Anda di halaman 1dari 17

HADITS

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, : : Seluruh umatku akan masuk al-Jannah (Surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya, Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan? Rasulullah menjawab, Barang siapa yang menaatiku, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.). (HR. al-Bukhari) Pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa taala, sungguh indah ucapan al-Imam Muhammad at-Tamimi rahimahullah, Sesungguhnya Allah telah menciptakan dan memberikan rezeki kepada kita, dan (kemudian) Dia tidak membiarkan kita begitu saja. Namun Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul (Muhammad). Barang siapa yang menaatinya, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat kepadanya, dia akan masuk an-Nar (neraka). Walaupun ringkas, kalimat yang beliau tuangkan dalam kitabnya Tsalatsatul Ushul tersebut mengandung makna yang sangat luas dan mendalam. Allah menciptakan manusia dan jin di dunia ini tidaklah sia-sia. Allah subhanahu wa taala tidak akan membiarkan mereka hidup tanpa aturan dan syariat yang menuntun mereka. Allah subhanahu wa taala menciptakan mereka agar beribadah kepada-Nya. Sebagai Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia juga memberikan rezeki dan berbagai kenikmatan kepada mereka untuk memudahkan dalam merealisasikan ibadah tersebut. Namun untuk mewujudkan ibadah sebagaimana yang dikehendaki Allah, kita tidak bisa menunaikannya dengan baik dan benar jika tidak ada yang menuntun dan membimbing kita sesuai dengan yang dikehendaki oleh-Nya. Oleh karena itu, dengan hikmah dan kasih sayangNya pula, Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, sebagai rasul terakhir dan penutup para nabi untuk menjelaskan tata cara ibadah yang dikehendaki oleh-Nya. Sehingga seluruh amal ibadah yang tidak sesuai dengan ajaran beliau maka ibadah itu akan siasia. Inilah sesungguhnya hakekat ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Yaitu setiap ibadah kepada Allah harus dilakukan sesuai dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka seseorang yang benar-benar merealisasikan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam inilah yang akan mendapatkan jaminan al-Jannah. Sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam di atas. Ketika seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, tidaklah cukup hanya sebatas di lisan saja. Namun harus pula diwujudkan dalam bentuk amalan nyata. Yaitu dia harus mengikhlaskan segala bentuk ibadahnya hanya untuk Allah semata serta ibadah yang dia laksanakan harus ada contoh dan petunjuk dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Ketaatan kepada Allah subhanahu wa taala dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seorang yang menginginkan untuk senantiasa taat kepada Allah, maka di antara wujud ketaatan kepada-Nya adalah taat kepada Rasulullah. Sedangkan ketaatan kepada Rasulullah merupakan bukti akan ketaatan dia kepada Allah. Allah subhanahu wa taala berfirman (artinya), Barang siapa yang menaati Rasul itu (Nabi Muhammad), sesungguhnya ia telah menaati Allah. (An-Nisa: 80) Sehingga barang siapa yang bermaksiat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta tidak mau mendengar dan taat kepada beliau, maka berarti dia juga telah bermaksiat kepada Allah dan tidak mau taat serta tunduk kepada Penciptanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah, dan barang siapa bermaksiat (tidak taat) kepadaku, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Bagaimana bisa seorang yang tidak taat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dikatakan sebagai orang yang tidak taat kepada Allah? Ya, karena tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda atau menetapkan suatu syariat, melainkan hal itu merupakan wahyu dari Allah subhanahu wa taala. Allah lberfirman (artinya), Dan tidaklah dia berucap menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An-Najm: 3-4) Maka dari itu, banyak sekali ayat tentang perintah untuk menaati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang disebutkan beriringan dengan perintah untuk menaati Allah subhanahu wa taala. Allah subhanahu wa taala berfirman (artinya), Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian adalah orang-orang yang beriman. (Al-Anfal: 1) Dalam ayat ini Allah subhanahu wa taala menegaskan kepada kaum mukminin jika mereka memang benar-benar telah mengikrarkan keimanan, maka mereka harus siap untuk tunduk dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena keimanan (yang jujur) itu akan mendorong seseorang untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana orang yang tidak menaati Allah dan RasulNya bukanlah orang yang beriman (dengan keimanan yang benar). Barang siapa yang kurang ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hal ini menunjukkan kurangnya kadar keimanannya. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman) Dari sini jelaslah bahwa di antara syarat sempurnanya keimanan seseorang adalah dengan mewujudkan ketaatan kepada Allah subhanahu wa taala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Buah Ketaatan kepada Allah subhanahu wa taala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam Orang yang senantiasa istiqamah di atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya akan meraih sekian banyak kebaikan. Satu kebaikan saling berkaitan dengan kebaikan yang lainnya. Di antara kebaikan-kebaikan tersebut adalah: 1. Mendapatkan limpahan kasih sayang Allah subhanahu wa taala Allah subhanahu wa taala berfirman (artinya), Dan taatilah Allah dan Rasul, pasti kalian diberi rahmat. (Ali Imran: 132) Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sadi rahimahullah mengatakan, Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan salah satu sebab diraihnya rahmat (kasih sayang) Allah. Rahmat Allah subhanahu wa taala merupakan kunci utama bagi seseorang untuk merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 2. Mendapatkan hidayah Allah subhanahu wa taala akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendakiNya. Tentu, orang yang dirahmati oleh-Nya sajalah yang akan mendapatkan anugerah besar ini. Mereka itulah yang senantiasa menjaga ketaatan kepada Allah subhanahu wa taala dan RasulNya shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana dalam ayat-Nya (artinya), Dan jika kalian taat kepadanya (Nabi Muhammad), niscaya kalian mendapat hidayah (petunjuk). (An-Nur: 54) Yaitu hidayah (petunjuk) menuju ash-Shirath al-Mustaqim (jalan yang lurus), baik (petunjuk untuk) berkata maupun beramal. Tidak ada jalan bagi kalian untuk mendapatkan hidayah kecuali dengan menaati beliau shallallahu alaihi wa sallam. Tanpa ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka tidak mungkin bahkan mustahil untuk mendapatkan hidayah. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman). 3. Meraih kemenangan besar Sebagaimana di dalam firman-Nya (artinya), Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (Al-Ahzab: 71)

Kemenangan yang besar ialah dengan dimasukkan ke dalam al-Jannah yang luasnya seluas langit dan bumi. Allah subhanahu wa taala sediakan al-Jannah bagi orang-orang yang menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Allah subhanahu wa taala berfirman (artinya), Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam al-Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. (An-Nisa: 13) 4. Dikumpulkan bersama para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan shalihin Al-Jannah itu bertingkat-tingkat. Penduduknya akan menempati tingkatan al-Jannah sesuai dengan kadar keimanan dan ketakwaannya. Semakin tinggi dan sempurna keimanan serta ketakwaan seorang hamba, semakin tinggi pula tingkatan al-Jannah yang akan dia tempati. Sudah pasti bahwa tingkatan al-Jannah yang paling tinggi ditempati oleh hamba-hamba-Nya yang paling mulia. Mereka itulah para Nabi, para shiddiqin (orang-orang yang sempurna pembenaran dan keimanan mereka terhadap syariat yang dibawa oleh Nabi n), para syuhada, dan orang-orang shalih. Bersama merekalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan dikumpulkan di al-Jannah nanti. Hal ini sebagaimana firman-Nya (artinya), Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaikbaiknya. (An-Nisa: 69) Para pembaca rahimakumullah. Ayat ini juga mengingatkan kita akan doa yang senantiasa kita panjatkan ketika membaca surah al-Fatihah (artinya), Tunjukilah kami ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus). (Yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al-Fatihah: 6-7) Jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) adalah jalannya orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah. Siapakah mereka itu? Pembaca bisa lihat dalam surah an-Nisa di atas, yaitu jalannya para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang shalih. Siang dan malam senantiasa kita panjatkan doa tersebut dalam shalat kita. Sehingga agar doa kita tersebut dikabulkan oleh Allah subhanahu wa taala, maka hendaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk selalu menaati Allah subhanahu wa taala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dalam seluruh sisi kehidupan kita, baik dalam hal aqidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak. Semoga Allah menjauhkan kita dari golongan yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.).

Allah subhanahu wa taala berfirman (artinya), Dan barang siapa bermaksiat (mendurhakai) Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuanketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam an-Nar, sedang dia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 14)
AQIDAH

Wahai Saudaraku, Beribadahlah hanya kepada Allah subhanahu wa taala tidak kepada yang Lain Kalimat Tauhid merupakan kalimat yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat mereka. Semenjak rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu mengajak umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan segala peribadahan kepada selain Allah. Allah azza wa jalla berfirman: Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut. (An-Nahl: 36) Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa taala menegaskan bahwa dakwah setiap rasul adalah mengajak beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Inilah makna kalimat tauhid. Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu, yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah dalam ibadah. Perhatikan dakwah Nabi Nuh alaihis salaam: Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepada mereka azab yang pedih. Nuh berkata, Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. (Nuh: 1-3) Pada ayat lainnya, dakwah Nabi Nuh alaihis salaam diterangkan sebagai berikut: Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. (Hud: 26) Perhatikan dakwah Nabi Hud alaihis salaam: Dan kepada kaum Ad (kami utus) saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata, Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Kalian hanyalah mengada-adakan saja. (Hud: 50) Perhatikan dakwah Nabi Shalih alaihis salaam:

Kepada kaum Tsamud (kami utus) saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata, Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Dialah yang telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hambaNya). (Hud: 61) Perhatikan pula dakwah Nabi Ibrahim alaihis salaam: Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku. Dan (lbrahim alaihis salaam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. (Az-Zukhruf: 26-28) Demikian pula dakwah Nabi Isa alaihis salaam: Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian. Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun. (Al-Maidah: 72) Masih banyak lagi contohnya, semua para rasul tersebut berdakwah kepada satu kalimat yang sama, yaitu beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya dan tinggalkan segala peribadatan kepada selain Allah. Demikian pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya, Katakanlah, Sesungguhnya aku hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya. (Al-Jin: 20) Demikianlah, kalimat tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting. Karenanya Allah menciptakan langit dan bumi, karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitabNya, karenanya terdapat garis pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah tegakkan jihad fi sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada hari kiamat kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan an-Nar (neraka). Maka seorang muslim dituntut untuk memahami makna kalimat tauhid ini. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah alaihis salaam dalam firman-Nya, Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah. (Muhammad: 19)

Al-Imam al-Biqai rahimahullah berkata: Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) Laa ilaaha illallah ( )ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat.

Makna Laa ilaaha illallah Setiap mukmin pasti mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak hanya semata-mata ucapan di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan keyakinan tentang maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya. Makna kalimat ini adalah sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para rasul di atas, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata. Kalimat bila ditinjau secara harfiah bermakna: - ( Laa) : Tidak ada, atau tiada (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepadanya dengan - ( Ilaaha) : penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri. Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermaknamabud (sesuatu yang diibadahi) - ( illa) : kecuali, atau melainkan - ( Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, Allah, Dialah yang mempunyai hakuluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya. Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah Tiada yang diibadahi dengan benar (haq)melainkan Allah semata. Di sini sebagai nafyu (peniadaan) atas segala yang diibadahi selain Allah, kemudian sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagiNya dalam hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan. Allah subhanahu wa taala berfirman, (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain Allah,

itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (AlHajj: 62) Jadi, ilah/mabud (sesembahan) yang haq hanyalah Allah azza wa jalla satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Adapun selain Allah, memang ada yang diibadahi yang disebut ilahjuga, namun mereka adalah ilah yang batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya semata-mata penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah subhanahu wa taala berfirman, Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. (AnNajm: 23) Oleh karena itu, dakwah para rasul sebagaimana keterangan ayat-ayat di atas adalah dengan satu redaksi yang sama, yaitu: Beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/mabud) yang haq selain Dia. Atau dengan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim alaihis salaam, Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku. (Az-Zukhruf: 26) Ini semua merupakan tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa ilaha illallah. Al-Imam ash-Shanani rahimahullah penulis kitab Subulus Salam, seorang ulama terkenal dari negeri Yaman mengatakan, Prinsip Kedua: Bahwa para rasul dan para nabi utusan Allah mulai dari nabi/rasul pertama hingga yang terakhir mereka semua diutus untuk berdakwah (mengajak) kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan peribadatan (hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka serukan kepada umatnya adalah, Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/mabud) selain Dia.; Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.; Beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. Dakwah tersebut merupakan kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat tersebut dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan Allah dalamilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ubudiyyah (peribadatan), serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu tersebut. Prinsip ini tidak diragukan akan kebenarannya, dan tidak diragukan pula bahwa iman seseorang tidak akan terwujud sampai ia mengetahui makna kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya. (lihat Tathirul Itiqad min Adranil Ilhad, karya Al-Imam AshShananirahimahullah).

Maka sangat disesalkan, apabila ada seorang muslim yang dengan lancar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam doa dan dzikir-dzikirnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk Allah subhanahu wa taala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada selain Allah. Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada jimat, ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya itu bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia lantunkan dalam doa dan dzikirnya. Wallahu alam bish shawab. Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu taal
FIQH

Aku Siap Memenuhi Panggilan-Mu ya Allah


Written by admin | September 24, 2012 | 2 Keutamaan Haji Para pembaca rahimakumullah, di antara syiar Islam yang mulia nan agung adalah haji ke Baitullah. Berbondong-bondong umat Islam dari seluruh penjuru dunia untuk memenuhi panggilan haji. Mereka berkumpul dan bersatu padu untuk mengagungkan nama Allah yang Mahabesar tanpa merisaukan perbedaan bahasa, bangsa, dan warna kulit. Maha benar firman Allah subhaanahu wa taaalaa (yang artinya), Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. (Al-Hajj: 2728) Haji sebagai bentuk taqarrub (ibadah) yang agung di sisi Allah subhaanahu wa taaalaa, karena ia termasuk salah satu dari lima rukun Islam. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Agama Islam dibangun di atas lima rukun, bersyahadat bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah semata, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan shaum di bulan Ramadhan. (HR. al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 20) Haji sebagai penebus dosa-dosa. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Barang siapa berhaji karena Allah semata, dengan tidak berbuat keji dan kefasikan (dalam ibadah hajinya), niscaya ia kembali seperti di hari ketika dilahirkan oleh ibunya. (HR. alBukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350, dari sahabat Abu Hurairah z)

Haji yang mabrur membawa pelakunya ke dalam Jannah. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Antara satu umrah dengan umrah berikutnya merupakan penebus dosa-dosa antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan al-jannah (surga). (HR. al-Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349, dari sahabat Abu Hurairah z) Hukum Menunaikan Haji dan Umrah Awal mula ibadah haji disyariatkan di masa Nabi Ibrahim. Kemudian dikukuhkan kembali dan disempurnakan di masa Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam tepatnya pada tahun 9 H. (Lihat asy-Syarhul Mumti 5/30) Menunaikan haji adalah wajib bagi yang mampu, berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan AlIjma. Allah subhaanahu wa taaalaa berfirman, Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Ali Imran: 97) Di dalam As-Sunnah, telah diketahui bahwa ibadah haji termasuk salah satu dari lima rukun Islam, cukuplah hal ini menunjukkan bahwa haji merupakan kewajiban yang sangat ditekankan. Al-Wazir dan lainnya berkata, Para ulama telah bersepakat bahwasanya ibadah haji itu diwajibkan bagi setiap muslim dan muslimah yang baligh lagi mampu, dan dilakukan sekali dalam seumur hidup. (Taudhihul Ahkam 4/31) Adapun hukum umrah, yang dikuatkan oleh al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullaah adalah wajib hukumnya. Beliau berdalil dengan hadits Jibril ketika bertanya kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam tentang Islam, di antara jawaban beliau adalah Engkau menunaikan haji dan umrah. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1 dan adDaruquthni no. 2708 dari shahabat Ibnu Umar h, ad-Daruquthni berkata, Isnadnya kokoh (riwayat/haditsnya shahih).

Haji dan Umrah Diwajibkan Sekali dalam Seumur Hidup Ibadah haji dan umrah wajib ditunaikan sekali dalam seumur hidup bagi yang telah memenuhi syarat wajibnya. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Wahai sekalian manusia sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian haji. Maka berdirilah al-Aqra bin Habis seraya mengatakan, Apakah haji itu wajib ditunaikan setiap tahun, wahai Rasulullah? Maka beliau pun menjawab, kalau aku katakan iya, niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahunnya, dan bila diwajibkan tiap tahun niscaya kalian tidak akan

bisa menunaikannya, atau kalian tidak akan mampu menunaikannya, haji itu hanya sekali, barang siapa yang menunaikannya lebih dari itu maka dia telah melakukan tathawwu (ibadah sunnah/tambahan dari yang diwajibkan). (HR. Abu Dawud no. 1721, an-Nasai no. 2620, Ibnu Majah no. 2886, dan al-Hakim dengan lafadz darinya no. 3155, al-Hakim berkata, Hadits ini shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, dan dibenarkan oleh adz-Dzahabi, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa 4/150)

Syarat-syarat Haji Seseorang diwajibkan untuk memenuhi panggilan Allah, berhaji ke Baitullah Makkah bila telah melengkapi syarat-syaratnya. Yaitu, beragama Islam, berakal sehat, mencapai usia baligh, merdeka bukan hamba sahaya, dan mempunyai kemampuan.

Bagaimana Kriteria Mampu Tersebut? Al-Allamah al-Faqih Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullaah telah menjelaskan tentang kriteria orang yang dikatakan mampu untuk menunaikan haji. Beliau berkata, Mempunyai kemampuan dalam bentuk harta dan fisik (kesehatan). Yakni bila seseorang memiliki harta yang dapat mencukupinya berangkat haji berikut kepulangannya, serta segala kebutuhannya dalam perjalanan haji. Yang dimaksud dengan harta ini adalah harta yang tersisa setelah dikurangi pembayaran hutang, nafkah-nafkah yang bersifat wajib, segala kebutuhan makan, minum, nikah, tempat tinggal dan perabotnya dan apa yang dibutuhkan berupa kendaraan dan buku-buku ilmu agama. Hal ini berdasarkan firman Allah, kemudian beliau menyebutkan ayat tersebut. (Manasik Haji dan Umrah, karya asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullaah) Wahai saudaraku semoga Allah merahmati kita semua- syarat berikutnya khusus tertuju bagi kalian kaum wanita muslimah baik yang muda atau pun yang tua adalah wajib berangkat bersama dengan mahramnya. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, : : Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita melainkan harus disertai mahramnya dan janganlah seorang wanita bersafar (pergi keluar daerah) melainkan bersama mahramnya pula. Ada seorang lelaki berdiri bertanya, Wahai Rasulullah, istriku hendak berhaji, sementara aku ditugaskan untuk berjihad. Maka beliau menjawab, Kembalilah dan berhajilah bersama istrimu. (HR. al-Bukhari no. 3006 dan Muslim no. 1341, dari sahabat Ibnu Abbas h)

Wahai saudaraku, bersikaplah kalian tawadhu dan tunduk kepada kebijaksanaan dari Allah dan Rasul-Nya. Segala ketetapan Allah dan rasul-Nya itu tentu dan pasti adalah demi kebaikan kalian. Renungkanlah dan amalkanlah firman Allah subhaanahu wa taaalaa, Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa: 65)

Kiat Meraih Haji Mabrur Wahai saudaraku rahimakumullah, bagi yang Allah mudahkan untuk bisa berangkat, kami doakan semoga Allah menerima dan menjadikan haji kalian adalah haji yang mabrur. Saudaraku ingatlah haji itu ibadah yang agung yang membutuhkan bekal yang cukup besar. Perhatikanlah dan amlakanlah wasiat-wasiat berikut ini, niscaya kalian akan meraih haji mabrur. 1. Niatkanlah ikhlas karena Allah. Allah tidak akan menerima sebuah ibadah bila diniatkan untuk tujuan-tujuan yang lainnya. Tinggalkan niat yang jelek, berhaji untuk menaikkan status, agar dipanggil Pak Haji atau Bu Haji. Bukan untuk itu wahai hamba Allah, takutlah kalian kepada Allah, niatkanlah sematamata untuk mencari keridhaan Allah subhaanahu wa taaalaa bukan untuk mencari sanjungan dari manusia. 2. Berilmu sebelum beramal Para pembaca, sebelum berangkat haji, belajarlah terlebih dahulu, berbekal harta saja tidaklah cukup untuk melakukan perjalanan suci menuju Baitullah, tetapi bekal ilmu juga mutlak dibutuhkan. Karena amal ibadah bila tidak mencocoki sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam juga tidak bermafaat (tertolak). Aisyah x meriwayatkan sebuah hadits Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, beliau shallallaahu alaihi wa sallam berwasiat, Barang siapa yang beramal tidak di atas petunjukku niscaya akan tertolak. (HR. al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 dengan lafadz darinya, dari sahabat Aisyah x) Ilmu itu akan menuntun pelakunya dalam menunaikan manasik haji sesuai yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, dan menghindarkan dari berbagai macam kekeliruan. Dalam momentum hajjatul wada, Nabi shallallaahu alaihi wa sallam menyampaikan pesan khusus kepada umatnya, agar mereka menunaikan manasik haji sesuai dengan tuntunan beliau. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

Ambillah dariku tuntunan manasik haji kalian. (HR. Muslim no. 1297 dan al-Baihaqi no. 9524 dengan lafadz darinya) Asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullaah berkata, Sudah seharusnya bagi seseorang yang hendak berhaji untuk mempelajari dan mendalami segala yang disyariatkan tentang haji dan umrah. Dan hendaknya ia juga menanyakan hal-hal yang belum dipahami (kepada seorang yang berilmu) agar ibadah yang ditunaikannya benar-benar di atas bashirah (ilmu). (at-Tahqiq walIdhah hal. 13) 3. Bersikaplah ramah, ucapkanlah kata-kata yang lembut saat berjumpa dengan saudarasaudaramu seislam. Hindarkan dari kata-kata kotor dan keji, niscaya Allah subhaanahu wa taaalaa akan membantu kalian menunaikan haji dengan penuh khusyu dan mendapatkan pahala yang besar dari sisi-Nya. (lihat hadits keutamaan haji) 4. Berbekallah dari harta yang halal dan baik. Sesungguhnya Allah itu baik, dan Allah tidak menerima amalan melainkan yang baik pula. Kebaikan dari sisi manasiknya dan kebaikan bekal dari rezeki yang halal. Akhir kata, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan baginda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, para shahabatnya, dan seluruh para pengikutnya. Wallahu alam bish shawab. Penulis: Ustadz Arif hafizhahullaahu taaalaa
SIROH

Para pembaca sekalian yang semoga dirahmati Allah subhaanahu wa taaalaa, dalam edisi sebelumnya, kita telah mengenal biografi beberapa ulama ahli hadits seperti al-Imam al-Bukhari dengan karyanya Shahih al-Bukhari dan al-Imam Muslim dengan karyanya Shahih Muslim. Masih dalam tema Silsilah Ulama Ahli Hadits, pada kesempatan ini kita kembali akan berkenalan dengan salah seorang ulama ahli hadits yang tidak asing di kalangan penuntut ilmu yaitu al-Imam Abu Dawud dengan karya besarnya Sunan Abi Dawud. Beliau adalah seorang ulama panutan umat, ulama yang berpegang kuat dengan bimbingan Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, seorang yang memiliki hafalan yang kuat dan seorang ahli hadits kota Bashrah. Dia lah Sulaiman bin al-Asyats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin Amr bin Imran al-Azdi as-Sijistani atau yang lebih terkenal dengan sebutan Abu Dawud as-Sijistani. Beliau dilahirkan pada tahun 202 H di daerah Sijistan. Sijistan adalah sebuah propinsi kecil yang berbatasan dengan daerah Sind (Pakistan). Terletak di sebelah barat Hirrah (Afghanistan),

sebuah daerah di negeri Khurasan. Di sebelah selatannya adalah padang sahara yang tandus. Daerah Sijistan banyak dipenuhi oleh pepohonan kurma dan pasir. Al-Imam Abu Dawud tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan cahaya ilmu terutama ilmu hadits.

Perjalanan Menuntut Ilmu Rihlah (perjalanan) dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka menuntut ilmu, telah menjadi kebiasaan dan kebutuhan yang sangat penting sejak zaman para sahabat dan para ulama setelahnya terutama di dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi shallallaahu alaihi wa sallam. Dengan penuh kesabaran dan tanpa mengenal lelah beliau berkeliling dunia, pindah dari satu negeri ke negeri lain, menuntut ilmu dari banyak ulama, mengumpulkan ilmu kemudian menulis dan mencapai puncak karirnya sebagai seorang ahli hadits. Di antara para ulama yang beliau temui tercatat 2 ulama yang sangat terkenal yaitu al-Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Imam Yahya bin Main. Dari mereka berdua lah beliau belajar ilmu hadits. Beliau mulai melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu semenjak usia yang masih belia yaitu 18 tahun. Untuk pertama kalinya beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 220 H. Beliau berkata, Aku memasuki kota Kufah pada tahun 221 Hijriyah. Kemudian aku memasuki kota Damaskus dan mencatat hadits dari Abu an-Nadhr al-Faradisi seorang ulama yang banyak menangis pada tahun 222 Hijriyah. Di samping itu, beliau juga melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti Mesir, Saudi Arabia, Syam, Irak, Iran, Afghanistan, dan lain-lain dalam rangka menuntut ilmu kepada para ulama yang berada di negeri-negeri tersebut. Karena seringnya melakukan perjalanan di dalam menuntut ilmu, beliau mendapat julukan arRahal (orang yang banyak melakukan perjalanan). Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafii dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah mengatakan, Beliau termasuk salah seorang ulama ahli hadits yang banyak melakukan perjalanan sampai ke ujung-ujung dunia dalam rangka menuntut ilmu. Adapun para ulama yang menuntut ilmu kepada beliau adalah; al-Imam Abu Isa at-Tirmidzi (teman beliau), al-Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib an-Nasai, kedua putra beliau yaitu Abdullah bin Abi Dawud dan Abu Bakar bin Abi Dawud, Abu Bisyr ad-Daulabi, Abdurrahman bin Khallad ar-Ramahurmuzi, Abu Bakar bin Abi Dunya, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Khallal al-Faqih dll.

Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa al-Imam Ahmad pernah meriwayatkan satu hadits dari beliau. Beliau tinggal di kota Baghdad selama beberapa waktu sambil menyebarkan ilmu di kota tersebut. Dan tidak terhitung berapa kali banyaknya beliau singgah di kota Baghdad. Terakhir beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 272 H. Beliau mengatakan, Aku mencatat hadits-hadits Rasulullah sebanyak 500.000 hadits. Kemudian aku memilih dari sekian hadits tersebut untuk aku letakkan ke dalam kitab Sunan-ku. Di dalam kitab Sunan beliau terkandung 4800 hadits. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa jumlah hadits yang tertulis dalam Sunan Abi Dawud mencapai 5274 hadits.

Pujian Para Ulama Abu Bakar al-Khallal berkata, Abu Dawud adalah seorang tokoh ulama panutan umat pada zamannya. Dan belum ada seorang pun yang mendahuluinya dalam masalah ilmu. Beliau adalah seorang yang mendalam dalam masalah ilmu pada zamannya serta memiliki sifat wara (menjauhkan diri dari hal-hal yang haram). Al-Imam an-Nawawi asy-Syafii berkata, Para ulama telah sepakat dalam pujiannya terhadap Abu Dawud, beliau adalah seorang yang memiliki ilmu yang luas, kuat hafalannya, wara, berpegang teguh dengan agama, memiliki pemahaman yang tajam dalam ilmu hadits dan yang lainnya. Ahmad bin Muhammad bin Yasin berkata, Abu Dawud adalah salah seorang penghafal Islam dalam hadits Rasulullah baik secara ilmu, cacat-cacat hadits dan sanadnya. Beliau mencapai derajat tertinggi dalam masalah ibadah, menjaga kehormatan diri, baik akhlaknya, wara dan termasuk orang yang cerdas dalam masalah hadits. Dan para ulama yang sezaman dengan beliau benar-benar mengakui kekuatan hafalannya dan menjadikan beliau sebagai tokoh pada zamannya. Al-Hafizh Musa bin Harun mengatakan, Abu Dawud diciptakan ke dunia hanya untuk hadits dan di akhirat untuk Jannah (surga). Abu Hatim bin Hibban mengatakan, Abu Dawud adalah salah seorang ulama dunia, baik secara pemahaman, keilmuan, banyaknya hafalan, ibadah, wara dan kekuatan hafalannya. Beliau mengumpulkan, menulis dan membela ajaran Rasulullah. Al-Hafizh Abu Abdillah bin Mandah mengatakan, Para ulama ahli hadits yang mampu membedakan antara hadits yang shahih dengan yang cacat dan mampu membedakan antara yang salah dengan yang benar ada empat orang; al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai.

Abu Abdillah al-Hakim berkata, Abu Dawud adalah seorang imam ahli hadits pada zamannya tanpa diragukan lagi. Musa bin Harun mengatakan, Aku belum pernah melihat orang yang lebih utama dari Abu Dawud. Al-Hafizh Zakaria as-Saji berkata, Kitabullah adalah pokok Islam dan kitab Abu Dawud adalah wasiat Islam. Al-Imam al-Aini berkata, Di samping beliau adalah seorang tokoh terdepan dalam ilmu hadits, beliau juga termasuk tokoh ahli fikih. Dan kitab-kitab beliau adalah sebagai saksi atas pernyataan tersebut. Beliau termasuk murid pilihan al-Imam Ahmad. Al-Imam Abu Dawud menekuni majelis alImam Ahmad selama beberapa waktu dan banyak bertanya kepada beliau tentang beberapa permasalahan yang sangat mendalam dalam hal pokok dan cabang. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa sahabat yang menyerupai Nabi shallallaahu alaihi wa sallam dalam hal bimbingan dan akhlak adalah Abdullah bin Masud. Dan Alqamah adalah orang yang menyerupai Abdullah bin Masud. Ibrahim an-Nakhai adalah orang yang menyerupai Alqamah. Manshur bin al-Mutamir adalah orang yang menyerupai Ibrahim anNakhai. Kemudian Sufyan ats-Tsauri adalah orang yang menyerupai Manshur bin al-Mutamir. Waki bin al-Jarrah adalah orang yang menyerupai Sufyan ats-Tsauri. Sementara Ahmad bin Hanbal adalah orang yang menyerupai Waki bin al-Jarrah. Dan Abu Dawud adalah orang yang menyerupai Ahmad bin Hanbal. Setelah beberapa waktu lamanya beliau berkeliling dunia untuk menuntut ilmu, beliau pun kembali ke daerah asalnya yaitu Sijistan. Namun setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya beliau memutuskan untuk berpindah ke kota Bashrah dan menjadikannya sebagai tempat bermukim. Dan Allah subhaanahu wa taaalaa telah menjaga beliau untuk tetap istiqamah di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah di saat berkembangnya pemikiran sesat pada masa hidup beliau. Sosok al-Imam Ahmad bin Hanbal benar-benar memberikan pengaruh pada diri beliau di dalam berpegang teguh dengan kebenaran. Beliau wafat pada tanggal 16 Syawwal tahun 275 Hijriyah di kota Bashrah dalam usia 73 tahun. Al-Imam Abu Dawud telah mencapai puncak karirnya dalam ilmu hadits dan telah meninggalkan kepada kita berbagai warisan yang sangat berharga dalam bentuk karya tulis.

Karya Tulis Beliau 1. Kitab Sunan (Sunan Abi Dawud)

2. Al-Masa`il Allati Khalafa alaiha al-Imam Ahmad bin Hanbal. 3. Ijabatuhu ala Su`alat al-Ajurri 4. Risalah fi Washfi Talifihi li Kitab Sunan 5. Az-Zuhd 6. Tasmiyah Ikhwah Alladzina Rawa anhum al- Hadits. 7. Kitab Marasil 8. Kitab fi Rijal 9. Kitab al-Qadr 10. Kitab Nasikh 11. Musnad Malik 12. Kitab Ashab asy-Syabi Para pembaca rahimakumullah, dari kisah di atas kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting di antaranya: 1. Keteguhan al-Imam Abu Dawud di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah di saat berkembangnya pemikiran sesat pada masa hidup beliau. 2. Semangat beliau dalam menuntut ilmu walaupun harus melakukan perjalanan ke berbagai negara. 3. Semangat beliau dalam mendakwahkan kebenaran di antaranya dengan menulis berbagai kitab yang bermanfaat bagi kaum muslimin sampai saat ini. Semoga Allah subhaanahu wa taaalaa merahmati beliau dan memasukkan ke dalam JannahNya. Amin. Penulis: Ustadz Muhammad Rifqi

Anda mungkin juga menyukai