karakteristik plak aterosklerotik sensitif yang kaya akan lipid (berisi jaringan nekrotik dan sampah inflamasi), sejumlah besar sel - sel inflamasi (seperti makrofag), fibroblas, dan fibrous cap tipis yang memisahkan plak dengan darah. Pemicu biologis dan psikologi dapat membuat pecahnya fibrous

cap, yang nantinya dapat memicu kelainan jantung asimtomatik hingga kematian jantung mendadak. Saat plak tersebut pecah, peristiwa inflamasi dan jalur pletelet memicu terbentuknya trombus, suatu clot darah pada permukaan plak yang mengakibatkan sumbatan arteri koroner. Faktor - faktor yang mempengaruhi proses ini meliputi ukuran dan keparahan pecahnya plak, begitu juga dengan derajat respon biologis terhadap pecahnya plak, yang meliputi repon platelet dan aktivasi koagulasi. (referensi : nomor) Jika trombosis koroner sudah terbentuk, aliran darah ke area jantung akan berkurang atau dihambat sehingga terjadilah iskemia miokard. Lebih dari itu, iskemia miokard yang dalam hal ini sindrom koroner akut tidak hanya mengakibatkan hambatan pembuluh darah koroner epikardium tapi juga embolisasi platelet hingga mempengaruhi resistensi mikrovaskuler. Pada iskemia miokard akut, tanda dan gejala klasik dapat berupa dada terasa berat yang menjalar ke rahang, lengan, diaforesis dan sesak napas. (referensi : nomor)

VI.

GEJALA KLINIS

Derajat sumbatan arteri koroner biasanya berkorelasi dengan gejala dan variasi penanda jantung serta temuan elektrokardiografi. Angina atau nyeri dada, tetap dianggap sebagai gejala klasik dari ACS. (referensi : nomor) Pada angina tidak stabil, nyeri dada biasanya terjadi baik pada saat istirahat maupun saat melakukan aktivitas yang terbatas. Nyeri dada yang berhubungan dengan NSTEMI biasanya lebih lama dalam durasi dan lebih parah dari pada nyeri dada yang berhubungan dengan angina tidak stabil. Dalam kedua kondisi ini, frekuensi dan intensitas nyeri dapat meningkat jika tidak diatasi dengan istirahat, nitrogliserin, atau keduanya. Nyeri dapat pula

berlangsung lebih dari 15 menit. Nyeri bisa terjadi dengan atau tanpa menjalar ke lengan, leher, punggung, atau daerah epigastrium. (referensi : nomor) Selain angina, pasien dengan ACS juga disertai sesak napas, diaforesis, mual, dan pusing. Perubahan tanda vital, seperti takikardia, takipnea, hipertensi, atau hipotensi, dan penurunan saturasi oksigen (SaO2) atau kelainan irama jantung sering menyertai. (referensi : nomor) http://www.nursingcenter.com/prodev/ce_article.asp?tid=859842

VII.

DIAGNOSIS

7.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat dan terfokus sangat penting untuk menilai gejala yang dirasakan pasien sebagai sindrom koroner akut dan menentukan faktor resiko yang dapat berperan. Walaupun pasien biasanya menggambarkan angina stabil sebagai rasa nyeri seperti tertekan dan tidak mampu melokalisasikan nyeri yang

biasanya disertai rasa tidak nyaman pada lengan. Nyeri juga bertambah parah dengan aktivitas atau stres emosional dan membaik dengan istirahat, nitrogliserin, atau keduanya. Gejala berupa nyeri yang berkaitan dengan Unstable Angina dapat terjadi saat istirahat, dan biasanya digambarkan dengan jelas sebagai nyeri. Sering terasa di daerah substernal (kadangkadang daerah epigastrium), rasa sakit atau tertekan yang sering menjalar ke leher, rahang, bahu kiri, dan lengan kiri. Selain nyeri dada, gejala lain yang dapat dirasakan pasien adalah dyspnea (paling umum), mual dan muntah, diaphoresis, dan kelelahan yang tidak dapat dijelaskan. (referensi : nomor) Gejala yang tidak spesifik lebih sering terjadi pada wanita dan orang tua. Walaupun jarang, syncope dapat pula menjadi gejala pada pasien dengan Sindrom koroner akut. Nyeri yang tajam, menusuk atau nyeri pleuritik yang muncul saat palpasi atau ketika melakukan

pergerakan, bisa dilokalisasi di ujung jari biasanya bukan diakibatkan oleh iskemik. (referensi : nomor) Lima jenis anamnesis paling penting yang mempermudah identifikasi iskemik akibat penyakit arteri koroner yaitu gejala umum angina, riwayat penyakit jantung koroner, jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, gejala klasik pada faktor resiko penyakit jantung (seperti hipertensi, hipercolestrolemia, perokok, diabetes dan riwayat keluarga) dapat

menjadi indikator kemungkinan adanya iskemik yang bersifat akut walaupun persentasinya sangat rendah. (referensi : nomor) Tujuan utama dari pemeriksaan fisik yaitu untuk mengidentifikasi penyebab pencetus iskemia miokard dan untuk menilai konsekuensi hemodinamik dari peristiwa iskemik akut. Temuan pemeriksaan fisik yang menunjukkan area yang luas iskemia dan berisiko tinggi termasuk diaforesis, pucat, kulit dingin, sinus takikardia, suara jantung ketiga atau keempat, basilar rales, dan hipotensi. Pemeriksaan fisik juga memberikan petunjuk yang dapat membantu untuk menentukan diagnosis diferensial. Sebagai contoh, murmur regurgitasi aorta menunjukkan kemungkinan diseksi aorta, sedangkan friction rub perikardial menunjukkan perikarditis akut. (referensi : nomor) http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2755812/

7.2 Pemeriksaan Penunjang a. EKG (Elektrokardiogram)\ EKG sangat penting tidak hanya untuk menambahkan dukungan terhadap kecurigaan klinis CAD (Coronary Acute Syndromme) tetapi juga untuk memberikan informasi prognostik berdasarkan poladan besarnyakelainan. (referensi : nomor) EKG 12-lead adalah alat diagnostik lini pertama dalam penilaian pasien yang diduga NSTE-ACS. Ini harus diperoleh dalam waktu 10 menit setelah kontak pertama medis (baik pada kedatangan pasien di ruang gawat darurat atau pada kontak pertama dengan pelayanan medis

darurat

dalam

pengaturan

pra-rumah

sakit)

dan

langsung

diinterpretasikan oleh dokter yang berkompeten. (referensi : nomor) Pada gambaran EKG normal, gelombang T biasanya positif pada sadapan (lead) I, II, dan V3 sampai dengan V6; terbalik pada sadapan aVR; bervariasi pada sadapan III, aVF, aVL, dan V1; jarang didapatkan terbalik pada V2. Jika terjadi iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan biasanya bersifat sementara (saat pasien simptomatik). (referensi : nomor) Bila pada kasus ini tidak didapatkan kerusakan miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-MB (creatine kinase-myoglobin) maupun troponin yang tetap normal, diagnosisnya adalah angina tidak stabil. Namun, jika inversi gelombang T menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan diagnosisnya menjadi NSTEMI. (referensi : nomor) Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh trombus nonoklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan), atau oklusi yang dapatdikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik. (referensi : nomor) Jika oklusi terjadi dalam waktu lama dan derajatnya signifikan (menyumbat 90% lumen arteri koroner), gelombang T prominen akan diikuti dengan deviasi segmen ST. Elevasi segmen ST

menggambarkan adanya daerah miokardium yang berisiko mengalami kerusakan ireversibel menuju kematian sel (dapat diukur berdasarkan peningkatan kadar troponin) dan lokasinya melibatkan lapisan epikardial. (referensi : nomor) Diagnosis STEMI ditegakkan jika didapatkan elevasi segmen ST minimal 0,1 mV (1 mm) pada sadapan ekstremitas dan lebih dari 0,2 mV (2 mm) pada sadapan prekordial di dua atau lebih sadapan yang bersesuaian. Elevasi segmen ST merupakan gambaran khas infark miokardium akut transmural, tetapi bisa ditemukan pula pada kelainan lain. Pada kebanyakan kasus, untuk membedakan STEMI dari

kelainan lain biasanya tidak sulit, cukup dengan memperhatikan gambaran klinisnya. (referensi : nomor) b. Petanda biokimia Jantung Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan kontraksi dari sel miokard. Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari adalah sama. (referensi : nomor) Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua petanda tersebut adalah relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam) setelah onset serangan. Risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segment ST elevasi lebih besar pada pasien dengan peningkatan nilai CKMB. (referensi : nomor) Peningkatan kadar CKMB sangat erat kaitannya dengan kematian pasien dengan SKA tanpa elevasi segmen ST dan naiknya risiko dimulai dengan meningkatnya kadar CKMB diatas normal. Meskipun demikian nilai normal CKMB tidak menyingkirkan adanya kerusakan ringan miokard dan adanya risiko terjadinya perburukan penderita. Troponin khusus jantung merupakan petanda biokimia primer untuk SKA. Sudah diketahui bahwa kadar troponin negatif saat < 6 jam harus diulang saat 6-12 jam setelah nyeri dada. (referensi : nomor)

Algoritma Diagnosis Acute Coronary Syndrom

VIII.

DIAGNOSA BANDING

IX.

PENATALAKSANAAN Terapi awal Keberhasilan terapi ACS bergantung pada pengenalan dini gejala dan transfer pasien segera ke unit/instalasi gawat darurat. Terapi awal untuk semua ACS, yang diberikan oleh tenaga paramedik ataupun pada unit/instalasi gawat darurat sebenarnya sama. (referensi : nomor) Manifestasi unstable angina dan MI akut seringkali berbeda. Umumnya, gejala MI akut bersifat parah dan mendadak, sedangkan infark miokard nonST elevasi (NSTEMI) atau unstable angina berkembang dalam 2472 jam atau lebih. Pada kedua kasus tersebut tujuan awal terapi adalah untuk menstabilkan kondisi, mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pasien. (referensi : nomor) Stabilisasi akan tercapai dengan berbagai tindakan. Oksigen diberikan untuk menjaga kadar saturasi dan memperbaiki oksigen yang sampai ke miokard. Diamorfin 5 mg (jika perlu diikuti dengan injeksi intravena perlahan 2,55 mg) diberikan sebagai analgesik dan untuk mengurangi kecemasan pasien. Selain itu juga menurunkan respon adrenalin, frekuensi nadi (heart rate)

dan tekanan darah, dan kebutuhan oksigen miokard. Morfin 10 mg diikuti dengan dosis 510mg injeksi intravena perlahan merupakan alternatif pilihan jika diamorfin tidak dapat digunakan. (referensi : nomor) Metoklopramid 10 mg intravena diberikan untuk mengatasi mual, dan gliseril trinitrat sublingual untuk menurunkan atau meredakan nyeri dada. Pada pembuluh darah koroner, agregasi platelet dan pembentukan trombus dilakukan oleh tromboksan A2 (TXA2) yang dihasilkan oleh platelet yang teraktivasi, dan dikatalisis oleh enzim siklooksigenase 1 (COX1). Pasien yang diduga infark miokard harus diberi aspirin (300 mg) secepat mungkin untuk membatasi trombus. Aspirin menghambat COX1 dalam platelet, menghambat produksi TXA2 dan agregasi platelet. Pasien yang alergi aspirin diberi clopidogrel 300 mg. (referensi : nomor)

ST elevation MI a. Trombolisis Streptokinase merupakan terapi pertama untuk mengembalikan aliran darah ke arteri koroner yang mengalami trombosis. Merupakan protein yang diperoleh dari streptococci yang mengubah plasminogen menjadi plasmin, juga merupakan protein antigenik dan sering dikaitkan dengan kejadian hipotensi dan reaksi alergi. Sekali diberikan, pemberian berikutnya mungkin tidak efektif karena telah terbentuk antibodi yang menetralkan dalam tubuh. (referensi : nomor) Trombolitik lainnya adalah tissue Plaminogen Activator (tPA, misalnya alteplase dan yang lebih baru tenecteplase). tPA yang lebih baru memiliki waktu paruh yang lebih lama sehingga memudahkan untuk pemberian sebagai injeksi bolus, dibanding infus yang harus dilakukan untuk streptokinase dan alteplase. Trombolisis tidak diberikan

jika(referensi : nomor): Perdarahan aktif (misalnya ulkus peptik, perdarahan gastrointestinal, varises esofagus) Resiko tinggi perdarahan (misalnya pasien usia >75 tahun)

Gangguan koagulasi Hipertensi berat Riwayat stroke/transient ischemic attacks Bedah atau trauma dalam 3 bulan terakhir Kehamilan Sebelumnya mendapat trombolisis streptokinase (dimana

streptokinase dikontraindikasikan) Komplikasi obat trombolisis antara lain reaksi alergi yang bisa bersifat minor sampai mayor anafilaksis (anafilaksis terjadi pada 0,1% pasien). Hemoragik yang memerlukan transfusi jarang terjadi, tetapi perdarahan pada lokasi suntikan merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Juga terdapat peningkatan resiko stroke hemoragik, terutama pada pasien lanjut usia. Hipotensi juga sering dijumpai, terutama jika digunakan streptokinase. (referensi : nomor)

PCI primer PCI primer adalah memasukkan kateter (melalui arteri femoral) ke dalam arteri koroner. Visualisasi dilakukan dengan sinarX dengan bantuan injeksi medium kontras radioopaque melalui kateter. Ketika pembuluh darah koroner sudah dapat dilihat, identifikasi definitif arteri yang trombosis dapat dilakukan dan arteri dapat dibuka menggunakan balon pada ujung kateter sehingga terjadi reperfusi miokard yang mengalami infark. Stent kemudian disisipkan untuk menjaga patensi pembuluh darah. Teknik ini memungkinkan pembukaan arteri yang dikehendaki dengan lebih tepat, tidak seperti jika digunakan obat trombolisis sistemik. Sebelum dilakukan PCI primer platelet harus dihambat sepenuhnya, dimaksudkan untuk mengurangi resiko trombosis periprosedur yang disebabkan oleh lepasnya plak atau trombosis pada stent. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian clopidogrel (300600 mg) bersama dengan terapi standard aspirin. Pemberian harus dilakukan secepatnya, sebelum PCI. Penghambatan platelet periprosedural tambahan dapat dilakukan dengan

abciximab (inhibitor glikoprotein Iib/Iia) atau bivalirudin. (inhibitor lansung trombin). (referensi : nomor) PCI primer merupakan pilihan yang lebih baik untuk pasien MI akut yang dapat dilakukan dalam waktu 90 menit sejak kontak medik pertama (doortoballoon time kurang dari 90 menit). Jika lebih dari 90 menit , PCI primer masih merupakan terapi pilihan apabila terapi trombolisis

dikontraindikasikan atau jika pasien beresiko tinggi mengalami perdarahan, syok kardiogenik atau dengan faktor resiko tinggi lainnya. Lebih dari 90% pasien yang mendapat PCI kembali normal secara angiografi, dibanding dengan 60% pasien yang mendapat trombolisis (dimana arteri yang tersumbat berhasil dialiri kembali). Keuntungan lain PCI(referensi : nomor): Tidak ada efek samping serius (misalnya hemoragik intrakranial) Waktu tinggal rawat inap lebih pendek Resiko reinfark berkurang. Jika pasien alergi terhadap medium kontras yang digunakan untuk angiografi, maka trombolisis merupakan pilahan terapi satusatunya. (referensi : nomor)

Terapi STEMI sekunder Pedoman NICE menyatakan bahwa semua pasien yang pernah MI akut harus mendapat kombinasi aspirin, beta blocker, statin dan ACEi. Terapi platelet Terapi platelet esensial untuk semua pasien kardiovaskular untuk mengurangi resiko trombosis koroner. Aspirin 75 mg harus diberikan terus selama hidup. Pasca PCIprimer, terapi antiplatelet ganda dengan clopidogrel diberikan minimum selama 2 bulan. Terapi antiplatelet ganda esensial untuk pascapemasangan stent karena tingginya insiden trombosis instent (~20%). Untuk pasien beresiko tinggi (pasien muda dengan riwayat iskemik jantung), atau jika lesi berada pada pembuluh darah dengan resiko tinggi (misalnya, left main stem), diberikan terapi

antiplatelet ganda seumur hidup untuk mencegah trombosis instent. (referensi : nomor) Untuk pasien yang sudah mendapat terapi ganda antiplatelet dan trombolisis, terapin gandanya hanya diperlukan selama 4 minggu (rekomendasi COMMIT). Setelah empat minggu, cukup diberikan aspirin saja seumur hidup. Jika pasien tidak tahan terhadap aspirin, clopidogrel seumur hidup merupakan alternatif. Jika aspirin dan clopidogrel juga tidak tahan, maka diberikan warfarin (dengan target INR 23) sampai selama 4 tahun. Efek samping terapi antiplatelet yang paling sering adalah ganggunan saluran cerna dan bronkhospasme (aspirin). (referensi : nomor) Inhibitor pompaproton (proton pump inhibitor, PPI)

misalnyaomeprqazol 20 mg/hari dapat diresepkan untuk pasien yang mengalami efek samping gastrointestinal. (referensi : nomor) Beta blocker Betablocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Studi ISIS1 menunjukkan pemberian dini betablocker bermanfaat menurunkan 15% mortalitas dalam 36 jam setelah MI, dengan cara menurunkan kebutuhan oksigen, membatasi ukuran infark. (referensi : nomor) Juga mengurangi resiko pecahnya pembuluh darah jantung dengan menurunkan tekanan darah, juga mengurangi resiko ventrikular dan aritmia supraventrikular yang disebabkan aktivasi simpatetik. Jika tidak ada kontraindikasi, pasien diberi betablocker kardioselektif misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit. Kontraindikasi terapi beta blocker adalah(referensi : nomor): Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <100 mmHg Bradikardi <50 denyut/menit. Adanya heart block. Riwayat penyakit saluran nafas yang reversibel.

Betablocker harus dititrasi sampai dosis maksimum yang dapat ditoleransi. Jika terdapat left ventricular systolic dysfunction (LVSD, disfungsi sistolik ventrikel kiri), beta blocker yang dilisensikan untuk gagal jantung harus diberikan (misalnya bisoprolol atau carvedilol). Pemberian dimulai dengan dosis terkecil dan dititrasi naik sesuai dengan interval yang disarankan sampai tercapai dosis maksimum yang dapat ditoleransi. (referensi : nomor) Terapi penurun kadar lipid Manfaat HMG CoA reductase inhibitor (statin) jelas ditunjukkan pada beberapa studi termasuk Heart Protection Study, yaitu dengan simvastatin 40 mg/hari, terjadi perbaikan outcome dan penurunan angka kematian untuk semua pasien kardiovaskuler. Manfaat ini tidak tergantung pada kadar awal kolesterol/LDL. (referensi : nomor) ACE inhibitor Pada ~20% pasien MI akut akan berkembang LVSD. Mortalitas pada pasien demikian meningkat secara signifikan. Studi AIRE menunjukkan bahwa pemberian ACEi pascaMI menguntungkan.

Pemberian ramipril pada gagal jantung menurunkan 27% mortalitas dalam 15 bulan. Bukti ini dikonfirmasi juga oleh studi HOPE (ramipril), EUROPA (perindopril), keduanya juga menunjukkan adanya manfaat ACEi untuk jantung koroner dengan atau tanpa gagal jantung atau hipertensi. (referensi : nomor) Setelah infark, miokard akan tertarik dan menipis sehingga terjadi dilasi ventrikel. Miokard yang masih berfungsi kemudian akan mengkompensasi dengan hipertropi, Remodelling ini merupakan indikator peningkatan mortalitas. Angitensin II juga dapat bersifat sebagai growth factor, yang memacu hipertropi. Inhibisi angiotensin II akan menghambat proses ini. (referensi : nomor) ACEi mulai diberikan dalam 2448 jam pascaMI pada pasien yang telah stabil, dengan atau tanpa gejala gagal jantung. ACEi menurunkan afterload ventrikel kiri karena inhibisi sistem reninangiotensin,

menurunkan dilasi ventrikel. ACEi harus dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi naik sampai dosis tertinggi yang dapat ditoleransi.

Kontraindikasinya hipotensi, gangguan ginjal, stenosis arteri ginjal bilateral, dan alergi ACEi. Elektrolit serum, fungsi ginjal dan tekanan darah harus dicek sebelum mulai terapi dan setelah 2 minggu. (referensi : nomor)

Antagonis aldosteron Pedoman NICE menyatakan untuk pasien dengan gejala gagal jantung dan LVSD antagonis aldosteron (eplerenone) dilisensikan sebagai terapi pascaMI yang dimulai dalam 314 hari MI, lebih disukai setelah terapi ACEi. Studi EPHESUS menunjukkan penurunan 43% resiko 30hari untuk semua mortalitas. Setelah maksimum terapi eplerenone 12 bulan, pasien LVSD dapat diterapi dengan spironolakton sesuai dengan pedoman NICE untuk gagal jantung. Kadar potasium/kalium dan fungsi ginjal harus dimonitor. (referensi : nomor)

Suplemen diet Pasien dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi minyak ikan polyunsaturated dan makan dengan pola diet Mediteranian. NICE menyarankan untuk menkonsumsi paling sedikit omega3acid ethyl ester 7g/minggu. Ini bisa diperoleh dari 24 porsi ikan (oily fish) atau 1g/hari suplementasi peroral. (referensi : nomor)

Unstable angina/NSTEMI Walaupun STEMI membawa resiko mortalitas yang lebih tinggi dalam jangka pendek, mortalitas dalam 6 bulan lebih tinggi pada NSTEMI. Terapi untuk pasien NSTEMI/unstable angina hamper sama dengan STEMI, kecuali trombolisis tidak diindikasikan dan sebaliknya digunakan heparin tak terfrasionasi atau berat molekul rendah (unfractinated or low molecular weight heparin) dan terapi antiplatelet. (referensi : nomor)

Antiplatelet Semua pasien NSTEMI/unstable angina mendapat terapi aspirin 75 mg/hari dan clopidogrel 75 mg/hari, dengan loading dose 300 mg yang diberikan saat gejala muncul atau pertama dirawat. Studi CURE menunjukkan manfaat penambahan clopidogrel pada terapi aspirin standard, yaitu menurunkan 20% resiko relatif kematian, MI nonfatal dan stroke. NICE merekomendasikan untuk pasien NSTEMI pemberian terapi ganda antiplatelet hanya untuk 12 bulan (dibanding dengan 4 minggu untuk pasien pascaMI atau minimum 12 bulan untuk pascaPCI primer) karena tidak ada manfaat nyata jika lebih dari waktu tersebut. (referensi : nomor) Antagonis reseptor glikoprotein IIb/IIIa, misalnya tirofiban atau eptifibatide merupakan inhibitor kuat agregasi platelet. Obatobat tersebut menghambat pembentukan fibrinogen pada platelet. Walaupun antagonis reseptor glikoprotein IIb/IIIa menghambat pembentukan thrombus, uji klinik menunjukkan bahwa mereka hanya efektif untuk pasien NSTEMI resiko tinggi, atau untuk pasien yang potensial mendapat PCI yang ditunda, jika digunakan bersama dengan aspirin dan heparin/LMWH. (referensi : nomor) Antikoagulasi LMWH lebih banyak digunakan daripada unfractionated heparin karena untuk membatasi perluasan thrombosis koroner pada

NSTEMI/unstable angina. Studi ESSENCE menunjukkan enoxaparin 1mg/kg 2 kali/hari lebih baik daripada unfractinated heparin. Biaya enoxaparin lebih tinggi, tetapi mempunyai aktivitas antifaktor Xa lebih besar, tidak memerlukan monitor terus menerus, dan dapat diberikan dengan mudah 2 kali/hari sehingga menjadi pilihan terapi yang cukup popular. (referensi : nomor) Enoxaparin diberikan terus sampai pasien bebas dari angina atau paling sedikit selama 24 jam. Durasi terapi yang dianjurkan adalah 28

hari. Jika pasien memiliki gangguan fungsi ginjal, enoxaparin diberikan 1 mg/kg sekali sehari. (referensi : nomor)

Terapi antiangina Betablocker digunakan sebagai antiangina dan harus diberikan sesegera mungkin, seperti pada pascaMI, kecuali jika kontraindikasi. Walaupun tidak ada bukti kuat terutama manfaatnya dalam mengurangi angka kematian, obatobat berikut sering juga digunakan untuk mengatasi gejala angina atau sebagai pencegahan(referensi : nomor): Isosorbid mononitrat, diberikan sekali sehari dalam bentuk sediaan lepas lambat untuk mencegah toleransi terhadap nitrat. Jika diperlukan, diberikan bersama dengan gliseril trinitrat semprot. Calcium channel blocker (CCB, misalnya amlodipin, diltiazem). Diltiazem dapat diresepkan untuk pasien yang tidak tahan beta blocker karena efek sampingnya pada konduksi elektrik kardiak. Obat kerja pendek (misalnya nifedipin) tidak digunakan karena efek sampingnya refleks takikardia yang umum terjadi pada awal penggunaan dan dapat memperburuk gejala angina. Nicorandil dapat ditambahkan sebagai kombinasi dengan antiangina lainnya. Pada semua antiangina, efek pusing/sakit kepala yang sangat merupakan masalah yang sering dialami pasien. Jika hal ini berkaitan dengan dosis, maka dosis harus disesuaikan sambil tetap menjaga tekanan darah. (referensi : nomor)

Diabetes Diabetes dan gangguan toleransi glukosa merupakan faktor yang berkaitan dengan prognosis buruk pascaMI. Studi DIGAMI1 menunjukkan bahwa kontrol ketat kadar gula darah (awal dengan infus glukosainsulin, diikuti dengan 4 kali/hari injeksi insulin subkutan) menurunkan mortalitas absolut 11%, manfaat ini juga terlihat untuk 1 tahun hingga 3,5 tahun kemudian. DIGAMI2

menunjukkan bahwa yang penting adalah kontrol ketat glukosa darah, tidak tergantung obat yang digunakan (insulin atau obat oral antidiabet standard). DIGAMI1 dan 2 dilakukan pada pasien MI akut, tetapi diketahui bahwa kontrol ketat glukosa darah ini juga bermanfaat untuk pasien NSTEMI.

Optimasi terapi obat Optimasi obat dilakukan oleh farmasis untuk menjamin bahwa obat yang benar diberikan pada waktu yang tepat, mempertimbangkan juga efek kombinasi obat pada tekanan darah, heart rate, fungsi ginjal dan hati, hematologi dan elektrolit.

Edukasi pasien Edukasi pasien merupakan hal esensial. Umumnya pasien belum pernah harus mengkonsumsi berbagai macam obat secara teratur, yang pada saat selesai dirawat di rumah sakit pascaACS harus dilakukan. Hal ini seringkali menimbulkan kekhawatiran. Memberikan penjelasan sederhana kepada pasien mengenai mengapa harus mengkonsumsi obatobat tersebut secara teratur akan membantu menghilangkan kekhawatiran pasien dan mengurangi resiko ketidakpatuhan dalam meminum obat. Penting juga untuk menjelaskan kepada pasien mengenai efek samping yang mungkin timbul dan kepentingannya, misalnya mengapa harus melapor jika mengalami rasa nyeri otot ketika mengkonsumsi statin.

X. XI.

KOMPLIKASI PROGNOSIS

Anda mungkin juga menyukai