Anda di halaman 1dari 10

V

TRIAS POLITIKA DAN BADAN LEGISLATIVE


Pembagian kekuasaan secara horizontal, adalah pembagian kekuasaan menurut fungsinya dan ini ada hubungannya dengan Doktrin Trias Politica.

Trias Politica adalah anggaran bahwa kekuasaan Negara


terdiri dari tiga macam kekuasaan :
1

Kekuasaan Legislatif atau kekuasaan membuat Undangundang dalam peristilahan baru sering di sebut Rule Making Function.

Kekuasaan Eksekutif

atau

kekuasaan

melaksanakan

Undang-undang (Rule Application Function).


3

Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-undang (Rule Adjudication Function).

TRIAS POLITICA adalah suatu prinsip Normatif bahwa


kekuasaan-kekuasaan (Functions ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak azasi warga negara lebih terjamin. Doktrin ini dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf ini ditafsirkan sebagai Pemusatan Kekuasaan (Separation Of Powers).

Menurut John Locke membagi kekuasaan Negara dibagi dalam tiga kekuasaan : Kekuasaan
-

Legislatif,

kekuasaan

Eksekutif

dan

Kekuasaan

Federatif, yang masing-masing terpisah-terpisah satu sama lain. Kekuasaan Legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan Undang-undang.
-

Kekuasaan Eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan Undangundang dan didalamnya termasuk kekuasaan mengadili Locke memandang mengadili itu sebagai Uitvoering yaitu dipandangnya sebagai termasuk pelaksanaan Undang-undang.

Kekuasaan Federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan Negara dalam hubungan dengan Negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (disebut hubungan Luar Negeri).

Montesquieu ditemukan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya : Kalau Kekuasaan Legislatif dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan akan merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata diserahi menyelenggarakan kerja kekuasaan itu yakni kekuasaan membuat Undang-undang,menyelenggarakn keputusan-keputusan umum dan mengadili persoalan-persoalan antara induividu-individu. Montesquieu dengan teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan wewenang dari penguasa dan hal itu menurut pendapatnya hanya mungkin tercapai jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut.

TRIAS POLITIKA DIINDONESIA


Ketiga Undang-undang Dasar Indonesia tidak seara eksplisit mengatakan bahwa Doktrin Trias Politica dianut, tetapi oleh karena ketiga Undang-undang Dasar menyelami jiwa dari Demokrasi Konstitusionil, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut Trias Politica dalam arti Pembagian Kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian BAB dalam Undang-undang Dasar 1945 misalnya BAB III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. BAB VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman
-

Kekuasaan Legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan Eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh Para Menteri-menteri. Kekuasaan Yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lainlain Badan Kehakiman. Oleh karena Sistem Pemerintahannya adalah Presidentil,

maka kabinet tidak bertanggung jawab kepada DPR, dan oleh karena itu tidak dapat dijatuhkan oleh DPR dalam masa jabatannya; sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan DPR. Presiden sebagai penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, dimana dia menjadi mandatarisnya. Para Menteri tidak dibenarkan menjabat anggota DPR. Jadi, pada garis besarnya Ciri-ciri Azas Trias Politika dalam arti pembagian kekuasaan terlihat dalam Sistim Ketatanegaraan Indonesia.

Akan tetapi dalam Masa Demokrasi terpimpin ada usaha untuk menunggalkan gangguan Trias Poltika. Pemikiran ini jelas dari
3

ucapan Presiden Indonesia masa Ir. Soekarno, antara lain pada upacara pelantikan Menteri Kehakiman pada 12 Desember 1963 yang menyatakan bahwa Setelah kita kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Trias Poltica kita tinggalkan sebab asalnya datang dari sumber-sumber Liberalisme. Penolakan azas Trias Politica selanjutnya dituangkan dalam bentuk yang lebih Resmi yaitu dalam Undang-undang No. 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dimana penjelasan umum berbunyi Trias Politica tidak mempunyai tempat sama sekali dalam Hukum Nasional. Indonesia, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat melakukan campur tangan dalam pengadilan; yaitu dalam hal-hal tertentu. Jelaslah bahwa Undang-undang ini sangat bertentangan dengan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 (mengenai Pasal 24 dan 25) yang mengatakan bahwa Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh Kekuasaan Pemerintah. Dalam Masa Orde Baru kepincangan-kepincangan ini telah diluruskan kembali Undang-undang No. 19 tahun 1964 telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 14 tahun 1970. Dalam Undang-undang ini istilah Trias Poltica tidak sebut secara eksplisit, tetapi prinsip kebebasan hakin telah dihidupkan kembali. Dari UU No. 14 tahun 1970 dapat ditarik kesipulan bahwa kita pada garis besarnya telah kembali ke azas Trias Politica dalam pengertian sebagai Pembagian Kekuasaan. Peristilahan baru : Rule Making, Rule Application dan Rule Adjudication.

PARTAI-PARTAI POLITIK
Yoseph Lapa Lombara dan Miron Weiner telah meneropong secara khusus partai politik dalam hubungannya dengan pembangunan politik dalam Buku Political Parties and Political Develovement. Partai Politik lahir di Negara Eropa Barat dengan meluasnya gagasan bahwa Rakyat merupakan faktor-faktor yang perlu diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik, di Negara menganut Paham Demokrasi, gagasan mengenai partisipasi Rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa Rakyat berhak turu menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (Public Policy). Di Negara totaliter gagasan mengenai partisipasi Rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng, untuk mencapai tujuan itu, Partai Politik merupakan alat yang baik.

DEFINISI PARTAI POLITIK Partai Politik adalah secara kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya kelompok ini mempunyai untuk orientasi; Nilai-nilai dan Cita-cita yang sama, tujuan ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaankebijaksanaan mereka.

CART. J. FRIEDRICH : Partai Politik adalah


sekelompok manusia yang terorganisir
5

secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap Pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat adil maupun materiil.

R. H. SOLTAU : Partai Politik adalah sekelompok warga


negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.

SIGMUNA NEUMANN (DLM BUKU MODERN POLITICAL PARTIES) : Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang
berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan Rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan yang mempunyai pandangan yang berbeda.

Dalam
1

Negara

Demokrasi

Partai

Politik

Menyelenggarakan Beberapa Fungsi :


Partai sebagai sarana komunikasi politik :

Salah satu tugas dari Partai Politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul program partai untuk perjuangan atau di sampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan umum (Public Policy).
2

Partai sebagai sarana sosialisasi politik : Partai politik juga main peranan sebagai sarana sosialisasi politik (Instrument Of Political Socialization) dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik, yang umunya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsurangsur dari masa kanak-kanan sampai dewasa. Disamping itu disosialisasi politik juga mencakup mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Partai politik sebagai sarana Recruitmen Politik : Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (Political Recruitment). Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik, juga untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang masa mendatang akan menggantikan pimpinan lama (Selection Of Leadership).

Partai politik sebagai sarana pengatur Konflik (Conflict Management)

Dalam suasana Demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya.

KLASIFIKASI PARTAI
Klasifikasi partai dapat dilakukan dengan berbagai cara, bila lihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibedakan dalam dua jenis :
1

Partai Masa Mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu ia biasanya terdiri dari pendukungpendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung dibawahnya.

Partai Kader Mementingkan kekuatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya, Pimpinan Partai biasanya menjaga kemurnian Doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan mememcat anggota yang menyeleweng dari garis-garis partai yang telah diterapkan.

PENDAPAT

MAURICE

DUVERGER

(BK.

POLITICAL PARTIES)
Yaitu Partai Tunggal (One Party System), Sistim Dini-Partai (Two Party System) dan Sistim Multi Partai (Multi-Party System).
-

Sistim Partai Tunggal

Satu-satu partai dalam suatu negara, maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lainnya. Suasana kepartaian dinamakan Non-Komperatif oleh karena partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu (Sistim Afrika, RRC, dan Eropa Timur).
-

Sistim Dwi Partai Dimana ada dua partai atau ada beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai, dalam sistim ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum). Dengan demikian jelaslah dimana letaknya tanggung jawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi (Amerika Serikat dan Philipina).

Sistim Multi Partai Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman dalam komposisi masyarakat menjurus ke berkembangnya sistim multi partai. Dimana perbedaan Ras, Agama, atau Suku bangsa adalah kuat, golongan masyarakat lebih cenderung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas (Pri Mordial) tadi dalam satu wadah saja (sistim ditemukan di Indonesia, Malaysia, Belanda dan Prancis)

PARTAI POLITIK DI INDONESIA


Partai politik pertama lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi apakah dia bertujuan sosial (seperti Budi Utomo dan Muhamadiah) ataukah terang-terangan menganut azas politik/agama (seperti Serikat Islam dan Partai Katolik) atau azas

politik/sekuler (seperti PNI dan PKI). Memainkan peran penting dalam berkembangnya pergerakan nasional, pola dalam masa merdeka dalam bentuk sistim multi-partai. Kegiatan partai politik dalam zaman pendudukan jepang dilarang : hanya golongan-golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk Partai Masyumi. Akan tetapi, satu bulan sesudah proklamasi kemerdekaan, kesempatan dibuka lebar-lebar. Mengenai partai dalam masa sistim parlementer (ditulis DANIEL. S. LEV) Sistim Partai di Indonesia menunjukkan beberapa gejala kekacauan yang tidak asing bagi sistim multi-partai didunia. Ada partai kecil yang mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar dari pada dukungannya dalam masyarakat ; disamping itu tidak ada partai yang mengembangkan sikap memikul tanggung jawab penuh seperti biasanya terdapat pada partai yang mengatasi pemerintahan tanpa koalisi. Lagi pula sistim parlementer (di Indoensia) tidak pernah memiliki kekuasaan sepenuhnya kewenangan dan keabsahan dalam tata tertib politik dan juga tidak dapat menguasai segala aspek situasi konflik politik. Pada akhirnya pemerintah parlementer dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan extra parlementer seperti Presiden dan tentara. Akan tetapi partai politik juga tidak luput dari tantangan dari kalangan mereka sendiri. Dan hal ini juga membantu timbulnya Demokrasi Terpimpin. Dalam masa orde baru partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa. Namun 1971 Golkar menjadi pemenang pertama dan tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai dan sampai sekarang diberi kebebasan untuk mendiri partai; partai politik peserta pemilihan umum tahun 2009 berjumlah 34 partai.

10

Anda mungkin juga menyukai