Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN1,2,3,4,5

Sepanjang sejarah, para klinisi memiliki berbagai macam catatan kasus dimana suatu kejadian yang traumatik bagi seseorang dapat menyebabkan gangguan psikologi yang berat. Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 dimana ada beberapa kejadian seperti kecelakaan kereta api, perang dunia, dan pembantai secara massal menyebabkan berbagai gejala yang berkaitan dengan reaksi stress traumatik. Beberapa gejala ini antara lain berupa respon lambat dari seseorang, depresi, fobia, perasaan bersalah, jiwa yang kosong, iritabilitas, gangguan konsentrasi dan memori, gangguan tidur, mimpi yang penuh penderitan,dan berbagai macam gejala pada fisik (somatik). Setelah berbagai macam peristiwa yang traumatik, seperti bencana alam tsunami, gempa bumi, gunung berapi meletus, perang dan lain sebagainya menyebabkan kasus post traumatic stress disease ini semakin banyak jumlahnya. The National Institute of Mental Health (2008) menyatakan bahwa 2,5 juta per tahun orang dirawat di rumah sakit setelah mengalami peristiwa traumatik. Di Indonesia sendiri belum ada penelitian khusus tentang PTSD ini, namun Indonesia merupakan negara yang cukup sering mengalami bencana alam oleh sebab itu diperkirakan banyak kasus PTSD yang terjadi. Maka dari itu kasus PTSD ini sangat penting untuk dibahas karena jumlahnya yang banyak dan gejalanya yang mirip dengan penyakit lainnya. Di Indonesia maupun negara lainnya, PTSD seringkali terluput dari perhatian para dokter sendiri, oleh sebab itu saya sebagai penulis tertantang untuk membahas tentang PTSD ini. Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menggambarkan PTSD antara lain fright neurosis, combat/war neurosis', shell-shock', survivor syndrome', and nuclearism'. Berbagai macam peristiwa seperti kehilangan seseorang yang dicintai atau disayangi, kehilangan salah satu anggota badan, kehilangan kemandirian, kehilangan hewan peliharaan, ataupun keguguran dapat membuat suatu keadaan krisis dan membuat perasaan seseorang menjadi hancur. Semua rasa dukacita yang mendalam tersebut dapat menyebabkan penurunan kondisi psikis dari seseorang ataupun menghambat perkembangan psikis dari seseorang. Berdasarkan American Psychological Association, PTSD adalah gangguan cemas yang dapat terjadi setelah terpapar oleh suatu peristiwa yang sangat buruk atau suatu ujian
1

berat dimana nyawa seseorang terancam. Peristiwa traumatik dapat menjadi penyebab PTSD. DSM IV-TR mendefinisikan peristiwa traumatik sebagai kejadian yang melibatkan ancaman kematian atau luka yang berat, atau ancaman terhadap keutuhan anggota badan seseorang dan hal tersebut menyebabkan seseorang menjadi sangat takut serta merasa tidak tertolong lagi. Tipe dari berbagai macam kejadian trauma antara lain perang militer, kecelakaan lalu lintas, pelecehan seksual, kekerasan, serangan teroris atau pernah menjadi sandera, bencana alam, ataupun kehilangan seseorang yang dicintai secara mendadak. Stressor disini bukan hanya didefinisikan stressor yang berat, tetapi stressor yang benar-benar ekstrim. Contoh dari stressor yang berat namun tidak ekstrim antara lain kehilangan pekerjaan, perceraian, gagal dalam akademis, ataupun kematian yang sudah dapat diperkirakan dari seseorang yang dicintai.

BAB II POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER (GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA)

Definisi1,5,7,8 Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dapat didefinisikan sebagai gangguan cemas yang terjadi setelah seseorang terpapar oeh suatu peristiwa yang sangat buruk, dimana peristiwa tersebut melemahkan fisik dan mental serta timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.

Epidemiologi1,2,4 The National Institute of Mental Health (2008) menyatakan bahwa 2,5 juta per tahun orang dirawat di rumah sakit setelah mengalami peristiwa traumatik. Pada penelitian yang dilakukan di United States, Kessler et al menemukan bahwa 60,7 % dari laki-laki dan 51,2 % dari wanita mengalami sedikitnya 1 peristiwa traumatik yang memenuhi kriteria DSM-IIIR dalam seumur hidupnya. Tipe dari trauma yang paling sering adalah melihat seseorang dibunuh atau cedera berat, kecelakaan, dan terperangkap dalam peristiwa kebakaran, banjir, atau bencana alam. Dengan menggunakan definisi trauma berdasarkan DSM IV, Stein et al menemukan 81,3 % dari laki-laki dan 74,2 % dari wanita mengalami PTSD. Kematian yang mendadak dari seseorang yang dicintai merupakan penyebab yang paling banyak ditemukan. Prevalensi dari PTSD lebih rendah di beberapa negara seperti Iceland atau Hongkong. Hal ini disebabkan karena pada kedua negara tersebut, paparan terhadap perang dan bencana alam lebih kecil sehingga prevalensi dari PTSD juga lebih sedikit. PTSD akan lebih banyak ditemukan di negara-negara berkembang dan negara yang banyak mengalami bencana alam daripada populasi dunia secara umum.
3

Penelitian di Michigan (USA) pada tahun 1989 (Breslau et al) dengan sampel dewasa muda mengatakan bahwa sekitar 39,1 % dari responden mengalami setidaknya satu kali peristiwa traumatik di dalam hidupnya. Peristiwa traumatik yang paling sering ditemukan adalah kecelakaan mendadak ataupun kecelakaan yang sangat parah (9,4 %), kekerasan fisik (8,3 %), ataupun melihat seseorang terluka parah ataupun melihat suatu pembunuhan (7,1 %), dan terakhir adalah kabar mengenai kematian mendadak dari seseorang yang sangat dicintai (5,7 %). Penelitian di Michigan (USA) pada tahun 1990-1992 (Breslau et al) dengan sampel para ibu, prevalensi terjadinya peristiwa traumatik adalah sebesar 40 %.

Etiologi1,3,8 Penyebab dari penyakit PTSD adalah peristiwa traumatik. Dalam bahasa sehari-hari, traumatik merupakan bahasa yang dipakai untuk menggambarkan situasi yang tidak mengenakan, situasi yang membuat orang menjadi kesal, seperti contohnya perceraian, kehilangan pekerjaan maupun gagal dalam suatu ujian. Namun, definisi peristiwa traumatik berdasarkan DSM-IV suatu peristiwa traumatik didefinisikan sebagai orang yang mengalami atau melihat atau berkonfrontasi dengan peristiwa yang mengancam jiwa, ataupun luka yang sangat serius seperti kehilangan anggota tubuh. Kriteria stressor dari DSM-IV masih diperdebatkan. Beberapa penelitian mengatakan bahwa sangat penting untuk memasukan respons emosi seseorang terhadap stressor traumatik. Ada penumpukan emosi selama peristiwa traumatik dan hal tersebut menyebabkan PTSD. Sebagai contoh prajurit tentara pelaku tindak kekerasan pada saat perang Vietnam. Para prajurit yang melihat ataupun ikut melakukan pembunuhan tahanan dan melihat mayat yang dimutilasi berulang kali ternyata banyak yang mengalami PTSD. Para prajurit ini tidak terancam jiwanya, namun oleh sebab penumpukan emosi melihat pembunuhan manusia secara tidak bermoral juga dapat menyebabkan seseorang mengalami PTSD. Faktor pekerjaan juga sangat berpengaruh terhadap resiko timbulnya PTSD. Pekerjaan yang berhubungan dengan kemiliteran lebih mungkin untuk menderita PTSD daripada orang yang berkerja sebagai pegawai kantoran. Pekerjaan yang lebih beresiko untuk menjadi penyakit ini antara lain petugas pemadam kebakaran, petugas militer, petugas kesehatan, polisi, petugas yang bertugas untuk mencari dan membebaskan, orang yang membantu dalam bencana alam, dan psikoterapis.
4

PTSD juga dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit lain. Orang yang mengalami peristiwa traumatik mempunyai resiko 6 kali lebih besar untuk bunuh diri, 2 kali lebih besar untuk mengalami depresi, peningkatan resiko untuk menjadi skizofrenia, 26 kali lebih besar untuk mengalami penyakit fisik, 37 kali lebih besar untuk menjadi gangguan cemas, dan 6,5 kali lebih besar untuk jatuh terhadap alkohol. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu : 1. Adanya trauma masa anak-anak 2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial 3. System pendukung yang tidak adekuat 4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik 5. Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi 6. Persepsi lokus kontrol eksternal 7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan.

Patofisiologi3,5,9 PTSD merupakan penyakit yang kompleks dan terkadang menjadi gangguan kronis yang bisa ditemukan bersamaan dengan gangguan yang lainnya. Setiap orang mempunyai kapasitas maksimal untuk mengatasi suatu peristiwa traumatik. Oleh sebab itu, tidak semua orang yang mengalami suatu peristiwa traumatik menderita penyakit PTSD. Gejala PTSD mengindikasikan bahwa kapasitas maksimal seseorang (yang dapat berupa respons emosional dan sistem kognitif) sudah terlampaui. Ketika seseorang takut, maka sistem tubuh akan merespons dengan fight or flight, tubuh akan melepaskan hormon adrenalin dan hormon ini bertanggung jawab atas kenaikan tekanan darah serta peningkatan detak jantung dan meningkatkan glukosa dalam otot. Setelah bahaya ataupun keadaan traumatik berlalu, maka tubuh akan menyetop respons stres dan proses ini melibatkan pelepasan hormon yang lain yaitu hormon kortisol. Jika tubuh seseorang tidak menghasilkan hormon kortisol yang cukup untuk menyetop proses flight atau reaksi stress, maka orang tersebut akan terus menerus merasa stress yang merupakan efek dari hormon adrenalin. Para pasien dengan PTSD terkadang mempunyai tingkat hormon katekolamin lebih tinggi dari normal dan hormon kortisol yang
5

lebih rendah dari normal. Kombinasi dari keduanya menciptakan kondisi untuk PTSD muncul. Setelah hormon stress meningkat dan hormon kortisol yang rendah lebih dari sebulan, maka seseorang akan merasakan perubahan fisik seperti peningkatan pendengaran. Perubahan fisik yang bertahap ini seharusnya disadari oleh para klinisi dan menjadi kunci untuk mengobati PTSD secara dini. Beberapa penelitian menemukan natrium laktat dapat menginduksi gejala flashback dalam serangan panik pada tentara perang yang menderita gangguan panik dan PTSD secara bersamaan maupun PTSD sendiri tanpa gangguan panik. Penelitian tersebut juga mengatakan kadar hormon kortisol yang rendah dan epinefrin yang tinggi pada pasien PTSD. Agonist yohimbine pada PTSD. Yohimbine merupakan zat yang dapat meningkatkan tekanan darah, detak jantung dan juga merupakan zat yang dapat menyebabkan cemas. Pada pasien yang mengalami flashback, kadar zat ini ditemukan lebih tinggi dari orang normal. Kelainan dari sistem opioid adalah karena beta endorphin dalam plasma berkurang. Pasien dengan PTSD kronik menunjukan respon yang baik terhadap analgesik nalokson. Hal tersebut diduga karena hiperegulasi opioid mirip dengan beta endorphin dalam sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal. Aksis dari hipotalamus-pituitari-tiroid hanya mempunyai sediki penelitian pada PTSD. Tentara dengan PTSD mempunyai kadar hormon T3 yang lebih tinggi dari orang normal. TSH yang berespons secara berlebihan juga ditemukan pada PTSD. Namun korelasi antara FT3, T3 total dan T4 total dan PTSD ditemukan. Kenaikan hormon tiroid memnyebabkan gejala hiperarousal pada PTSD.

Klasifikasi PTSD1,6 Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ-III, PTSD dimasukkan dalam kelompok F43 dimana PTSD dimasukkan dalam reaksi terhaap stress berat dan gangguan penyesuaian. DSM-IV mengklasifikasikan PTSD dalam gangguan cemas berdasarkan gejala klinis, respons psikologi, latar belakang keluarga, dan paparan terhadap obat-obatan dan obat serotonergik yang dihubungkan dengan gangguan cemas lainnya.

Kriteria Diagnostik4,6 Dalam DSM-IV, trauma PTSD digambarkan sebagai seseorang yang terpapar oleh peristiwa traumatik yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Orang yang mengalami, melihat atau terlibat dengan peristiwa yang mengancam nyawa ataupun luka yang serius, atau mengancam keutuhan badan diri sendiri ataupun orang lain. 2. Respons seseorang yang meliputi ketakutan, keputusasaan, atau kengerian. Peristiwa traumatik seperti yang sudah dijelaskan dalam pendahuluan merupakan peristiwa yang mempunyai karakteristik sebagai berikut : Seseorang harus terpapar oleh peristiwa tersebut Peristiwa tersebut dapat dialami oleh dirinya sendiri Peristiwa tersebut dapat merupakan pengalaman orang lain namun orang tersebut menjadi saksi mata (melihat peristiwa yang dialami oleh orang lain) Perbandingan antara kriteria diagnostik DSM-IV dan ICD 10 ada pada lampiran tabel 1. Berdasarkan PPDGJ-III kriteria diagnostik PTSD antara lain : 1. Diagnosis baru ditegakkan jika gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tida didapat alternatif katagori gangguan lainnya. 2. Sebagai bukti tambahan lainnya selain tauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks). 3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. 4. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori

F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

Gambaran Klinis dan Diagnosis 1,2,5,7 Sebagai contoh dari PTSD, ada beberapa kasus yang dapat menjadi ilustrasi gambaran klinis dari PTSD. Seorang laki-laki berumur 55 tahun datang ke IGD dengan depresi dan ingin bunuh diri. Pasien ini merupakan mantan tentara Vietnam dan klinisi menanyakan riwayat kemiliterannya. Ketika ditanya pasien menangis dan mengatakan bahwa dirinya baru saja bertemu dengan istri dari sahabat lamanya sewaktu di medan perang dimana sahabatnya tersebut meninggal akibat ledakan ranjau di depan matanya sendiri ketika di Vietnam. Sejak saat ia bertemu dengan istri dari sahabatnya tersebut peristiwa meninggalnya sahabatnya tersebut terus menerus terulang dan tidak dapat berhenti ia pikirkan. Setiap malam pasien bermimpi buruk tentang peristiwa tersebut. Sehari-hari pasien terus teringat akan peristiwa tersebut dan perasaan bersalah yang sudah terkubur selama bertahun-tahun tersebut kembali muncul. PTSD dapat menetap dan mungkin saja datang ke IGD psikiatri selama waktu krisis walaupun peristiwa traumatik sudah bertahun-tahun yang lalu. PTSD tidak jarang datang dengan keluhan lain seperti depresi, gangguan cemas, dan penyalahgunaan obat. Pasien juga dapat datang dengan keluhan somatik dan sikap agresif seperti pikiran ingin bunuh diri atau membunuh orang lain ataupun dalam bentuk fobia. Gejala yang khas dari PTSD adalah gejala yang mengulangi peristiwa traumatik. Pasien secara tidak sadar memikirkan pengalaman dari berbagai macam peristiwa traumatik yang pada akhirnya membuat pasien stress. Hal ini meliputi flashbacks dimana orang terebut merasa seperti kembali ke masa dimana peristiwa traumatik tersebut terjadi, mimpi buruk tentang peristiwa traumatik tersebut, dan gambaran ataupun perasaan dari orang tersebut ketika mengalami peristiwa traumatik tersebut. Sebagai contoh lainnya, wanita yang dulu pernah diserang oleh pelaku tindak kekerasan sering melihat pelaku tindak kekerasan melihat kotak pos wanita tersebut. Kemudian ada seorang pria yang pernah mengalami kecelakaan mobil sering mendengar
8

suara waktu mobil menabrak. Hal ini merupakan bagian-bagian dari peristiwa traumatik yang muncul kembali dan membuat seseorang tidak nyaman, menjadi stress dan pada akhirnya sering timbul berbagai macam keluhan, pada badan, gejala depresi maupun gejala gangguan cemas. Secara umum, gejala klinis dari PTSD dibagi menjadi 3 bagian yaitu reexperiencing symptoms (gejala yang berupa pengulangan peristiwa traumatik), avoidance symptoms (gejala yang menghindari), dan hyperarousal symptoms (gejala yang berupa penimbulan berlebihan). Dalam anamnesa, orang yang mengalami gejala pengulangan lebih mudah untuk dikenali daripada kedua macam gejala yang lain. Reexperience symptoms Gejala-gejala ini dapat muncul dalam berbagai macam bentuk. Dikatakan gejala pengulangan jika peristiwa traumatik berulang-ulang muncul secara terus menerus dalam berbagai cara, seperti : Pengulangan kembali berbagai peristiwa, termasuk gambar, pikiran atau persepsi Pengulangan kembali dalam bentuk mimpi Pengulangan kembali tingkah laku atau perassaan ketika peristiwa traumatik tersebut terjadi (termasuk merasakan pengalaman, ilusi, halusinasi dan flashback yang terpisah, yang terjadi pada waktu sadar maupun ketika mabuk) Perasaan yang berlebihan ketika melihat suatu simbol yang mewakili beberapa aspek dari peristiwa traumatik Perasaan tertekan ketika melihat suatu simbol yang mewakili beberapa aspek dari peristiwa traumatik Dalam gejala pengulangan ini ada beberapa hal yang penting dan menjadi karakteristik dari gejala ini antara lain : Orang yang terlibat tidak mempunyai kontrol atas munculnya gejala (tidak dapat dicegah) Pengulangan dari penglihatan tersebut merupakan peristiwa yang dulu memang pernah terjadi

Kualitas dari penglihatan yang terjadi pada dasarnya berbeda dari cerita sesungguhnya (ada beberapa detail yang mungkin tidak diingat dan kekosongan ingatan tersebut dibentuk kembali dalam cerita lain)

Kebanyakan dari gejala ini muncul kembali secara berulang dan biasanya terjadi pada saat pasien sedang beristirahat, seperti sebelum tidur, ketika seseorang sedang dalam keadaan yang tenang, ia dikejutkan dengan melihat kembali peristiwa yang buruk tersebut. Biasanya, peristiwa terebut juga muncul pada mimpi pasien. Hal ini dapat ditanyakan pada pasangan tidur dari pasien dimana pakaian pasien menjadi basah dan gangguan tidur seperti berbicara pada saat tidur. Sikap seseorang yang berlebihan pada saat melihat suatu tanda yang dapat menggambarkan peristiwa traumatik tersebut juga dapat menjadi salah satu ciri khas dari gejala ini. Sebagai contoh, seseorang yang selamat dari kecalakaan pesawat menjadi murung ketika melihat pesawat melintas. Setiap bagian dari peristiwa traumatik seperti suara, warna, gambar, dan lainnya dapat menjadi penyebab dari ketakutan seseorang. Hal ini disimpulkan sebagai PTSD dan gangguan cemas lainnya. Avoidance Symptoms Gejala-gejala ini meliputi penghindaran yang menetap dari semua yang berhubungan dengan trauma dan respons yang kosong (gejala ini tidak ada sebelum trauma) dan mempunyai karakterisitik sebagai berikut : Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan maupun percakapan yang

berhubungan dengan trauma Usaha untuk menghindari aktifitas, tempat maupun orang yang berkaitan dengan trauma Ketidakmampuan untuk memanggil aspek penting dari trauma Dengan jelas mengurangi minat ataupun partisipasi dalam aktifitas yang berhubungan dengan trauma Perasaan memisahkan diri atau menjauhkan diri dari yang lain (menjadi tidak mau bergaul dengan orang lain) Afek yang terbatas (sebagai contoh tidak dapat mempunyai perasaan cinta) Perasaan dari masa depan yang suram (sebagai contoh tidak berharap untuk berkarir, menikah, anak atau hidup yang normal)

10

Hyperarousal sypmptoms Gejala dari pemunculan yang berlebih mempunyai karakteristik sebagai berikut : Sulit untuk memulai tidur Mudah tersinggung dan marah-marah Sulit berkonsentrasi Kewaspadaan yang berlebih Terlalu membesar-besarkan masalah, respons yang membuat orang terkejut

Diaganosa Banding3,7,8 Diagnosis banding dari PTSD merupakan tantangan yang besar karena gejala dari PTSD sangat bervariasi dan termasuk dalam gejala penyakit lainnya. Penyakit yang paling menyerupai PTSD adalah depresi dan berbagai macam gangguan cemas. 1. Dengan depresi, perbedaan antara PTSD antara lain : PTSD mungkin menjadi depresi PTSD dan depresi dapat menjadi diagnosis komorbid Gejala pengulangan hanya ada pada PTSD

PTSD dan depresi sangat mirip, contohnya : Penurunan minat Antisosial Mati rasa Gangguan konsentrasi Sulit tidur Iritabilitas Pandangan terhadap masa depan yang tidak realistik

2. Gangguan Cemas Menyeluruh PTSD dan gangguan cemas sering didiagnosa bersamaan Gejala yang sering overlap antara lain : o Konsentrasi yang berkurang
11

o Mudah marah o Gangguan tidur Perbedaan rasa cemas pada PTSD dan gangguan cemas menyeluruh adalah pada PTSD, rasa cemas lebih banyak terpusatkan pada pengingatan atau pemunculan trauma, sedangkan pada gangguan cemas menyeluruh, rasa cemas lebih pada seluruh masalah. 3. Gangguan Panik PTSD dan gangguan panik sering didiagnosa bersamaan Gejala otonom yang berlebihan adalah gejala yang paling khas dari gangguan panik Penyebab dari gangguan panik atau serangan panik harus dicari, jika penyebab gangguan panik adalah peristiwa trauma maka PTSD menjadi diagnosis utama dengan diagnosis kedua adalah gangguan panik. 4. Gangguan Obsesif Kompulsif PTSD dan gangguan obsesif kompulsif dapat didiagnosa secara bersamaan PTSD dan gangguan obsesif kompulsif sama-sama mempunyai pikiran yang muncul berulang kembali Gangguan obsesif kompulsif dapat muncul untuk berbagai macam aspek, sedangkan PTSD perasaan yang muncul berulang kembali berkaitan dengan peristiwa traumatik 5. Cedera Kepala Pertimbangan dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma. 6. Intoksikasi akut atau putus zat Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stress pasca traumatik sampai efek zat hilang.

Penatalaksanaan1,3,4,8 Penatalaksanaan PTSD secara umum dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu psikoterapi dan terapi farmakologi. Psikoterapi sendiri terdiri dari terapi individual dan terapi berkelompok.
12

1. Terapi Psikologi Cognitive-Behavioural Therapy Cognitive-behavioural therapy (CBT) merupakan gabungan dari beberapa pogram pengobatan, yaitu prosedur paparan trauma, prosedur menyusun kembali kognitif seseorang, program manajemen cemas dan kombinasi beberapa prosedur tersebut. Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa kombinasi dari CBT dan selective serotonin reuptake inhibitor merupakan kombinasi yang baik dalam pengobatan PTSD. Prosedur paparan trauma (exposure treatment) yaitu dengan cara menghadapkan pasien terhadap peristiwa trauma tersebut dengan ingatan dan situasi peristiwa tersebut. Pasien diminta untuk kembali kepada ingatannya dimana waktu trauma itu terjadi dan untuk mengurangi trauma pada ingatannya. Pasien diminta untuk menutup mata dan menggambarkan peristiwa traumatik tersebut. Pasien diminta untuk menggambarkan perisiwa itu seakan-akan pasien sedang mengalaminya sekarang. Cerita dari pasien ini direkam, dan kemudian pasien diminta untuk mendengarkannya kembali di rumah. Inti dari exposure trauma adalah desensititasi terhadap trauma. Peristiwa trauma membutuhkan proses emosional, dicerna, sehingga pada akhirnya peristiwa trauma tidak lagi menjadi menyakitkan. Banyak dari penderita PTSD melihat trauma mereka seagai bahaya, menjadikan mereka menghindari memikirkan bagaimana peristiwa itu terjadi. Dengan pengulangan terhadap trauma, mereka sedikit demi sedikit bisa menjadikan peristiwa trauma itu menjadi peristiwa yang wajar dan bisa menerima peristiwa tersebut. Bentuk lain dari exposure treatment adalah dengan menghadapkan pasien langsung ke situasi kondisi, tempat yang sama seperti kejadian traumatik. Dalam proses sistematik desensititasi, pasien diajarkan bagaimana untuk tenang, kemudian pasien diminta mengingat trauma secara bertahap. Jika pasien menjadi sangat cemas atau kesal, maka proses mengingat trauma akan diberhentikan, menenangkan pikiran mereka dan kemudian kembali lagi ke materi paparan, sampai pasien dapat menemukan semua ingatan atau situasi tanpa menjadi kesal atau jengkel. Anxiety Management Training (AMT) Proses CBT yang lain antara lain anxiety management training (AMT) atau manajemen cemas. AMT mengajarkan pasien untuk mengontrol cemas mereka terhadap trauma. Dalam program AMT, pasien diajarkan untuk merelaksasikan otot-

13

otot mereka, mengontrol napas, bermain drama, menyetop pikiran, dan memandu bagaimana berdialog terhadap diri sendiri. Anger Management Eye Movement Desensitization reprocessing Metode ini merupakan metode yang baru dan masih kontroversial. Namun ada penelitian yang mengatakan bahwa metode ini cukup berhasil. Terapi Psikodinamik Hipnoterapi

2. Farmakoterapi Selective serotonin reuptake inhibitors (SRRIs) dan Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs) Golongan obat-obatan ini baik untuk PTSD karena dapat mengurangi ketiga gejala utama dari PTSD yaitu reexperiencing, avoidance dan hyperarousal, efektif terhadap penyakit yang menyertai PTSD seperti gangguan cemas, depresi, panic disorder, dan obsesif kompulsif. Selain itu golongan obat-obatan ini dapat mengurang gejala-gejala agresif, bunuh diri dan impulsif, serta mempunyai efek samping yang sedikit.Yang termasuk golongan obat ini antara lain sertaline, fluvoxamine, dan fluoxetine. Obatobatan ini efektid dalam mengurangi gejala-gejala dari PTSD, yaitu gejala avoidance (penghindaran trauma), kekosongan perasaan dan gejala hyperarousal. SRRIs ini baik untuk PTSD yang suka minum minuman beralkohol karena dapat mengurangi keinginan untuk minum alkohol. Dosis yang digunakan antara lain paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis sampai 400 mg/hari. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan gangguan stress pascatrauma. Benzodiazepin Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Namun, benzodiazepine ini dapat meningkatkan resiko terjadinya depresi, maka dari itu, pemakaian benzodiazepin harus berhati-hati. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan. Obat-obat lainnya
14

Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas noradrenergik, telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka. Selain itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfaagonis Guanfacine pada wanita muda. Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk kasus gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis 60 mg/hari atau lebih dapat efektif, trauma untuk gejala hyperarousal. Sebagai tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan berguna untuk melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan stress pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk. Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled studies dengan opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma. Ada beberapa laporan mengenai kegunaan anti kejang seperti Thymoleptics-lithium Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress pascatrauma.

Prognosis1,4 Berdasarkan American Psychiatric Association (2004), sebagian orang akan sembuh dalam waktu 6 bulan dan tidak ada gejala yang timbul lagi setelahnya. Sebagian lagi akan menjadi PTSD kronik. Semakin lama gejala berlanjut, diterapi maupun tidak diterapi, semakin buruk prognosisnya. PTSD dapat menjadi penyakit gangguan jiwa lainnya jika menetap dalam waktu 10 tahun, dan dapat seumur hidup, dan sayangnya PTSD kronik akan sulit pengobatannya

15

BAB III KESIMPULAN

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat didefinisikan sebagai gangguan cemas yang terjadi setelah seseorang terpapar oeh suatu peristiwa yang sangat buruk, dimana peristiwa tersebut melemahkan fisik dan mental serta timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. The National Institute of Mental Health (2008) menyatakan

bahwa 2,5 juta per tahun orang dirawat di rumah sakit setelah mengalami peristiwa traumatik. Penyebab dari penyakit PTSD adalah peristiwa traumatik. Definisi peristiwa traumatik berdasarkan DSM-IV suatu peristiwa traumatik didefinisikan sebagai orang yang mengalami atau melihat atau berkonfrontasi dengan peristiwa yang mengancam jiwa, ataupun luka yang sangat serius seperti kehilangan anggota tubuh. Ada penumpukan emosi selama peristiwa traumatik dan hal tersebut menyebabkan PTSD. Faktor pekerjaan juga sangat berpengaruh terhadap resiko timbulnya PTSD. Pekerjaan yang berhubungan dengan kemiliteran lebih mungkin untuk menderita PTSD daripada orang yang berkerja sebagai pegawai kantoran. Orang yang mengalami peristiwa traumatik mempunyai resiko 6 kali lebih besar untuk bunuh diri, 2 kali lebih besar untuk mengalami depresi, peningkatan resiko untuk menjadi skizofrenia, 26 kali lebih besar untuk mengalami penyakit fisik, 37 kali lebih besar untuk menjadi gangguan cemas, dan 6,5 kali lebih besar untuk jatuh terhadap alkohol. Berdasarkan PDGJ-III, gejala PTSD harus berlangsung sekurang-kurangnya 6 bulan. Berdasarkan DSM-IV bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar, dan kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan. Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala berlangsung kurang dari tiga bulan) atau kronis (lebih dari tiga bulan). Intervensi psikodinamika untuk gangguan stress pascatraumatik adalah terapi perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan kombinasi antara psikoterapi dengan SRRIs.

16

Obat yang digunakan dalam pengobatan gangguan stress pascatraumatik adalah Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), Mono-Amine Oxidase Inhibitors (MAOI), dan anti konvulsan (carbamazepin). Penggunaan propanol juga dianjurkan.

17

Tabel 1 Kriteria Diagnostik PTSD dalam ICD-10 dan DSM-IV 1

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Gelder M G, Juan J.L, Nancy A, Jaun J.L. New Oxford Textbook of Psychiatry. London : Oxford University Press. 2003. 2. Glick, R.L, Jon S.B, Afrim B.F, Scott L.Z. Emergency Psichiatry Principles and Practice. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business. 2008 3. Johnson S.L. Therapists Guide to Posttraumatic Stress Disorder Intervention. London : Elsevier Inc. 2009 4. Nutt, D J. Posttraumatic Stress Disorder Diagnosis, Management, anf Treatment Second Edition. London : Informa Healthcare.2009. 5. http://www.emedicinehealth.com/post-raumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.htm 6. Maslim, Rusdi. PPDGJ III Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : FK Unika Atmajaya Press.2003. 7. http://www.amerrescue.org/ptsd.htm 8. http://medlinux.blogspot.com/2007/08/gangguan-stress-pasca-trauma.html 9. Kaplan, Sadock. Synopsis of Psychiatry, 7th Edition. Baltimore : William & Wilkins. 1993.

19

Anda mungkin juga menyukai