Anda di halaman 1dari 47

REFERAT GAGAL JANTUNG PADA ANAK

Disusun oleh:

Imas Resa Palupi, S. Ked NIM. 072011101019

Dokter Pembimbing: dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A dr. Gebyar Tri Baskara, Sp.A dr. Ramzy Syamlan, Sp.A

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Di RSD dr. Soebandi Jember

SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK RSD DR. SOEBANDI JEMBER 2011

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i DAFTAR ISI ............................................................................................ ii PENDAHULUAN .................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2 Definisi .......................................................................................... 2 Etiologi .......................................................................................... 2 Patofisiologi ................................................................................... 7 Klasifikasi ...................................................................................... 16 Manifestasi klinis ........................................................................... 19 Diagnosis banding ......................................................................... 25 Diagnosis ....................................................................................... 25 Anamnesis ...................................................................................... 25 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 26 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 26 Penatalaksanaan ............................................................................. 27 Komplikasi ..................................................................................... 17 Prognosis ....................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 19

ii

PENDAHULUAN Peristiwa gagal jantung pada bayi dan anak merupakan sindroma klinik akibat miokardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolik, termasuk pertumbuhan (Pusponegoro, 2003). Keadaan ini timbul oleh kerja otot jantung yang berlebihan, biasanya karena faktor mekanik yaitu kelainan struktur jantung pada penyakit jantung bawaan (PJB) maupun didapat yang menimbulkan beban volume (preload) atau beban tekanan (afterload) yang berlebih dan faktor miokardium yaitu kelainan otot jantung sendiri atau insufisiensi miokardium seperti pada proses inflamasi atau gabungan kedua faktor di atas (Fred, 1996). Pada stadium awal gagal jantung, terjadi berbagai macam mekanisme kompensasi untuk mempertahankan fungsi metabolik normal, ketika mekanisme tersebut menjadi tidak efektif, manifestasi klinis yang timbul akan semakin berat (Supriyatno, 2009). Sampai saat ini belum ada data yang valid mengenai insidens gagal jantung akut pada anak. Gagal jantung memberi kontribusi terhadap estimasi 15 juta kematian anak tiap tahun di dunia, penyebab tersering adalah PJB. Menurut dr.Sukman Tulus Putra, SpA, Ketua Divisi Kardiologi Anak RSCM, penderita PJB 90% meninggal karena gagal jantung dalam usia kurang dari satu tahun, sedangkan sisanya terjadi pada umur 1-5 tahun. Penyebab gagal jantung pada umur 5-15 tahun umumnya kelainan jantung di dapat (diantaranya demam reumatik) (Supriyatno, 2009). Saat ini penentuan derajat gagal jantung masih menggunakan kriteria klinis gagal jantung yaitu kriteria Ross (kemampuan minum, laju jantung, laju nafas, dan keringat yang berlebihan) dan pada pemeriksaan penunjang non invasiv yaitu ekokardiografi. Tetapi sayangnya penilaian secara klinis pada anak usia di bawah 3 tahun seringkali tidak spesifik karena infeksi paru juga dapat menunjukkan tandatanda yang sama. Sampai saat ini strategi yang efektif dan cost-effective masih terus dikembangkan untuk menegakkan diagnosis gagal jantung secara obyektif melalui pemeriksaan laboratorium pada penderita yang telah memiliki penyakit atau pada penderita yang memiliki risiko untuk terjadi gagal jantung. Diharapkan dengan

strategi yang tepat memungkinkan klinisi memberikan terapi awal, mencegah atau paling tidak memperlambat terjadinya gagal jantung.

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Gagal jantung secara klasik dianggap sinonim dengan disfungsi pompa ventrikel kiri, biasanya bersifat progresif, berakhir dengan dilatasi, dinding tipis dan kontraktilitas yang buruk. Saat ini pengertian gagal jantung makin diperluas bukan hanya sebatas mekanisme pada jantung tetapi juga pada jalur-jalur yang mengakibatkan performa jantung menjadi abnormal. Sindrom klinis yang tampak merupakan manifestasi dari patofisiologi gagal jantung, yang meliputi interaksi yang kompleks antara sirkulasi, neurohormonal, dan kelainan molekuler (Supriyatno, 2009) Gagal jantung didefinisikan sebagai keadaan patologis dimana jantung tidak mampu memompa darah cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh (Fred, 1996). Gagal jantung pada bayi dan anak merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai oleh miokardium tidak mampu memompa darah ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh termasuk kebutuhan untuk pertumbuhan (Pusponegoro, 2004).

Etiologi Dalam hubungan yang luas ada dua faktor penyebab gagal jantung: (Fred, 1996) 1. Faktor mekanik (kelainan struktur jantung); kondisi miokardium normal, akan tetapi gangguan dari beban kerja yang berlebihan, biasanya kelebihan beban volume (preload) atau tekanan (afterload) akibat PJB atau didapat. 2. Faktor miokardium yaitu kelainan otot jantung sendiri atau insufisiensi miokardium, misalnya: a. Radang atau intoksikasi otot jantung pada penderita demam reumatik atau difteri.
2

b. Otot jantung kurang makanan, seperti pada anemia berat. c. Perubahan-perubahan patologis dalam struktur jantung, misal kardiomiopati. Pada masa perinatal dan bayi, gagal jantung lebih sering disebabkan oleh cacat struktural, sedang pada anak yang lebih tua penyakit struktural atau miokardum dapat ditemukan (Fred, 1996)

Etiologi Gagal Jantung pada Janin Dengan adanya ekokardiografi, gagal jantung telah makin dikenali pada janin sebagai hidrops. Sementara sebelumnya penyebab yang paling sering adalah anemia hemolisis dari penyakit Rh, transfusi janin/ ibu atau anemia hipoplastik, baru-baru ini gagal jantung ternyata terkait dengan aritmia jantung. Sebab-sebab lain gagal jantung dalam uterus meliputi insufisiensi katup semilunar atau katup atrioventrikuler masif (kadang-kadang ditemukan pada janin dengan penyakit kanal atrioventrikuler komplit atau penyakit ebstein), fistula arteriovenous besar sistemik, penutupan foramen ovale premature, atau penyakit radang miokardium. (Fred, 1996) Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung dalam Kandungan (Bernstein, 2003) Anemia Hemolitik akibat sensitisasi RH Transfusi ibu janin Anemia hipoplastik Anemia akibat parvovirus B-19 Aritmia Takikardi supraventrikular Flutter atrium Fibrilasi atrium Takikardi ventrikel Blokade jantung total Beban volume berlebih (volume overload) Regurgitasi katup atrioventrikular pada kanal AV Regurgitasi trikuspidal pada penyakit Ebstein Fistula arteriovenosa Miokarditis

Etiologi Gagal Jantung Masa Neonatal Disfungsi miokardium pada masa neonatal relatif jarang dan hampir selalu dihubungkan dengan masalah-masalah perinatal lain seperti asfiksia, sepsis, hipoglikemi, atau cedera sistem organ lain. Pastilah ini karena sistem sirkulasi normal diperlukan dalam uterus sesudah tebal embrio tiga atau empat sel, abnormalitas berarti yang menghalangi kecukupan perfusi jaringan pada kehidupan janin berakibat aborsi spontan trimester pertama (Fred, 1996). Masalah-masalah struktural, yang tersembunyi dalam kandungan sementara sistem sirkulasi tersusun pararel dengan tahanan pulmonal yang tinggi, dapat menyebabkan kesukaran hemodinamik ketika duktus arteriosus menutup dan tahanan vaskular paru-paru turun. Gejala gagal jantung akibat meningkatnya tekanan jantung kiri pada neonatus, biasanya akibat stenosis aorta atau koarktasio aorta, akan tampak pada minggu pertama atau kedua. Sedangkan pada peningkatan tekanan berlebihan (pressure overload) pada jantung kanan biasanya penderita akan tampak sianosis akan tetapi tidak memperlihatkan gejala gagal jantung, karena foramen ovale paten menyebabkan berkurangnya tekanan jantung kanan akibat shunt (pirau) dari kanan ke kiri (Fred, 1996). Pada kehidupan minggu pertama dan kedua, tahanan vaskular paru-paru tinggi sehingga anak dengan hubungan sisi jantung kiri dan kanan biasanya tidak timbul gagal jantung. Namun pada minggu ketiga dan keempat, tahanan vaskular paru-paru telah cukup menurun sehingga L-R shunt (pirau dari kiri kekanan) yang nyata pada setinggi ventrikel atau pembuluh darah besar (misalnya duktusarteriosus paten, jendela aorta pulmonal atau trunkus arteriosus), atau pada setinggi ventrikel (misalnya defek sekat ventrikel, ventrikel tunggal, kanal atrioventrikular komplet), akan menyebabkan gagal jantung. Pada fistula arteriovenosa sistemik (biasanya di kepala dan hati) menimbulkan lesi beban volume berlebih dan dapat ditemukan gagal jantung sebelum masa perinatal karena tidak tergantung tahanan vaskular pulmonal. Variasi kelainan frekuensi jantung dapat juga menimbulkan gagal jantung, ketika frekuensi jantung terlalu cepat (takikardia supraventrikular paroksismal, flutter
4

atrium, atau fibrilasi atrium), atau bila frekuensi terlalu rendah (blockade jantung kongental total). Kadang-kadang kelainan hematologis dapat menyebabkan gagal sirkulasi, anemia berat dapat menyebabkan gagal jantung curah tinggi, dan polisitemia yang berat dapat menyebabkan sindrom hiperviskositas. Tabel 2. Etiologi Gagal Jantung pada Neonatus Disfungsi Miokardium Asfiksia Sepsis Hipoglikemia Miokarditis Beban tekanan berlebih (pressure overload) Stenosis aorta Koarktasio aorta Sindrom hipoplastik Jantung kiri Beban volume berlebih (volume overload) Pirau setinggi pembuluh darah besar Duktus arteriosus paten Trunkus arteriosus Jendela aorta pulmonal Pirau setinggi ventrikel Defek sekat ventrikel Ventrikel tunggal tanpa sianosis pulmonal Kanal atrioventrikular Fistula arteriovenosus Takiaritmia Takikardia supraventrikular Flutter atrium Fibrilasi atrium Bradiaritmia Blokade jantung total congenital Etiologi Gagal Jantung Masa Bayi Selama masa bayi gagal jantung biasanya disebabkan oleh masalah struktural, walaupun kelainan pada otot jantung kadang-kadang ditemukan. Pada umur empat minggu tahanan vaskular paru-paru biasanya sangat menurun, dan hubungan antara sirkulasi sistemik dan pulmonal, jika cukup besar, sering menyebabkan gagal jantung.

Lesi beban volume berlebih dengan pirau dari kiri-ke kanan pada setinggi pembuluh darah besar (duktus arteriosus paten, trunkus arteriosus, atau jendela aorta pulmonal) menjadi bergejala pada umur ini. Gagal jantung dapat juga ditemukan pada anak dengan defek sekat ventrikel (VSD) besar sebagai lesi satu-satunya atau bersama dengan penyakit jantung yang lebih rumit, seperti transposisi arteri-arteri besar atau artresia trikuspidal. biasanya pirau setinggi atrium tidak menimbulkan gagal jantung, tetapi anomali muara vena balik pulmonal sering menimbulkan gagal jantung (Fred, 1996) Kelainan otot jantung yang ditemukan pada masa bayi meliputi fibroelastosis endokardial, penyakit glycogen storage tipe Pompe, miokarditis radang, kalsinosis koronaria, atau kadang-kadang anomali permulaan arteria koronaria kiri dari arteria pulmonalis dengan iskemia miokardium. Kardiomiopati metabolik, terutama defisiensi karnitin sistemik, kadang-kadang dapat ditemukan. Penyebab gagal jantung lain yang kurang sering selama masa bayi meliputi gagal ginjal, hipertensi sistemik, hipotiroidisme, penyakit Kawasaki dan kadangkadang sepsis yang menumpangi. Tabel 3. Etiologi Gagal Jantung Pada Bayi
Beban volume berlebih Pirau setinggi pembuluh darah besar Duktus arteriosus paten Trunkus arteriosus Jendela aorta pulmonal Pirau setinggi ventrikel VSD VSD dengan transposisi VSD dengan atresia trikuspidal Ventrikel tunggal Pirau setinggi atrium Anomali total muara vena pulmonalis Kelainan otot jantung Gagal jantung sekunder Penyakit ginjal Hipertensi Hipotirodisme Sepsis

Etiologi Gagal Jantung Masa Anak-anak Pada awal pertengahan masa anak-anak kebanyakan dari cacat congenital telah mengalami perbaikan atau diringankan (palliated). Namun gagal jantung dapat ditemukan dengan makin bertambahnya regurgitasi katup atrioventrikular pada anakanak dengan kanal atrioventrikular komplit atau sebagai akibat dari prosedur paliatif seperti pirau besar arteri sistemik ke pulmonal. Penyakit jantung didapat, seperti demam reumatik, miokarditis virus atau endokarditis bacterial dapat menimbulkan gagal jantung meliputi hipertensi akut (biasanya akibat glomerulonefritis), tirotoksikosis, toksisitas terapi kanker (termasuk radiasi atau doksorubisin (adriamycin)), anemia sel sabit, atau kor-pulmonal akibat fibrosiskistik (Fred, 1996). Tabel 4. Etiologi Gagal Jantung Pada Masa Anak-anak Penyakit jantung congenital yang diperingan (palliated) Regurgitasi katup atrioventrikular Demam reumatik Miokarditis virus Endokarditis bacterial Sebab-sebab Sekunder Hipertensi akibat glomerulonefritis Tirotoksikosis Kardiomiopati doksosrubisin (adriamycin) Anemia sel sabit Kormulmonale akibat kistik fibrosis

Patofisiologi Isi sekuncup jantung normal pada anak kurang lebih antara 50-70 cc. Jumlah ini pada ventrikel kanan maupun ventrikel kiri harus sama. Curah jantung adalah jumlah darah yang dikeluarkan oleh satu ventrikel selama satu menit. Pada anak berkisar antara 3-51 menit per m2 luas tubuh. Transport oksigen sistemik (TOS) dihitung sebagai hasil kali curah jantung dan kadar oksigen sistemik. Curah jantung dapat dihitung sebagai hasil kali frekuensi jantung dan volume sekuncup (FJ x VS).

Penentu utama volume sekuncup adalah beban pasca (beban tekanan), prabeban (beban volume) dan kontraktilitas (fungsi miokardium intrinsik).

Gagal Jantung Kanan Jantung kanan yang telah lemah, tidak kuat lagi memindahkan darah yang cukup banyak dari susunan pembuluh darah venosa (vena kava, atrium, dan ventrikel kanan) ke susunan pembuluh darah arteriosa (arteri pulmonalis). Oleh karena itu, darah akan tertimbun di dalam ventrikel kanan, atrium kanan, dan di dalam vena kava sehingga desakan darah dalam atrium kanan dan vena tersebut meninggi. Makin tinggi desakan darah dalam vena, vena makin mengembang (dilatasi) (Wahab, 2003). Dalam praktik, desakan venosa yang meninggi ini dapat dilihat pada vena jugularis eksterna. Penimbunan darah venosa sistemik akan menyebabkan pembengkakan hepar atau hepatomegali. Pada gagal jantung yang sangat, pinggir bawah hati dapat mencapai umbilikus. Hati yang membengkak ini konsistensinya keras, permukaannya licin, dan sering sakit tekan terutama pada linea mediana. Hepatomegali merupakan suatu gejala yang penting sekali pada gagal jantung kanan. Timbunan darah venosa pada vena-vena di bagian bawah badan akan menyebabkan terjadinya udem. Mula-mula udem timbul pada tempat mata kaki (pada anak yang sudah berdiri), jadi pada tempat terendah, karena meningginya tekanan hidrostatis merupakan suatu faktor bagi timbulnya udem. Mula-mula, udem timbul hanya pada malam hari, waktu tidur, dan paginya udem menghilang. Pada stadium yang lebih lanjut, udem tetap ada pada waktu siang hari, dan udem tidak timbul pada mata kaki saja, tetapi dapat juga terjadi pada punggung kaki, paha, kulit perut, dan akhirnya pada lengan dan muka. Akibat selanjutnya dari timbunan darah ini adalah asites, dan asites ini sangat sering dijumpai pada anak yang menderita gagal jantung. Dapat juga terjadi hidrotoraks, meskipun pada anak agak jarang dijumpai. Bila hidrotoraks, terlalu banyak akan memperberat keadaan dispnea penderita. Adanya kelemahan jantung kanan mula-mula dikompensasi dengan dilatasi dinding jantung kanan, terutama dinding ventrikel kanan. Adanya dilatasi dinding
8

ventrikel akan menambah keregangan miokardium sehingga akan memperkuat sistole yang berakibat penambahan curah jantung. Adanya dilatasi dan juga sedikit hipertrofi jantung akan menyebabkan pembesaran jantung atau disebut kardiomegali. Upaya penambahan curah jantung karena kelemahan juga dilakukan dengan menaikkan frekuensi jantung (takikardi). Pada akhirnya kelemahan jantung kanan ini tidak dapat dikompensasi lagi, sehingga darah yang masuk kedalam paru akan berkurang dan ini tentunya akan merangsang paru untukbernapas lebih cepat guna mengimbangi kebutuhan oksigen, akibatnya terjadi takipnea.

Gagal Jantung Kiri Jika darah dari atrium kiri untuk masuk ke ventrikel kiri pada waktu diastole mengalami hambatan akan menyebabkan tekanan pada atrium meninggi sehingga atrium kiri mengalami sedikit dilatasi. Makin lama dilatasi ini semakin berat sehingga atrium kiri, disamping dilatasi juga mengalami hipertrofi karena otot atrium ini terus menerus harus mendorong darah yang lebih banyak dengan hambatan yang makin besar. Oleh karena dinding atrium tipis, dalam waktu yang relatif singkat otot atrium kiri tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya untuk mengosongkan atrium kiri. Menurut pengukuran, tekanan ini mencapai 24-34 mmHg, padahal tekanan normal hanya 6 mmHg atau ketika ventrikel kiri tidak mampu memompa darah ke aorta (karena kelemahan ventrikel kiri), darah tertumpuk di ventrikel kiri, akibatnya darah dari atrium kiri tidak tertampung di ventrikel kiri, kemudian makin lama makin memenuhi vena pulmonalis dan akhirnya terjadi udem pulmonum (Wahab, 2003). Pengosongan atrium kiri yang tidak sempurna ini ditambah meningginya tekanan didalamnya, menyebabkan aliran di dalamnya, menyebabkan aliran darah dari paru ke dalam atrium kiri terganggu atau terbendung. Akibatnya tekanan dalam vv.pulmonales meninggi, dan ini juga akan menjalar ke dalam kapiler di dalam paru, ke dalam arteri pulmonalis dan akhirnya ke dalam ventrikel kanan. Akhirnya atrium kiri makin tidak mampu mengosongkan darah, bendungan dalam paru semakin berat, terjadilah kongesti paru. Akibatnya, ruangan di dalam paru
9

yang disediakan untuk udara, berkurang dan terjadilah suatu gejala sesak napas pada waktu bekerja (dyspnoe deffort). Disini, ventrikel kanan masih kuat sehingga dorongan darah dari ventrikel kanan tetap besar, sedangkan atrium kiri tetap tidak mampu menyalurkan darah, akibatnya bendungan paru semakin berat sehingga akan terjadi sesak napas meskipun dalam keadaan istirahat (orthopnea). Pada anak, adanya kongesti paru ini akan memudahkan terjadinya bronkitis sehingga anak sering batukbatuk. Darah yang banyak tertimbun dalam ventrikel kanan menyebabkan ventrikel kanan dilatasi, kemudian diikuti dengan hipertrofi, yang akibatnya akan terjadi kardiomegali. Dalam rangka memperbesar curah jantung, selain jantung memperkuat sistol karena adanya keregangan otot berlebihan, jantung juga bekerja lebih cepat, artinya frekuensi naik. Dengan demikian, terjadi takikardi. Oleh karena yang lemah adalah atrium kiri dan atau ventrikel kiri maka disebut gagal jantung kiri.

Gagal Jantung Kanan Kiri Pada umumnya gagal jantung pada anak adalah gagal jantung kanan atau kombinasi kanan dan kiri, dan jarang terjadi gagal jantung kiri yang berdiri sendiri. Secara klinis hal ini tampak sebagai suatu keadaan dimana penderita sesak nafas disertai gejala-gejala bendungan cairan di vena jugularis, hepatomegali,

splenomegali, asites dan edema perifer. Bila curah jantung karena suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolism tubuh, maka jantung akan memakai mekanisme kompensasi. Mekanisme kompensasi inin sebenarnya sudah dan selalu dipakai untuk mengatasi beban kerja atau pun pada saat menderita sakit. Bila mekanisme ini telah secara maksimal digunakan dan curah jantung tetap tidak cukup maka barulah timbul gejala gagal jantung.

10

Gambar 1. Patofisiologi gagal jantung

Mekanisme kompensasi ini terdiri dari beberapa macam : a. Mekanisme Frank Starling Jantung dipandang sebagai pompa dengan curah yang sebanding dengan volume pengisian dan berbanding terbalik dengan tahanan yang melawan pompannya. Gagal jantung akibat penurunan kontraktilitas ventrikel kiri menyebabkan pergeseran kurva penampilan ventrikel ke bawah. Karena itu pada setiap awal beban isi sekuncup menurun dibandingkan normal dan setiap kenaikan isi sekuncup pada gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir diastolic lebih tinggi daripada normal. Penurunan isi sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak sempurna sewaktu jantung

11

berkontraksi sehingga volume darah yang menumpuk dalam ventrikel semasa diastole lebih tinggi dibandingkan normal. Hal ini bekerja sebagai mekanisme kompensasi karena kenaikan beban awal, merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi berikutnya, yang membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar (Sitompul, 2004). Ketika volume akhir diastolic ventrikel naik, jantung sehat akan menaikkan curah jantung sampai maksimum dan curah jantung tidak dapat diperbesar lagi (sesuai dengan hukum Frank Sterling, gambar 1.1). Kenaikan volume sekuncup yang dicapai dengan cara ini disebabkan oleh regangan serabutserabut miokardium, dan menaikkan tegangan dinding juga, dan menaikkan konsumsi oksigen miokardium. Jantung yang berfungsi di bawah pengaruh berbagai jenis stress akan berfungsi sepanjang kurva Frank-Sterling yang berbeda. Otot jantung dengan kontraktilitas intrinsik yang terganggu akan memerlukan derajat dilatasi yang lebih besar untuk menghasilkan kenaikan volume sekuncup dan tidak akan mencapai curah jantung maksimal sama seperti miokardium normal. Jika rongga jantung dilatasi karena lesi yang menyebabkan kenaikan pra beban (preload) hanya akan ada sedikit ruangan untuk dilatasi dan memperbesar curah jantung selanjutnya. Sedangkan apabila ada lesi yang mengakibatkan kenaikan pasca beban (afterload) terhadap ventrikel (stenosis aorta atau pulmonal) akan mengurangi kinerja jantung, sehingga menyebabkan hubungan frank sterling tertekan. Kemampuan jantung imatur untuk menaikkan curah jantung dalam responnya terhadap kenaikan prabeban agak kurang daripada kemampuan jantung dewasa (matur). Dengan demikian bayi premature akan lebih terganggu oleh shunt setinggi duktus dari kiri ke kanan daripada bayi yang cukup bulan (Berman, 2004)

12

Gambar 2. Mekanisme Frank Sterling

b. Pertumbuhan hipertrofi ventrikel Pada gagal jantung, stress pada dinding ventrikel bisa meningkat, baik akibat dilatasi atau beban akhir yang tinggi (stenosis aorta). Peninggian stress terhadap dinding ventrikel yang terus menerus merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel dan kenaikan massa ventrikel.

Peningkatan ketebalan dinding ventrikel

adalah suatu mekanisme

kompensasi yang berfungsi untuk mengurangi stress dinding dan peningkatan massa serabut otot membantu memelihara kekuatan kontraksi

13

ventrikel. Meskipun demikian, mekanisme kompensasi ini harus diikuti oleh tekanan diastolic ventrikel yang lebih tinggi dari normal, dengan demikian tekanan atrium kiri juga meningkat akibat peninggian kekakuan dinding yang mengalami hipertrofi (Sitompul, 2004) c. Aktifasi neurohormonal Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi yang mencakup system syaraf adrenergic, system rennin-angiotensin,

peningkatan produksi hormone antidiuretik, semua sebagai jawaban terhadap penurunan curah jantung. Semua mekanisme ini berguna untuk meningkatkan tahanan pembuluh sistemik, sehingga mengurangi setiap penurunan darah. Selanjutnya semua ini menyebabkan retensi garam dan air, yang pada awalnya bermanfaat meningkatkan volume intravascular dan beban awal ventrikel kiri sehingga memaksimalkan isi sekuncup melalui mekanisme Frank Sterling. System saraf adrenergic Penurunan curah jantung pada gagal jantung dirasakan oleh reseptor-reseptor di sinus karotikus dan arkus aorta sebagai suatu penurunan perfusi. Sebagai akibatnya arus simpatis ke jantung meningkat dan tonus parasimpatis berkurang. Ada 3 hal yang segera terjadi : peningkatan laju debar jantung, peningkatan kontraktilitas ventrikel dan vasokontriksi akibat stimulasi reseptor alfa pada vena dan arteri sistemik. System Renin Angiotensin Rangsang untuk mensekresi renin dari sel-sel jukstagolemular mencakup : penurunan perfusi arteri renalis , rangsang langsung terhadap reseptor-reseptor jukstaglomerular oleh system saraf adrenergic yang teraktifasi. Rennin bekerja pada angiotensin I yang kemudian dengan cepat diubah menjadi angiotensin II oleh enzim

14

pengubah angiotensin (ACE). Peningkatan kadar angiotensin II berperan meningkatkan tahanan perifer total dan memelihara tekanan darah sistemik. Angiotensin II juga bekerja meningkatkan volume intravascular melalui dua mekanisme yaitu di hipotalamus merangsang rasa haus dan akibatnya meningkatkan pemasukan cairan dan bekerja pada korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi aldosteron. Kenaikan volume intravascular lalu meningkatkan beban awal dan karenannya meningkatkan curah jantung melalui mekanisme Frank Sterling. Hormon antidiuretik Pada gagal jantung, sekresi hormone ini meningkat oleh kelenjar hipofisis posterior akibat rangsang terhadap baroreseptor di arteri dan atrium kiri, serta oleh kadar angiotensin II yang meningkat dalam sirkulasi. Hormone antidiuretik berperan meningkatkan volume intravaskuler karena ia meningkatkan retensi cairan melalui nefron distal. Kenaikan cairan intravaskuler inilah yang

meningkatkan beban awal ventrikel kiri dan curah jantung.

15

Gambar 3 mekanisme kompensasi

Meskipun ketiga mekanisme kompensasi ini pada awalnya bermanfaat, pada akhirnya membuat keadaan menjadi buruk. Oleh karena itu dengan terapi obat-obatan sering diseuaikan untuk memperlunak mekanisme kompensasi neurohormonal.

Klasifikasi Ada empat parameter yang dapat digunakan untuk klasfikasi gagal jantung yaitu: 1. Fungsi miokardium 2. Kapasitas fungsional; kemampuan untuk mempertahankan aktivitas harian dan kapasitas latihan maksimal. 3. Outcome fungsional (mortalitas, kebutuhan untuk transplantasi) 4. Derajat aktivasi mekanisme kompensasi (contohnya respon neurohormonal)
16

Tabel 5. Klasifikasi Ross untuk gagal jantung pada bayi sesuai NYHA

Kelas I Tidak ada gejala atau pembatasan fisik Kelas II takipneu ringan atau bayi saat minum tampak berkeringat. Pada anak yang lebih besar tampak sesak bila beraktivitas. Tidak ada gagal tumbuh Kelas III takipneu tampak jelas atau tampak berkeringat saat minum ataupun aktivitas. Waktu minum menjadi lebih lama. Gagal tumbuh akibat gagal jantung Kelas IV saat istirahat tampak takipneu, retraksi atau berkeringat

Klasifikasi untuk anak tidak mudah dibuat karena luasnya kelompok umur dengan variasi angka normal untuk laju nafas dan laju jantung, rentang kemampuan kapasitas latihan yang lebar (mulai dari kemampuan minum ASI sampai kemampuan mengendarai sepeda), dan variasi etiologi yang berbeda pula. Ross dkk tahun 1922 mempublikasikan sistem skor untuk mengklasifikasikan gagal jantung secara klinis pada bayi (Tabel 6). Skor Ross ini disejajarkan dengan klasifikasi New York Heart Association (NYHA) (Tabel 5) dapat memberikan gambaran yang lebih rinci oleh karena peningkatan derajat beratnya gagal jantung sesuai dengan peningkatan kadar norepinefrin plasma dan kadar ini akan menurun setelah dilakukan koreksi ataupun setelah pemberian obat anti gagal jantung (Guyton, 2006).

17

Tabel 6. Sistem skor Ross untuk gagal jantung pada bayi 0 poin Volume minum (cc) Waktu persekali <40 menit sekali >115 1 poin 75-115 2 poin <25

minum (menit) Laju Nafas Pola Nafas Perfusi perifer <50/menit Normal Normal 50-60x?menit Abnormal Menurun Ada >60x/menit

S3 atau diastolic Tidak ada rumble Jarak tepi hepar <2 cm

2-3 cm

>3cm

dari batas kostae TOTAL: Tanpa gagal jantung : 0-2 poin Gagal jantung ringan : 3-6 poin Gagal jantung sedang : 7-9 poin Gagal jantung berat : 10-12 poin

Untuk anak lebih dari 1 tahun sampai remaja, Reittmann dkk menganjurkan menggunakan klasifikasi lain (Tabel 7). Dengan menggunakan skor ini bila skor lebih dari 6 mempunyai korelasi yang bermakna terhadap menurunnya aktivitas adenilat siklase.

18

Tabel 7. Sistem klinis gagal jantung pada anak Kriteria 0 Riwayat diaphoresis (berkeringat) Takipneau Pemeriksaan Fisik Pernafasan Laju Nafas/menit 1-6 th 7-10 th 11-14 th Laju jantung/menit 1-6 th 7-10 th 11-14 th <105 <90 <80 105-115 90-100 80-90 2-3 cm >115 >100 >90 >3 cm <35 <25 <18 35-45 25-35 18-28 >45 >35 >28 Normal Retraksi Dispneua Jarang Kadang-kadang Sering Hanya di kepala 1 Skor 2

Kepala dan badan Kepala dan badan saat beraktivitas saat istirahat

Hepatomegali (tepi <2 cm hepar dari tepi

kostae kanan)

Manifestasi Klinik Tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung adalah karena curah jantung rendah, adaptasi sistemik terhadap keadaan curah jantung rendah dan/ atau kongesti vena sistemik atau vena pulmonalis (Fred, 1996). Manifestasi klinis ini tergantung pada tingkat cadangan jantung pada berbagai keadaan. Bayi yang sakit berat atau

19

anak yang mekanisme kompensasinya telah sangat lelah pada saat dimana ia tidak mungkin lagi memperoleh curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal tubuh, akan bergejala pada saat istirahat (Beirstein, 2004). Walaupun fisiologi yang mendasari serupa, manifestasi klinik gagal jantung pada masa bayi dan masa anak-anak berbeda.

Manifestasi Klinis Gagal Jantung pada Masa Bayi Pada bayi, gagal jantung mungkin lebih sukar ditentukan. Manifestasi klinis yang menonjol adalah takipnea, kesukaran makan, pertambahan berat jelek, keringat berlebihan, iritabilitas, menangis lemah, dan pernapasan berisik, berat dengan retraksi interkostal dan subkostal serta cuping hidung mengembang. Tanda-tanda kongesti kardiopulmonal mungkin tidak dapat dibedakan dengan tanda-tanda bronkiolitis , termasuk mengi sebagai tanda yang paling mencolok. Pneumonitis dengan atau tanpa atelektase sering ada, terutama lobus medius dan bawah kanan, karena kompresi bronkus oleh jantung yang membesar. Hepatomegali hampir selalu terjadi, dan selalu ada kardiomegali. Walaupun takikardia mencolok, irama gallop seringkali dapat dikenali. Tanda-tanda auskultasi lain adalah tanda-tanda yang dihasilkan oleh lesi jantung yang mendasari. Penilaian klinis tekanan vena jugularis pada bayi mungkn sukar karena leher pendek dan sukar diamati pada keadaan relaks. Edema dapat menyeluruh, biasanya melibatkan kelopak mata serta sacrum, dan jarang, kaki maupun telapak kaki. Diagnosis bandingnya tergantung umur (Berstein, 2003) Kesukaran makan adalah gejala yang paling mencolok pada bayi dengan gagal jantung. Sementara bayi normal makan dengan penuh semangat, sering

menyelesaikan makan dalam 15 atau 20 menit, bayi dengan gagal jantung makan lebih sukar. Perawatan diperpanjang dan dihubungkan dengan takipnea yang nyata dan keringat bertambah. Beberapa bayi berjuang selama 5-10 menit dan tertidur, hanya bangun satu jam atau lebih lama dengan tidak puas-puasnya lapar lagi. Yang lain agaknya lelah dan tertidur sesudah makan hanya 1 atau 2 oz. Agaknya kesukaran
20

makan akibat dari gabungan antara upaya mengisap dan mempertahankan frekuensi pernapasan cepat, juga akibat dari cadangan jantung yang terbatas. Masukan kalori total pada keadaan ini dapat turun sampai dibawah 75 kkal/ kg/ hari, ini tidak cukup untuk mempertahankan pertumbuhan (Fred, 1996) Orangtua sering melihat keringat berlebihan (terutama ketika makan) yang tidak sebanding dengan suhu sekeliling atau pakaian. Ini disebabkan oleh bertambahnya aktivitas sistem saraf autonom dalam upaya memperbaiki kinerja (performance) miokardium. Pada pemeriksaan fisik anak hampir selalu takikardi dengan frekuensi jantung anak istirahat lebih dari 160 denyut permenit pada neonatus dan lebih dari 120 pada bayi yang lebih tua. Takikardi juga merupakan akibat bertambahnya katekolamin yang bersirkulasi yang memperbesar curah jantung dengan menambah kontraktilitas miokardium dan frekuensi jantung. Takipnea (frekuensi pernapasan istirahat lebih dari 60 pada neonatus atau lebih dari 40 pada bayi lebih tua) biasanya ada dan dikaitkan dengan bertambah kakunya paru-paru akibat bertambahnya cairan interstitial dari tekanan venosa paru-paru yang naik (udem pulmonal) atau aliran pirau besar dari kiri ke kanan. Ketika gagal jantung menjadi lebih berat, fungsi ventilasi dapat menjadi lebih terganggu dan dapat ditemukan kembang kempis cuping hidung (alae nasi), retraksi interkostal, dan dengkur. distensi vena leher tidak sering ditemukan pada neonatus, tetapi mungkin ditemukan pada bayi yang lebih besar. Tekanan vena sistemik naik akibat pembesaran hati, tetapi udem perifer tidak sering pada bayi dan hanya bersama dengan gagal jantung yang amat berat. Ekstrimitas dingin, nadi teraba lemah, dan tekanan darah arterial rendah dengan tekanan nadi sempit dapat ditemukan sebagai manifestasi dari curah jantung rendah. Ekstrimitas berbintik-bintik dan pengisian kembali kapiler lambat merupakan tanda-tanda gangguan vaskular yang lebih berat (Fred, 1996) Kadang-kadang, pemeriksaan dada menunjukkan mengi (wheezing) ringan yang dapat dirancukan dengan bronkiolitis atau pneumonia dan dapat diperburuk dari
21

penekanan jalan nafas oleh pembuluh darah paru yang mengembang. Ronki tidak sering kecuali bersama pneumonia, suatu hubungan yang tidak jarang. Penemuan pada pemeriksaan jantung bervariasi tergantung pada etiologi gagal jantungnya. Bayi dengan penyakit primer otot jantung biasanya dengan perikardium tenang: seseorang dengan gagal jantung dari beban volume berlebihan biasanya perikardium sangat aktif; seseorang dengan beban tekanan berlebihan dapat mempunyai thrill sistolik. Seringkali ada irama galop tetapi sukar dinilai pada frekuensi jantung yang cepat. Sinar-x dada hampir selalu menunjukkan kardiomegali; bila tidak ada harus merupakan tantangan diagnosis yang cukup serius. Pengecualian utama termasuk lesi obstruksi atrium kiri seperti kor triatriatum dan anomali total muara vena pulmonalis dengan obstruksi. Aliran darah pulmonal yang berlebihan ada pada mereka dengan gagal jantung akibat shunt besar dari kiri ke kanan, dan kekaburan difus karena kongesti vena paru ditemukan pada kebanyakan lainnya. Distribusi kembali aliran darah paru-paru ke lobus bagian atas tidak sering terjadi pada diafragma yang hiperekspansi dan datar, dan pembesaran atrium kiri dapat menyebabkan kolaps lobus bawah kiri. Elektrokardiogram jarang berguna dalam diagnosis, tetapi hampir selalu abnormal, dengan kelainan spesifik tergantung pada lesi penyebab gagal jantung. Ekokardiogram jarang berguna dalam penilaian fungsi ventrikel kiri. Fraksi pemendekan ventrikel kiri, interval waktu sistolik sisi kiri, dan angka pemendekan serabut melingkar sebagai fungsi stres dinding akhir sistolik telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi otot. Ekhokardiogram dapat juga mengesampingkan efusi perikardial. Dengan lesi beban volume berlebih kinerja miokardium mungkin normal; tanda-tanda dan gejala gagal jantung pada kasus ini disebabkan oleh beban volume jantung yang sangat besar bersama dengan fungsi miokardium normal atau bahkan meningkat. Manifestasi Klinis Gagal Jantung pada Masa Anak-anak

22

Tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung pada anak yang lebih tua sangat serupa dengan tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung pada orang dewasa. Tanda-tanda ini meliputi kelelahan, tidak tahan kerja fisik, batuk, anoreksia, dan nyeri abdomen (Berstein, 2003). Kesukaran bernafas merupakan tanda yang biasa dari dekompensasi ventrikel kiri pada anak akibat kongesti paru. Ini biasanya tampak sebagai dispneu pada waktu pengerahan tenaga dan respon kesukaran bernafas yang bertambah berat pada pengerahan tenaga yang berat. Mula-mula penurunan kemampuan mungkin masih dalam kisaran variasi normal, tetapi akhirnya, ketika gagal jantung bertambah berat, anak mungkin mendapat kesukaran dengan tuntutan hidup sehari-hari, termasuk naik tangga di sekolah. Batuk pendek kronik, akibat kongesti mukosa bronkus dan ronki basal, dapat juga ada pada beberapa anak. Ketika tekanan atrium kiri bertambah, anak dapat menderita ortopnea, memerlukan peninggian kepala diatas beberapa bantal pada malam hari. Kelelahan dan kelemahan merupakan manifestasi yang relative lambat (Fred, 1996) Pada pemeriksaan fisik, anak dengan gagal jantung ringan atau sedang tampak tidak dalam keadaan distres, tetapi mereka yang menderita gagal jantung berat mungkin dispneu pada waktu istirahat. Jika mulainya gagal jantung relative mendadak, anak mungkin tampak cemas tetapi perkembangan baik dan gizi baik; mereka yang mengalami proses lebih kronik biasanya tidak tampak cemas tetapi mungkin kurang gizi dan kurang energi. Seperti bayi, anak dengan gagal jantung biasanya takikardi karena naiknya aktifitas simpatis dan takipneu karena bertambahnya air dalam paru-paru . Curah jantung yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, berakibat dingin, pucat dan sianosis jari, dengan pengisian kapiler jelek. Kenaikan tekanan venosa sistemik dapat diukur dengan penilaian klinis tekanan vena jugularis dan pembesaran hati. Tekanan vena sistemik yang naik mungkin dideteksi oleh pelebaran (dilatasi) vena-vena leher dengan pulsasi vena dapat tampak di atas klavikula sementara penderita duduk. Hati mungkin membesar pada palpasi
23

atau perkusi, dan jika pembesaran relative akut, mungkin tepinya lunak karena meregangnya kapsul hati. Anak-anak dapat juga menderita udem perifer. Mula-mula tanda-tandanya mungkin tidak kentara, tetapi bila telah ada kenaikan berat badan 10%, muka terutama kelopak mata, mulai tampak bengkak dan udem terjadi pada bagian tubuh yang tergantung atau dapat anasarka. Udem yang sudah berjalan lama dapat menimbulkan kemerahan dan indurasi kulit., biasanya diatas betis dan pergelangan kaki. Eksudasi cairan ke dalam rongga-rongga tubuh dapat ditemukan sebagai asites dan kadang-kadang hidrothoraks. Pada pemeriksaan jantung hampir selalu ada kardiomegali. Sering ada irama gallop, tanda-tanda auskultasi lain khas untuk lesi jantung spesifik. Impuls jantung mungkin tenang bila ada penyakit otot jantung primer (missal, miokarditis atau kardiomiopati), tetapi biasanya hiperaktif bila gagal kongestif disebabkan oleh beban volume berlebih dari pirau kiri ke kanan atau regurgitasi katup atrioventrikula. Suara jantung ketiga yang terjadi dalam mid diastol mungkin merupakan tanda normal pada anak tetapi sering bersama dengan bertambahnya kekakuan ventrikel pada mereka yang dengan penyakit jantung. Pulsus alternans ditandai irama teratur dengan pulsasi kuat dan lemah berselang-seling, kadangkadang dapat dirasakan, tetapi lebih mudah dinilai sementara mengukur tekanan darah sistemik atau pemantauan tekanan darah. Pulsus alternans diduga disebabkan oleh perubahan pada volume ventrikel kiri, akibat pemulihan miokardiumnya tidak sempurna pada denyut yang berselang-seling. Pulsus paradoksus (turunnya tekanan darah pada inspirasi dan naik pada ekspirasi), akibat irama tekanan intrapulmoner yang mencolok yang mempengaruhi pengisian ventrikel (seperti pada tamponade pericardium), kadang-kadang ditemukan pada anak yang lebih tua. Pada anak, sinar-x dada hampir selalu menunjukkan pembesaran jantung. Gambaran aliran arteria pulmonalis normal terbalik (yaitu, aliran ke dasar paru paru bertambah dibandingkan dengan yang di apeks). Bila tekanan kapiler melebihi 20-25 mmHg, udem pulmonum interstisial mungkin terjadi, menyebabkan kekabutan
24

seluruh lapangan paru-paru terutama pada gambaran kupu-kupu sekitar hilus. Ini dapat menimbulkan garis Kerley, kepadatan linier tajam pada septum interlobarus. Pada gagal jantung kronik, proteinuria dan berat jenis kencing yang tinggi merupakan penemuan biasa, dan mungkin ada kenaikan urea nitrogen dan kreatinin darah, akibat menurunnya aliran darah ginjal. Kadar natrium darah dalam kencing biasanya kurang dari 10 mEq/L. angka elektrolit serum biasanya normal sebelum pengobatan tetapi hiponatremi, akibat bertambahnya retensi air, mungkin ditemukan pada gagal jantung lama yang berat. Hepatomegali kongestif dan sirosis kardiak dapat menyebabkan kelainan hati dan/ atau kenaikan bilirubin pada keadaan yang jarang (Fred, 1996).

Diagnosis Banding Infeksi saluran pernafasan

Diagnosis Dalam menegakkan diagnosis, diperoleh dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang meliputi foto dada, elektrokardiografi, ekhografi, analisis gas darah, dan melihat petanda biologis gagal jantung (Berstein, 2003)

Anamnesis Dari anamnesis dapat ditanyakan mengenai adanya: - sesak napas, - kesulitan minum/ makan, - bengkak pada kelopak mata dan atau tungkai, - gangguan pertumbuhan dan perkembangan (pada kasus kronis), - penurunan toleransi latihan, maupun keringat berlebihan di dahi.

25

Pemeriksaan Fisik Dari pemeriksaan fisik, antara lain: - Kompensasi karena fungsi jantung yang menurun maka akan tampak (Supriyatno, 1996) o takikardia, o irama galop, o peningkatan rangsangan simpatis, keringat dan kulit dingin/ lembab, o kardiomegali serta o gagal tumbuh. - Tanda kongesti vena pulmonalis (gagal jantung kiri) o takipnea, o ortopnea, o wheezing atau ronki pada auskultasi paru, o batuk. - Tanda kongesti vena sistemik (gagal jantung kanan) o peningkatan tekanan vena jugularis, o Edema perifer: palpebra udem pada bayi, udem tungkai pada anak, o Hepatomegali: kenyal dan tepi tumpul.

Pemeriksaan Penunjang Dari pemeriksaan penunjang, meliputi: - Foto toraks - EKG - Ekokardiografi - Analisis gas darah - Darah rutin Foto toraks menunjukkan adanya kardiomegali. Namun kardiomegali bukan selalu berarti adanya gagal jantung. Selain itu juga dapat menunjukkan adanya edema
26

paru, atelektasis regional, dan kemungkinan adanya penyakit penyerta seperti gambaran pneumonia. Elektrokardiografi dapat membantu menentukan tipe defek, adanya sinur takikardia, pembesaran atrium dan hipertrofi ventrikel, tetapi tidak untuk menentukan apakah terdapat gagal jantung atau tidak. Analisis gas darah dapat menunjukkan adanya asidosis metaboik disertai dengan peningkatan kadar laktat sebagai hasil dari metabolisme anaerob di dalam tubuh. Ekokardiografi dapat secara nyata menggambarkan stuktur jantung, data tekanan, dan status fungsional jantung sehingga dapat mengetahui pembesaran ruang jantung dan etiologi (Pusponegoro, 2004). Tes laboratorium yang mendukung adalah kadar saturasi oksigen, konsentrasi hemoglobin, elektrolit, kadar kalsium, BUN, creatin, fungsi ginjal dan fungsi hati. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan hasil anemia atau infeksi. Pengukuran kadar elektrolit berhubungan dengan hiponatremia akibat retensi air. Elevasi kadar potassium menunjukkan kompensasi ginjal atau destruksi jaringan akibat dari penurunan curah jantung. Pada gagal jantung kronik, penurunan aliran darah ke ginjal akan menunjukkan peningkatan kadar BUN dan kreatinin (Satuo, 2009). Pemeriksaan penanda biologis saat ini adalah kadar BNP yang meningkat pada gagal jantung. Brain Natriuretic peptide (BNP) merupakan hormone yang disintesis dan dilepaskan oleh miokardium ventrikel sebagai respon terhadap peningkatan tegangan dinding ventrikel dan berhubungan dengan tekanan pengisian ventrikel. Plasma BNP tidak secara langsung mencerminkan besarnya tekanan pada ventrikel atau beban volume, tetapi cermin adannya kegagalan pada ventrikel. BNP atau Nterminal prohormone BNP (NT-proBNP) level meningkat seiring dengan adanya dilatasi ventrikel. Elevasi serum BNP biasanya berguna untuk membedakan pasien gagal jantung kongestif dan suatu kelainan primer pada system respirasi. Kadar BNP lebih dari 100 g/ml berhubungan erat dengan gagal jantung pada anak-anak (Supriyatno, 2009)

27

Penatalaksanaan Keberhasilan pengobatan gagal jantung pada anak didasarkan pada pengertian mengenai sifat dan akibat fisiologis cacat jantung spesifik yang menyebabkan kegagalan jantung, dan tersedianya cara-cara pengobatan. Untuk mereka yang dengan penyakit struktural dan keadaan terkait atau keadaan yang memperburuk yang dapat merupakan penyebab yang mempercepat gagal jantung (misalnya demam, disritmia, dan anemia), pengenalan dan pengobatan segera dapat mengahsilkan perbaikan yang dramatis. Jika ada lesi anatomik spesifik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk tindakan pembedahan paliatif atau pembedahan koreksi, upaya farmakologik atau upaya lain yang memperbaiki tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung mungkin berlebih, masalah mekanik sering memerlukan penyelesaian mekanik. Namun jika pembedahan tidak tersedia atau tidak memadai, tersedia bermacam-macam cara umum dan farmakologis untuk memperbaiki keadaan klinik penderita (Fred, 1996) Penatalaksanaan Umum: 1. Tirah baring, posisi setengah duduk Pengurangan aktivitas fisik merupakan sandaran utama pengobatan gagal jantung dewasa, namun sukar pada anak. Olahraga kompetitif, yang memerlukan banyak tenaga atau isometrik harus dihindari, namun tingkat kepatuhan anak dalam hal ini sangat rendah. Jika terjadi gagal jantung berat, aktivitas fisik harus sangat dibatasi. Saat masa tirah baring seharian, sebaiknya menyibukkan mereka dengan kegiatan ringan yang mereka sukai yang dapat dikerjakan diatas tempat tidur (menghindari anak berteriak-teriak tidak terkendali) (Fred, 1996) Sedasi kadang diperlukan: luminal 2-3 mg/kgBB/dosis tiap 8 jam selama 1-2 hari (Pusponegoro, 2004) 2. Penggunaan oksigen. Penggunaan oksigen mungkin sangat membantu untuk penderita gagal jantung dengan udem paru-paru, terutama jika terdapat pirau dari kanan ke kiri yang mendasari dengan hipoksemia kronik.3 Diberikan oksigen 30-50% dengan kelembaban tinggi supaya jalan nafas tidak kering dan memudahkan sekresi
28

saluran nafas keluar (Pusponegoro, 2004). Namun, oksigen tidak mempunyai peran pada pengobatan gagal jantung kronik (Fred, 1996) 3. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. 4. Pembatasan cairan dan garam. Dianjurkan pemberian cairan sekitar 70-80% (2/3) dari kebutuhan. Sebelum ada agen diuretik kuat, pembatasan diet natrium memainkan peran penting dalam penatalaksanaan gagal jantung. Makanan rendah garam hampir selalu tidak sedap, lebih baik untuk mempertahankan diet adekuat dengan menambah dosis diuretik jika diperlukan. Sebaiknya tidak menyarankan untuk membatasi konsumsi air kecuali pada gagal jantung yang parah (Fred, 1996) 5. Diet makanan berkalori tinggi Bayi yang sedang menderita gagal jantung kongestif banyak kekurangan kalori karena kebutuhan metabolisme bertambah dan pemasukan kalori berkurang. Oleh karena itu, perlu menambah kalori harian. Sebaiknya memakai makanan berkalori tinggi, bukan makanan dengan volume yang besar karena anak ini ususnya terganggu. Juga sebaiknya makanannya dalam bentuk yang agak cair untuk membantu ginjal mempertahankan natrium dan keseimbangan cairan yang cukup (Wahab, 2003). 6. Pemantauan hemodinamik yang ketat. Pengamatan dan pencatatan secara teratur terhadap denyut jantung, napas, nadi, tekanan darah, berat badan, hepar, desakan vena sentralis, kelainan paru, derajat edema, sianosis, kesadaran dan keseimbangan asam basa (Pusponegoro, 2004). 7. Hilangkan faktor yang memperberat (misalnya demam, anemia, infeksi) jika ada Peningkatan temperatur, seperti yang terjadi saat seorang menderita demam, akan sangat meningkatkan frekuensi denyut jantung, kadang-kadang dua kali dari frekuensi denyut normal. Penyebab pengaruh ini kemungkinan karena panas meningkatkan permeabilitas membran otot ion yang menghasilkan peningkatan perangsangan sendiri. Anemia dapat memperburuk gagal jantung, jika Hb < 7 gr % berikan transfusi PRC. Antibiotika sering diberikan sebagai upaya pencegahan
29

terhadap

miokarditis/endokarditis,

mengingat

tingginya

frekuensi

ISPA

(Bronkopneumoni) akibat udem paru pada bayi/anak yg mengalami gagal jantung kiri.(Berstein, 2003). Pemberian antibiotika tersebut boleh dihentikan jika udem paru sudah teratasi. Selain itu, antibiotika profilaksis tersebut juga diberikan jika akan dilakukan tindakan-tindakan khusus misalnya mencabut gigi dan operasi. Jika seorang anak dengan gagal jantung atau kelainan jantung akan dilakukan operasi, maka tiga hari sebelumnya diberikan antibiotika profilaksis dan boleh dihentikan tiga hari setelah operasi. 8. Penatalaksanaan diit pada penderita yang disertai malnutrisi, memberikan gambaran perbaikan pertumbuhan tanpa memperburuk gagal jantung bila diberikan makanan pipa yang terus-menerus.

Karena penyebab gagal jantung begitu bervariasi pada anak, maka sukar untuk membuat generalisasi mengenai penatalaksanaan medikamentosa. Walaupun demikian, dipegang beberapa prinsip umum. Secara farmakologis, pengobatan adalah pendekatan tiga tingkat, yaitu: 1. Memperbaiki kinerja pompa jantung 2. Mengendalikan retensi garam dan air yang berlebihan 3. Mengurangi beban kerja Pendekatan pertama adalah memperbaiki kinerja pompa dengan menggunakan digitalis, jika gagal jantung tetap tidak terkendali maka digunakan diuretik (pegurangan prabeban) untuk mengendalikan retensi garam dan air yang berlebihan. Jika kedua cara tersebut tidak efektif, biasanya dicoba pengurangan beban kerja jantung dengan vasodilator sistemik (pengurangan beban pasca). Jika pendekatan ini tidak efektif, upaya lebih lanjut memperbaiki kinerja pompa jantung dapat dicoba dengan agen simpatomimetik atau agen inotropik positif lain. Jika tidak ada dari caracara tersebut yang efektif, mungkin diperlukan transplantasi jantung. (Fred, 1996). Untuk menilai hasilnya harus ada pencatatan yang teliti dan berulangkali terhadap

30

denyut jantung, napas, nadi, tekanan darah, berat badan, hepar, desakan vena sentralis, kelainan paru, derajat edema, sianosis, dan kesadaran (Pusponegoro, 2004)

Tabel 8. Dosis Obat-Obat Yang Biasa Digunakan Untuk Pengobatan Obat Digoksin Digitalisasi dibagi 3) (PO) (dosis Prematur/Neonatus 0,030,04 mg/kg Umur 2 minggu-2 tahun 0,04-0,08 mg/kg Lebih dari 2 tahun 0,040,06 mg/kg Digitalisasi (IV) (waktu dosis bervariasi, tergantung pada indikasi klinis Prematur/Neonatus 0,020,03 mg/kg Umur 2 minggu-2 tahun 0,04-0,06 mg/kg Lebih dari 2 tahun 0,020,04 mg/kg Rumatan dari dosis digitalisasi dibagi setiap 12 jam Furosemid IV PO 1-2 mg/dosis 4 mg/kg/24 qd, bid, atau Qid Klorotiazid (PO) 20-25 mg/kg/24 jam dua Kali Spironolakton (PO) 2-3mg/kg/24 jam,bid, atau Qid Tablet 25 mg dan 100 mg Ampul (2 ml) 10 mg/ml Tablet 40 mg Ampul (2ml) 0,25 mg/ ml Tablet 0,25 Mg Dosis Sediaan

31

Agen penurun beban Nitroprusid (IV) Hidralazin IV PO Kaptopril Agonis- (IV) Isoproterenol Dopamin Dobutamin Amniron (IV) 0,01-0,5 Kg/kg/menit 2-20 g/kg/menit 2-20 g/kg/menit ,75 mg/kg/bolus selama 2-3 menit 5-10 /kg/menit 0,1-0,5 mg/kg 0,5-7,5 mg/kg/24 jam tid 0,5-6 mg/kg/24 jam qid 0,5-8 g/kg/menit

Meningkatkan Daya Kerja Jantung Digitalis merupakan obat anti gagal jantung yang paling banyak dipakai pada bayi dan anak. Prinsip efek farmakologik digitalis ialah meningkatkan kontraksi otot jantung (inotropik positif) dan memperlambat frekuensi denyut jantung (kronotopik negatif). Efek ini menyebabkan curah jantung meningkat, desakan vena sentralis menurun dan ruangan jantung mengecil (Berstein, 2003). Dengan membaiknya sirkulasi terjadi diuresis (pra beban menurun) sehingga curah sekuncup meningkat. Dianjurkan supaya selalu memakai satu macam preparat saja yang dapat diberikan peroral maupun parenteral supaya memperoleh pengalaman dan mudah mengenal tanda-tanda intoksikasinya. Preparat yang dianjurkan untuk bayi dan anak ialah digoksin, karena preparat ini dapat digunakan secara oral maupun parenteral. Secara oral, digoksin dapat diserap antara 60-85%. Juga dapat digunakan pada keadaan gawat darurat maupun dalam keadaan kronis. Efek maksimal terjadi pada sekitar 2-6 jam sesudah pemberian per oral, efek awal dapat dilihat sesudah 30 menit pemberian.

32

Bila obat diberikan secara intravena, efek awal terlihat pada sekitar 15-30 menit, dan efek puncak terjadi pada sekitar 1-4 jam. Sebagian terbanyak dari dosis inisial dieksresikan melalui ginjal dalam waktu 24 jam dan menghilang dari tubuh dalam waktu 48-72 jam (Pusponegoro, 2004). Pemakaian digitalis harus hati-hati karena respons dan toksisitas bersifat individu dan juga sempitnya batas antara dosis terapi dan dosis toksis. Dosis disesuaikan dengan respons penderita. Pada inflamasi miokardium, pasca operasi jantung dan bayi prematur, umumnya sensitivitas miokardium meningkat terhadap digitalis. Untuk menghindari efek buruk digitalis maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut: 1. Instruksi harus jelas tentang macam preparat dan cara pemberian, harus ditulis. 2. Lakukan EKG sebelum pemberian digoksin untuk membedakan apakah perubahan EKG yang mungkin terjadi akibat digitalis atau akibat penyakitnya. 3. Jika mungkin periksa kadar K dan Ca++ karena pada hipokalemi dan hiperkalsemi, mempercepat keracunan digitalis. Karena hipokalemi relative sering pada penderita yang mendapat diuretik, maka diuretik harus dipantau dengan ketat pada penderita yang mendapat diuretik yang memboroskan kalium (furosemid). 4. Untuk penderita gagal jantung dengan udem, gunakan cara suntikan intravena. 5. Gunakan dosis efektif paling rendah. 6. Perhitungan dosis harus juga cermat. Dikenal 2 cara pemberian: dosis digitalisasi (dosis inisial) dan rumatan. a. Pada digitalisasi (dosis inisial), setengah dosis digitalisasi total diberikan segera pada permulaan, 6-8 jam kemudian seperempat dosis digitalisasi total dan sisanya 6-8 jam kemudian.10 Kadang-kadang untuk memperoleh efek digitalisasi yang maksimal diperlukan dosis keempat yang sama dengan dosis ketiga. EKG harus dipantau dengan ketat dan irama ekg diambil sebelum setiap pemberian masing-masing pemberian digitalisasi tersebut. Digoksin harus dihentikan jika ditemukan gangguan irama baru (Berstein, 2003). b. Rumatan
33

Terapi digitalis rumat dimulai sekitar 12 jam sesudah digitalisasi penuh.1 Dosis harian dibagi dalam dua bagian dan diberikan pada interval 12 jam agar kadar darah kurang lebih tetap dan fleksibilitasnya lebih besar pada kasus keracunan. Dosis rumat adalah 1/5-1/3 dari dosis digitalisasi total. Dosis maksimum untuk rumatan adalah 2 x 0,125 mg atau 2 x tablet digoksin.(Wahab, 2003). Untuk penderita yang yang pada mulanya didigitalisasi secara intravena, digoksin rumat dapat diberikan secara oral jika makanan oral dapat diterima. Karena penyerapan dari saluran pencernaan kurangpasti, dosis rumat oral biasanya 20-25% lebih tinggi daripada jika digoksin digunakan secara parenteral. Dosis digoksin harian normal untuk anak yang yang lebih tua (umur lebih dari 5 tahun) yang dihitung dengan berat badan harus tidak melebihi dosis dewasa biasa 0,2-0,5 mg/24 jam (Beirstein, 2003). 7. Pada kasus yang tidak begitu berat,pemberian digitalis dapat langsung dengan dosis rumatan. Tanda bahwa digitalis berefek antara lain: 1. Frekuensi jantung dan respirasi berkurang 2. Hepar mengecil 3. Perasaan lebih enak 4. Volume urin 24 jam bertambah Keracunan digitalis yang mudah terjadi karena sempitnya batas dosis optimum dan dosis toksik, dapat menyebabkan kematian. Faktor predisposisi keracunan digitalis adalah hipokalemia. Hipokalemia sering terjadi pada pemberian diuretik yang kuat, pada anak dengan muntah-muntah, pada terapi steroid. Oleh karena itu, bila pada anak diberi digitalis kombinasi dengan diuretik, jangan lupa memberi preparat kalium (Wahab, 2003). Kadar kalsium yang tinggi juga dianggap menambah sensitivitas miokardium terhadap digitalis. Oleh karena itu, pada waktu pemberian digitalis jangan sekali-kali diberi kalsium secara intravena, pemberian ini dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Gejala klinik keracunan digitalis antara lain:
34

- Mual muntah - Takiaritmia, blokade atrioventrikular Penanganan intoksikasi digitalis antara lain: 1. Hentikan pemberian digitalis 2. Hentikan pemberian diuretik 3. Lakukan pemantauan EKG terus menerus 4. Obati segala aritmia yang timbul, bradikardia bila ada dapat diatasi denganatropin 0,01 mg/kg/dosis im. Jika tidak ada perbaikan, dapat diberikan dilantin 1 mg/kg iv perlahan-lahan dalam 12 menit yang dapat diulangi tiap 5 menit sampai ada perbaikan atau telah mencapai 10 dosis. 5. Periksa kadar elektrolit dan beri kalium seperlunya sampai kadar kalium mencapai harga normal, kalium diberikan per os 12 gr/hari. Pada keracunan berat dapat diberikan infus yang mengandung kalium, jangan melebihi 80 mEq/kg/jam. 6. Pikirkan untuk melakukan transfusi tukar Sampai kapan digitalis harus diberikan, belum ada persesuaian pendapat. Pada bayi setelah gagal jantung teratasi, digitalis dilanjutkan kadang -kadang sampai 2 tahun. Keadaan klinik dan penyakit primer sangat penting sebagai patokan pemberhentian pengobatan. Penderita yang tidak sakit berat dapat didigitalisasi pada mulanya dengan secara oral, dan pada kebanyakan digitalisasi diselesaikan dalam 24 jam. Bila diinginkan digitalisasi lambat, misalnya pada masa segera pasca bedah, skema memulai rumat digoksin tanpa dosis inisial sebelumnya, akan mencapai digitalisasi dalam 7-10 hari. Hal ini sering dapat dilakukan pada penderita rawat jalan (Beirstein, 2003). Jika bayi membaik dengan memuaskan dengan digitalis selama beberapa bulan dan kebutuhan obat tampak mengurang (misal, VSD yang menjadi semakin kecil), dosis tidak ditambah meskipun berat anak bertambah. Jika keadaan klinis menguatkan, obat akhirnya dihentikan. Pengukuran kadar digoksin serum berguna pada beberapa keadaan: 1. Bila dosis baku digoksin tidak mempunyai pengaruh terapeutik yang bermanfaat
35

2. Bila jumlah digoksin yang diberikan tidak diketahui atau tertelan secara tidak sengaja 3. Bla fungsi ginjal terganggu atau jika ada kemungkinan interaksi obat (misal quinidin) 4. Bila ada masalah berkenaan dengan kepatuhan 5. Bila dicurigai ada keracunan. Darah biasanya diambil segera sebelum satu dosis tetapi minimum 4 jam sesudah dosis terakhir sehingga telah terjadi keseimbangan jaringan/ plasma. Kadar darah normal pada bayi sekitar 2-4 ng/ml dan pada anak yang lebih tua 1-2 ng/ml melebihi kadar ini biasanya tidak aka nada tambahan yang berarti pada manjemen gagal jantung dan hanya akan menambah risiko keracunan. Pada kecurigaan adanya keracunan, kadar digoksin serum yang tinggi tidak dengan sendirinya didiagnosis keracunan tetapi harus diartikan sebagai pelengkap terhadap tandatanda klinis dan EKG lain (gambaran irama dan hantaran). Nausea dan muntah agak kurang sering pada penderita pediatri. Hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, radang jantung karena miokarditis, dan prematuritas semuanya dapat memperkuat keracunan digitalis. Aritmia jantung yang terjadi pada anak yang minum digitalis juga dapat akibat penyakit primernya bukannya akibat obat. Namun setiap bentuk aritmia pasca pemberian terapi digitalis harus dianggap obat sampai terbukti lain. Dosis berikutnya harus dihentikan sampai masalahnya teratasi (Beirtein, 2003). Mengurangi Beban Kerja Jantung Istirahat setengah duduk (45) bertujuan untuk menurunkan prabeban sehingga bendungan yang terjadi akan berkurang. Vasodilator bekerja dengan cara mengurangi prabeban (golongan venodilator) karena dapat menurunkan tonus vena sistemik,dan/ atau beban pasca (golongan arteriodilator) dengan cara mengurangi tahanan vaskuler perifer, sehingga dapat memperbaiki kinerja miokardium. Pemberian vasodilator memerlukan pengamatan yang ketat terhadap pengisian jantung dan tekanan darah

36

arteri. Pengurang beban pasca terutama berguna pada anak dengan gagal jantung akibat kardiomiopati dan pada beberapa penderita dengan insufisiensi mitral dan aorta berat. Mereka dapat juga efektif pada penderita dengan gagal jantung akibat pirau dari kiri ke kanan. Obat inibiasanya tidak digunakan bila ada lesi stenosis saluran aliran keluar ventrikel kiri. Obat pengurang beban pasca paling sering digunakan bersama dengan obat-obat anti kongestif lainnya, seperti digoksin dan diuretic (Beirstein, 2003) Vasodilator terdiri dari: - vasodilator arterioral (hidralazin), - vasodilator venodilator (nitrogliserin, isosorbid dinitrat), dan - gabungan (ACE inhibitor). 1. Nitroprusid Nitroprusid hanya diberikan pada pelayanan di ruangan intensif dan spendek mungkin. Waktu paruh intravenanya yang pendek membuatnya ideal untuk memberikan dosis sedikit demi sedikit pada penderita yang sakit berat. Vasodilatasi arteri perifer dan pengurangan beban pasca merupakan pengaruh utamanya, tetapi dilatasi vena menyebabkan pengurangan aliran vena balik pada jantung yang mungkin menguntungkan. Tekanan darah harus terus menerus dipantau dengan cara-cara intra arterial, karena hipotensi mendadak dapat terjadi pada kelebihan dosis. Nitroprusid terkontraindikasi bila sebelumnya telah ada hipotensi. Ketika obat dimetabolisasi, dihasilkan sejumlah kecil sianida dalam sirkulasi, yang didetoksifikasi dalam hati menjadi tiosianat yang dieksresikan dalam urin. Namun, bila diberikan dosis tinggi nitroprusid selama beberapa hari, gejala-gejala keracunan akibat racun tiosianat dapat terjadi, seperti kelelahan, nausea, kehilangan orientasi, dan spasme otot. Dosis untuk anak 0,5-8 g/kg/menit. Jika peggunaan nitroprusid lama, kadar tiosianat darah harus dipantau: nilai > 10Kg/dL sesuai dengan gejala klinis keracunan (Beirstein, 2003). 2. Hidralazin

37

Hidralazin merupakan relaksan otot polos arterioler langsung dan sebenarnya tidak berpengaruh pada prabeban. Kadang-kadang diberikan bersama dengan obat venodilatasi, seperti salah satunya adalah derivate nitrat. Dosis hidralazin oral yang biasa adalah 0,5-7,5 mg/Kg/24 jam dalam tiga dosis terbagi. Banyak penderita yang semakin lama memerlukan dosis yang semakin lama semakin besar agar pengaruh dilatasi perifernya bertahan (takifilaksis). Reaksi yang merugikan pada hidralazin adalah nyeri kepala, palpitasi, nausea, dan muntah. Lagipula lupus eritematous sistemik kadang-kadang terjadi sesudah pemberian dosis besar hidralazin selama masa yang lama, manifestasi ini refersibel bila obat dihentikan. 3. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor Penghambat ACE harus selalu dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis target. Untuk memulai pengobatan gagal jantung dengan penghambat ACE, dianjurkan prosedur berikut: 1. Jika pasien telah menggunakan diuretik, turunkan dosisnya atau hentikan selama 24 jam 2. Pengobatan dimulai di petang hari, sewaktu berbaring, untuk menghindari terjadinya hipotensi 3. Pengobatan dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis target, biasanya dengan peningkatan 2 kali lipat setiap kalinya 4. Jika fungsi ginjal memperburuk bermakna hentikan pengobatan 5. Diuretik hemat kalium harus dihindari selama awal terapi 6. Tekanan darah, fungsi ginjal dan kadar K harus diperiksa 1-2 minggu setelah pengobatan dimulai dan tiap peningkatan dosis. Pada 3 bulan dan selanjutnya tiap 6 bulan. Efek samping yang penting adalah batuk, hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan angioedema. Yang termasuk golongan penghambat ACE antara lain, kaptopril dengan dosis pada anak 0,5-6 mg/kg/24 jam, enalapril

38

0,08mg/kgBB 1 kali sehari, lisinopril untuk 6 tahun-12 tahun 70 /kgBB 1 kali sehari. Kaptopril merupakan penghambat enzim pengubah angiotensin yang aktif secara oral (angiotensin-converting-enzyme= ACE) yang menyebabkan dilatasi arteria yang mencolok. Dengan memblokade angiotensin II, berakibat

pengurangan beban pasca

yang bermakna.

Venodilatasi

dan akibatnya

pengurangan prabeban telah dilaporkan juga. Obat ini juga mengganggu produksi aldosteron dan karenanya juga membantu mengendalikan retensi garam dan air. Dosis oral adalah 0,5-6 mg/kg/ 24 jam dierikan pada dosis terbagi 2-3 kali.1 Obat ini biasanya diberikan pada gagal jantung akibat beban volume, kardiomiopati, insufisiensi mitral atau aorta berat, pirau dari kiri ke kanan yang besar. Obat ini menyebabkan retensi kalium sehingga dianjurkan untuk tidak diberikanbersamaan dengan diuretik yang bersifat penahan kalium (spironolakton).2 Reaksi kaptopril yang merugikan adalah hipotensi dan sekuelenya (misalnya sinkop, lemah dan pusing). Ruam pruritis makulopapuler ditemukan pada 5-8% penderita, tetapi obat dapat dilanjutkan karena ruam seringkali menghilang secara spontan dikemudian. Neutropenia dan keracunan ginjal juga terjadi (Beirstein, 2003).

Mengurangi Beban Volume Diuretik dipergunakan untuk mengurangi prabeban. Obat ini

mengganggupenyerapan kembali air dan natrium oleh ginjal, yang berakibat penurunan volume darah yang bersirkulasi dan karenanya mengurangi kelebihan cairan dalam paru-paru dan tekanan pengisian ventrikel. Obat ini sering harus digunakan bersama dengan terapi digitalis pada penderita dengan gagal jantung berat. Obat yang dapat digunakan diantaranya: 1. Furosemid Furosemid adalah diuretik yang paling sering digunakan pada penderita gagal jantung. Obat ini menghambat penyerapan kembali natrium dan klorida pada

39

tubulus distal dan lengkung henle. Penderita yang memerlukan dieresis akut harus diberikan furosemid intravena atau intramuskuler pada dosis awal 1-2 mg/kg. Hal ini biasanya menyebabkan dieresis cepat dan perbaikan segera status klinis, terutama jika ada gejala kongestif paru. Terapi furosemid lama diresepkan pada dosis 1-4 mg/kg/ 24 jam diberikan antara 1 dan 4 kali sehari. Pemantauan elektrolit yang teliti perlu pada terapi furosemid jangka lama karena mungkin ada kehilangan kalium yang berarti. Penambahan kalium klorida biasanya diperlukan, kecuali kalau diuretik penghemat kalium spironolakton diberikan bersama-sama. Bila furosemid diberikan setiap selang sehari, penambahan kalium dalam diet mungkin cukup untuk mempertahankan kadar kalium serum normal. Pemberian furosemid lama dapat menyebabkan kontraksi ruangan cairan ekstraseluler, menimbulkan alkalosis kontraksi. Pada keadaan ini asetazolamid, inhibitor karbonik anhidrase mungkin berguna (Beristein, 2003) 2. Spironolakton Spironolakton merupakan inhibitor aldosteron dan memperbesar retensi kalium. Biasanya diberikan secara oral 2-3 mg/kgBB/24 jam dalam 2-3 dosis terbagi, merupakan diuretik hemat kalium. Kombinasi spirnolakton dan klorotiazid biasanya digunakan untuk kenyamanan karena mereka menghilangkan kebutuhan penambahan kalium yang sering kurang ditoleransi. 3. Klorotiazid Klorotiazid kadang-kadang digunakan untuk dieresis pada anak dengan gagal jantung kurang berat. Kerjanya obat ini kurang cepat dan kurang poten dibanding dengan furosemid dan obat ini mempengaruhi penyerapan kembali elektrolit hanya dalam tubulus ginjal. Dosis biasanya adalah 20-50 mg/ kg/ 24 jam dalam dosis terbagi. Penambahan kalium sering diperlukan jika obat inidigunakan sendirian.

40

Agen Inotropik Lain Amin simpatomimetik, katekolamin, dan simpatomimetik lain dapat memperbaiki curah jantung yang rendah dengan berinteraksi dengan reseptor beta, menyebabkan kenaikan kontraktilitas dan frekuensi jantung. 1. Agonis Adrenergik- Isoproterenol, suatu preparat intravena yang digunakan untuk mengobati curah jantung rendah, mempunyai pengaruh adrenergik- sentral maupun perifer, juga mengurangi beban pasca jantung, memperbesar kontraktilitas, menaikkan frekuensi jantung, dan menyebabkan vasodilatasi. Obat diberikan di dalam ruang perawatan intensif, padanya dosis dititrasikan antara 0,01 dan 0,5 Kg/kg/menit. Penentuan tekanan darah arterial dan frekuensi jantung terus menerus merupakan keharusan, dan pengukuran curah jantung dengan kateter termodilusi pulmonal dapat juga membantu penilaian kemanjuran obat. Kerugian utama isoproterenol adalah mempunyai pengaruh kronotropik yang kuat sehingga menyebabkan takikardi yang bermakna, yang dapat mengganggu perfusi koroner, oleh karena itu, ia tidak boleh digunakan pada penderita yang telah menderita takikardia bermakna. Kerugian inilah yang membatasi penggunaan kliniknya (Fred, 1996). Anak-anak yang mendapat isoproterenol harus dipantau secara teliti untuk depolarisasi prematur atrium atau ventrikel. Seringkali, saat pengobatan isoproterenol atau agonis adrenergik- dihentikan, terapi digoksin ditambahkan untuk pengaruh inotropik selanjutnya. Dopamin mempunyai pengaruh kronotropik dan aritmogenik lebih kecil daripada isoproterenol. Obat ini menimbulkan vasodilatasi ginjal selektif, terutama berguna pada penderita dengan fungsi ginjal terganggu yang sering dijumpai dengan curah jantung rendah. Pada dosis 2-10 Kg/kg/menit, dopamine menyebabkan kenaikan kontraktilitas dengan sedikit vasokonstriksi perifer. Namun jika dosis ditambah diatas 15 Kg/kg/menit, pengaruh adrenergik- perifernya dapat menyebabkan vasokonstriksi. Pada dopamin dosis tinggi dapat juga menyebabkan kenaikan tahanan vaskuler pulmonal.1 Pemberian dopamine tersebut biasanya dilakukan di
41

ruang intensif dengan menggunakan infusion pump. Dobutamin, derivat dopamin, juga digunakan untuk mengobati curah jantung rendah. Obat ini menimbulkan pengaruh inotropik langsung dengan pengurangan sedang pada tahanan vaskuler perifer. Dobutamin dapat diberikan sebagai tambahan pada terapi dopamin agar menghindari vasokonstriksi dopamine dosis tinggi. Dobutamin juga agaknya kurang menyebabkan gangguan irama jantung. Dosis biasanya 2-20 Kg/kg/menit. Epinefrin mempunyai aktivitas alfa perifer maupun beta-1 jantung. Kadangkadang obat ini digunakan pasca bedah jantung, dimana rangsangan inotropiknya yang sangat kuat membuat ia berguna pada keadaan curah jantung rendah dengan vasokonstriksi yang kadang-kadang menyertai pembedahan. Kekurangan utama berupa seringnya terjadi kenaikan frekuensi jantung yang mencolok, membatasi penggunaanya. 2. Penghambat Fosfodiesterase Amrinon adalah obat kelas baru pertama, tidak sama dengan katekolamin maupun digitalis, berguna dalam mengobati penderita dengan curah jantung rendah yang refrakter terhadap terapi standar. Obat ini bekerja dengan menghambat fosfodiesterase, mencegah penghancuran cAMP intraseluler. Amrinon mempunyai pengaruh inotropik positif pada jantung maupun pengaruh vasodilator perifer yang berarti dan biasanya digunakan sebagai tambahan terapi dopamin dan dobutamin dalam unit perawatan intensif. Obat ini diberikan dengan dosis pembebanan awal (loading dose) 0,75 mg/kg/menit. Efek samping utama adalah hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Hipotensi biasanya dapat ditatalaksana dengan pemberian cairan intravena untuk mencukupi volume intravaskuler. Efek samping kedua adalah trombositopenia, keparahannya tampak terkait dengan kecepatan infus dan lama terapi. Efek samping ini reversibel bila obat dihentikan atau kecepatan infus dikurangi (Beirstein, 2003).

42

Terapi Bedah Terapi bedah pada gagal jantung oleh karena defek intrakardiak dapat bersifat paliatif atau koreksi (penutupan defek). Terapi paliatif berupa penjeratan (banding) arteri pulmonalis ditujukan pada bayi kecil dengan keadaan kritis yang tidak memungkinkan menggunakan mesin pintas jantung paru. Kerugian banding arteri pulmonalis ini meliputi mortalitas dini post operasi, gagal jantung kongestif persisten, tehnik debanding yang sulit pada saat operasi koreksi, dan kemungkinan terjadi stenosis subaortik. Terapi koreksi pada bayi dilakukan dengan tujuan untuk menanggulangi gagal jantung yang tidak dapat diatasi dengan medikamentosa, termasuk didalamnya saluran nafas bagian bawah berulang dan gagal tumbuh (supriyatno, 2009).

Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita gagal jantung antara lain: 1. Gangguan pertumbuhan,; pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih terhambat daripada tinggi badan. 2. Dispneu; pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan pada ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru dan selanjutnya dapat menyebabkan ventrikel kanan berkompensasi dengan mengalami hipertrofi dan menimbulkan dispnea dan gangguan pada sistem pernapasan lainnya. 3. Gagal ginjal; gagal jantung dapat mengurangi aliran darah pada ginjal, sehingga akan dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani. 4. Hepatomegali, ascites, bendungan pada vena perifer dan gangguan gastrointestinal pada gagal jantung kanan. 5. Serangan jantung dan stroke; disebabkan karea aliran darah pada jantung rendah, sehingga menimbulkan terjadinya jendalan darah yang dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke.

43

6. Syok kardiogenik; akibat ketidak mampuan jantung mengalirkan cukup darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolism. Biasanya terjadi pada gagal jantung refrakter 7. Infeksi Saluran pernafasan.

Prognosis Prognosis gagal jantung tergantung: 1. Umur Pada sebagian kecil pasien, gagal jantung yang berat terjadi pada hari/ mingguminggu pertama pasca lahir, misalnya sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia aorta, koarktasio aorta atau anomali total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi. Terhadap mereka, terapi medikmentosa saja sulit memberikan hasil, tindakan invasif diperlukan segera setelah pasien stabil. Kegagalan untuk melakukan operasi pada golongan pasien ini hampir selalu akan berakhir dengan kematian. 2. Berat ringannya penyakit primer Pada gagal jantung akibat PJB yang kurang berat, pendekatan awal adalah dengan terapi medis adekuat, bila ini terlihat menolong maka dapat diteruskan sambil menunggu saat yang bik untuk koreksi bedah. Pada pasien penyakit jantung rematik yang berat yang disertai gagal jantung, obat-obat gagal jantung terus diberikan sementara pasien memperoleh profilaksis sekunder, pengobatan dengan profilaksis sekunder mungkin dapat memperbaiki keadaan jantung. 3. Cepatnya pertolongan pertama 4. Hasil terapi digitalis 5. Seringnya kambuh akibat etiologi yang tidak dikoreksi.

44

Daftar Pustaka 1. Bernstein, Daniel. 2003. Heart Failure dalam Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. USA: Elsevier Science (USA). 2. Pusponegoro, H. D dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 3. Fred, M, D. 1996. Gagal Jantung Kongestif dalam Kardiologi Anak Nadas.Yogyakarta: Gajah Mada University press. 4. Supriyatno, Bambang. 2009. Management of Pediatric Heart Disease for practitioner: From Early Detection to Intervention. Jakarta: Departemen IKA FKUI-RSCM. 5. SMF Ilmu Anak. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Kesehatan Anak. Jember: RSUD. Dr. Soebandi. 6. Wahab, Samik. 2003. Penyakit Jantung Anak Edisi 3. Jakarta: EGC. 7. NYHA. 1994. The Stages of Heart Failure NYHA Classification. [Serial Online]. http://www.abouthf.org/questions_stages.htm. [3 Desember 2011] 12. Arthur C. Guyton. 2006. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia: Elsevier Inc. 14. Syarif, Amir dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 15. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2008. ISO Indonesia. Jakarta: PT ISFI. 16. Sitompul, Barita dan Irawan Sugeng. 2004. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 17. Satuo, Gary. 2009. Pediatric Congestive Heart Failure. [serial online]. http://emedicine.medscape.com/article/901307-overview#showall. [10 Desember 2011]

45

Anda mungkin juga menyukai