Anda di halaman 1dari 7

Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan

sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Ada empat metode euthanasia: Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai bunuh diri atas pertolongan dokter. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian. Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif: Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia. Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator. Ada kasus ketika meningkatkan dosis pengurang rasa sakit, seperti pemberian Morfin, dapat memperpendek umur pasien. Namun pemberian morfin tidak dimaksukan untuk menimbulkan kematian, sehingga dipandang secara moral berbeda. Kasus ini juga dapat dilihat dari perspektif falsafah efek ganda. Prinsip ini berasal dari filsafat moral Immanuel Kant, yang juga dipopulerkan oleh Gereja Katholik. Falsafah efek ganda menekankan bahwa suatu efek tindakan tidak akan bisa diterima secara moral ketika ia terjadi secara sengaja, namun tindakan itu akan diterima jika tidak disengaja. Argumen Pro Euthanasia Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacad, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka. Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit. Oposisi terhadap Euthanasia Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih

mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati. Situs web Riset Euthanasia. http://www.euthanasia.com/http://wp.netsains.com/2007/11/19/euthanasia-dan-kematian-bermartabatsuatu-tinjauan-bioetika/ III. Euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu: 1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah. 2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar. 3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. Dalam kesempatan ini, hanya euthanasia sajalah yang akan dibahas. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa derita(dikutip dari 5). Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu: 1 Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberikan obat penenang. 3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur unsur sebagai berikut: 1. Berbuat sesuatu atau tidfak berbuat sesuatu. 2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien 3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan. 4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya. 5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya. Dari berbagai penggolongan euthanasia, yang paling praktis dan mudah dimengerti adalah: A. Euthanasia pasif, di mana tenaga medis tidak lagi memberikan atau melanjutkan bantuan medik. B. Euthanasia aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung, di mana dokter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup pasien. IV. Beberapa aspek euthanasia. A. Aspek Hukum. Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.

B. Aspek Hak Asasi. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat. C. Aspek Ilmu Pengetahuan. Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana. D. Aspek Agama. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya. V. Batas-batas Tanggung Jawab Ilmuwan dan Praktisi Ilmu . Apalagi ilmu yang menyangkut langsung kepada keputusan tentang hidup matinya manusia yaitu Euthanasia dapat dipastikan menjadi bahan perdebatan yang tidak saja menyangkut dimensi etis, tetapi telah melibatkan dimensi-dimensi lain yang masing-masing memiliki standar/ukuran kebenaran. Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang terlibat didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama, yang pasti masing-masing memiliki standar kebenaran yang berbeda. Pertanyaannya tentu bagaimana proses keputusan euthanasia harus diambil untuk dapat dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran masing-masing, untuk itu tidak ada jalan lain, selain mengikuti kebenaran relatif. Etika, sering lebih terasa digunakan sebagai pijakan oleh praktisi ilmu, dibanding pihak yang mengembangkan ilmu itu sendiri. Profesi-profesi seperti ahli hukum, dokter dan sebagainya merupakan praktisi ilmu yang sering dituntut secara kuat etikanya dalam menerapkan ilmunya. Demikian pula penemuan-penemuan dibidang kedokteran seringkali sangat mudah dilihat sisi positif dan negatifnya, seperti penggunaan bahan dalam anestesi, teknik-teknik pembedahan, fertilitas, euthanasia dan sebagainya. Kenyataan tersebut menunjukkan semakin jelas bahwa ilmu bersifat bebas nilai. Disinilah pentingnya norma dan etika dalam penggunaan ilmu, yang hendaknya menjadi konsensus bagi umat manusia. Klaim-klaim hukum terhadap tindakan dokter dalam euthanasia

merupakan bentuk lain dari sisi negatif dalam penerapan ilmu, yang terkadang sama sekali tidak terbayangkan oleh dokter yang bersangkutan. Ringkasan 1. Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi manusia, hukum, ilmu pengetahuan dan agama. 2. Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja. 3. Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana. 4. Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran pada aspek lainnya. http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm Euthanasia adalah sebuah istilah kedokteran. Istilah lain yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut (memudahkan kematian). Euthanasia sendiri sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Dua Macam Euthanasia Kalau kita lihat dalam prakteknya, kita bisa membagi euthanasia menjadi dua macam. Pertama, euthanasia positif. Kedua, euthanasia negatif. 1. Euthanasia Positif Eutanasia positif adalah tindakan memudahkan kematian si sakit -karena kasih sayang- yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat) atau obat. Contohnya, seorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus. 2. Eutanasia Negatif Sedangkan euthanasia negatif adalah tindakan membiarkan saja pasien yang sudah parah sakitnya tanpa tindakan pengobatan. Contohnya orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat bantu pernapasan di ruang ICU atau ICCU. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai `orang mati` yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya. Dalam contoh tersebut, `penghentian pengobatan` merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Hukum Euthanasia Positif Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) jelas-jelas tidak diperkenankan oleh syariat Islam. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis.

Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara pemberian obat overdossis yang pada hakikatnya merupakan racun yang keras, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SAW, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya. Hukum Euthanasia Negatif Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka semua berkisar pada `menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan hukum sebab-akibat. Dasar Kebolehan Di antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasi negatif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagainulama. Yaitubahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnyawajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegangolehimam-imam mazhab. Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetapmewajibkannya. Misalnyaapa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bion Hanbal, jugasebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah). Perbedaan Pendapat Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.` Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. `Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.` Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya. Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma. Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu. Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab atTawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.

Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib. Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta`ala. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab. Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib. Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab. Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-- di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah. Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya. http://www.eramuslim.com/ustadz/fqk/7918190746-euthanasia-menurut-hukum-islam.htm EUTHANASIA ( Sebuah Analisa Yuridis Terhadap Kemungkinan Praktek Euthanasia Dari Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam ) Seperti halnya yang terjadi di negara-negara Barat, yang bersistem liberalis dan berpaham sekuler, dengan beranggapan bahwa manusia mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri (euthanasia), bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada harapan untuk hidup. Sebagai bagian dari kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah dilegalkan secara khusus dan tertulis oleh sebagian negara-negara maju, seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai dengan syarat-syarat tertentu. Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan pro dan kontra, baik dari sudut pandang dunia medis, yuris atau religi. Dengan informasi teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya, memungkinkan kasus ini merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah hukum kita mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus ini. Permasalahan inilah yang akan dikaji penulis, dengan mengkomparasikan kasus euthanasia yang terjadi di luar negeri dan meninjau pengaturannya di Indonesia dari sudut pandang hukum pidana Indonesia (KUHP) dan hukum Islam, mengingat permasalahan yang akan dibahas belum mempunyai peraturan yang khusus. Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Euthanasia secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan korban, yakni permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat diterapkan berkaitan dengan euthanasia adalah pasal mengenai pembunuhan, yakni pasal 338, 340, 344 dan 345 KUHP. Terdapatnya asas lex specialis de rogat legi generalli dalam pasal 63 ayat (2) KUHP,

memungkinkan dokter sebagai pelaku euthanasia dijerat dengan pasal 344 KUHP, yang didalamnya harus terpenuhi unsur atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan menggunakan pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang mengatur pembunuhan, yang unsurnya hanyalah terjadinya kematian seorang lain akibat perbuatannya Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam, pelarangan ini terdapat pada euthanasia aktif / positif (taisir al-maut al-faal) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa 93 dan Surat Al-Israa 33. Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash, sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi; Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka ia harus dihukum qishash(HR. Ibnu Majjah). Sedang pada euthanasia pasif / negatif (taisir al-maut al-munfail), yang merupakan tindakan penghentian perawatan atau pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi, tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk mempercepat kematian, karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh diri. http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2002-a-5178euthanasia&q=Hidup

Anda mungkin juga menyukai