Anda di halaman 1dari 19

TUGAS

Partus Prematurus Imminens

Disusun oleh: Annisa Qoyyum Nabila Ahmad 201210401011021

ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSU HAJI SURABAYA FK UMM 2013

BAB 1 PENDAHULUAN Partus prematurus imminens (PPI) merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas perinatal di seluruh dunia. PPI menyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka panjang, yang meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, dan gangguan non-neurologi seperti penyakit paru kronis, dan retinopati. 1 Hal ini berarti, morbiditas menjadi masalah sosial dan ekonomi yang signifikan, baik bagi keluarga yang terlibat maupun negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, PPI bukan hanya menjadi komplikasi obstetri yang paling umum, namun juga menjadi salah satu yang paling serius. 1 Angka kejadian PPI pada umumnya bervariasi antara 6% sampai 15% dari seluruh persalinan. Di Amerika Serikat, sekitar 450.000 (11,5%) PPI terjadi setiap tahunnya, dan menyebabkan 75% kematian neonatal dan 50% gangguan neurologis jangka panjang pada anak. Selain itu juga menyebabkan pengeluaran biaya perawatan kesehatan sebesar 35% untuk bayi dan 10% untuk anak. Di Indonesia belum ada angka yang secara nasional menunjukan kejadian PPI, tetapi beberapa peneliti memberikan angka kejadian PPI di rumah sakit. 2 Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang berhubungan dengan PPI mungkin memerlukan identifikasi faktor risiko dan pelaksanaan program modifikasi perilaku yang efektif untuk mencegah PPI. Sehingga diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor risiko psikososial, etiologi, dan mekanisme PPI, serta program yang akurat untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami PPI. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Definisi Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang dapat berhubungan dengan dilatasi dan atau penipisan dari serviks. 1 Pendapat lain mengatakan PPI adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Namun, batas bawah usia kehamilan yang digunakan untuk membedakan PPI dengan abortus spontan bervariasi menurut lokasi. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa PPI adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu. 3 2. 2 Epidemiologi Angka kejadian prematur pada umumnya adalah sekitar 6-10%. Hanya 1,5-5% persalinan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu dan 0,5% pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Kelompok ini merupakan dua pertiga dari kematian neonatal.1 Di Amerika Serikat setiap tahun terjadi lebih dari 1 juta partus prematurus (10% dari kelahiran normal). Gangguan pada prematuritas menyebabkan lebih dari 70% kasus kematian fetal dan neonatus di amerika. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang terjadi lebih dari seratus kejadian partus prematurus dari total 3750 persalinan per tahun (3,1 %). Di Amerika kurang lebih 5000 bayi per tahun meninggal karena komplikasi prematuritas dan berat badan lahir rendah.3 2.3 Etiologi Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur.1 Persalinan prematur sulit diduga dan sulit dicari penyebabnya, sehingga pengobatannya sukar diterapkan dengan pasti. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan persalinan prematur adalah sebagai berikut:

a. Umur Ibu Persalinan prematur meningkat pada usia ibu kurang dari 20 dan lebih dari 35 tahun, ini disebabkan karena pada kurang dari 20 tahun alat reproduksi untuk hamil belum matang, yakni serviks masih terlalu lemah, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Sedangkan pada umur lebih dari 35 tahun juga dapat menyebabkan persalinan prematur karena umur ibu yang sudah resiko tinggi.4 Dalam kurun waktu reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-30 tahun. Kematian meningkat kembali sesudah usia 20-35 tahun. 1 b. Sosial Ekonomi Insiden persalinan prematur lebih tinggi pada pasien yang status ekonominya rendah, ini disebabkan karena masyarakat yang perekonomiannya rendah tidak dapat memenuhi gizi saat hamil sehingga menghambat perkembangan dan pertumbuhan pada janin. 5 c. Penyakit dan Penyulit yang menyertai Kehamilan 1) Perdarahan Antepartum Perdarahan Antepartum seperti plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa, meningkatkan resiko persalinan prematur. Hal ini dikarenakan perdarahan yang hebat pada ibu sehingga ibu dan janin membutuhkan penanganan cepat supaya ibu tidak mengalami anemia dan janin tidak mengalami hipoksia. Upaya untuk penanganan tersebut adalah melahirkan janin walaupun usia kehamilan masih prematur. 6 2) Pre-eklampsia Risiko persalinan prematur pada ibu yang mengalami pre-eklampsi adalah 2,67 kali lebih besar. Hal ini terjadi karena pre-eklampsi mempengaruhi pembuluh darah arteri yang membawa darah menuju plasenta. Jika plasenta tidak mendapat cukup darah, maka janin akan mengalami kekurangan oksigen dan nutrisi. 6

3) Korioamnionitis Infeksi pada membran dan cairan amnion yang disebabkan oleh bermacam-macam jenis mikroorganisme dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, persalinan prematur, ataupun keduanya. Namun jalan masuk mikroorganisme ke dalam cairan amnion pada kondisi selaput ketuban yang masih utuh belum jelas. Pada 20% kasus wanita dengan persalinan prematur dapat ditemukan bakteri maupun virus saat pemeriksaan amniosentesis. Endotoksin sebagai produk dari bakteri dapat merangsang monosit desidua untuk menghasilkan sitokin yang selanjutnya dapat merangsang asam arachidonat dan produksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2 bekerja dengan modus parakrin untuk merangsang terjadinya kontraksi miometrium.2 4) Ketuban Pecah Dini Ketuban pecah dini merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya persalinan prematur. Dari hasil studi pendahuluan di VK IRD RSUD Dr.Soetomo angka persalinan prematur pada 1 bulan terakhir yaitu pada bulan maret 2011 sebesar 31 dari 191 persalinan (16,23 %) dan dari kelahiran yang prematur, hampir setengahnya (32,26%) dengan KPD. Kondisi ini dapat menimbulkan kontraksi pada uterus yang menyebabkan persalinan prematur.6 5) Grande multipara Paritas adalah jumlah persalinan yang telah dilakukan ibu. Paritas 23 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi.1 Ibu dengan paritas rendah cenderung bayi yang dilahirkannya tidak matur atau ada komplikasi karena merupakan pengalaman pertama terhadap kemampuan alat reproduksi ibu dan kemungkinan akan timbul penyakit dalam kehamilan dan persalinan. Sedangkan ibu dengan paritas tinggi (melahirkan lebih dari 3 kali) cenderung mengalami komplikasi yang akhirnya berpengaruh pada persalinan.

6) Riwayat Persalinan yang Lalu Setiap wanita yang telah mengalami kelahiran prematur pada kehamilan terdahulu memiliki risiko 20 sampai 40 persen untuk terulang kembali.8 Wanita yang mempunyai riwayat pernah melahirkan prematur satu kali mempunyai risiko empat kali lipat untuk lahir prematur pada kehamilan berikutnya. Sedangkan yang pernah melahirkan prematur dua kali mempunyai risiko enam kali lipat untuk melahirkan bayi prematur pada kehamilan berikutnya.7 Peningkatan risiko ini meningkat lebih tinggi lagi bila uji vagina terhadap fibronektin janin pada mid-trimester positif dan bila ada pemendekan serviks pada pengukuran dengan USG, khususnya pada wanita dengan ukuran serviks pada atau di bawah persentil ke-10 (< 25 mm) pada usia gestasi 24 minggu.5 2.4 Faktor predisposisi 1) Janin dan plasenta: a) Pertumbuhan janin terhambat b) Cacat bawaan janin c) Kehamilan ganda/gemeli d) Polihidramnion 2) Ibu a) Penyakit berat pada ibu b) Diabetus mellitus c) Infeksi saluran kemih d) Penyakit infeksi dengan demam e) Stress psikologik f) Kelainan bentuk uterus/serviks g) Pemakaian obat narkotik h) Trauma i) Perokok berat j) Kelainan imunologi/kelainan resus

2. 5 Patogenesis Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada PPI: 2. 5. 1 Aktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu: stres Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko penting untuk PPI. Beberapa penelitian telah menemukan 50% hingga 100% kenaikan angka kelahiran preterm berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. 2 Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan PPI terkait stres. Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini dimediasi oleh corticotrophinreleasing hormone (CRH) plasenta. Penelitian in vitro pada sel plasenta manusia menunjukan CRH dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalam dosis yang sesuai responnya terhadap semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol, katekolamin, oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1. 2 Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian PPI di antara orang Afrika-Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat mewakili hasil akhir yang umum pada berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan, preeklampsia, dan infeksi. Asfiksia memainkan peranan penting dalam PPI, bayi lahir mati, dan perkembangan neonatal yang merugikan. Asfiksia kronik yang berhubungan dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat terjadi pada infeksi plasenta seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes, preeklamsia, hipertensi kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya kelahiran preterm.3 2.5.2 Infeksi dan inflamasi Patogenesis dari PPI masih belum dimengerti dengan benar. Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam PPI.
7

Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga menyebabkan PPI pun hingga kini belum jelas benar, namun diduga berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh banyak mikroorganisme. Fosfolipase A2 akan memecah asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Selain itu, endotoksin (lipopolisakarida) bakteri dalam cairan amnion akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan.2 Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrixdegrading enzymes. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam mengatur metabolisme matriks ekstraselular yang terkait dengan pematangan serviks saat dimulainya persalinan, sedangkan degradasi dari matriks ekstraselular pada membran amnion akan menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian menyebabkan PPI. 4 Beberapa mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia bawah, seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum selaput amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks

2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta 3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi. 2

Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks. Hal ini dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis.5 Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.
8

Gambar 2.1 Jalur masuknya kuman penyebab infeksi 2.5.3 Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis) Perdarahan desidua dapat menyebabkan PPI. Lesi vaskular dari plasenta biasanya dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini. Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan PPI, 35% dari wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran utama. 7 Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in vivo menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan menurun dengan pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor
9

trombin. Penelitian in vitro dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta PPI yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua. 5 2.5.4 Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension) Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai PPI yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari PPI di negara-negara maju. Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI masih belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin. Pada penelitian in vitro, regangan miometrium juga meningkatkan prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E (PGE). 4 2.5.5 Insufisiensi serviks Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup luas, termasuk PPI. Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat empat penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan (2) infeksi (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi (4) kerusakan yang bersifat traumatis Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling
10

jaringan dan pemendekan serviks prematur dari proses patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik dengan risiko PPI. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks dan panjang serviks pada kehamilan berikutnya.3 Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin dan PPI. 2 2. 6 Diagnosis Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman PPI. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.7 Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari. 2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya

setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit.

11

3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,

rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain). 4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah.
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50- 80%,

atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm.


6. Selaput amnion seringkali telah pecah.

7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika. Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau

delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks.


2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.

3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih. 1 2. 7 Penatalaksanaan Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini memang PPI. Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital. 3 Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter

spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah

sesaria. 3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma gawat nafas.

12

4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat. 5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan rencana perawatan intensif neonatus. Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan tanda tanda PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes. Manajemen PPI tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:
1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat

bilamana selaput ketuban sudah pecah.


2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan

mencapai 4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah

persalinan makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu. a. Usia kehamilan 34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer, mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan

fasilitas perawatan neonatus yang memadai.


4. Penyebab/komplikasi PPI. 5. Kemampuan neonatal intensive care facilities. 4

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah: 1. Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis
2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid 3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan

antibiotik. 1 2.7.1 Tokolisis Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks pada kehamilan preterm. Alasan pemberian tokolisis pada persalinan preterm ialah:
13

1.Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur 2.Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan

paru janin
3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap 4. Optimalisasi personil.7

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:


1. Kalsium antagonis

Nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan 20 mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontraksi berulang dan dosis perawatan 3x10 mg. 2
2. Obat -mimetik

Seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 g/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2- 4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 g/menit, subkutan: 250 g setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru.2
3. Sulfas magnesikus

Dosis parenteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi). 2
4. Penghambat produksi prostaglandin

Seperti indometasin, sulindac, nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih
14

kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.3 Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual. Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti tidak baik, seperti: a. Oligohidramnion b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstress test tidak reaktif e. Hasil contraction stress test positif f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan

pasien stabil dan kesejahteraan janin baik g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-

mimetik. 4 2.7.2 Akselerasi pematangan fungsi paru Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu. 5 Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal kortikosteroid ialah: 1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam. 2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam. Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar triiodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan.

15

Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan. 1 2.7.3 Antibiotika Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.9 Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x500 mg selama 3 hari.2 Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.7 Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak ada kontra indikasi, diberi tokolisis.4 2.7.4 Cara Persalinan Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.6 Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik. Indikasi seksio sesarea: a. Janin sungsang b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
16

c. Gawat janin d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,

oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.


e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang & plasenta previa).5

2. 8 Komplikasi Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan bagi bayi, PPI menyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.7
2. 9Pencegahan

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah persalinan preterm antara lain sebagai berikut: a.Pendidikan masyarakat melalui media yang ada tentang bahaya dan kerugian kelahiran preterm. b.Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17 tahun). c.Hindari jarak kehamilan terlalu dekat. d.Menggunakan kesempatan periksa hamil dan memperoleh pelayanan antenatal yang baik. e.Anjuran tidak merokok maupun mengkonsumsi obat terlarang. f. Hindari kerja berat dan istirahat yang cukup. g.Mengusahakan makan lebih baik selama masa hamil untuk cegah gizi buruk dan anemia. h.Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan preterm. i. Lakukan penanganan pada infeksi genital/saluran kemih. j. Deteksi dan pengamanan faktor risiko terhadap persalinan preterm.7
17

BAB 3 PENUTUP Partus prematurus imminens adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan < 37 minggu atau taksiran berat janin < 2500 gram dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas perintal di seluruh dunia. Angka kejadian PPI pada umumnya bervariasi antara 6% sampai 15% dari seluruh persalinan. Patogenesis dari PPI masih belum dimengerti dengan benar. Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam PPI. Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI. Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat proses PPI dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi. Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan tanda-tanda PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes. Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan PPI.

18

DAFTAR PUSTAKA 1. Mochtar AB. Persalinan Preterm. Dalam : 667-676. 2. Manuaba IBG. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, 2007. Hal 432449. 3. Harry O. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human Labor and Birth). Yogyakarta : YEM, 2010. 4. Joseph HK. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (obsgyn). Yogyakarta: Nuha Medika, 2010. 5. Hariadi R. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2008. 6. Varney, H. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC, 2007. 7. Mochtar R. Partus Prematurus dan Prematuritas. Dalam : Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC, 2008. Hal : 217-225. Prawirohardjo S. Ilmu

Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009 : Hal

19

Anda mungkin juga menyukai