Anda di halaman 1dari 39

BAB I PENDAHULUAN

Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.1 Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Di Indonesia, kriteria anemia di klinik pada umumnya jika kadar Hb < 10 g/dl, hematokrit < 30%, dan eritrosit < 2,8 juta/mm3. 1,2 Anemia bentuk ini merupakan bentuk anemia yang sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Diperkirakan sekitar 30 % penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi. Sedangkan angka kejadian anemia di Indonesia berdasarkan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi anemia gizi pada balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu nifas 45,1%, remaja putri usia (10-18 tahun) 57,1% dan usia 19-45 tahun 39,5%. Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari saluran cerna, saluran genitalia (perempuan): menorrhagia, saluran kemih: hematuria, saluran nafas: hemoptisis; faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi besi yang rendah; kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan kehamilan; dan gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu). 1,2 Hal-hal tersebut menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang meningkat, sehingga cadangan besi makin menurun, dan keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Jika kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi (iron deficient erythropoiesis). Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia). 1,2

Gejala ADB dapat digolongkan menjadi: Gejala umum anemia berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging dan gejala khas yang dijumpai pada ADB, tidak dijumpai pada anemia jenis lain seperti: koilonychia, atropi papil lidah (glositis), stomatitis angularis, disfagia, atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia, sklera berwarna biru dan pica. 1,2,3 Dari pemeriksaan lab didapatkan bahwa: kadar Hemoglobin (Hb) akan menurun (< 10 g/dl), Indeks Eritrosit seperti Mean Corpusculer Volume (MCV)< 80 fl, Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) < 26 pg, dan Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) < 31%, Red Distribution Wide (RDW) meningkat (> 15%). Kadar besi serum menurun (<50 mg/dl), dengan Total Iron binding Capacity yang meningkat (>350 mg/dl) dan saturasi transferin yang menurun (< 15%) serta Serum feritin < 20 g/l. Pada pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Dan pada pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan adanya hiperplasia normoblastik dengan normoblast kecil-kecil ( micronormoblast) dominan. Pada pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). 1,2,3 Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah:1,2,3 a. Terapi kausal : terapi terhadap penyebab perdarahan. b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh, baik terapi besi oral maupun terapi besi parenteral. c. Pengobatan yang lain : Diet: makanan bergizi tinggi protein terutama dari protein hewani Vitamin c: untuk meningkatkan absorbsi besi Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah: 1. Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung 2. Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat mencolok 3. Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.

Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut : diagnosis salah, dosis obat tidak adekuat, preparat Fe tidak tepat atau kadaluarsa, perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung menetap.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Anemia didefinisikan sebagai :1.) Keadaan di mana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. 2.) Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit. Sedangkan, anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron state) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang. 1 Berdasarkan WHO, anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) dibawah 13 g/dl pada pria berusisa >15 tahun, di bawah 12 g/dl pada wanita berusia>15 tahun tidak hamil, dan di bawah 11 g/dl pada wanita hamil. Di Indonesia, kriteria anemia di klinik pada umumnya jika kadar Hb < 10 g/dl, hematokrit < 30%, dan eritrosit < 2,8 juta/mm.1,2 2.2. EPIDEMIOLOGI Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan anemia yang paling sering dijumpai terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi. Diperkirakan sekitar 30 % penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi. Sedangkan angka kejadian anemia di Indonesia berdasarkan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi anemia gizi pada balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu nifas 45,1%, remaja putri usia (10-18 tahun) 57,1% dan usia 19-45 tahun 39,5%. ADB memiliki prevalensi sekitar 2-5% pada pria dewasa dan wanita post-menopause pada negara berkembang dan merupakan penyebab utama rujukan ke bagian gastroenterologi (4-13% rujukan). Di samping kehilangan darah akibat menstruasi merupakan penyebab tersering ADB pada wanita premenopause, kehilangan darah dari sistem gastrointestinal merupakan penyebab tersering anemia pada pria dan wanita postmenopause. Penyebab ADB bersifat multifaktorial. Manajemen ADB pada sebagian

besar pasien terkadang bersifat suboptimal. Adanya pendarahan saliran gastrointestinal yang signifikan jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada 1-10% kasus ADB. 2.3. ETIOLOGI Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari saluran cerna, saluran genitalia (perempuan): menorrhagia, saluran kemih: hematuria, saluran nafas: hemoptisis; faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi besi yang rendah; kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan kehamilan; dan gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu). Hal-hal tersebut menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang meningkat, sehingga cadangan besi makin menurun, dan keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Jika kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi (iron deficient erythropoiesis). Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).

Marshall dan Warren mampu mendemonstrasikan hubungan yang kuat antara adanya H pylori dan temuan inflamasi pada biopsi lambung (Marshall & Warren, 1984). Orang tanpa gastritis tidak memiliki kandungan H pylori pada biopsi lambung. Marshall pun memenuhi postulat Koch di mana peran H pylori dengan kejadian gastritis antral dengan pemberian H pylori dan juga membuktikan bahwa Gastritis tersebut dapat disembuhkan dengan penggunaan antibiotik dan garam Bismuth. Tes serologi infeksi H pylori ( antibodi IgG dan IgA sirkulasi) menunjukkan bahwa infeksi H pylori memilki prevalensi yang rendah pada anak-anak, tetapi meningkat secara dramatis pada dekade kelima, dan lebih dari separuh populasi di atas 50 tahun terinfeksi H pylori. Hal ini disebabkan oleh resiko kontinyu terinfeksi H pylori. Dengan berfokus pada penyakit digestif, etiologi anemia defisiensi besi (ADB) karena faktor gastrointestinal dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: keadaan yang meningkatkan hilangnya besi (penyebab tersering pada negara berkembang) dan akibat penurunan absorpsi besi. Pada dasarnya, pendarahan dapat berupa pendarahan yang kelihatan atau visible bleeding (melena, hematemesis, pendarahan rektum) atau hidden bleeding yang lebih susah untuk didiagnosis. Penyakit gastrointestinal penyebab pendarahan dapat berupa tumor kolon, lambung, dan esofagus, ulkus peptikum, dan penyakit refluks, penggunaan NSAID, dan inflammatory bowel disease. Sedangkan penurunan absorpsi besi pada saluran cerna dapat terjadi pada celiac disease, atrophic gastritis, dan postsurgical status.

Gastritis kronis merupakan kondisi inflamasi mukosa lambung yang dikarakteristikan oleh lesi mukosa yang meluas dan distribusinya berhubungan dengan etiologi dan respon sel penjamu. Infeksi H. Pylori merupakan penyebab utama terjadinya gastritis aktif kronis di seluruh dunia. Marshall dan Warren mampu mendemonstrasikan hubungan yang kuat antara adanya H pylori dan temuan inflamasi pada biopsi lambung (Marshall & Warren, 1984). Orang tanpa gastritis tidak memiliki kandungan H pylori pada biopsi lambung. Marshall pun memenuhi postulat Koch di mana peran H pylori dengan kejadian gastritis antral dengan pemberian H pylori dan juga membuktikan bahwa gastritis tersebut dapat disembuhkan dengan penggunaan antibiotik dan garam Bismuth. Infeksi H pylori dilaporkan memiliki manifestasi yang bervariasi pada kelompok usia remaja dan dewasa, termasuk anemia defisiensi besi. Penelitian double blind, placebo controlled trial yang dilakukan pada dewasa dengan ADB dan infeksi H pylori menunjukkan bahwa serum feritrin yang menurun signifikan pada kelompok yang terinfeksi H pylori dan eradikasi H pylori menyebabkan resolusi defisiensi besi. Serosurvei H pylori pada dewasa juga ditemukan bahwa serum feritrin yang menurun signifikan pada kelompok dewasa dengan IgG H pylori positif daripada kelompok kontrol yang tidak terinfeksi. Berdasarkan rekam medis Renmin Hospital of Wuhan University ditemukan pasien dewasa dengan gastritis kronik, angka kejadian ADB lebih sering terjadi pada pasien dengan H pylori positif. Koeksistensi gastritis H pylori pada 86 pasien ADB dewasa pada penelitian yang dilakukan oleh Department of Hematology, Renmin Hospital of Wuhan University,ditentukan melalui endoskopi dan ureabreath test. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa persentase yang tinggi pada perluasan gastritis hingga mukosa korporal pada pasien dengan H pylori dan ADB dibandingkan dengan kelompok kontrol pasien yang terinfeksi H pylori non anemik. Pendarahan pada gastritis kronis dan pendarahan akibat ulkus lambung atau

duodenum yang berhubungan dengan infeksi H pylori, berperan penting dalam perkembangan defisiensi besi pada dewasa. Transmisi H pylori sendiri belum diketahui secara pasti, namun dapat menular dari satu orang ke orang lainnya melalui saliva dan kontaminasi fekal. Hal ini lah yangdapat menjelaskan angka infeksi H pylori yang begitu tinggi pada negara miskin dan berkembang yang dikarakteristikkan oleh pemukiman yang padat, kondisi sanitasi yang buruk, dan kurangnya air bersih. Higienitas personal merupakan hal yang sangat penting terutama dalam hal penyajian makanan yaitu rendahnya kebiasaan mencuci tangan yang baikdan benar yang menjadi sumber potensial infeksi. 2.4. PATOFIFIOLOGI H pylori bersifat motil dan dapat hidup pada lapisan mukosa yang kental pada lambung. Organisme ini terdapat spesifik pada sel epitel tipe gastrik, yang terutama terdapat pada lambung yang tidak terdapat pada sel duodenal tipe absorptif. H pylori melekat pada mukosa lambung melalui mekanisme yang spesifik. Sekresi sejumlah besar urease (0.4 mM) menyebabkan lingkungan yang kaya urea berubah menjadi amonia, sehingga terjadi ameliorasi keasaman lambung. Kira-kira 50% strain H pylori memproduksi sitotoksin yang dihubungkan dengan gastritis aktif dan ulserasi lambung. Sitotoksin ini menyebabkan inflamasi lokal, bersama dengan protease dan fosfolipase, dapat menyerang dan merusak membran sel mukosa. Lemahnya barier mukosa lambung menyebabkan difusi balik ion hidrogen yang memperberat cedera jaringan. Sebagai respon terhadap inflamasi gastrik kronis karena H pylori, sel epitel pada mukosa mengalami kerusakan, menyebabkan pengelupasan dan apoptosis. Penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa pertumbuhan dan proliferasi H pylori membutuhkan besi dari sel inang dan beberapa jenis H pylori memiliki kemampuan spesifik untuk mengganggu metabolisme besi melalui pengikatan besi pada protein membran luarnya. Di samping pendarahan gastrointestinal dan kompetisi akan besi dalam diet, infeksi H pylori dapat mempengaruhi mukosa lambung

dan menginisiasi berkembangnya atrophic body gastritis yang berakibat pada penurunan sekresi asam lambung dan peningkatan pH lambung. Infeksi H pylori berdampak negatif pada komposisi cairan lambung, yitu penurunan keasaman dan kandungan askorbat, di mana keduanya merupakan hal penting dalam absorpsi besi. Temuan ini menunjukkan bahwa mekanisme fisiologis yang penting dalam absorpsi besi pada mukosa duodenum mengalami gangguan pada pasien dengan gastritis H pylori dan ADB.

Gambar 3. Patogenesis infeksi H.pylori

Gambar 4. Hubungan infeksi H.pylori dan manifestasin pendarahan mukosa lambung yang beresiko dalam terjadinya anemia.

2.4. MANIFESTASI KLINIS a) Gejala umum anemia Gejala ini baru akan timbul apabila terjadi penurunan kadar hemoglobin hingga 7-8 gr/dl b) Lemah, lesu, lelah, mata berkunang-kunang dan telinga berdenging Gejala khas defisiensi besi Koilonichya (spoon nail) yaitu kuku yang cekung seperti sendok, memiliki garisgaris vertikal dan rapuh Atrofi papil lidah sehingga permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap

Stomatitis angularis (cheilosis) yaitu adanya radang pada sudut mulut berupa bercak keputihan

c)

Disfagia Atrofi mukosa gaster Pica ; keinginan makan makanan yang tidak lazim seperti tanah liat, lem dll Gejala penyakit dasar Gejala tergantung penyebab dasar yang menimbulkan anemia Pada infeksi cacing tambang terdapat gejala dispepsia, parotis yang membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami

Anemia akibat pendarahan kronis saluran cerna atau kanker kolon dapat disertai oleh BAB yang berwarna hitam ataun gangguan BAB

2.5. PENEGAKAN DIAGNOSIS Terdapat tiga tahap diagnosis anemia defisiensi besi, yaitu : a) Penentuan adanya anemia Anemia secara klinis dapat memberikan beberapa gambaran, yang disebut sebagai sindroma anemia yakni badan lemah, letih, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, telinga sering berdenging. Namun, biasanya, gejala simptomatis ini ditemukan apabila kadar Hb < 7 g/dl dan pada pemeriksaan fisik ditemukan pucat pada konjungtiva dan jaringan di bawah kulit. b) Penentuan defisiensi besi sebagai penyebab anemia Manifestasi klinis yang khas untuk anemia defisiensi besi adalah ; Atrofi papil lidah ; permukaan lidah licin, mengkilap karena papil lidah hilang Stomatitis angularis ; radang pada sudut mulut Disfagia akibat kerusakan epitel hipofaring Koilonichya ; kuku sendok ( spoon nail ), kuku rapuh, bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip sendok Atrofi mukosa gaster

Pica : makan yang tidak lazim seperti tanah liat, es, lem dll Gejala-gejala penyakit dasar yang mendasari terjadinya anemia juga perlu diperhatikan misalnya penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.

c) Dalam mendiagnosis anemia defisiensi besi, selain memperhatikan gejala klinis diperlukan pemeriksaan laboratorium yaitu : Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31 % dengan salah satu kriteria yang memenuhi : 1. Dua dari tiga parameter yaitu : Besi serum < 50 mg/dl TIBC > 350 mg/dl Saturasi transferin < 15 g/dl 2. Ferritin serum < 20 g/dl 3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia ( Perls stain ) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif. 4. Pemberian Sulfas ferous 3 x 200 mg/hari selama 4 minggu disertai dengan kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 gr/dl. 2.5. PENGOBATAN Setelah diagnosis ditegakkan, maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa : a) Terapi kausa Terapi kausa dilakukan tergantung penyebabnya. Pada anemia defisiensi besi yang berhubungan dengan infeksi H.pylori , eradikasi H.pylori merupakan hal yang penting dilakukan. Eradikasi H pylori dengan menggunakan triple therapy berupa deutero-bismuth citrate 240mgx 2/hari, amoxicillin 500 mgx 2/hari, dan metrodinazole 400 mg x2/hari dapat mengurangi efek negatif infeksi H pylori terhadap absorpsi besi dan meningkatkan perbaikan ADB pada penelitian tersebut. Keberhasilan eradikasi H pylori menyebabkan penurunan serum gastrin dan titer antibodi IgG H pylori, dan meningkatkan hemogram perifer dan serum besi. Peningkatan Hemoglobin

terjadi setelah terapi telah dilakukan hingga tuntas (p<0,05) dan kembali normal pada hari ke-56. Normalisasi metabolisme besi pada pasien dengan H pylori positif meningkatkan MCV dan MCH ke grafik plateau yang setara dengan level normal pada terapi hari ke-21 (p<0,05). b) Pemberian preparat besi Preparat besi oral: - sulfas ferrosus 4 x 1 tab - Ferrous fumarat 4 x 1 tab dan ferrous glukonat 3 x 1 Pemberian preparat besi ini dilanjutkan 4-6 bulan sesudah Hb normal. Obat ini aman digunakan, hanya kadang-kadang dapat memberikan efek samping berupa nyeri epigastrium, konstipasi dan diare. Pemberian preparat besi parentaral Hanya dianjurkan pada penderita yang mengalami intoleransi gastrointestinal berupa mual muntah. Preparat besi parenteral yang lazim digunakan adalah interferon, jectofer, venofer. c) Pengobatan lain Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani Vitamin C: vitamin C diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi Transfusi darah

2.6. PENCEGAHAN Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat, maka diperlukan suatu pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa : a) Pendidikan kesehatan Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, dan perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki,

Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi besi

b) Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber pendarahan kronik yang terjadi di daerah tropik c) Suplementasi besi terutama pada penduduk rentan seperti ibu hamil dan balita. d) Fortifikasi bahan makanan dengan menggunakan besi.

BAB III LAPORAN KASUS 3.1. IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Umur Kewarganegaraan Agama Pendidikan Pekerjaan : IWW : Perempuan : 58 tahun : Indonesia : Hindu : Tidak tamat SD : Tidak Bekerja

Status Perkawinan Alamat Tanggal MRS

: Sudah menikah : Dusun Tegehsari Padangsambian Denpasar : 21 Juni 2012

Tanggal pemeriksaan : 30 Juni 2012 3.2. ANAMNESIS Keluhan Utama: Lemas Badan Riwayat Penyakit sekarang: Pasien datang dengan keluhan lemas yang dirasakan dari 1 bulan yang lalu, semakin memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Lemas tersebut dikatakan mucul hilang timbul sejak setahun yang lalu. Lemas dirasakan pada seluruh tubuh dan terjadi terus menerus sepanjang hari. Lemas dirasakan seperti tidak bertenaga. Lemas dirasakan paling berat saat pasien berubah posisi dari posisi tidur ke posisi duduk atau dari posisi duduk ke posisi berdiri. Lemas membaik dengan istirahat. Karena keluhan lemas, pasien tidak bisa beraktivitas seperti biasa di rumah, pasien hanya bisa berbaring dan duduk-duduk saja sepanjang hari. Pasien juga mengeluh mengalami pusing sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pusing dirasakan terus-menerus sepanjang hari dan tidak hilang dengan istirahat. Pusing dirasakan paling berat saat pasien mengubah posisi dari duduk atau jongkok ke posisi berdiri. Pasien juga mengeluhkan sering berkunang-kunang dan dirasakan setiap saat ketika pasien melakukan aktivitas dan keluhan ini timbul bersamaan dengan keluhan lemas, dan memberat apabila melakukan aktivitas fisik. Keluhan ini biasanya berkurang setelah pasien beristirahat. Pasien juga mengeluhkan telinga mendenging bersamaan dengan keluhan lemas tersebut. Telinga mendenging ini dikatakan muncul secara hilang timbul, diperberat ketika pasien beraktivitas dan tidak berkurang ketika pasien istirahat. Pasien juga mengeluh mual dan nyeri ulu hati. Nyeri ulu hati sudah dirasakan oleh pasien hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu dan perut pasien terasa penuh, dan tidak membaik setelah pasien makan. Keluhan mual ini tidak disertai dengan muntah. Riwayat minum jamu dan obat- obat penghilang nyeri dan obat rematik disangkal oleh pasien. Pasien memiliki kebiasaan minum kopi saat pagi dan sore hari. BAB

berwarna hitam (+). Pasien mengatakan nafsu makannya biasa saja tetapi jarang sarapan pagi. Minum pasien dikatakan biasa, dimana pasien dapat minum 1,5 liter air per hari. Penurunan berat badan disangkal oleh pasien. Riwayat mimisan dan pendarahan luar lainnya yang berat disangkal oleh pasien. Riwayat batuk dan sesak napas disangkal oleh pasien. BAK pasien dikatakan biasa, dimana pasien dapat berkemih sebanyak 4-5 kali per hari, dengan volume -1 gelas, berwarna kuning, tanpa buih, dan tidak nyeri. BAB pasien juga dikatakan biasa, tidak cair, tidak berlendir, tetapi berwarna kehitaman dan baru disadari pasien 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat Penyakit terdahulu : Pasien sudah merasakan keluhan lemas ini selama setahun lebih yang dirasakan hilang timbul tetapi pasien tidak pernah minum obat untuk mengurangi gejala tersebut. Kejadian lemas sebelumnya disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat operasi pada paha kirinya setahun yang lalu. Dan setelah operasi pasien selalu mengikuti kegiatan Ceragem. Tetapi selama terapi Ceragem, keluhan lemas tidak membaik, pasien lalu kerumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. Riwayat penyakit lainnya seperti penyakit jantung, hipertensi dan asma tidak pasien ketahui secara jelas, karena pasien jarang sakit, sehingga jarang memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan. Pasien mulai dirawat di RS Sanglah tanggal 21 Juni 2012 dengan diagnosis kerja suspek ulkus peptikum, Anemia berat Hipokromik Mikrositer ec. Anemia Defisiensi Besi, dan observasi Cardiomegali ec. Susp. Anemia Heart Disease. Saat ini pasien mengatakan keadaannya lebih baik dibandingkan saat awal masuk rumah sakit. Riwayat Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan penyakit yang sama dengan pasien saat ini. Riwayat kencing manis, penyakit jantung dan hipertensi pada keluarga disangkal oleh pasien. Riwayat Sosial Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan hari- harinya di rumah dan di pura. Setahun lalau sebelum pasien sakit, pasien adalah pedagang daun pandan di pasar. Setiap hari pasien berdagang di pasar dari sore hari hingga dini hari. Aktivitas pasien saat ini adalah mengerjakan pekerjaan rumah yang ringan karena sebagian besar pekerjaan rumah dilakukan oleh menantunya. Kebiasaan merokok dan

minum-minuman beralkohol disangkal pasien. Pasien selalu memiliki kebiasaan mengkonsumsi kopi setiap pagi dan sesekali pada sore hari. 3.3. Pemeriksaan Fisik Status Present Kesan sakit Kesadaran Tinggi badan Berat badan BMI Gizi Tekanan darah Nadi Respirasi : lemah : Compos mentis (GCS: E4V5M6) : 150 cm : 45 kg : 20 kg/m2 : cukup :130/80 mmHg : 80 kali/menit, reguler, isi cukup : 18 kali/menit, teratur, tipe : torakoabdominal : 36,5 C

Temperatur aksila Status General Mata THT Leher

: anemis +/+, ikterus -/-, blue sclerae +/+ : atropi papil lidah (+) : JVP :PR + 0 cmH2O : tidak ada pembesaran

Kelenjar getah bening

Kelenjar parotis & tiroid : tidak ditemukan pembesaran Thoraks Cor: Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak terlihat : ictus cordis teraba di ICS V MCL S : batas atas jantung ICS II MCL sinistra, batas kanan jantung PSL dekstra, batas kiri jantung MCL sinistra ICS V Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Po

Inspeksi

: gerak pernafasan simetris statis dan dinamis,

retraksi (-), Palpasi : VF N/N N/N Perkusi : sonor +/+ +/+ +/+ Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi +/+ +/+ Abdomen Inspeksi -/-/-/-, wheezing -/-/-/N/N

: distensi (-),denyut epigastrial (-)

Auskultasi : Bising Usus (+) normal Palpasi : Nyeri tekan (-) Hepar : tidak teraba, Lien : tidak teraba, Balotement : -/Perkusi Ekstremitas : Edema : -/Koilonychia Genitalia Eksterna Kulit (+) : Tidak dievaluasi -/ Hangat : +/+ +/+ : Timpani, Shifting dullness (-), Undulasi (-)

: Ikterus (-)

3.4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang (21 Juni 2012) Darah Lengkap: Parameter Hasil Unit Remarks Normal

WBC #Ne #Lym #Mo #Eo #Ba RBC HGB HCT MCV MCH MCHC RDW PLT

6,09 2,88 1,17 0,46 1,50 0,10 2,29 3,00 13,2 57,6 13,3 23,0 17,2 396,80

103/L 103/L 103/L 103/L 103/L 103/L 103/L g/dl % Fl Pg g/dl % 103/L Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi

4,1-11,0 2-7.5 1,0-4,0 0,1 1,2 0 ,0 0,5 0,0 0,1 4,5 5,9 12,00 16,00 36,0-46,0 80,0 100,00 26,0 34,0 31,00 36,00 11,6-14,8 140,00-440,00

Pemeriksaan Serum Parameter SGOT SGPT BUN Creatinin Glukosa Sewaktu Natrium Kalium Fe TIBC Hasil 11,40 5,80 6,00 0,67 98,00 143,00 3,43 11,10 494,10 Unit u/l u/l mg/dl mg/dl mg/dl mmol/L mmol/L ug/dL ug/dL Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah Remarks Normal 11-33 11-50 8-23 0,5- 0,9 70-140 136-145 3,5-5,1 50,00- 170,00 261,00-478,00

Pemeriksaan Tanggal 22 Juni 2012 Parameter WBC #Ne #Lym #Mo #Eo #Ba RBC HGB HCT MCV MCH MCHC RDW PLT Hasil 4,83 2,74 0,61 0,18 1,20 0,05 2,71 4,90 18,60 68,50 18,10 26,40 23,80 402,00 Unit 103/L 103/L 103/L 103/L 103/L 103/L 103/L g/dl % Fl Pg g/dl % 103/L Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Remarks Normal 4,1-11,0 2-7.5 1,0-4,0 0,1 1,2 0 ,0 0,5 0,0 0,1 4,5 5,9 12,00 16,00 36,0-46,0 80,0 100,00 26,0 34,0 31,00 36,00 11,6-14,8 140,00-440,00

Pemeriksaan tanggal 26 Juni 2012 Parameter Feritrin 10,33 Hasil Unit ng/mL Remarks 13,00-150,00 Normal Rendah

Pemeriksaan Feses 26 Juni 2012 Parameter Faeces Rutin Makroskopis Warna Coklat Bau Konsistensi Lembek Hasil Satuan Nilai Rujukan ------

Lendir Negatif Darah Negatif Mikroskopis Leukosit Negatif Eritrosit Negatif Telor cacing Negatif Lain-lain Gist cell + /lp /lp

--------

Pemeriksaan Esofago gastro duodenoskopi : Gastritis Erosiva Antrum Hasil Urea Breath Test : H pylori (+)

DIAGNOSIS Anemia berat hipokromik mikrositer ec. ADB ec. Gastritis erosiva antrum Gastritis erosiva antrum ec. H pylori

PENATALAKSANAAN MRS Diet Lunak Transfusi PRC 1 kolf/ hari s/d Hb 10 g/dL Infus NS 8 tpm Antasida 3 x CI Sucralfat syr 3 x CI Pantoprazole 1x40 mg Clarythromycin 1 x 500 mg p.o Amoxycillin 2 x 100 mg p.o Omeprazole 2 x 20 mg p.o

MONITORING : Keluhan, vital sign DL @ 1 hari

PROGNOSIS: Ad vitam : dubius ad bonam Ad functionum : dubius ad bonam

BAB IV PERMASALAHAN HASIL KUNJUNGAN PASIEN 3.1. Alur Kunjungan Lapangan

Kunjungan dilakukan pada tanggal 8 Juni 2012. Kami mendapat sambutan yang baik dari pasien dan keluarga. Adapun tujuan diadakannya kunjungan lapangan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien serta mengidentifikasi masalah yang ada pada pasien. Selain itu kunjungan lapangan ini juga memberikan edukasi tentang penyakit yang dialami pasien serta memberikan dorongan semangat kepada pasien. Pasien dalam kasus ini adalah pasien anemia defisiensi besi yang telah mendapat perawatan di RS Sanglah dan saat ini kondisi pasien membaik dan dapat melakukan aktivitas rumah seperti biasa. 3.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan konsep segitiga epidemologi, kejadian sakit seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu host, agent, dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi kejadian sakit seseorang. HOST

AGENT Gambar 3. Skema Segitiga Epidemiologi

LINGKUNGA N

Setelah melakukan kunjungan rumah, faktor resiko yang diidentifikasi antara lain: 1. Host (penjamu) Pasien dalam kasus PBL ini berusia tua (58 tahun) yang sangat rentan terkena penyakit karene sistem imun yang mulai menurun. Pasien dan keluarganya tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Walaupun pasien mencuci tangan, pasien jarang menggunakan sabun. Hal ini pun tentu merupakan salah satu faktor penting dalam transmisi infeksi H pylori dalam keluarga. Pasien sering membantu menantunya dalam hal menyediakan makanan bagi keluarga di rumah tersebut. Pasien juga jarang mencuci tangan dengan sabun saat penyajian makanan. Terkadang beberapa piring yang

sudah digunakan yang dianggap tidak terlalu kotor, digunakan kemabli oleh pasien dan hanya mencucinya dengan air. Pasien dan keluarga setiap hari mengkonsumsi air mineral yang berasal dari air isi ulang yang tidak jelas standar sterilisasi dan higienitasnya. Pasien memiliki kebiasaan jarang sarapan pagi setiap hari terutama sewaktu bekerja dahulu. Selama ini Pasien beranggapan bahwa pasien hanya tinggal di rumah dengan aktivitas yang jarang, sehingga sarapan pagi tidak terlalu penting untuknya. Hal ini tentu meningkatkan resiko terjadinya gastritis pada pasien ini atau bahkan memperburuk gastritis yang telah dialaminya. Pasien memilki kebiasaan mengkonsumsi kopi pada pagi dan sore hari. Kopi mengandung tanin yangdiketahui sebagai bahan penghambat absorpsi besi. Penghambatan absorpsi besi ini berperan dalam terjadinya anemia defisiensi besi yang diserita oleh pasien. Konsumsi daging dapat dikatakan cukup jarang yakni kira-kira seminggu sekali bahkan dalam seminggu terkadang tidak mengkonsumsi daging, Pasien lebih sering mengkonsumsi tempe, tahu, dan terkadang ikan. Daging yang diketahui sebagai meat factors adalah bahan pemacu absorpsi besi dan pasien jarang mengkonsumsi bahan makanan tersebut. Penderita jarang melakukan pemeriksaan rutin ke rumah sakit atau Puskesmas terdekat. Hal ini disebabkan karena penderita bergantung pada anaknya untuk mengantarkannya. Selama pasien mengeluhkan sakit sebelumnya, pasien beranggapan bahwa keluhannya tersebut hanya pusing dan lemas biasa karena faktor usia sehingga pasien dapat dikatakan kurang tanggap terhadap penyakit yang dialaminya. 2. Lingkungan Penderita tinggal di daerah Padang Sambian. Secara umum, lingkungan tempat tinggal pasien cukup padat dengan rumah yang saling berhimpitan. Hal ini tentu memudahkan terjadinya penyebaran penyakit menular antara pasien dengan keluarga seta tetangga sekitar. Infeksi penyakit yang

berkaitan dengan penyakit pasien adalah infeksi H pylori yang sangat erat kaitannya dengan pemukiman yang padata dan sanitasi yang buruk. Halaman rumah penderita dapat dikatakan tidak terlalu bersih. Keluarga pasien memiliki seekor anjing dan beberapa ekor ayam yang kotorannya terkadang berserakan di sekitar halaman rumah pasien. Rumah dan halamannya terlihat berantakandan berdebu. Ruang keluarga tempat pasien dan keluarga makan adalah ruang terbuka yang menghadap langsung ke halaman. Letak sumur dan jamban pasien <10m, hal ini tentu beresiko tinggi dalam terjadinya penyebaran penyakit terutama penyakit yang berhubungan dengan saluran cerna. 3. Agen Kuman penyebab penyakit yang diduga dan telah terbukti menyebabkan gastritis erosiva pada pasien ini adalah infeksi H. pylori yang sudah terbukti dari pemeriksaan laboraturium. Kira-kira 50% strain H pylori memproduksi sitotoksin yang dihubungkan dengan gastritis aktif dan ulserasi lambung. Sitotoksin ini menyebabkan inflamasi lokal, bersama dengan protease dan fosfolipase, dapat menyerang dan merusak membran sel mukosa. Lemahnya barier mukosa lambung menyebabkan difusi balik ion hidrogen yang memperberat cedera jaringan. 3.3. Analisa Kebutuhan Pasien a. Kebutuhan fisik-biomedis 1. Kecukupan Gizi Nutrisi harian pasien: Jenis Karbohidrat Nasi Lainnya Tahu Tempe Ikan 5-6 sendok nasi 1-2 potong 1-2 potong 1 potong 2-3 kali 2 kali 2 kali 0-1 kali 16 kali 14 kali 14 kali 7-8 kali Jumlah Jadwal per hari Jadwal per minggu

Protein

Sayur

Telor Daging ayam Daging Babi

1 butir 1 potong 1 potong 1-2 mangkok 1 biji/potong 1 gelas aqua

1-2 kali Tidak tentu Tidak tentu 3 kali Tidak tentu 2 kali

7-8kali 0-3 kali 0- 2 kali 21 kali 4 kali 14 kali

Buah apel/pepaya Lainnya Kopi

Menurut pengakuan pasien, pasien makan 2-3 kali sehari. Pasien sangat jarang sarapan pagi karena dianggap tidak terlalu penting untuk dirinya yang tidak beraktivitas di luar rumah. Menu sarapan pagi pasien walaupun sangat jarang dilakukan berupa nasi, ikan atau tahu, dan sayuran. Pasien memiliki kebiasaan minum kopisebanyak satu gelas setelah makan. Kadang- kadang pasien sarapan pagi dengan jaje bali yang dibeli di pasar. Sedangkan untuk makan siang menu makanan pasien bervariasi. Pasien biasa makan nasi dengan lauk berbeda setiap harinya, kadang tahu, tempe, ikan, atau telur. Juga ditambah dengan sayuran. Untuk malam hari pasien makan nasi, tempe dan sedikit sayuran. Konsumsi daging dikatakan sangat jarangmenurut pengakuannya. Hal ini karena pasien tidak terlalu suka mengkonsumsi daging dan intensitas dalam seminggu terkadang hanya sekali bahkan tidak ada. Di sela-sela waktu makannya, pasien jarang mengemil makanan ringan. Pasien kemudian mengkonsumsi kopi lagi saat sore hari. Konsumsi buah pada pasien juga tidak tentu, biasanya pasien makan buah pepaya tetapi dengan jadwal yang tidak tentu setiap minggunya kurang lebih 4 kali dalam seminggu. Pasien minum 2 gelas setelah selesai makan. Selain setelah makan, minum pasien dikatakan cukup dalam sehari. Pasien mengaku tidak mengalami kendala dalam pola makannya, serta nafsu makan dikatakan seperti biasa. Pasien mengatakan tidak ada diet khusus untuk penyakitnya. Setelah dirawat inap di RS Sanglah dan kondisi pasien mulai membaik, nafsu makannya mulai meningkat kembali. Apalagi setelah pulang dari rumah sakit, nafsu makan pasien menjadi normal kembali. 2. Kegiatan Fisik

Sebelum penderita sakit, setiap harinya penderita adalah pedagang daun pandan di pasar yang bekerja dari sore hari hingga dini hari. Saat penderita jatuh sakit, aktivitas penderita berubah drastis. Penderita hanya berdiam di rumah saja dan hanya duduk-duduk dan jarang beraktivitas. Saat dilakukan kunjungan rumah, penderita mengatakan bahwa aktivitasnya mulai membaik karena penderita sudah tidak merasakan cepat lelah seperti saat sakit. Saat ini, penderita sudah dapat melakukan aktivitas kesehariannya di rumah seperti menyapu, mencuci piring dan pakainannya sendiri, membuat canang, dan aktivitas di luar rumah seperti ke pura dan banjar. 3. Akses ke tempat pelayanan kesehatan Penderita bermukim di daerah Padang Sambian. Denpasar. Jarak dari rumah penderita ke Rumah Sakit Sanglah cukup jauh jauh sehingga untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan, penderita biasanya melakukan pengobatan ke Rumah Sakit Wangaya atau Puskesmas di Padang Sambian. Jarak akses kesehatan dari rumah penderita dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan. Namun disini, penderita bergantung dengan anaknya untuk mengantarkannya ke rumah sakit atau puskesmas. Penderita berobat ke rumah sakit atau puskesmas hanya bila sakitnya sudah cukup berat dan mengganggu aktivitas. Dengan mempertimbangkan usia pasie, sebaiknya pasien rutin melakukan pemeriksaan kesehatan ke rumah sakit atau puskesmas terdekat untuk mencegah sakit yang berat di kemudian hari. Saat ini, pasien juga sedang melakukan kontrol rutin setiap minggu ke rumah sakit Sanglah akibat penyakit yang dideritanya. Pasien selalu diantar oleh anaknya menggunakan sepdea motor. 4. Lingkungan Pasien tinggal di rumah bersama suami, anak laki-laki dan menantunya, serta 2 orang cucunya. Pasien tinggal dalam 1 rumah dengan semua keluarganya tersebut yang berukuran 12 m x 3,5 m.. Rumah pasien dengan luas 1,5 are memiliki 2 kamar dilengkapi dengan ruang tamu dan pasien menempati sebuah kamar berukuran 2,5 x 2 m bersama suaminya. Di dalam kamar tersebut ada satu tempat tidur, satu lemari pakaian, sedangkan kamar lainnya berisi satu kipas angin, dan terdapat sebuah tv. Pasien memiliki 1 kamar mandi dan dapur

kecil yang terletak di gedung terpisah dari kamar dan ruang tamu pasien. Berhadapan dengan gedung tempat tinggalnya, terdapat sebuah bangunan rumah yang sedang dalam tahap pekerjaan. Pasien menggunakan sumber air sumur untuk mandi, mencuci baju, dan keperluan memasak. Dari segi sanitasi, lingkungan rumah pasien tidak terlalu bersih. Halamn rumah terlihat berdebu dan teras ruang keluarga terlihat berantakan. Pembangunan rumah yang baru membuat halaman rumah pasien begitu sempit. Sumur sebagai sumber air untuk memasak dan mencuci dapat dikatakan cukup bersih. Tidak ada air yang tergenang dan pasien menggunakan pompa listrik untuk mengambil air. Namun jarak antara sumur dan jamban pasien <10 m, sehingga kemungkinan resiko pencemaran sumur sangat mungkin terjadi. b. Kebutuhan bio-psikososial 1. Lingkungan biologis Kualitas kehidupan sehari-hari pasien dikatakan baik, karena pasien bisa melakukan semua aktivitas dasar seperti makan, minum, berjalan, membersihkan diri, mengontrol BAB dan BAK tanpa ada masalah dan tidak perlu bantuan. Dalam lingkungan biologis / keluarga pasien tidak ada yang mengeluh seperti pasien. Kemungkinan karena pertahanan imun mereka lebih baik dari pasien. 2. Faktor psikologi Walaupun anemia defisiensi besi merupakan penyakit yang mudah untuk sembuh, namun tetap diperlukan pengertian pasien akan penyakitnya dan penerimaan pasien akan penyakitnya yang perlu pengobatan yang teratur dan ketat terutama dari segi sanitasi dan kualitas gizi makan setiap hari. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan dukungan dari keluarga. Keluarga pasien tampaknya termasuk keluarga yang harmonis dan cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien dan keluarga sehingga pasien tidak memiliki masalah dalam hal emosi serta pemenuhan gizi setiap hari. pasien memperoleh cukup kasih sayang dan perhatian, dimana interaksi pasien dengan anggota keluarga yang lain cukup baik. Pasien pun dibantu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan saat sakit dan saat kontrol ke rumah sakit. Untuk dukungan emosional, pasien mendapatkannya dengan mudah karena dapat

berinteraksi secara langsung dengan semua anggota keluarga. Pasien selalu bisa berkomunikasi kapan saja dengan semua anggota keluarganya. 3. Faktor Sosial dan Kultural Hubungan pasien dan lingkungan sekitar terlihat cukup harmonis. Penderita juga terlibat dalam kegiatan PKK dan arisan di desanya. Keluarga dan lingkungan sekitar rumahnya mengerti dengan keadaan pasien sehingga memakluminya jika pasien tidak berpartisipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungannya saat pasien sakit. Saat ini, pasien sudah bisa berktivitas kembali, tetapi pasien sudah memutuskan untuk berhenti berdagang di pasar dengan pertimbangan faktor usia dan kesehatannya. Saat ini pasien sudah dapat aktif kembali dengan kegiatan di banjarnya sebagai ibu PKK. 4. Faktor Spiritual Dilihat dari faktor usia, pasien dan keluarga sebaiknya selalu mendekatkan diri terhadap Tuhan yang Maha Esa, agar menghindarkan diri dari pikiran negatif tentang penyakit pasien. Pasien sangat membutuhkan dukungan dari berbagai aspek termasuk spiritual agar mampu menjalankan hari tua yang sehat dan dengan bahagia. 3.4. Edukasi dan Saran 1. Pasien belum memahami mengenai penyakit anemia itu sendiri (etiologi, faktor resiko, hubungan gastritis akibat H. pylori dengan terjadinya anemia) a. Etiologi Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi besi, serta kehilangan besi akibat pendarahan menahun. Kehilangan besi akibat akibat pendarahan menahun apabila dikaitkan dengan pasien ini terutama disebabkan oleh penyakit pada saluran cerna berupa gastritis kronis erosiva. H pylori melekat pada mukosa lambung melalui mekanisme yang spesifik. Sekresi sejumlah besar urease (0.4 mM) menyebabkan lingkungan yang kaya urea berubah menjadi amonia, sehingga terjadi ameliorasi keasaman lambung. Beberapa jenis H pylori memiliki kemampuan spesifik untuk mengganggu metabolisme besi melalui pengikatan besi pada protein membran luarnya. Infeksi H pylori berdampak negatif pada komposisi cairan lambung, yitu penurunan

keasaman dan kandungan askorbat, di mana keduanya merupakan hal penting dalam absorpsi besi. Infeksi H pylori sendiri dapat disebabkan oleh banyak faktor namun dapat menular dari satu orang ke orang lainnya melalui saliva dan kontaminasi fekal. Infeksi H pylori begitu tinggi pada negara miskin dan berkembang yang dikarakteristikkan oleh pemukiman yang padat, kondisi sanitasi yang buruk, dan kurangnya air bersih. Higienitas personal merupakan hal yang sangat penting terutama dalam hal penyajian makanan yaitu rendahnya kebiasaan mencuci tangan yang baikdan benar yang menjadi sumber potensial infeksi. Dari segi faktor nutrisi, berupa kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik seperti makanan yang kaya akan serat, rendahnya kandungan vitamin C dalam makanan, dan rendah konsumsi makanan yang bersifat meat factor atau konsumsi berlebih bahat penghambat absorpsi besi seperti kopi yang banyak mengandung tanin serta serat. Rendahnya kandungan besi dalam makanan dan adanya peningkatan konsumsi faktor penghambat menyebabkan penurunan jumlah besi yang diabsorpsi oleh muksa usus yang berperan penting dalam proses eritropoesis. Oleh karena itu, saran yang bisa diberikan pada pasien ini adalah : Meningkatkan konsumsi makanan yang kaya akan kandungan besi dan bersifat meat factor serta vitamin C seperti meningkatkan konsumsi daging, sayuran yang kurang serat, buah-buahan yang kaya vitamin C seeprti pepaya, dan menurunkan konsumsi kopi. Kopi sendiri selain bersifat penghambat absorpsi besi juga dapat berperan dalam keparahan gastritis. Pada pasien ini, sangat dianjurkan untuk mempertahankan konsumsi makanan 3x sehari dengan gizi cukup sehingga menurunkan resiko terserang penyakit atau kambuhnya penyakit yang sama di kemudian hari.

Membiasakan diri untuk selalu mengkonsumsi vitamin C sebagai suplemen yang meningkatkan absorpsi besi dan melanjutkan suplemen besi yang telah diresepkan dari rumah sakit.

Beri saran kepada pasien untuk tetap menerapkan pola hidup sehat dan pola makan yang teratur. Beri tahu juga kepada pasien agar mengatur makanannya agar menjadi makanan seimbang dengan gizi yang cukup. Dan yang paling penting memberi tahu pasien untuk tidak lagi menerapkan pola diet yang salah, yaitu makan tanpa daging dan sayuran. Pola makan yang teratur ini dengan tujuan mempertahankan kondisi optimal dari pasien sehingga tidak kembali menderita penyakit yang sama.

Meningkatkan kualitas sanitasi diri dan rumah tangga pasien. Pasien dan keluarga dianjurkan untuk menjalankan program hidup bersih dan sehat dalam keluarga. Membiasakan diri sendiri ungtuk mencuci tangan setiap hari adalah faktor penting dalam mencegah penyebaran H. pylori. Pasien pun dianjurkan untuk selalu membiasakan diri mencuci tangan sebelum menyajikan makanan bagi anggota keluarga sehingga resiko penyebaran penyakit pada anggota keluarga yang lain dapat diminimalisasi.

Menganjurkan pasien dan keluarga untuk memasak air sebelum dikonsumsi dan sebaiknya mengganti konsumsi air minum isi ulang yang tidak terjamin sterilisasi dan kebersihannya. Sebaiknya keluarga mengkonsumsi air minum yang dimasak sendiri atau air minum isi ulang yang sudah diketahui standar kebersihannya.

b. Faktor Resiko Faktor resiko yang berperan dalam terjadinya anemia pada pasien ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya adalah dari segi makanan dan infeksi H. pylori yang bertanggung jawab dalam terjadinya gastritis kronis yang beresiko pendarahan kronis pada pasien. Faktor resiko lain yang berperan penting adalah usia pasien yang tua yang meningkatkan kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi akibat penurunan fungsi imun. Tingkat pendidikan dan kesadaran akan hidup bersih dan sehat pasien dan keluarga pun berperan penting dalam terjadinya penyakit ini.

Oleh karena itu, pada kunjungan rumah yang dilakukan ini, pasien diberikan penjelasan mengenai peran faktor resiko dan pentingnya menjalankan pola hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari pasien.Edukasi selain diberikan pada pasien, juga diberikan kepada anggota keluarga pasien terutam anak pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang baik. Diharapkan dengan pemberian edukasi ini terutama dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anggota keluarga terhadap proses terjadinya anemia dan penyakit yang berperan penting dalam perburukan anemia. c. Hubungan antara H. pylori, gastritis, dan terjadinya anemia. Penjelasan singkat mengenai hubungan antara anemia defisisensi besi dan H. pylori berhubungan dengan pangrastitis kronis yang menyebabkan terjadinya achlorhydria dan penurunan sekresi asam askorbat yang menyebabkan penurunan absorpsi besi intestinal. Penjelasan potensial lain yang menjelaskan hubungan antara anemia defisiensi besi adalah kehilangan darah akibat gastritis erosif dan sekuestrasi dan utilisasi besi oleh organisme H.pylori. Saran yang diberikan pada pasien dan keluarga adalah : Hal terpenting dalam memutuskan rantai penyebaran dan mencegah penyakit yang sama terulang adalah menjalankan pola hidup bersih dan sehat. Dengan dilakukannya pola hidup bersih dan sehat terutama menerapkan kebiasaan mencuci tangan , rantai penyebaran H.pylori dapat diputuskan. Kontaminasi air juga berperan penting dalam hal ini. Oleh karena itu, membiasakan untuk mengkonsumsi air yang dimasak dan tidak membeli air minum isi ulang yang sembarangan dapat meminimalisasi penyebaran H.Pylori. 2. Tingkat pendidikan pasien dalam kasus PBL ini dimasukkan dalam kategori pendidikan rendah. Pemahaman tentang penyakitnya sangat membutuhkan peran serta dari keluarga agar mencegah terjadinya penyakit yang sama terulang kembali. Pemberian edukasi pada pasien ini, selain kami berikan kepada pasien, kami juga memberikan edukasi terutama kepada suami dan anak pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang tergolong pendidikan tinggi. Edukasi yang kami berikan bersifat

melibatkan peran serta keluarga dalam menghadapi penyakit pasien. Walaupun penyakit pasien dapat disembuhkan, edukasi tentang faktor resiko dan pencegahan sekunder dan tersier juga merupakan hal yang penting. 3. Pasien jarang melakukan pemeriksaan rutin ke rumah sakit atau Puskesmas terdekat. Saran yang dapat diberikan kepada pasien dan keluarga adalah agar pasien memiliki jadwal rutin untuk mengontrol kesehatan di rumah sakit atau puskesmas terdekat. Terkait dengan penyakit yang dideritanya, pasien dianjurkan untuk menepati jadwal kontrol rutin ke rumah sakit Sanglah. Melihat usia pasien yang sudah separuh baya, deteksi dini penyakit lain terutama penyakit degeneratif adalah hal yang sangat penting sehingga terjadinya penyakit yang sama atau penyakit lain yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien dapat dicegah. 4. Jarak sumur dan toilet pasien <10 m, sehingga memungkinkan transmisi penyakit menular lainnya di samping infeksi H. pylori. Saran yang diberikan adalah air sumur hanya digunakan untuk mencuci dan keperluan rumah tangga lainnya. Sedangkan untuk konsumsi sehari-hari dan untuk keperluan memasak sebaiknya pasien dan keluarga menggunakan air PDAM atau air mineral saja yang harus dimasak.

BAB V KESIMPULAN Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. 1 Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Gejala ADB dapat digolongkan menjadi: gejala umum anemia yang disebut sebagai sindrom anemia dijumpai pada ADB apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging; dan gejala khas akibat defisiensi besi dan tidak dijumpai pada anemia jenis lain seperti: Koilonychia, Atropi papil lidah, Stomatitis angularis, disfagia, atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia. Pemeriksaan laboratorium yang penting untuk mengetahui adanya anemia defisiensi besi adalah dengan mengevaluasi kadar hemoglobin, indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC), RDW, kadar besi serum, kadar TIBC dan serum feritin. Pada perempuan dengan inisial IWW, 58 tahun, dan beralamat di Padang Sambian Denpasar, penyebab anemia yang terjadi disebabkan oleh adanya gastritis kronik erosiva yang disebabkan oleh infeksi H.pylori. Faktor resiko lain yang berperan penting adalah usia pasien yang tua yang meningkatkan kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi akibat penurunan fungsi imun. Tingkat pendidikan dan kesadaran akan hidup bersih dan sehat pasien dan keluarga pun berperan penting dalam terjadinya penyakit ini. Pemberian edukasi melalui praktek kunjungan rumah pasien adalah bersifat komperhensif. Melihat pasien bukan sebagai orang sakit saja dan mempertimbangkan semua aspek terutama faktor biopsikososial dan keluarga. Sehingga diharapkan, pasien tidak hanya mendapat perawatan di rumah sakit saja, tetapi juga dibekali ilmu terutama mengenai pola hidup bersih dan sehat yang bertujuan unuk meningkatkan pengetahuan dan kesaran pasien tentang pencegahan penyakit baik yang bersifat primer, sekunder, maupun tersier di kemudian hari.

3.5.

Foto Kunjungan

DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta, I Made. 2007. Hematologi klinis Ringkas. Jakarta. Penerbit buku Kedokteran: ECG. 2. Bakta, I. M., Suega, K., Dharmayuda, T. G., 2006. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Sudoyo, A. W., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4 Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 644-659. 3. Schmaier A.H., dan Petruzzelli, L.M., 2003. Hematology for the Medical Student. Philadelpia. Lippincott William & Wilkins. 4. Tjokroprawiro, Asnandar, dkk. Buku Ajar Penyakit Dalam . Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Airlangga. University Press. 2007. 5. Gisbert, Javier P. 2009. A guide to diagnosis of iron deficiency and iron deficiency anemia in digestive diseases. World J Gastroenterol October 7, 2009 Volume 15. 6. Malik, Ria. 2011. Effect of Helicobacter pylori eradication therapy in iron deficiency anaemia of pregnancy A pilot study. Indian J Med Res, August 2011. 7. Goddard, A F, et al. 2005. Guidelines for the management of iron deficiency anaemia. BSG Guidelines in Gastroenerology.

Anda mungkin juga menyukai