Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS ANASTESI SPINAL PADA PASIEN SEKSIO CESARIA DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT

Pembimbing Dr. Satriyo Y Sasono Sp. An Penyusun Novita Natasia Kandase

Kepaniteraan Klinik anastesi Rumah Sakit Otorita Batam Periode 3 September-6 Oktober 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta

LEMBAR PENGESAHAN

Nama NIM Judul Case

: : :

Novita Natasia Kandase 030.07.192 ANASTESI SPINAL PADA PASIEN SEKSIO

CESARIA DENGAN PRE-EKLAMSIA BERAT

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing Dr. Satriyo Y. Sasono, SpAn pada : Hari Tanggal : Senin : 1 Oktober 2012

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Anestesi Di Rumah Sakit Otorita Batam

Batam , 1 September 2012

Dr. Satriyo Y.Sasono, SpAn

KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan anugrah-Nya, pembahasan case tentang anastesi umum pada pasien seksio sesaria dengan pre eklampsia berat dapat diselesaikan. Pembahasan case ini disusun sebagai salah satu tugas dalam pelaksanaan kepaniteraan klinik bagian anastesi RS otorita batam periode 3 September-6 Oktober 2012. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Satriyo Y.Sasono, Sp.An selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini serta seluruh pihak yang telah membantu, sehingga case ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu sangat diharapkan kritik dan saran untuk perbaikan pembuatan case ini

Batam, 4 Oktober 2012

Penulis

PENDAHULUAN Seksio caesar berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat risiko morbiditas dan mortalitas ibu dibandingkan pada persalinan vaginal.11 Kematian ibu akibat risiko operasi caesar itu sendiri menunjukkan angka 1 per 1.000 persalinan.Seksio cesaria sering dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi; seperti, Perdarahan pascapersalinan, plasenta previa, solution placenta, kehamilan ektopik, pre eklamsia, diabetes, premature, antecare yang buruk. Alasan inilah yang sering diperbincangkan secara rinci mengenai baik buruknya.Pemilihan tehnik anestesi yang aman dan paling sesuai tergantung beberapa faktor. Baik untuk satu pasien belum tentu baik juga untuk yang lainnya. Pada umumnya, pemilihan anestesi berdasarkan : keamanan bagi ibu dan bayi, kenyamanan ibu, serta kemampuan tehnik anestesi. Pada dasarnya ada dua macam anestesi untuk SC yaitu General Anesthesia (GA) dan Regional Anesthesia (RA). GA biasanya diusulkan untuk pasien yang harus segera dilakukan anestesi, sebab tindakan pembedahannya harus benar- benar segera dilakukan. Sedangkan RA masih bisa digunakan apabila tekanan darah pasien tersebut belum terlalu tinggi,pasien tidak ada kejang sebelumnya dan operasi tersebut tidak harus segera dilakukan.Dalam keadaan ini, RA membutuhkan waktu yang lama, walaupun demikian ada beberapa faktor resiko GA yang dapat dihindari bila dilakukan RA. Biasanya RA merupakan tehnik yang dipilih bila waktu bukan merupakan faktor utama untuk dilakukan tindakan segera.

KASUS
Anestesi umum pada wanita yang dilakukan secio cesarea dengan pe-eklampsia berat I. Identitas Nama Umur Jenis kelamin Berat badan Agama Alamat Tanggal masuk : Ny.Masrina Lindawati : 36 tahun : Perempuan : 69 kg : Kristen : Mangsang Permai Blok J No.155 : 10 September 2012

II.

Anamnesis :

Dilakukan secara auto dan alloanamnesis.

Keluhan utama Perut mulas sekali sejak 2 hari sebelum masuk RS

Keluhan tambahan: Seluruh tubuh bengkak-bengkak sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang Pasien datang bersama suaminya ke unit gawat darurat Rumah Sakit Otorita Batam pada tanggal 30 September 2012 dengan keluhan peut pasien mulas sejak 2 hari yang lalu.Sebelumnya pasien telah diperiksa oleh

bidan pada tanggal 8 September 2012 hasilnya didapatkan pasien menderita tekanan darah tinggi 160/110 mmHg,dan pasien dirujuk ke RSOB untuk menjalani sectio cesarea.

Riwayat penyakit dahulu Riwayat penyakit darah tinggi disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal Riwayat penyakit kencing manis disangkal Riwayat penyakit asma disangkal Riwayat penyakit alergi obat disangkal Riwayat infeksi kronis disangkal

Riwayat penyakit keluarga Ada anggota keluarga yang menderita Hipertensi , tidak ada yang menderita diabetes, penyakit jantung ,dan gemelli Pasien pernah di secio cesarean 2 kali pada tahun 2008 dan 2011.

Riwayat obsetrik pada G3P2A0H2 Hamil 32 minggu Pro Sectio Cesarea 2x : Tinggi fundus uteri pertengahan pusat dan pocesus xyphoideus ( 28 cm ),memanjang,fluoting,hiss (-),DJJ 148X.menit.,taksiran berat janin 2600 gr. 1. Perempuan 4 tahun, cukup bulan 2700gr normal, Dokter 2. Laki-laki 18 bulan , cukup bulan 2900gr normal , Dokter 3. Hamil ini

III.

Pemeriksaan fisik

Status Generalis Keadaan umum Kesadaran Tanda vital : tampak sakit sedang : compos mentis ; GCS E4 V5 M6 : Tensi : 160/110 Nadi : 88 x/menit RR : 90 x/menit Suhu : 36C Pemeriksaan kepala Pemeriksaan leher Tiroid : tidak teraba membesar,massa (-) KGB : tidak teraba membesar Massa ( - )

Pemeriksaan torak Inspeksi : Pergerakan dinding dada pada saat pasien bernafas adalah simetris kanan kiri,tidak ada pergerakkan dinding dada yang tertinggal Palpasi : Vocal Fremitus kanan kiri teraba sama kuat

Perkusi : Terdengar suara hipersonor pada kedua lapang paru. Auskultasi

Auskultasi Paru : SN vesikuler kiri dan kanan,wheezing ( -/- ) ,rhonki ( -/- )

Jantung : S1 S2 reguler , murmur ( - ) , gallop ( - )

Pemeriksaan abdomen Inspeksi : perut buncit, tidak ada dilatasi vena,skar bekas operasi + Ekstremitas : Edema pada eksremitas superior et inferior dextra sinistra (+/+) ,akral hangat Auskultasi : peristaltic usus + normal Palpasi : perut tegang, nyeri tekan +

Pemeriksaan genitalia: Portio lunak,posterior,pembukaan kuncup,kepala hiperesktensi,penunjuk dan ketuban belum dapat dinilai,keluar lendir Dari dalam vagina. Status lokalis (region abdomen)
Inspeksi: Abdomen buncit Tidak ada dilatasi vena,skar bekas operasi Tinggi fundus uteri pertengahan pusat an procesus xyphoideus (28 cm ),memanjang,floating,his (-),DJJ 148x/menit,taksirn berat janin 2600.

Auskultasi : peristaltic usus + normal Palpasi : perut tegang, nyeri tekan +

IV.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium tanggal 9 September 2012 WBC : 11,4x 103/mm3 (3,5- 10) RBC : 4.61x 106/mm3(3.8-5.8) HGB : 12.1mg/dl HCT : 38.9% Diff count Limfosit : 19.5 % (17- 48) Monosit : 2.7 L% (4-10) Granulosit : 77.8 H% (43-76) MCV : 84 fL(80-97) MCH : 26.2 pq (26.5-33.5) MCHC: 31,1 g/dl(31.5-35)

Diagnosa G3A0P2,Hamil Aterm,Bekas SC 2X Tindakan 1.Dilakukan tindakan SC Cito 2.Dilakukan tindakan tubektomi

LAPORAN ANESTESI Pasien, Ny.Masrina,36 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi section cesaria yang dilakukan pada tanggal 10 September 2012 pada pukul 10.32 WIB.Posisi pasien saat operasi dalam posisi terlentang, dengan leher diekstensikan di atas meja operasi. Dengan dokter anestesi adalah dr.Diah Anissa,Sp.An dan operatornya dr. Adriyanti, Sp.OG. Operasi berlangsung dari jam 10.32 11.21 WIB dengan lama operasi selama 49 menit.Pasien ini termasuk ASA III. Dari hasil pemeriksaan fisik untuk tekanan darahnya didapatkan pasien menderita pre-eklampsia berat.Pada pasien dengan pre eklampsia berat,masih dapat digunakan anestesi spinal asalkan tekanan darah pasien tidak mencapai tekanan 200/100,pasien tidak mengalami kejang sebelumnya serta operasi tidak harus dilakukan segera. Dilakukan pemasangan alat-alat anestesi seperti tensimeter, elektroda EKG, oksimetri dan pada pasien ini telah dilakukan pemasangan IV line. Keadaan umum pasien sebelum operasi compos mentis, dengan tekanan darah 160/110 mmhg , nadi 88 x/menit, saturasi 100 %, suhu afebris dan mempunyai berat badan 69 kg. Posisi pasien supine,kemudian pasien diberi obat intravena premedikasi yaitu kliran 1 mg.Tujuan pemberian Kliran adalah untuk mengurangi rasa mual dan muntah pada pasien yang akan dianestesi.Efek kerja kliran adalah menekan Kemudian pasien diposisikan duduk dengan kepala fleksi,kedua tungkai diluruskan.Pasien diarahkan untuk tenang dan berdoa. Dilakukan anestesi spinal dengan cara menyemprotkan betadine pada daerah vertebra yang akan dilakukan penusukan dengan spinocain.Kemudian kulit di sekitar lokasi penusukan dibersihkan dengan kapas alkohol lalu ditusuk dengan spinocain no 27 pada L3-L4 mediana.Setelah jarum masuk ke ruang subarachnoid diaspirasi dilihat apakah jarum menusuk pembuluh darah atau tidak.Didapatkan jarum spinocain tidak menusuk pembuluh darah ditandai dengan tidak adanya darah dan ada keluar cairan LCS.

Kemudian disuntikan decain 12,5 mg,fentanyl 25.Pemberian decain untuk menghilangkan rasa nyeri selama pembedahan dan fentanyl untuk analgesic juga selama pembedahan.Kemudian pasien diposisikan supine kembali sambil ditanya apakah tungkai pasien bisa digerakkan atau tidak.Kita pantau tekanan darah,nadi dan satuasi pasien setiap 5 menit. Kemudian dimasukkan catapres 30 mg untuk menurunkan tekanan darah pasien.Diberikan induxin 20 mg ke dalam infus Asering untuk merangsang kontraksi uterus serta diberikan methergin 0,2 mg untuk merangsang kontraksi uterus. Kemudian seorang bayi lahir pada pukul 11.05 dengan jenis kelamin laki-laki.Pasien diberi infus Asering sebanyak 1000 cc,dengan jumlah perdarahan sekitar 350 cc.

TINJAUAN PUSTAKA

I.

MEDIKASI PRA-ANESTETIK

Tujuan medikasi pra-anestetik ialah mengurangi kecemasan menjelang pembedahan, memperlancar induksi, mengurangi kegawatan akibat anestesi. Selain itu, obat-obat ini akan mengurangi hipersalivasi, bradikardia, dan muntah yang timbul sesudah maupun selama anestesi. Ada 5 golongan obat yang diberikan sebagai medikasi pra-anestetik yaitu analgesic narkotik, sedative barbiturate, benzodiazepine, antikolinergik, dan neuroleptik. I. Analgesik Narkotik Morfin adalah analgesic narkotik yang digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anesthesia dengan trikloretilen, dan membantu agar anesthesia berlangsung baik. Diberikan dalam dosis 8-10 mg IM untuk tujuan di atas, sedangkan dosis 0,01-0,2 mg/KgBB IV cukup untuk menimbulkan efek analgesia. . II. Barbiturat Golongan barbiturate biasa digunakan untuk memberikan sedasi. Keuntungan menggunakan barbiturate ialah tidak memperpanjang masa pemulihan dan mengurangi reaksi yang tidak diingikan. Golongan barbiturate jarang menyebabkan mual

dan muntah, dan hanya sedikit menghambat pernapasan dan sirkulasi dibandingan morfin. Biasa digunakan pentobarbital dan sekobarbital secara oral atau IM dengan dosis 100-150 mg pada dewasa dan 1 mg/KgBB pada anak di atas 6 bulan. III. Sedatif Nonbarbiturat Digunakan apabila pasien alergi dengan barbiturate, seperti etinamat, glutetimid, dan kloralhidrat. IV. Benzodiazepin Lebih dianjurkan disbanding morfin dan barbiturat, karena pada dosis biasa tidak menambah depresi napas akibat opioid. Selain menyebabkan tidur juga menimbulkan amnesia retrogard dan dapat mengurangi rasa cemas. Midazolam IV disuntikkan 15-60 menit prabedah memberikan amnesia dengan masa kerja lebih singkat dan lebih sedikit efek samping. V. Neuroleptik Kelompok obat ini digunakan untuk mengurangi mual dan muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan. Kualitas sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan oleh morfin saja. VI. Antimuskarinik Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan anestetik inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama anestesi. Atropin 0,4-0,6 mg IM mencegah hipersekresi ini 1015 menit setelah penyuntikkan. Efek ini berlangsung 90 menit.

Anestesi Spinal

Pembagian Anestesi Atau Analgesia Regional 1.Blok Sentral ( blok neuroaksial ),yaitu meliputi blok spinal,epidural dan kaudal.Tindakan ini sering dikejakan. 2.Blok Perifer ( blok saaf ),misalnya blok pleksus brakialis,aksiler,analgesia regional intravena,dll. Anelgesia Spinal Analgesia Spinal ( intratekal,intradural,subdural,subaachnoid ) ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.Teknik ini sederhana,cukup efektif dan mudah dikerjakan. Indikasi : 1.Bedah Ekstremitas bawah 2.Bedah Panggul 3.Tindakan sekitar rektum-perineum 4.Bedah Obstetrik-Ginekologi 5.Bedah Urologi 6.Bedah Abdomen Bawah 7.Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasikan dengan anestesi umum ringan.

Indikasi Kontra Absolut 1.Pasien menolak 2.Infeksi pada tempat suntikan

3.Hipovolemi berat,syok

4.Koagulopati akan mendapat terapi antikoagulan 5.Tekanan Intrakranial Meninggi 6.Fasilitas Resusitasi Minim 7.Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anestesi Indikasi Kontra Relatif 1.Infeksi Sistemik ( Sepsis,Bakterimia ) 2.Infeksi sekitar tempat penyuntikan 3.Kelainan Neurologis 4.Kelainan psikis 5.Bedah lama 6.Penyakit Jantung 7.Hipovolemia ringan 8.Nyeri punggung kronis Persiapan Analgesia Spinal Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anestesia umum.Daerah sekitar tempat penusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini : 1. Infomed consent ( izin dari pasien ) 2.Pemeriksaan Fisik Tidak dijumpai adanya kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dll 3.Pemeriksaan Laboratorium anjuran

Hemoglobin,hematokrit,PT ( Protrombin Time ) dan PTT ( Partial Tromboplastin Time ) Peralatan analgesia spinal 1.Peralatan Monitor Tekanan Darah,nadi,oksimeter denyut ( pulse oxymeter ) dan EKG 2.Peralatan Resusitasi 3.Jarum Spinal Jarum spinal dengan ujung tajam ( ujung bambu uncing QuinckeBabcock ) atau jarum spinal dengan ujung pensil ( pencil point ,Whitecare )

Tekhnik Analgesia Spinal Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan.Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.Peubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. 1.Setelah dimonitor tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.Beri bantal kepala,selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil.Buat pasien membungkuk maksimal agar posesus spiunosus teraba.Posisi lain adalah duduk. 2.Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4-L5.Tentukan tempat penusukan misalnya L2-L3,L3-4,L4-5.Tusukan pada L1- 2 atau diatasnya beresiko trauma tehadap medula spinalis.

3.Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

4.Beri anestetik lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1- % 2-3 ml. 5.Cara tusukan median atau paramedian.Untuk jarum spinal besar 22 G,23 G atau 25 G dapat langsung digunakan.Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G,dianjurkan menggunakan penuntun jarum ( introducer ) yaitu jarum suntik biasa sempit 10 cc.Tusukan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal,kemudian masukkan jarum spinal berikut mandinnya ke lubang jarum tesebut.Jika menggunakan jarum tajam ( QUINCKE-BABCOCK ) irisan jarum ( bevel ) harus sejajar dengan serat duramater,yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke arah atas atau bawah.Untuk menghindari kebocoan likuo yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal.Setelah resistensi menghilang,mandrin jarum spinal dicabut dan likuor keluar,pasang sempit berisi obat-obatan dan dimasukkan pelan-pelan ( 0,5 ml/detik ) diselingi aspirasi sedikit,hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak kelua,putar arah jarum 90 derajat biasanya likuor keluar.Untuk analgesia spinal kontinu dapat dimasukkan kateter. 6.Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid ( wasir ) dengan anestetik hiperbarik.Jaraj kulit-ligamentum flavum dewasa kurang lebih 6 cm.

Anestetik Lokal untuk analgesia Spinal Berat jenis cairan cerebrospinal ( CSS ) pada suhu 37 derajat adalah 1.003 -1.008.Anestetik local dengan berat jenis sama dengan CSS Isobarik.Anestetik Lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.Anestetik local dengan berat lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.

Anestetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dnegan mencampur anestetik local dengan dekstrosa. Anestetik lokal yang digunakan untuk analgesi spinal

EKLAMPSIA
Definisi

Eklampsia ditandai dengan terjadinya kejang umum dan atau koma pada preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologik lainnya. Dahulu, eklampsia dikatakan sebagai hasil akhir dari preeklampsia, sesuai dengan asal katanya. Penyebab pasti dari kejang pada wanita dengan eklampsia tidak diketahui. Penyebab yang dikemukakan meliputi vasospasme serebral dengan iskemia lokal, hipertensi ensefalopati dengan hiperperfusi, edema vasogenik dan kerusakan endotelial. Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam deteksi dan penatalaksanaan, preeklampsia/eklampsia tetap menjadi penyebab umum kematian ibu yang kedua di Amerika Serikat ( sesudah penyakit tromboemboli), sekitar 15 % dari seluruh kematian. Bahkan, diperkirakan 50.000 kematian maternal di seluruh dunia disebabkan oleh eklampsia. Epidemiologi dan insiden Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan golongan sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau awal 20-an, tetapi prevalensinya meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid. Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran hidup di negara maju. Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/ 10.000 kelahiran hidup. Manifestasi klinis dan diagnosis Diagnosis klinis eklampsia didasarkan pada timbulnya kejang umum dan atau koma pada wanita dengan preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologis lainnya. Kejang eklampsia hampir selalu hilang sendiri dan jarang terjadi lebih dari 3-4 menit. Kejang eklamptik secara klinis dan elektroensefalografik tidak dapat dibedakan dari kejang tonik klonik umum lainnya. Secara umum, wanita dengan kejang eklamptik tipikal tanpa defisit neurologik fokal atau koma yang berlangsung lama, tidak dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan elektroensefalografik atau pencitraan serebral. Kondisi klinis selain eklampsia yang dapat dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi pada wanita hamil yang mengalami kejang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Diagnosis banding dari eklampsia Traumatik cerebrovaskuler -Perdarahan Intraserebral

-Trombosis arteri Penyakit hipertensi Hipertensi ensefalopati Pheochromocytoma Penekanan lesi pada susunan syaraf pusat Tumor otak Abses Kelainan metabolic Hipoglikemia Uremia Inappropriate antidiuretic hormone secretion resulting in water intoxiccation Infeksi Meningitis Encefalitis Trombotik trombositopenik purpura Epilepsi idiopatik Sekitar separuh dari seluruh kasus eklampsia terjadi sebelum aterm, lebih dari 20% terjadi sebelum kehamilan 31 minggu. Tiga perempat dari kasus terjadi pada kehamilan aterm, berkembang saat intrapartum atau selama 48 jam postpartum. Kejang karena eklampsia dapat muncul kembali pada saat postpartum. Sering selama beberapa jam sampai beberapa hari post partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai indikator klinis yang paling akurat dari pulihnya preeklampsia atau eklampsia, tetapi hal ini tidak menjamin tidak berulangnya kejang. Dapat pula terjadi eklampsia postpartum lanjut (kejang eklamptik yang berkembang > 48 jam postpartum, namun < 4 minggu postpartum) pada 25% kasus postpartum dan > 16% dari seluruh kasus eklampsia. Penatalaksanaan Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah komplikasi eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara terbaru pada penatalaksanaan wanita dengan eklampsia meliputi beberapa aspek, yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan mengontrol tekanan darah, 5

mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk persalinan. Bila terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya Mengontrol Kejang Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4 menit, obat anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-obat terpilih untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat (MgSO4). Pada wanita yang telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis, kadar magnesium plasma harus dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4 1-2 gram secara cepat. Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram MgSO4 secara cepat, diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk diberikan pada ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja MgSO4 dalam mereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme kerja MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak juga memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal bebas, mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau memiliki efek antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-Daspartat (yang merupakan fokus epileptogenik). Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan kejang eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat dimana efek anti konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek diazepam ini akan mengontrol kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit. Akan tetapi saat ini banyak peneliti menganjurkan untuk tidak menggunakan benzodiazepin karena sangat berpotensi untuk menyebabkan depresi pada janin. Secara klinis, efek ini menjadi bermakna ketika dosis total benzodiazepin pada ibu > 30 mg. B. Penatalaksanaan hipertensi Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara langsung 6 dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit berhubungan dengan tekanan darah diastolik. Terapi emergensi pada keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah tersebut masih belum jelas. Sebagian besar peneliti menganjurkan

untuk menggunakan anti hipertensi yang poten untuk mengatasi tekanan darah diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan tekanan darah sistolik > 160 mmHg, walaupun hal ini belum diuji secara prospektif. Pada wanita yang telah mengalami hipertensi kronik, pembuluh darah otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah sistolik yang lebih tinggi tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh darahnya, sedangkan pada orang dewasa dengan tekanan darah yang normal atau rendah mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada kadar tekanan darah yang lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk mencegah perdarahan serebrovaskular. Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV, diikuti dengan pemberian 5-10 mg bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit) atau labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap 10-20 menit dengan dosis ganda, namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal, dengan dosis kumulatif total 300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan perbaikan dengan segera setelah mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau mereka yang memiliki kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut Pencegahan kejang berulang Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun telah ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa wanita dengan eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah kejang dan komplikasi dari berulangnya aktivitas kejang tersebut, seperti: asidosis, pnemonitis aspirasi, edema pulmonal, neurologik dan kegagalan respirasi. Namun, pemilihan jenis obat untuk keadaan ini masih kontroversial. Ahli obstetrik telah lama menggunakan MgSO4 sebagai obat pilihan untuk mencegah berulangnya eklampsia, sementara ahli neurologi memilih anti konvulsan tradisional yang digunakan pada wanita yang tidak hamil seperti fenitoin atau diazepam. Permasalahan ini telah disepakati oleh sejumlah penelitian klinis terakhir dengan hasil seperti dibawah ini: The Eclampsia Trial Collaborative Group melakukan penelitian prospektif terhadap 905 wanita eklampsia yang secara random dipilih untuk mendapat Magnesium atau Diazepam dan 775 wanita eklampsia yang dipilh secara random menerima Magnesium atau Fenitoin. Pengukuran keluaran primer adalah kejang rekuren dan kematian maternal. Wanita dengan terapi Magnesium mendapatkan

separuh angka kejang rekuren dibandingkan dengan diazepam (13% dan 28%). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kematian maternal atau perinatal atau angka komplikasi diantara kedua kelompok. Wanita yang diberi magnesium memiliki sepertiga angka kejang rekuren dibandingakan dengan fenitoin (6% dan 17%). Dalam rangkaian penelitian ini wanita yang menerima magnesium <8% yang menerima perawatan intensif, <8% mendapat bantuan ventilator dan <5% menjadi pneumonia, dibandingkan dengan wanita yang diberikan fenitoin. Tidak ada perbedaan signifikan pada angka kematian maternal dan perinatal. Chocrane melaporkan bahwa MgSO4 lebih hemat dan lebih baik daripada litik koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid, klorpromazin dan meperidin hidroklorid) untuk mencegah pengulangan kejang pada wanita eklampsia. Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah, cara pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung) dan lebih sedikit efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin. Magnesium juga tampak secara selektif meningkatkan aliran darah serebral dan konsumsi oksigen pada wanita dengan preeklampsia. Hal ini tidak pada fenitoin. Dosis pemeliharaan MgSO4 adalah 2-3 gram/jam diberikan sebagai infus IV yang kontinyu. Fase pemeliharaan hanya jika reflek patella ada (kehilangan reflek tendon yang dalam adalah manifestasi pertama gejala hipermagnesemia), respirasi >12X/menit, urine output > 100 ml/ 4jam. Pemantauan kadar serum magnesium tidak diperlukan jika status klinis wanita tersebut dimonitor secara ketat untuk membuktikan toksisitas potensial magnesium. Juga tidak tampak suatu konsentrasi ambang yang jelas untuk meyakinkan pencegahan kejang, meskipun telah direkomendasikan sekitar 4,8-8,4 mg/dL. Dosis harus disesuaikan menurut respon klinis pasien,

Evaluasi pada persalinan Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa memandang usia kehamilan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan anak. Tetapi ini tidak perlu menghalangi dilakukannya induksi persalinan. Setelah dilakukan stabilisasi terhadap ibu, terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan cara yang paling sesuai untuk persalinan. Diantaranya usia kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan posisi janin. Secara umum, kurang dari sepertiga wanita dengan preeklampsia berat / eklampsia berada pada kehamilan preterm (< 32 minggu kehamilan) dengan serviks yang belum matang untuk dapat melahirkan pervaginam. Pada keadaan ini, obat-obat untuk mematangkan serviks dapat digunakan guna meningkatkan nilai Bishop, namun induksi yang terlalu lama harus dihindari. Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3 sampai 5 menit merupakan keadaan yang sering dijumpai selama dan segera setelah kejang eklampsia, dan hal ini tidak memerlukan tindakan seksio sesar emergensi. Tindakan stabilisasi ibu dapat membantu janin dalam uterus pulih kembali dari efek hipoksia ibu, hiperkarbia dan hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu sering berhubungan dengan takikardi janin kompensata bahkan dengan deselerasi denyut jantung janin sementara yang akan pulih kembali dalam waktu 20 sampai 30 menit. Prognosis Komplikasi pada ibu dengan eklampsia dapat terjadi hingga 70 % kasus, meliputi DIC, gagal ginjal akut, kerusakan hepatoselular, ruptura hati, perdarahan intraserebral, henti jantung paru, pneumonitis aspirasi, edema paru akut, dan perdarahan pasca persalinan. Kerusakan hepatoselular, disfungsi ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas neurologi akan sembuh setelah melahirkan. Akan tetapi kerusakan serebrovaskular akibat perdarahan atau iskemia akan mengakibatkan kerusakan neurologi yang permanen. Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Satu penelitian retrospektif terhadap 990 kasus eklampsia menemukan angka kematian ibu secara keseluruhan adalah 13,9% (138/990). Risiko paling tinggi (12/54 [22%]) dijumpai pada subkelompok wanita dengan eklampsia pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Tingkat kematian ibu dan komplikasi yang berat paling rendah dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan 9

prenatal yang teratur pada dokter yang berpengalaman pada fasilitas kesehatan tersier. Satu penelitian otopsi yang dilakukan segera setelah kematian pada wanita eklampsia menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari wanita yang meninggal dalam waktu 2 hari akibat kejang pada otaknya menunjukkan perdarahan dan perlunakan serebral. Perdarahan kortikal petekie merupakan yang paling sering dijumpai, khususnya meliputi lobus occipitalis. Edema serebral yang difus dan perdarahan masif lebih jarang dijumpai. Trombosis vena serebral sering dijumpai pada wanita dengan eklampsia paska persalinan. Angka kematian perinatal pada kehamilan eklamptik adalah 9-23% dan berhubungan erat dengan usia kehamilan. Angka kematian perinatal pada satu penelitian terhadap 54 parturien dengan eklampsia sebelum usia kehamilan 28 minggu adalah 93%; angka ini hanya sebesar 9% pada penelitian lain dengan rata-rata usia kehamilan pada saat melahirkan 32 minggu. Kematian perinatal terutama diakibatkan oleh persalinan prematur, solusio plasenta dan asfiksia intrauterin.

TABEL 3. Penatalaksanaan farmakologi krisis hipertensi akut Obat Dosis Keterangan

Direkomendasikan sebagai terapi utama Hidralazin 5 mg iv bolus diberikan dalam 10 menit x 2 dosis: kemudian dilanjutkan 10 mg iv bolus diberikan dalam 20 menit sampai tekanan darah stabil pada 140-150/90-100 mm Hg Labetalol 10-20 mg iv bolus : ulangi dalam 10-20 menit dengan dosis ganda (tidak lebih dari 80 mg dalam beberapa dosis tunggal) saampai total maksimum 300 mg. Nifedipin 10 mg oral dalam 30 menit x 2 dosis: kemudian 10-20 mg peroral per 4-6 jam Direkomendasikan pada wanita yang refrakter terhadap terapi utama Sodium nitroprusid 0,5-3,0 g/kg/min iv perinfus (tidak melebihi 800 g/min) Nitrogliserin 5 g/min iv perinfus

Hati-hati terhadap hipotensi dan kemungkinan a buruk pada perfusi uteroplasenta.

Hati-hati terhadap hipotensi dan kemungkinan a buruk pada perfusi uteroplasenta.

Nifedipin sublingual lebih baik dihindari

Sebaiknya hanya berpengalaman Kontraindikasi

dilakukan pada

oleh

seseorang

relatif

keadaan

hipe

ditingkatkan sesuai kebutuhan setiap 5 menit sampai dosis maksimum 100 g/min.

ensefalopati karena dapat meningkatkan aliran darah dan tekanan intrakranial.

Penatalaksanaan definitif dari hipertensi krisis yang disebabkan preeklampsia adalah terminasi kehamilan. Anestesi analgesik regional lebih sering dipakai pada keadaan ini jika tidak ada bukti-bukti terjadinya koagulopati dan tidak ada kontraindikasi untuk dilakukannya anestesi regional. Pada pasien-pasien ini penting untuk mencegah terjadinya hipotensi. Jika dibutuhkan anestesi umum maka diperlukan pengawasan tekanan darah dan diperlukan premedikasi untuk mencegah peningkatan tekanan darah yang seringkali dijumpai pada fase induksi dari anestesi umum. IV. Tatalaksana anastesia pada seksio sesaria Penatalaksanaan anestesi 1. Evaluasi pra anastesi a. Di cari masalah- masalah yang berkaitan dengan factor risiko atau penyulit anastesia yang ada pada ibu termasuk kontraksi rahim dan kondisi janin di dalam rahim. b. Langkah-langkah evaluasi yang dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan, terdahulu. c. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah Darah ; Hb, Ht, leukosit, trombosit, waktu perdarahan dan pembekuaan. Kimia darah ; sesuai indikasi meliputi fungsi hati, ginjal metabolic dan kalau perlu periksa elektrolit. Urin ; reduksi dan protein sesuai dengan tata laksana evaluasi

2. Persiapan praanastesi a. Persiapan rutin b. Persiapan khusus Koreksi keadaan patologis yang dijumpai, disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia. Berikan obata antagonis reseptor H2 secaraa intravena 5-10 menit atau secara IM satu jam prainduksi Berikan anatasid peroral 45 menit pra induksi c. Premedikasi

d. Terapi cairan pra bedah

3. Pilihan anastesi Operasi berencana a. Analgesia regional subaraknoid/epidural b. Anastesi umum melalui pipa endotrakea dan nafas kendali Operasi darurat a. Analgesia regional subaraknoid/epidural, untuk kasus distorsia atau kelainan letak b. Anastesia umum melalui pipa endotrakea dan nafas kendali, untuk kasus gawat janin dan perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA

1.Anonim (1998), Anesthesia for Cesarean Section, www.anesthesiologyinfo.com/articles/1032002b.php. 2. Carabuena MJ & Kodali SB (2003), Anesthesia for Cesarean Delivery, www.painfreebirthing.com/cs.htm. 3.Hagberg C et all (2001), Etiology and Incidence of Endotracheal Intubation Following Spinal Anesthesia for Cesarean Section , www.Brighamandwomens.org/painfreebirthing/csreg.asp. 4. Miguel G.FJ (2000), Prophylaxis Against Intraoperative Nausea And Vomiting During Spinal anesthesia for Cesarean Section , www.uam.es/departementos/medicina/anesnet/journals/ija/vol4n2/nvpo.htm. 5. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Perdarahan Post Partum dalam Standar Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 6. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage, http://www.emedicine.com 7. Mochtar, R., Lutan, D. (ed),1998, Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai