Anda di halaman 1dari 9

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budidaya Padi Padi merupakan tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Padi sendiri adalah tanaman unik karena dapat tumbuh dalam keadaan tergenang maupun dalam keadaan kering. Keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yaitu organ vegetatif dan organ generatif (reproduktif). Bagian-bagian vegetatif meliputi akar, batang, dan daun, sedangkan bagian generatif terdiri dari malai, gabah, dan bunga. Dari sejak berkecambah sampai panen, tanaman padi memerlukan 3-6 bulan, yang keseluruhannya terdiri dari dua stadia pertumbuhan, yaitu vegetatif dan generatif (Manurung dan Ismunadji, 1988). Padi termasuk tanaman yang toleran terhadap kondisi pengairan, bisa ditanam pada tanah darat dan pada tanah tergenang. Sepanjang hidupnya padi memerlukan air. Di Indonesia berbagai budidaya padi telah dikembangkan misalnya padi gogo, padi sawah irigasi, padi sawah tadah hujan, dan padi pasang surut. Dari semua budidaya padi tersebut hampir semuanya mengalami penggenangan pada saat pertumbuhan kecuali pada budidaya padi gogo. Genangan air pada tiap budidaya memiliki tinggi yang berbeda-beda berkisar antara 5-25 cm, bahkan pada budidaya sawah pasang surut tinggi genangan mencapai lebih dari 50 cm. Produksi yang dihasilkan pada berbagai budidaya padi yang dilakukan pun berbeda-beda jumlahnya. Budidaya padi gogo berpotensi untuk menghasilkan produksi sebesar 1-3 ton/ha, budidaya padi beririgasi dapat menghasilkan produksi 4-8 ton/ha, budidaya padi sawah tadah hujan dapat menghasilkan produksi 3-6 ton/ha, dan budidaya padi sawah pasang surut dapat menghasilkan produksi 1-4 ton/ha (Taslim dan Fagi, 1988).

2.2. SRI (System of Rice Intensification) SRI (System of Rice Intensification) ialah suatu metode yang melibatkan berbagai praktek manajemen tertentu untuk menyediakan kondisi tumbuh tanaman padi yang lebih baik, terutama pada zona akar, dibandingkan praktek tradisional. SRI dikembangkan di Madagaskar pada awal 1980an oleh Henri de Laulane, seorang pendeta yang menghabiskan 30 tahun hidupnya dengan para

petani. Pada tahun 1990, Association Tefy Saina (ATS) dibentuk sebagai Malagasy NGO untuk mempromosikan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institute for Food, Development and Agriculture (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan ATS untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar, yang didukung oleh U.S. International Development. Sejak itu SRI telah diuji di Negara China, India, Indonesia, negara Filipina, Bangladesh dan Sri Lanka dengan menghasilkan hal positif (Berkelaar, 2001). Prinsip Utama SRI:

Penanaman bibit muda (8-12 hari setelah berkecambah) Jarak penanaman yang lebar (minimal 25 cm x 25 cm, 1 bibit per titik) Menghindari trauma pada bibit saat penanaman (penanaman maks. 30 menit setelah bibit di ambil dari penyemaian)

Penanaman padi secara dangkal Manajemen air (tanah dijaga terairi dengan baik, tidak terus menerus direndam dan penuh, hanya lembab)

Meningkatkan aerasi tanah dengan pembajakan mekanis Menjaga keseimbangan biologi tanah (Penggunaan Pupuk dan Pestisida Organik) Konsep sentral SRI ialah meninggalkan secara total paradigma revolusi

hijau, yaitu tidak mengandalkan rekayasa genetik dan input luar. Dua komponen utama dari paradigma tehnik budidaya pada tanaman padi SRI ialah: (1) mengupayakan pertumbuhan akar yang lebih sehat dengan radius perkembangan yang lebih luas, yaitu dengan menjaga agar tanah tetap dengan aerasi yang baik dan memiliki kadar bahan organik yang tinggi dan menanam bibit padi muda dengan jarak lebih renggang, dan (2) meningkatkan jumlah dan keragaman organisme (Darmawan dan Astiana, 2007). Teknologi ini telah menjadi salah satu metode yang banyak diadaptasi di beberapa negara termasuk Indonesia karena terkenal dengan kelebihannya, yaitu antara lain dapat menghemat air. Sistem SRI di Indonesia sudah dikembangkan di Jawa Barat, Yogyakarta, Sulawesi, NTB, dan NTT. Pada kawasan Indonesia

Timur metode ini terbukti mampu meningkatkan produksi beras hingga rata-rata 78% (Anonim, 2009). Sementara itu uji coba pola SRI di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 menghasilkan 6.2 ton/ha dan musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8.2 ton/ha. Dari hasil penelitian Pusat Penelitian Pertanian di Puyung, Lombok NTB, terbukti metode SRI memberikan hasil ratarata 9 ton/ha dibanding penanaman konvensional yang hanya 4-5 ton/ha. Budidaya padi dengan metode SRI yang dikembangkan di sejumlah wilayah Kawasan Timur Indonesia terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan dari 5,0 ton/ha menjadi 7,4 ton/ha (Anonim, 2009).

2.3. Tanah Sawah Tanah sawah (paddy soil) adalah tanah yang dimanfaatkan atau berpotensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanaman padi sawah (aquatic rice atau lowland rice). Cara pengelolaan tanah sawah yang khas, yaitu adanya kondisi tergenang pada sebagian besar periode pertanaman mengakibatkan terbentuknya morfologi sifat fisik, kimia, biologi dan mikrobiologi yang berbeda dengan tanahtanah lain yang digunakan untuk tanaman lahan kering. Perbedaan morfologi dan sifat-sifat tanah sawah yang khas tersebut merupakan hasil dari terjadinya proses siklik akibat penggenangan dan pengeringan secara bergantian dalam waktu yang lama (Situmorang et al., 2004). Praktek pengolahan tanah sawah sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman selama masa perkecambahan, pembibitan, pertumbuhan dan produksi tanaman. Untuk tanaman padi sawah, jenis dan tingkat persiapan lahan sangat erat kaitannya dengan metode penanaman dan ketersediaan air, baik berasal dari air hujan atau air irigasi. Pengolahan tanah dapat membunuh gulma, menghancurkan bongkah-bongkah tanah sehingga terbentuk media tanam yang sesuai untuk penyemaian dan pembibitan serta memudahkan pertumbuhan akar melalui penggemburan tanah lapisan permukaan dan bagian bawah permukaan. Pengolahan tanah lahan basah merupakan praktek umum yang dilakukan di sebagian besar negara-negara tropis. Pengolahan tanah pada lahan basah terdiri dari tiga fase, ayitu: (1) penggenangan lahan dimana air diserap hingga tanah

menjadi jenuh, (2) pembajakan merupakan awal hancurnya struktur tanah dan pembalikan tanah dan (3) penggaruan, dimana bongkahan-bongkahan tanah yang besar dihancurkan dan dilumpurkan pada kondisi jenuh air. Secara keseluruhan, ketiga fase tersebut mengkonsumsi sepertiga dari total suplai air selama pertumbuhan tanaman padi (Situmorang et al., 2004).

2.4. Sifat-sifat Fisik Tanah 2.4.1. Bobot Isi Tanah Bobot isi (Bulk Density) menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Dan biasanya ditunjukkan dalam satuan gram per sentimeter kubik. Bobot isi pada tanah dengan tekstur halus berkisar antara 1.0-1.3 g/cc, sedangkan pada tanah dengan tekstur kasar berkisar antara 1.3-1.8 g/cc. Perkembangan struktur yang lebih baik pada tanah dengan tekstur halus membuat bobot isi pada tanah ini lebih rendah dibandingkan dengan tanah berpasir. Bobot isi dipengaruhi oleh struktur dan tekstur tanah terutama kandungan liat dalam tanah (Foth dan Turk, 1972). 2.4.2. Ruang Pori Tanah Pori-pori tanah adalah bagian yang tidak terisi bahan padat tanah (terisi oleh udara dan air). Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (macropore) dan pori-pori halus (micropore) (Hardjowigeno, 1989). Jumlah pori dalam tanah merupakan perbandingan antara bobot isi tanah dengan bobot jenis partikel tanah. Ruang pori memiliki peran yang sangat penting karena sebagian besar terdiri dari air dan udara. Air dan udara mengalami pergerakan saat berada dalam tanah sehingga tersedia cadangan air dan udara untuk pertumbuhan tanaman. Pergerakan air dalam tanah berkaitan dengan jumlah dan ukuran dari pada pori tanah dan dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah bertekstur kasar cenderung mempunyai pori yang lebih sedikit dibandingkan dengan tanah bertekstur halus. Pada tanah yang bertekstur liat jumlah pori total tanah dipengaruhi oleh gaya mengembang dan mengkerut, agregat, dan kepadatan tanah (Jury et al., 1991).

2.4.3. Konsistensi Tanah Konsistensi biasa didefinisikan sebagai istilah yang menunjukkan gaya kohesi dan adhesi yang bekerja dalam tanah pada berbagai kandungan air tanah atau merupakan suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan keadaan fisik tanah pada berbagai kelembaban tanah, terutama yang menyangkut sifat terhadap tekanan mekanis atau perubahan bentuk tanah (Baver et al., 1972). Konsistensi merupakan bagian dari rheologi. Rheologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan bentuk dan aliran suatu benda. Sifat-sifat rheologi tanah dipelajari dengan menentukan angka-angka Atterberg (1912) yaitu angka-angka kadar air tanah pada beberapa macam keadaan. Angka-angka ini penting dalam menentukan tindakan pengolahan tanah, karena pengolahan tanah akan sulit dilakukan kalau tanah terlalu kering ataupun terlalu basah. Sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan angka Atterberg tersebut adalah: Batas mengalir (liquid limit): batas mengalir adalah kandungan air pada suatu massa tanah dimana kondisi air tanah berubah dari bubur tanah menjadi plastis. Batas mengalir merupakan batas plastis atas dan merupakan batas jumlah air terbanyak yang dapat ditahan tanah (Hillel, 1980). Batas melekat: batas melekat adalah kandungan air pada suatu massa tanah dimana tanah mulai mengeras dari plastis ke setengah kaku (Hillel,1980). Bila kadar air lebih rendah dari batas melekat, maka tanah tidak dapat melekat, tetapi bila kadar air lebih tinggi maka terjadi hal yang sebaliknya. Karena itu pada kadar air lebih tnggi dari batas melekat, tanah sukar diolah (Hardjowigeno, 1989). Batas menggolek: batas menggolek adalah massa tanah basah dimana pasta tanah berada dalam keadaan setengah kaku dan mudah pecah. Atterberg menyebut batas menggolek sebagai batas plastis bawah atau kandungan air dalam tanah pada saat tanah masih dapat digulung menjadi benang (Herudjito, 1989). Indeks plastisitas: menunjukkan perbedaan kadar air pada batas mengalir dengan batas menggolek. Tanah dengan kadar liat yang tinggi biasanya mempunyai nilai indeks platisitas yang tinggi dan sebaliknya pada tanah dengan kandungan pasir tinggi (Hardjowigeno, 1989). Jangka Olah: jangka olah menunjukkan besarnya perbedaan kandungan air pada batas melekat dengan batas menggolek. Tanah dengan jangka olah yang

rendah merupakan tanah yang lebih sukar diolah daripada tanah dengan jangka olah yang tinggi (Hardjowigeno, 1989). Angka Atterberg sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kandungan liat, sifat mineral liat (bentuk-bentuk dari mimeral liat), sifat kation yang dapat dipertukarkan (Na, K, Ca, dan Mg) dan kandungan bahan organik yang berada di dalam tanah (Jury et al., 1991).

2.4.4. Air Tanah Kadar air dalam tanah dibedakan dalam dua unit yaitu kadar air volumetrik dan kadar air grafimetrik. Kadar air volumetrik merupakan kadar air hasil perbandingan antara volume air dengan volume tanah sedangkan kadar air grafimetrik merupakan perbandingan dari massa air dengan massa dari tanah kering. Kandungan air dalam tanah dan daya pegang air oleh hisapan matrik tanah menjadi dua hal yang sangat penting. Jumlah air dalam tanah mempengaruhi banyak proses termasuk pertukaran gas ke atmosfer, difusi hara ke akar tanaman, dan kecepatan larutan hara bergerak ke zona perakaran selama proses irigasi atau hujan. Sedangkan daya pegang air oleh hisapan matrik tanah menyebabkan beberapa proses terjadi dalam tanah. Misalnya, efisiensi penggunaan air oleh tanaman, jumlah air yang didrainase, dan gaya kapilaritas (Jury et al., 1991). Kapasitas lapang dan titik layu permanen merupakan dua keadaan kadar air yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Keduanya menunjukkan batas atas dan bawah dari air yang di pegang oleh tanah dan tersedia bagi tanaman. Besarnya nilai kadar air kapasitas lapang dan titik layu permanen berbeda pada setiap tanah, semuanya bergantung pada distribusi ukuran partikel, volume pori dan distribusi ukuran pori. Air tersedia merupakan air yang dapat diambil oleh tanaman dan berada diantara persentase kapasitas lapang dan titik layu permanen (Kirkham, 1971). Kapasitas lapang adalah kadar air yang dapat ditahan dengan gaya yang sama dengan gaya gravitasi tetapi arahnya berlawanan. Kapasitas lapang ini juga dikenal dengan batas atas air yang tersedia untuk pertumbuhan tanaman. Menurut Hardjowigeno (1989), kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat di tahan oleh tanah terhadap

daya tarik gravitasi. Selain itu pada titik tersebut, air telah meninggalkan pori makro dan sebagai gantinya didapati udara. Pori mikro atau pori kapiler masih berisi air dan dari pori inilah tumbuhan memperoleh air (Soepardi, 1983). Titik layu permanen adalah kadar air dimana tanaman akan layu dan tidak akan segar lagi (Herudjito, 1988). Sedangkan menurut Hardjowigeno (1989), titik layu permanen merupakan kandungan air tanah di mana akar-akar tanaman mulai tidak mampu lagi menyerap air dari tanah sehingga tanaman menjadi layu. Tanaman akan tetap layu baik pada siang maupun malam hari. Pada keadaan ini air yang dijumpai berada dalam pori mikro terkecil. Dengan demikian sejumlah air yang terdapat di dalam tanah tidak tersedia (Soepardi,1983). Kandungan air kapasitas lapang ditunjukkan oleh kandungan air pada tegangan 1/3 bar, sedang kandungan air pada titik layu permanen adalah pada tegangan 15 bar. Air yang tersedia bagi tanaman adalah yang terdapat pada tegangan 1/3-15 bar (Hardjowigeno, 1989).

2.5. Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air. Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali (Anonim, 2008c). Menurut Mashum et al. (2003), bahan organik terbagi menjadi dua kelompok yaitu (1) bahan yang belum mengalami perubahan, meliputi sisa-sisa yang masih segar dan komponen-komponen yang belum mengalami transformasi yaitu senyawa yang masih berupa sisa peruraian yang terdahulu; dan (2) produk yang telah mengalami transformasi yang sering disebut dengan humus. Kandungan bahan organik dalam setiap jenis tanah tidak sama. Hal ini tergantung dari beberapa hal yaitu; tipe vegetasi yang ada di daerah tersebut, populasi mikroba tanah, keadaan drainase tanah, curah hujan, suhu, dan pengelolaan tanah. Komposisi atau susunan jaringan tumbuhan akan jauh berbeda dengan jaringan binatang. Pada umumnya jaringan binatang akan lebih cepat hancur daripada jaringan tumbuhan. Jaringan tumbuhan sebagian besar tersusun

dari air yang beragam dari 60-90% dan rata-rata sekitar 75%. Bagian padatan sekitar 25% dari hidrat arang 60%, protein 10%, lignin 10-30% dan lemak 1-8%. Ditinjau dari susunan unsur karbon merupakan bagian yang terbesar (44%) disusul oleh oksigen (40%), hidrogen dan abu masing-masing sekitar 8%. Susunan abu itu sendiri terdiri dari seluruh unsur hara yang diserap dan diperlukan tanaman kecuali C, H dan O (Anonim, 2008c).

2.5.1. Peranan Bahan Organik Bagi Tanah Keuntungan. Bahan organik berperan penting untuk menciptakan kesuburan tanah. Peranan bahan organik bagi tanah adalah dalam kaitannya dengan perubahan sifat-sifat tanah yaitu sifat fisik, biologi, dan kimia tanah. Secara fisika tanah, bahan organik merupakan pembentuk granulasi dalam tanah dan sangat penting dalam pembentukan agregat tanah yang stabil, konsistensi tanah dan meningkatkan kemampuan tanah menahan air. Sebagai fungsi kimia dari bahan organik yaitu meningkatnya daya jerap dan kapasitas tukar kation (KTK). Menurut Mashum et al. (2003), secara kimia bahan organik mampu mengkelat logam, oksida, dan hidrooksida logam yang bermanfaat dalam mengurangi keracunan oleh logam bagi tanaman. Sedang pengaruhnya terhadap sifat biologi tanah yaitu dengan meningkatnya pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Menurut Hardjowigeno (1989) penambahan bahan organik ke dalam tanah tidak menimbulkan pencemaran bagi lingkungan. Kendala. Karena kandungan hara yang rendah, maka jumlah bahan organik yang dibutuhkan tinggi sekali. Hal ini menyulitkan transportasi dan pemberian sehingga kurang ekonomis. Perhitungan dosis tidak bisa tepat dan respon tanaman lebih lambat daripada pemberian pupuk buatan. Selain itu bahan organik juga dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit akar tanaman (Hardjowigeno. 1989). Pada keadaan tertentu yaitu dalam keadaan reduktif, asamasam organik yang terbentuk bersifat meracun bagi tanaman, misalnya asamasam fenol tertentu, seperti butirat, laktat, serta gas metan (Mashum et al., 2003). 2.5.2. Macam-macam Bahan Organik Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah terdapat dalam bentuk pupuk padat dan cair. Pupuk padat dapat berupa pupuk hijau, pupuk serasah,

kompos, maupun pupuk kandang. Sedangkan pupuk cair biasanya berupa saringan dari pupuk padat atau berupa urine (Anonim, 2008c). Beberapa pupuk organik yang diolah dipabrik misalnya adalah tepung darah, tepung tulang, dan tepung ikan. Pupuk organik cair antara lain adalah compost tea, ekstrak tumbuhtumbuhan, cairan fermentasi limbah cair peternakan, fermentasi tumbuhantumbuhan, dan lain-lain (Anonim, 2008b).

Anda mungkin juga menyukai