Anda di halaman 1dari 7

Menghapus Noda Akhir Desember 2012. Di sebuah kamar bercat putih.

Seorang gadis yang sudah tak gadis lagi meratap pilu di situ. Siapa saja yang mendengar ratapannya akan sesak dada dengan tiada duanya. Matanya merah sendu, sembab sebagai ditinju. Andai saja aku ikuti kata mereka. Andai saja aku bertahan. Andai saja aku tak sekolah di situ. Andai saja tak ada pertemuan dengannnya, itulah lirik batin yang menggundah dalam tangisnya. Semuanya pekat, sepekat langit Desember. ***** Terlalu biasa. Dia tahu abangnya sekolah di situ dan ayah-ibunya bangga. Dia terlalu polos. Berarti kalau dia sekolah di tempat yang sama dengan abangnya, itu artinya ayah ibunya juga akan sama bangganya. Di kampung, guru madrasah sore sering menasehati dia dan anak-anak lainnya tentang keutamaan berbakti pada orang tua dan kehancuran bagi mereka yang durhaka. Jangan bingung bila kadang-kadang nasehat itu ditambah-tambahi hingga kedengarannya mirip cerita dongeng tak berkelas. Di kampung mana saja memang seperti itulah tabiatnya. Menjelang keberangkatannya, kira-kira dua hari sebelum ayahnya memesan tiket bus, seorang kerabatnya datang dari kota. Dari cerita kerabatnya itu, ia jadinya tahu. Sekolah di tempat abangnya menimba ilmu, baginya bukan lagi tentang sebatas kebanggaan ayah-ibu. Di kota ada keramaian yang merayu. ***** Sudah setahun dia menderita. Selama itu pula dia nelangsa. Airmatanya bercucuran bila sedang sendiri. Ke beberapa temannya dia terkadang membuka kesedihannya tapi hanya setengahnya. Sedang pada orang lain, utamanya di depan murid-muridnya, dia berlakon ceria. Kenapa beibh?, tanya Sasmita Nggak papa. Biasa. Sasmita berujar lirih, Kelak cinta akan mencarimu. Kalau ingatannya merengsek sekenanya, di situ akan ada kenangan keberangkatan ke kota untuk pertama kalinya. Bila sudah demikian, dirinya akan utuh pada labirin penyesalan. Dalam diam dia berteriak, dalam sunyi ingin dihardik dan dibinasakannya bajingan itu. Tapi apa daya, rahasia jiwa perempuannya selalu kalah pada akhirnya. ***** Yang dia pahami, siapa saja yang belajar baik-baik selama sekolah kelak akan dapat pekerjaan yang baik pula. Dia terkagum-kagum dengan bibinya yang jadi perawat. Dan peraturan di negeri ini, untuk jadi perawat harus menempuh jenjang SD, SMP, dan SMA terlebih dahulu. Maka ketika teman-teman se-asrama sudah mulai mematut diri di depan kaca, dia masih setia dengan prinsipnya; dia hanya ingin sekolah. Seberapa kuatpun manusia mengusahakan kebohongan pada dirinya, kelak dia akan jenuh juga, bila masanya sudah tiba. Mempura-purai diri hanya menahan momentum, bukan

menghentikannya dari kedigdayaan. Tepat setelah duduk di bangku SMA di yayasan yang sama dengan SMP-nya, dia mulai merasai rasa itu. Bukan si Fajrul, si Hadi, atau si Hotman. Bukan salah satu dari mereka yang sering guyon ceria dengannya. Si Harlen! Anak baru. Alumni pesantren tiga tahun. Kepada si Harlenlah hatinya berlabuh. Riak manis itu disimpannya sampai tempat paling tersembunyi di lubuk hati. Selain malaikat yang menyertainya, tak seorangpun tahu tentang rona merah jambu itu. Walau pipinya sering bersemu merah saat bersua dengan si bajing Harlen, orang-orang terlalu tolol untuk menyadari. Andai saja mereka sadar, mungkin sekarang dia takkan hidup dengan getir-getir kekecewaan. Begitulah, dia simpan agar tidak kecewa, tapi keadilan nasib mengantarkannya pada penyesalan. Si bajingan Harlen, yang otaknya titisan Dajjal, diam-diam telah merencanakan sesuatu seketika dia tahu rona merah jambu tertuju padanya. Siasat licik. Entah dari siapa dia belajar mengendus kedalaman jiwa wanita. ***** Kalau tidak salah, waktu itu tahun 2008. Setelah tidak saling melihat selama hampir lima tahun, kami bertemu pada sebuah acara silaturrahim alumni di Medan. Sebelum pertemuan yang menyisakan irama dag-dig-dug dihatiku itu, hari-hari kulalui dengan pendalaman materi keislaman di mushalla kampus. Selama hari-hari penuh berkah itu, perjumpaan antara naluri dan ghiroh1 mengantarkanku mendamba sosok Aisyah. Syukurnya, dawai penasaran itu akhirnya tandas juga. Bila Aisyah selalu lahir di setiap zaman, tidak salah lagi, di zaman ini dialah orangnya! Pipinya bersemu merah saat dia tertawa. Aura wajahnya memancarkan cahaya surga. Aku tidak sedang mengada-ada. Memang seperti itulah adanya. ***** Siapakah yang patut dipersalahkan bila seorang bujang yang ingin menikah terkendala jadinya karena ketiadaan biaya? Bujang itu, atau pemerintah yang berkuasa? Orang awam yang dungu pasti menyalahkan si Bujang. Itulah yang aku dapatkan dari nasehat busuk orang-orang. Sebelum mendapat Aisyah cari maisyah2 dulu, begitu kata mereka. Padahal di Surah An-Nur ayat 32 telah terang dijelaskan: Nikahkanlah..! Walau aku juga mengamini pendapat orang dungu dengan ragu-ragu, hasratku terlalu tegar untuk ditimpuki. Dia yang teramat sholehahnya, bayangannya telah menari-nari di pelupuk mataku. Kibaran jilbabnya meliuk-liuk di kedalaman jiwaku. Pipi yang bersemu merah kiranya mengkilap dalam rinai-rinai patriotisku. Lalu, kugelapkan alam; kusampaikan kerinduan pada sang Aisyah. Kak, aku ingin menikah denganmu. Sekarang. SMS itu tak berbalas. Setengah jam setelahnya, ku beranikan menekan nomornya. Tuut...tut...tut... Lima panggilan tak terjawab. Bangunan kenekatanku berakhir dengan pertanyaan menggantung. Aku tak ingin gaibnya derita merasuki seluruh relung jiwa. Kujawab sendiri: dia menolak. *****

Kamar yang selalu bersih dari kencing setan itu tiba-tiba dinodai asap laknat yang mengembul dari mulut dan hidung si Harlen. Dialah alumni pertama yang menggagas ketergantungan terhadap rokok. Dari mulut busuknya, di kamar itu dia sedang menelurkan teoriteori kedurjanaan di depan beberapa juniornya. Eteng, kau contoh abang kau ini. Kau harus berbaur dengan siapa saja. Semua orang itu sama. Kalau sudah banyak teman, cewek-cewek bakalan suka sama kau nanti. Aku sudah buktikan. Kalau milih cewek, pilih yang tajir, kau kan ngekos di sini. Kalau nggak tajir minimallah kau timbang-timbang, mau nggak dia itu nyuci sempakmu? Walau bukan objek ceramah si keparat itu, di depan tivi lamat-lamat telingaku masih sanggup menangkap ocehannya. Perutku terasa dipelintir. Mau muntah. ***** Iya plen, nih lagi sibuk ngerjain makalah. Boringggg.. Ya udah, nyantai aja. Jaga kesehatan. Tidur yang cukup. Di lain kesempatan, seperti ini komen mereka di facebook: Udah bobo, plen? Hope u have sweet dream. Udah. Nih lagi mimpiin kamu. Kwkwkwk. Jingga memerah dan pelangi menyemai duri. Memenuhi kaidah gravitasi Newton, kedua anak manusia berlainan kutub itu pada sebuah tengah petang mentari, kimia jiwanya menyatu satu sama lain. Terlalu dini sebenarnya untuk sebuah cinta kamuflase. Alah, lagi-lagi ironi negeri ini terpampang di depan mataku. Dia yang sholehah, garda terdepan aktivis pergerakan keislaman seSumatera Utara, menjalin affair dengan si bangsat Harlen, perokok berat, peminum, penipu dan tukang rusak anak-bini orang. Siapa sangka? ***** Kala cinta melanda, dunia serasa milik berdua. Kalau cinta bicara, tahi kucing rasa coklat, tahi kambing jadi azimat. Saat kisah-kasih keduanya menyeruak ke permukaan, tak tertutupi lagi, seluruh stakeholder rame-rame bergerilya. Visi mereka hanya satu: Memisahkan cinta yang tak pantas. Berlari estafet mereka itu menasehati dirinya. Berlari kencang pula dia menghindar. Cinta itu terlalu dalam. Kalau memang sudah siap, nih ada ikhwah3 yang bersedia. Pegawai pertamina, alumni ITB. Hapalannya lima juz., kata ustazah Saidah sewaktu keduanya makan bakso di gerai KQ5. Ingat Ti! Harlen itu begundal., begitu semua temannya mengingatkan. Tapi tak mempan. Alur pikirnya sudah tidak kompak dengan semburat hatinya. Dalam sangkaan Tuti, mereka cemburu berat. Dia mantap untuk menjauh. Sayang sekali. ***** Sulit rasanya mendamaikan hati dengan akal. Kemesraan mereka yang diumbar di sosial media secara masif dan berlebihan telah menyisakan sayatan sembilu di dadaku. Mengurut dada.

Itulah yang kulakukan acap kali mataku menjumpai status cinta keduanya. Kalimat-kalimat picisan itu seakan melecehkan kelemahan diriku. Simpul-simpul e-motion lucu yang sesekali nongol di komentar-komentar genit mereka, pada intinya adalah tawa membahak atas kekalahanku. Walau kenyataannya bukan seperti itu, namun aku tak cukup kuat buat jadi seorang kesatria. Aku tak tahan, kuputuskan pertemanan dengannya di semua sosial media yang kami bersamai. Aisyah sudah mati! ***** Jangan sekali-kali mengira sunnatullah akan ingkar! Ketetapan yang berlaku atas orang pacaran di ujung waktu hanyalah perzinaan! Setebal apapun imanmu, sebaik apapun kualitas ibadahmu dan secerdas apapun emosimu, kelak bila kau seorang lelaki kau akan menzinai pacar wanitamu. Sebaliknya bila kau wanita, kelak rasa malu untuk membuka aurat di hadapan pacarmu, akan dilucuti naluri dan setan, hingga akhirnya rasa malu itu beralih jadi nafsu yang membakar. Kecuali Tuhan menghendaki cerita lain; kalian menikah di tengah jalan sesat pacaran. Ketika ketetapan itu sempurna menimpanya, akulah satu-satunya orang yang tahu duduk perkaranya. Kalau kau kaitkan dengan perpisahan kami yang sudah empat tahun, kenyataan ini mungkin akan aneh bagimu. Akan semakin aneh kalau kau tahu kami terpisah sejauh ribuan kilometer. Jangan kau tanya kenapa bisa. Itu menjadi rahasia kami, dan tidak terlalu penting kau tahu jalan ceritanya. Mulanya kakak kira dengan seperti itu dia akan berubah jauh jadi lebih baik. Awalnya iya, namun jauh dari harapan akhirnya. Setelah pacaran selama lebih dua tahun di penghujung tahun 2011, kami melakukan perbuatan terkutuk itu. Mengingatnya, kakak sangat jijik dengan diri sendiri. Menyesal. Tapi kakak ingin memperbaiki semuanya. Selepas kejadian memalukan itu, kakak memintanya untuk menikahi kakak, tapi dia tidak mau. Sejak saat itu hubungan kami kacau balau. Sekarang dia entah di mana. Kakak sangat menderita dek. Mengapa dia sebegitu tega dek? Apakah semua laki-laki seperti dia? Bagaimana kakak nanti menjelaskan sama suami kakak? Aku masih diam. Ternyata tidak gampang menghadapi predeksi buruk yang jadi kenyataan. Tolong jangan diam dek. Bicaralah. Sekarang kakak ingin sendiri. Kakak teramat takut bertemu laki-laki. Isak tangis terdengar di seberang telepon. Aku masih mencoba menguatkan tubuhku yang bergetar. Dek sebenci apakah Allah kepada kakak? Bagaimana kalau kakak mati saat ini? Dek, kakak sangat takut. Hiks. Hiks. Air mataku tak dapat kutahan untuk tidak mengalir. Shock, pusing, marah berkelindan satu sama lain. Dont crying for split milk. Jangan tangisi susu yang tertumpah kak. Melakukan kesalahan itu tabiat manusia, besar atau kecil. Memang penting untuk tidak melakukan kesalahan, tapi jauh lebih penting untuk melakukan perbaikan. Kembalilah kak. Kembalilah ke dunia dakwah. Bila kekejaman cinta telah melukaimu, di lingkaran dakwah ada cinta yang mengobati. Kami merindukanmu. Akan halnya suami, kakak tidak usah risau. Tidak ada hubungannya antara status

kesucian dengan jodoh. Nyatanya, banyak wanita yang sholehah hingga kepala empat belum juga menikah. Banyak juga mantan wanita malam yang akhirnya menikah dan membangun keluarga dengan begitu bahagianya. Jodoh itu sudah tertulis di lauhl mahfudz. Ketika waktunya tiba, sang jodoh akan ikhlas menerima kakak apa adanya. Yang penting keterus-terangan. Tidak semua lakilaki memuja keperawanan. Kini dia yang terdiam. Hanya helaan nafasnya yang kudengar. Allah Maha Pengampun. Walau seluas langit dan bumi ukuran kesalahan itu, keampunannya selalu tersedia. Bersegeralah menuju cahaya-Nya. Hanya dengan itu kebencian-Nya akan memudar. Fokuslah dalam usaha merengkuh cinta-Nya, jangan meratap pada kebencian-Nya. Dan untuk mencapai itu, keistiqomahan ibadahlah sarananya. Agar istiqomah, kembalilah ke dunia dakwah. Kembalilah ke lingkaran cinta orang-orang sholeh. Aku sengaja diam sebentar. Dia perlu waktu meresapi perkataanku. Hentikan impian berumah tangga dengan si Harlen! Hentikan itu! Tak ada yang bisa diharapkan dari seorang laki-laki pengecut seperti dia. Saat ini kakak menderita karena kebiadabannya, kelak akan jauh lebih menderita bila berumah tangga dengannya. Alangkah naifnya kak! Alangkah naifnya mendamba sosok yang terbukti pernah menggiring kakak dalam kesesatan. Terima kasih dek. Sekarang kakak lebih nyaman. Lega rasanya. Kakak akan coba kembali dek. Kakak merindukan ketenangan empat tahun lalu Oh iya kak. Saya harap cukup kita berdua saja yang tahu. Jangan sampai orang tua, sanak saudara, dan orang lain tahu kak. *** Beberapa masa setelah perbincangan itu. Duhai rindu.. Pada siapa mengadu. Itulah salah satu bunyi status twitternya. Lain waktu bunyinya seperti ini, Tuhan, peluk aku. Candai aku dengan kasihMu. Begitu berulang-ulang. Sangat labil. Ah, andai dia tahu kelabilannya telah membeban di sanubariku, barangkali dia takkan seperti itu. Dia akan pura-pura tegar. Sungguh deritanya telah menyatu dalam pusaran pikiranku. Ketika kulihat foto wisudanya bersama ayah tercinta yang diunggahnya, menetes airmataku. Wajah orang tua paruh baya itu menyiratkan kebanggaan sekaligus ketidaktahuan. Bagaimana kalau sampai beliau tahu petaka yang menimpa puterinya? Alangkah susahnya! Aku teringat ayahku. Aku teringat adik perempuanku. Semakin menjadi-jadilah masalah si kakak berputar-putar di kepalaku dan meriak-riak di jiwaku.

Ketika sudah memuncak, pada pertemuan pengajian pekanan yang setia kuikuti sejak SMA, kutumpahkan semuanya pada Kang Yana, ustadz pembinaku. Dalam nuansa penuh berkah itu ia haturkan pendapatnya, Kalau memang dia sudah taubat dan bertekad untuk kembali ke jalan dakwah, sebaiknya antum kuatkan saja. Nikahi dia. Peluang emas akhi5! Rasul telah bersabda, Barang siapa yang dengan perantaraan tangannya seseorang menjadi baik, maka itu lebih baik dari dunia beserta langit seisinya. Di lain hadist, ...Itu lebih baik dari unta merah. Sebagai orang yang sudah terbina keislamannya, sudah sepantasnya kita mengurangi ukuran-ukuran duniawi dalam menilai sesuatu. Tapi semuanya ane6 kembalikan ke antum.
4

***** Dari istikhoroh yang aku jalani, Allah mengokohkan azzam7ku untuk membina dia yang ternoda. Sebuah melodi melankolis menada di kalbuku. Seperti ini: Mungkin inilah rahasia Allah menunda pernikahanku. Tiga kali ditolak jelas sudah bukan karena apa-apa. Toh aku sekarang hidup mapan. Tampangku juga tidak terlalu jelek walau sulit untuk disebut ganteng. Lebih baik dari dunia dan seisinya, lebih baik dari unta merah. Dengan penuh semangat, nyanyian melankolis itu kutukar jadi irama cadas kehidupan dalam batin, Kakak, akan kucinta kau sepenuh hati. Bersama cintaku, kelak kau akan kembali menjadi Aisyah. Insya Allah. Dengan mantapnya, kupanggil sebuah nama dalam daftar panggilan HPku. Tut.. tut..Nomor yang anda hubungi sedang sibuk. Sebelum kutekan tombol panggilan untuk kedua kalinya, sebuah nama nongol di layar HPku, Bang Adi Suhendra, Barakallahu adinda, Zahra bersedia menikah denganmu. Datanglah ke rumah, segera. Dunia seakan berhenti berputar. Setiap bunyi hilang ditelan alam. Aku tertawa, tanpa makna.

Bandung, 12/04/13 Di langit semua tertulis.

Catatan kaki: 1. semangat

2. penghasilan 3. laki-laki 4. kau 5. saudaraku 6. aku

Anda mungkin juga menyukai