Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Jantung adalah organ yang berfungsi memompa darah untuk memenuhi kebutuhan suplai oksigen bagi seluruh jaringan. Darah akan mengalir melalui vena cava superior dan inferior darah dari sistem vena sistemik masuk ke dalam atrium kanan. Setelah itu, dipompakan ke ventrikel kanan melalui katup trikuspidal. Selanjutnya, ventrikel kanan akan memompakan darah ke dalam arteri pulmonal melalui katup pulmonal. Setelah mencapai kapiler alveoli, darah mengalami proses oksigenasi melalui difusi gas di alveoli paru. Darah yang telah berikatan dengan oksigen akan dialirkan ke dalam vena pulmonalis dan masuk ke atrium kiri. Selanjutnya, darah dipompakan ke ventrikel kiri melalui katup mitral. Darah yang terkumpul di ventrikel kiri kemudian akan dipompakan ke seluruh tubuh melalui katup aorta dan sistem vaskular sistemik (Udjianti, 2010). Perfusi yang adekuat menghasilkan oksigenasi dan nutrisi terhadap jaringan tubuh dan sebagian bergantung pada sistem kardiovaskular yang berfungsi baik. Aliran darah yang memadai bergantung pada kerja pompaan jantung yang efisien. Pembuluh darah yang paten dan respons, serta volume sirkulasi darah yang cukup. Aktivitas sistem darah, kekentalan darah dan kebutuhan metabolisme jaringan menentukan kecepatan aliran darah sehingga mempengaruhi juga aliran darah yang adekuat (Smeltzer & Suzanne, 2001).

Penyakit kardiovaskular saat ini menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia. Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga yang dilakukan secara berkala oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh penyebab kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998 (Perki, 2004). Penyakit aterosklerosis koroner disebabkan oleh kelainan metabolisme lipid, koagulasi darah, serta keadaan biofisika dan biokimia dinding arteri. Kondisi patologis yang terjadi ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa pada dinding pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri serta penurunan aliran darah ke jantung (Muttaqin, 2009). Penyakit Jantung Koroner (PJK) saat ini merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang, menggantikan kematian yang diakibatkan oleh penyakit infeksi. Diperkirakan pada tahun 2020 PJK menjadi pembunuh pertama dan tersering yakni sebesar 36% dari seluruh angka kematian, angka kematian ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian yang diakibatkan penyakit kanker. Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh penyakit kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK.

Berbagai faktor resiko yang mempunyai peran penting timbulnya penyakit jantung koroner mulai dari aspek metabolik, hemostasis, imunologi, infeksi, dan banyak faktor lain yang saling terkait (Depkes RI, 2006). Sebagai salah satu penyakit degeneratif, penyakit jantung koroner merupakan ancaman serius bagi kehidupan seseorang karena sifat penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini mempengaruhi arteri koroner yang memberi suplai darah, oksigen dan nutrisi ke miokardium (Ignativicium & Workman, 2006). Pada saat darah mengalir ke arteri koroner yang mengalami sumbatan total maupun parsial maka iskemi dan infark dapat terjadi pada miokard. Gangguan penyempitan arteri koroner menyebabkan berkurangnya aliran darah dan oksigen sehingga mengarah pada timbulnya sindroma angina, infark miokard dan serangan jantung mendadak yang menimbulkan kematian (Black & Hawk, 2005). Penatalaksanaan masalah arteri koroner dimulai pada fase prarumah sakit, untuk itu diperlukan edukasi yang memadai, baik untuk masyarakat umum maupun petugas kesehatan. Penanggulangan rasa nyeri harus dilakukan sedini mungkin untuk mencegah aktivasi saraf simpatis, karena aktivasi saraf simpatis ini dapat menyebabkan takikardia, vasokonstriksi, dan peningkatan tekanan darah yang lebih lanjut dapat memperberat beban jantung dan memperluas kerusakan miokardium. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menurunkan kebutuhan oksigen jantung dan meningkatkan suplai oksigen (Muttaqin, 2009). Upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka menghadapi permasalahan penyakit jantung dan pembuluh darah, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 984/MENKES/SK/X/2007 adalah

pemberian bantuan alat kesehatan untuk pelayanan intervensi non-bedah alat kesehatan ballon dan stent untuk masyarakat miskin melalui beberapa rumah sakit di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk mendekatkan pelayanan rujukan penyakit kardiovaskuler sedang dikembangkan pusat pelayanan jantung terpadu yang saat ini sudah ada di beberapa provinsi di Indonesia (MenKes, 2009). Terapi non-farmakologis yang biasanya digunakan untuk pasien dengan gangguan arteri koroner adalah dengan prosedur PTCA (Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty) dan CABG (Coronary Artery Bypass Graft). PTCA adalah usaha untuk memperbaiki aliran darah arteri koroner dengan memecah plak atau ateroma yang telah tertimbun dan mengganggu aliran darah ke jantung. Kateter dengan ujung berbentuk balon dimasukkan ke arteri koroner yang mengalami gangguan dan diletakkan di antara daerah aterosklerosis. Balon kemudian dikembangkan dan dikempiskan dengan cepat untuk memecah plak. Pasien yang menggunakan PTCA adalah pasien yang mempunyai lesi yang menyumbat paling tidak 70% lumen internal arteri koroner besar, sehingga banyak daerah jantung yang beresiko mengalami iskemia. Pasien tersebut juga yang tidak berespon terhadap terapi medis dan memenuhi kriteria untuk dilakukan bedah pintas arteri koroner. PTCA boleh dilakukan apabila kardiologis yakin bahwa prosedur yang dilakukan dapat memperbaiki aliran darah ke jantung (Muttaqin, 2009). Patel at al (2010) hasil setelah dilakukan percutaneous coronary intervention (PCI) menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan kejadian infark, vaskularisasi membaik, kekambuhan penyakit berkurang dan komplikasi perdarahan berkurang.

Jamal at al (2001) hasil penelitian pada pasien yang telah diberikan tindakan PCI dapat meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan resiko kekambuhan. Kecemasan lazim terjadi pada pasien penyakit jantung, 70% sampai 80% dapat terjadi selama fase akut dan menetap, 20% sampai 25% dapat terjadi dalam fase jangka panjang. Kecemasan fisiologis mempengaruhi sistem muskuloskeletal yang mengakibatkan ketegangan otot, sistem saraf otonom yang membangkitkan respon simpatik dan sistem psiko yang akan memicu sekresi katekolamin dan glukokortikoid. Keadaan ini menimbulkan dampak stres psikososial seperti kecemasan, karena kecemasan dapat menimbulkan

komplikasi aritmia, iskemik dan peningkatan kematian pasien jantung (Halm, 2009). Peningkatan kecemasan dapat terjadi pada pasien yang menderita penyakit jantung koroner, keadaan ini merupakan risiko yang kuat terhadap kematian pada pasien dengan penyakit jantung koroner (Shibeshi, Young-Xu, & Blatt, 2007). Kondisi kecemasan pada pasien akan memperberat penyakit yang dideritanya, karena kondisi tersebut akan mempengaruhi hemodinamik, gangguan imunitas, dan gangguan metabolisme, yang mengakibatkan suplai darah dan perfusi jaringan terganggu. Dengan demikian penyembuhan pasien akan terhambat sehingga lama hari rawat menjadi lebih lama dan biaya perawatan akan lebih besar (Sole et al., 2009). Keadaan tersebut terjadi karena kecemasan akan diproses oleh Cortex cerebri, kemudian dibawa oleh sistem limbik ke hipotalamus. Hipotalamus melepaskan neuropeptida yang selanjutnya akan merangsang kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis akan merangsang corteks adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid dengan bantuan ACTH (adrenocorticotropic

hormone) dan merangsang medulla adrenal untuk mengeluarkan katekolamin (epinefrin/adrenalin dan norepinefrin/noradrenalin) (Isaacs, 2005). PCI sebagai suatu diagnostik invasif yang dapat menimbulkan kecemasan tinggi pada pasien penyakit jantung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eng et al, (2007) mengatakan 12 dari 40 responden mengalami tingkat kecemasan tinggi sebelum dilakukan PCI dan 9 orang responden mengalami kecemasan setelah dilakukan PCI. Menurut Gallagher, Trotter, Donoghue (2010), pasien yang mendapatkan coronary angiography dan PCI mempunyai konsekuensi fisik dan psikologi yang mungkin negatif. Dari penelitian ini didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan berat terkait dengan prosedur medikasi, pengalaman terkait dengan angina atau hasil akhir dari prosedur utama terkait dengan PCI. Beberapa pasien sebelum dilakukan PCI dan coronary angiografi mengalami cemas. Untuk itu pengkajian rutin dan manajemen kecemasan harus dilakukan sebelum prosedur dilaksanakan. Menurut Frazier (2002), survei yang dilakukan pada 783 responden, 71,3% responden menyatakan bahwa penting untuk dilakukan pengkajian kecemasan. Terdapat dua indikator penting yang harus dikaji, agitasi pada pasien, dan respon verbal. Indikator penting yang lain juga harus diukur. Dari hasil penelitian menunjukkan 5 besar indikator kecemasan antara lain agitasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, respon verbal, dan kelelahan. Perawat memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keselamatan pasien melalui pengenalan secara dini dan memberikan tindakan yang cepat untuk

menangani masalah yang mengancam keselamatan pasien. Sehingga diperlukan tenaga perawat keperawatan kritis yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk merawat pasien yang akan menjalani prosedur intervensi koroner perkutan. Oleh karena itu tindakan untuk mengurangi kecemasan dan stres pada pasien perlu diperhatikan (Argstatter, Haberbosch, & Bolay, 2009; Hudak & Gallo, 1997). Tugas perawat sebelum pelaksanaan PCI adalah mempersiapkan pasien baik fisik dan mental. Adapun tujuan perawatan pasien sebelum prosedur adalah

memaksimalkan keselamatan dan kenyamanan pasien selama menjalani prosedur untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Kecemasan yang dirasakan pasien dapat dikurangi dengan menghilangkan sumber-sumber kecemasan ataupun dengan memberikan intervensi yang bersifat suportif. Pasien diberikan pendidikan kesehatan tentang prosedur PCI, obat-obat yang secara rutin diberikan seperti obat ansiolitik dan anastesi lokal untuk mengurangi kecemasan dan rasa nyeri pasien (O'grady, 2007). Hasil penelitian Harkness et al, (2003) selama periode menunggu untuk tindakan elektif PCI mempunyai dampak negatif terhadap pasien seperti penerimaan kecemasan dan sikap terhadap kualitas hidup yang tidak baik. Intervensi sederhana dengan memberikan pendidikan kesehatan yang dimulai pada saat sebelum tindakan diberikan dapat memberikan dampak yang positif terhadap kualitas hidup selama proses menunggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Coyer, et al, (2009), bahwa pasien PCI meningkat setiap tahun setiap decade terakhir. Untuk itu tatanan di

rumah sakit memberlakukan pendidikan secara komprehensif untuk pasien yang akan menjalani intervensi koroner perkutan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi lama rawat pasien. Dari hasil penelitian ini didapatkan pasien yang melakukan PCI membutuhkan pendidikan kesehatan pada saat pertama kali masuk dan pasien saat keluar dari rumah sakit (discharge). Pendidikan kesehatan yang diberikan secara terstruktur mempunyai efek lebih baik sehingga panduan yang diberikan dapat dibaca kembali oleh pasien dan keluarga. Corones (2009) mengemukakan bahwa kebutuhan informasi pada prePCI, intra-PCI, dan pasca-PCI serta pasca keluar rumah sakit sangat tinggi. Adapun informasi yang dibutuhkan antara lain tentang hasil PCI, implikasi kesehatan mereka, bagaimana meningkatkan kepedulian terhadap faktor risiko, dan upaya pencegahan (Thompson, 2008). Dari beberapa penelitian salah satunya yang dilakukan oleh Astin (2010), pasien yang mendapatkan prosedur PCI, membutuhkan informasi ataupun pendidikan kesehatan tentang prosedur yang akan dilakukan. Hal ini bertujuan untuk tingkat kecemasan pada pasien sehingga dalam kasus ini paramedik mempunyai atau memainkan peran yang sangat penting untuk pasien dan keluarganya. Berdasarkan uraian diatas, perawat perlu mengkaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien saat akan menjalani PCI. Serta perlu memberikan intervensi keperawatan untuk dapat mengurangi tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani PCI. Salah satu intervensi keperawatan yang dapat diberikan oleh perawat untuk mengurangi tingkat kecemasan pada pasien sebelum dilakukan prosedur adalah Health Education.

RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung adalah rumah sakit rujukan Jawa Barat yang memiliki sumber daya, sarana dan prasarana yang memadai dan terus menerus dikembangkan sebagai rumah sakit pendidikan. Rumah sakit ini memiliki berbagai instalasi salah satunya adalah instalasi rawat jantung. Berdasarkan laporan registrasi di ruang angiografi bulan Januari sampai Desember 2011, jumlah pasien yang dilakukan prosedur PCI berjumlah 423 orang. Hasil studi pendahuluan di ruangan Unit Perawatan Intensif Jantung (CICU) dan Ruang Angiografi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, setelah dilakukan wawancara terhadap beberapa pasien yang akan menjalani PCI, didapatkan data bahwa pasien mengatakan mengalami kecemasan terhadap proses tindakan dan kesembuhan terhadap penyakitnya dan mengatakan kurangnya informasi terkait dengan prosedur yang akan dilakukan. Wawancara dengan kepala ruangan intensif jantung, data yang didapatkan bahwa perawat melakukan program health education belum optimal kepada pasien yang akan menjalani PCI. Perawat hanya menjelaskan secara singkat terkait dengan tindakan yang akan dilakukan, dan perawat tidak mempunyai jadwal yang khusus untuk melakukan intervensi tersebut. Pasien yang akan menjalani PCI memiliki tingkat kecemasan yang berbeda dengan tindakan prosedur pada pasien yang lain. Tingkat kecemasan pada pasien ini akan lebih tinggi karena ancaman kematian yang tinggi. Salah satu peran perawat sebagai pemberi informasi kepada pasien terkait dengan tindakan yang akan dilakukan untuk mengurangi kecemasan pada pasien adalah dengan memberikan health education. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik

10

untuk melakukan penelitian Pengaruh health education terhadap tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh health education terhadap tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui pengaruh health education terhadap tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. 1.3.2 Tujuan khusus 1) Mengidentifikasi pengaruh health education terhadap tingkat

kecemasan pada pasien yang akan menjalani PCI. 2) Mengidentifikasi perbedaan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani PCI sebelum mendapatkan health education. 3) Mengidentifikasi perbedaan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani PCI sesudah mendapatkan health education.

11

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Aspek teoritis

Penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan tentang pentingnya health education dalam menurunkan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani PCI. 1.4.2 Aspek praktis

Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi perawat dalam penyusunan rencana keperawatan terutama dalam tindakan mandiri perawat untuk

memberikan health education pada pasien yang akan menjalani PCI.

Anda mungkin juga menyukai