Anda di halaman 1dari 5

Tadzkiroh Dewan Syari'ah Pusat PKS Tentang "Menghindari Hal-hal Yang Menimbulkan Fitnah"

Selasa, 04 Juni 2013


Dewan Syariah Pusat (DSP) Partai Keadilan Sejahtera mengeluarkan arahan dan tadzkiroh kepada seluruh umat Islam Indonesia pada umumnya dan kader-kader PKS pada khususnya agar menghidari hal-hal yang berbau fitnah mengingat prahara politik akhir-akhir ini yang menimpa PKS. Berikut tadzkiroh dari DSP PKS:

TADZKIROH DEWAN SYARIAH PUSAT PARTAI KEADILAN SEJAHTERA NOMOR: 14/TK/DSP-PKS/1434 H TENTANG MENGHINDARI HAL-HAL YANG MENIMBULKAN FITNAH Menyikapi musibah dan ibtila akhir-akhir ini, maka Dewan Syariah Pusat mengingatkan (memberikan tadzkiroh) kepada seluruh pimpinan PKS, pejabat publik dan seluruh kader, untuk senantiasa menjaga iffah (kehormatan diri) dan menghindarkan diri dari hal-hal yang menimbulkan fitnah. Allah Taala berfirman:

Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (QS As-Syuraa 30). Sesungguhnya kasih sayang Allah Taala terhadap hamba-Nya masih jauh lebih luas, sehingga Allah memaafkan banyak sekali kesalahan dan dosa yang telah dilakukan. Oleh karena itu kita jangan meremehkan dosa dan kesalahan, karena bisa saja Allah menimpakan musibah dan fitnahnya kepada yang lain. Allah berfirman:

Dan peliharalah dirimu dari pada fitnah ( siksaan) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.(QS alAnfaal 25). Fitnah tidak hanya menimpa pelaku perbuatan haram dan zhalim saja, tetapi juga menimpa orang lain. Berkata Ibnu Abbas ra. terkait dengan tafsir ayat ini, Allah memerintahkan orang beriman untuk tidak mengakui kemungkaran yang terjadi di tengah mereka, kalau mereka mengakui, maka Allah akan meratakan adzab-Nya. Rasulullah saw. bersabda

Sesungguhnya Allah tidak mengadzab masyarakat umum dengan amal keburukan yang dilakukan orang tertentu (khusus), sehingga ketika mereka melihat kemungkaran diantara

mereka, dan mereka tidak mengingkari kemungkaran tersebut padahal mampu. Jika mereka melakukan itu, maka Allah menyiksa masyarakat umum dan khusus (Al-Musnad Ahmad 4/192Para pimpinan partai, pejabat publik dan kader dakwah hendaknya tetap menjaga iffah (kehormatan diri) dan menjauhi hal-hal yang menimbulkan fitnah dalam bermuamalah terhadap harta, wanita, tempat kegiatan dan kedudukan. Allah Taala berfirman:

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS Al-Furqaan 72). Dalam tafsir Ibnu Katsir 6/130 disebutkan, bahwa di antara sifat ibadurrahman adalah orangorang yang memiliki sifat sebagaimana ayat ini. Di antara makna az-zuur adalah syirik dan menyembah berhala, yang lain berpendapat yaitu dusta, fasik, main-main dan batil. Berkata Muhammad bin Hanafiyah, maknanya adalah main-main dan nyanyian. Berkata Abul Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirin, Ad-Dhahak, Rabi bin Anas dan lainnya yaitu hari rayanya orang musyrik. Berkata Amru bin Qois yaitu majelis yang buruk dan kotor. Berkata Malik dari AzZuhri, yaitu minum khomr, mereka tidak menghadirinya dan tidak suka sebagaimana disebutkan dalam hadits, Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka jangan duduk di tempat yang disana diedarkan minuman keras. (HR at-Tirmidzi). Dan menurut Ibnu Katsir bahwa pendapat yang nyata dari alur ayat ini adalah tidak menghadiri az-zuur, oleh karena itu diteruskan dengan rangkaian ayat berikutnya:

{ jika terpaksa harus lewat/hadir, maka mereka lewat/hadir dan tidak melakukan az-zuur tersebut. } Dari Ibrahim bin Maisarah bahwa Ibnu Masud melewati tempat lahwu/permainan, beliau berpaling (tidak berhenti) maka Rasulullah saw. bersabda, Ibnu Masud telah melalui pagi hari dan sore hari secara mulia (menjaga kehormatan) (HR Ibnu Asakir). Supaya kita senantiasa terjaga dari fitnah, maka kita harus menjaga muru'ah (hifzhul muru'ah), waspada terhadap syubuhat (ittiqaus syubuhat) dan menjauhi hal yang haram (ijtinabul muharramat). Rasulullah saw memberi contoh yang baik bagi kita, agar tidak terjadi fitnah, maka Rasulullah saw menjelaskan bahwa beliau sedang bersama istrinya (bukan perempuan lain). Diriwayatkan oleh Shafiyah binti Huyay berkata, Suatu hari Rasulullah saw sedang beri'tikaf, aku mengunjunginya malam hari, berbicara dan aku bangun untuk pergi. Rasulullah saw ikut bangun mengantarkanku. Sedang Shafiyah tinggal di rumah Usamah bin Zaid. Maka lewatlah dua sahabat Anshar, ketika keduanya melihat Rasulullah, maka keduanya segera pergi. Maka Rasulullah bersabda, Tunggu! Ini adalah Shafiyah binti Huyay (istri Rasul saw). Keduanya berkata, Subhanallah, ya Rasulullah. Rasul bertakbir dan bersabda, Sesungguhnya syetan mengalir pada anak adam seperti aliran darah, dan saya takut muncul pada kedua hati kalian keburukan. (HR Bukhari dalam Adab Al Mufrad dan Muslim ) Islam mengajarkan kepada kita akhlak yang mulia yaitu muruah (menjaga harga diri), supaya terhindar dari fitnah. Para pimpinan partai, pejabat publik dan para kader dakwah juga harus berhati-hati pada harta yang syubhat dan tidak jelas, mereka harus mewaspadai harta syubhat. Sebab ketika mendekati tempat larangan, maka akan mudah jatuh pada sesuatu yang dilarang Allah. Rasulullah saw bersabda:

Dari An-Numan bin Basyir berkata, saya mendengar Rasulullah saw, bersabda, Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya adalah sesuatu yang syubhat, sebagian manusia tidak mengetahuinya. Siapa yang menghindarkan diri dari syubhat, maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya. Siapa yang jatuh pada yang syubhat, maka jatuh pada yang haram.. (Muttafaqun alaihi). Ittiqo-us syubuhat (menghindarkan diri dari syubuhat) merupakan prinsip yang harus dipegang oleh kita. Disebutkan dalam Risalah Talim, tentang kewajiban kader, poin 34 dan 35:

Hendaknya Anda menjauhi teman-teman yang buruk dan rusak, tempat-tempat maksiat dan dosa. Hendaknya Anda menghindari tempat-tempat hiburan, jangan mendekatinya dan menjauhi fenomena kemewahan dan berlebihan.

Dari penjelasan tersebut, maka DSP memberikan tadzkiroh kepada pimpinan, pejabat publik dan kader dakwah, sebagai berikut: (1) Hendaknya dalam muamalah maliyah, baik berusaha, menerima dana maupun menyalurkan dananya wajib memastikan terpenuhinya tiga prinsip; aman syar`i, aman yuridis dan aman citra (3A). (2) Hendaknya menjaga iffah, muruah, menjauhi syubhat dan meninggalkan yang haram dalam setiap muamalah (perkataan, perbutan dan tindakan). (3) Hendaknya menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah dan kerusakan, seperti berteman dengan teman yang buruk, memperlihatkan gaya hidup mewah, mendekati tempat hiburan dan kemaksiatan. Demikianlah, para pemimpin, pejabat publik dan kader dakwah harus mewaspadai segala bentuk fitnah dan dosa. Dan setiap masalah yang dapat mengarah pada fitnah, dosa dan kerusakan, maka harus segera diselesaikan dan dicari akar masalahnya, jangan sampai fitnah mengarah pada yang lebih besar lagi yang pada gilirannya akan mengurangi keberkahan dan merusak dakwah, jamaah dan umat secara keseluruhan. Sorang dai berkata, Aku khawatir, bencana yang menimpa kaum muslimin dikarenakan dosa-dosa yang telah kulakukan. Sebab aku tahu persis dosa-dosaku!

Jakarta, 29 Mei 2013M 19 Rajab 1434H

"Kritis atau Sinis?"

Minggu, 02 Juni 2013


By Naufal Ibnu Amzani

Dalam kehidupan siapapun pasti pernah terjatuh ke dalam sebuah masalah, entah itu dimaknai sebagai sebuah ujian ataupun musibah. Hal itu wajar saja terjadi sebagai sebuah proses perkembangan dan pendewasaan diri seseorang. Karena proses pendewasaan itu selalu hadir seiringan dengan masalah, pembelajaran dimulai dari bagaimana sikap dalam menghadapi masalah tersebut. Apalagi jika kita berbicara tentang sebuah jamaah dengan cita-cita besar bernama jamaah Tarbiyah, yang hari ini sedang mengalami ujiannya dalam proses transformasi dan perkembangan dirinya dari sebuah jamaah menjadi kekuatan yang sanggup memimpin dan menata ulang kembali taman bernama Indonesia. Dalam proses menghadapi masalah tersebut, tentunya banyak keputusan-keputusan yang diambil agar masalah tersebut dapat diselesaikan secara efektif. Dan tradisi pengambilan keputusan dalam jamaah ini selalu menggunakan system syuro atau musyawarah. Setiap pendapat dari masing-masing kepala dikeluarkan lalu dihimpun dan dicari mana pendapat terbaik yang mampu mengatasi masalah dengan efektif dan memiliki resiko terkecil. Namun dalam prosesnya, pasti akan tetap ada orang-orang yang merasa tidak sepakat dengan keputusan syuro tersebut, dan akhirnya mencoba untuk memberikan pendapat dan menawarkan pendapat tersebut ke pemegang keputusan dengan berasumsi bahwa pendapatnya itu benar. Disinilah kadang masalah baru terjadi, ketika ada orang yang merasa tidak sepakat keputusan jamaah, kemudian mencoba bersikap kritis, namun dalam aplikasinya menjadi berlebihan hingga menimbulkan sikap sinis. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritis adalah bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan dan kekeliruan, tajam di penganalisisan. Sedangkan sinis adalah bersifat mengejek atau memandang rendah, tidak melihat suatu kebaikan apapun dan meragukan sifat baik yang ada pada sesuatu. Dalam menyikapi keputusan jamaah tersebut, disinlah kadang perbedaan dua hal tersebut menjadi kabur. Ketika merasa tidak sepakat kepada keputusan jamaah, banyak orang yang menjadi kritis padahal sejatinya dia sinis. Dan hal ini terkait dari sejauh mana dia memahami persoalan tersebut, dan seberapa luasnya sudut pandang yang diambil dalam memahami masalah. Mulai lumrah kritikan-kritikan pedas yang tak jarang menurut saya malah tampak sebagai sebuah hinaan atau caci-maki, dengan alasan ini kritik kami terhadap jamaah karena kami cinta jamaah ini, kita ingin jamaah ini kembali sesuai dengan asholah dakwah dan semacamnya, tanpa mempunyai analisis dan data yang kuat serta keengganan untuk mengklarifikasi lebih lanjut kepada jamaah ketika bermasalah. Apalagi disaat jamaah ini mulai menapaki fase mihwar daulah dimana tantangan-tantangan baru dan perubahan zaman menuntut keputusan-keputusan yang kadang sama sekali berbeda dengan fase-fase terdahulu. Sehingga yang keluar menjadi sebuah pendapat justru sebuah kesinisan yang berbentuk sebuah caci maki. Saya rasa semua orang pernah kecewa, terlebih lagi kepada jamaah manusia yang bernama Tarbiyah ini, baik secara personal kadernya maupun kepada keputusan jamaah. Dan itu adalah hal yang wajar terjadi. Namun yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana cara kita mengatasi kekecewaan tersebut? Disinilah titik yang akan membedakan sikap kritis dengan sinis. Menurut saya, kritik yang dibentuk oleh sikap kritis adalah kritik yang dikeluarkan dengan analisis dan data yang kuat dengan memahami persoalan secara menyeluruh, paham medan masalah yang sedang dilalui, memahami dampak ke depannya baik dari kritiknya maupun solusi yang dia tawarkan, dan kritik yang dikeluarkan itu membangun bukan menjatuhkan.

Sedangkan sikap sinis adalah kritik yang dilandasi sikap benci atau kecewa, mengabaikan analisis dan data, dan sikap yang dikeluarkan terkesan asal kritik ga peduli dampak yang akan terjadi dan pada akhirnya hanya akan menjatuhkan. Bahkan tak jarang sikap sinis tersebut keluar hanya dengan bermodal katanya tanpa mau mengklarifikasi dan menganalisis dengan lebih mendalam. Sikap ini muncul dikarenakan adanya asumsi sebelum analisis. Padahal obyektifitas sebenarnya bisa muncul ketika kita mampu mengambil sikap analisis mendahului asumsi. Terlebih lagi ketika kita tidak kritis juga terhadap media.:) Maka sikap-sikap sebenarnya bisa dipecahkan dengan beberapa hal. Pertama, penguatan poin arkanul baiah pertama yaitu al-fahmu. Ini berkaitan dengan tradisi intelektual di internal jamaah itu sendiri. Jika kita belajar pada kemenangan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Tarbiyah hampir 90 tahun hingga meraih kemenangan itu ga berkutat hanya pada aktivitas politik, namun juga aktivitas ilmu. Alhasil Ikhwan berhasil menelurkan ulama-ulama yang diakui dunia semacam Yusuf Qardhawi, Sayyid Hawwa, Muhammad Al Ghazali, dan masih banyak lagi. Hal ini yang saya pandang perlu dibenahi di jamaah tarbiyah di Indonesia ini. Masih sedikit karya-karya yang dihasilkan (atau hanya sedikit yang tahu) terutama fiqih-fiqih yang berkaitan dengan kondisi masyarakat Indonesia itu sendiri. Ini juga berkaitan dengan seberapa banyak buku yang kita baca, dan seberapa banyak sudut pandang yang bisa kita gunakan. Dengan menyuburkan kembali tradisi keilmuan harapannya kader bisa menguatkan kembali poin al fahmu itu sendiri, sebab jamaah yang tidak membiasakan tradisi intelektual pada akhirnya hanya melahirkan kader yang taklid dan fanatik buta, dan pada akhirnya akan hancur atau terpencil karena tidak mampu menjawab tantangan zaman. Karena bagi saya pribadi, al fahmu itu ga cuma hanya mengerti dalil, tapi juga mengerti konteks dalil, dimana, kapan dalil itu bisa diterapkan, serta mampu menganalisis dan merencanakan secara jangka panjang. Kedua, ini terkait dengan model komunikasi dalam memahami keputusan jamaah. Mungkin banyak kader yang kadang tidak mengerti mengapa jamaah mengambil suatu keputusan. Dan ketika ada serangan datang, kader bingung untuk menjawab apa. Dengan adanya komunikasi yang jelas, dan rasionalisasi sebuah keputusan yang logis, hal ini juga akan mempersempit kemungkinan kader untuk kecewa. Saya melihat hal ini mulai diperbaiki ketika pemilukada Jakarta ketika qiyadah memberikan penjelasan atau rasionalisasi ketika mengapa memilih mendukung Foke dibanding Jokowi. Ditambah dengan hadirnya web resmi yang aktif seperti PKSPiyungan, membuat akhirnya kader sendiri mampu belajar menganalisis mana berita yang benar mana yang salah. Pola komunikasi yang hanya mengandalkan ketaatan dan ke-tsiqah-an saja tapi mengabaikan al fahmu hanya akan mematikan kemampuan berpikir dan menganalisis kader yang pada akhirnya akan berimbas buruk juga bagi jamaah tarbiyah ini. Ketiga, berani untuk mendengar kritik. Saya yakin jamaah ini bukan anti kritik. Tapi kita juga bisa memilah mana kritik yang membangun mana kritik yang cuma melampiaskan kekecewaan belaka. Saya pernah diceritakan oleh senior, salah satu kelebihan dari presiden kita ustadz Anis Matta, kritik yang ditujukan kepada jamaah ini selalu dipelajari oleh beliau, yang akhirnya digunakan untuk memperbaiki hal-hal yang kurang dalam jamaah ini (tapi ini saya gatau bener atau ngga hehe :p). Maka mulailah rajin untuk menganalisis segala hal dan segala kondisi secara menyeluruh, sehingga yang keluar dari pendapat kita bukan fanatik membela secara membabi buta ataupun sebaliknya, membenci secara berlebihan, yang pada akhirnya membuat sesuatu yang kita sebut kritis menjadi sinis belaka. Lagi-lagi saya mengutip sedikit pendapat kang @hafidz_ary : komparasikan saja, pilah-pilih, mana yang logis dan rasional. Terakhir, saya mau mengutip pendapat salah seorang senior kalau antum gampang kecewa sama jamaah, justru harusnya jamaah yang kecewa karena punya kader gampang kecewa kayak antum!, dan juga mengutip pendapat salah seorang ustadz kalo antum mau keluar jamaah, emang yakin jamaah lain ga ada masalah? ga punya salah?. Kita yakin jamaah ini sesuai namanya Tarbiyah adalah jamaah yang senantiasa belajar, karena cita-cita kita begitu besar, Ustadziyatul Alam menuntut kita untuk terus menerus belajar dan memperbaiki diri. Sekian :)

Anda mungkin juga menyukai