Anda di halaman 1dari 2

Guru-Bahasa Persoalan Sekolah RI di Sabah

Oleh Gunawan Widiyanto Sabtu, 3 Agustus 2013

Mayoritas siswa di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) lahir dan tumbuh kembang di lingkungan kehidupan dan komunitas Sabah, Malaysia. Mereka membaur dengan kebiasaan dan tata pergaulan orang Sabah. Begitu pula dengan bahasa yang digunakannya. Bahasa yang diperoleh secara sosiolinguistis adalah bahasa Malaysia dialek Sabah. Dengan demikian, dalam interaksi sehari-hari antaranggota keluarga dan antarteman, bahasa yang mereka pakai adalah Bahasa Malaysia dialek Sabah. Kondisi itu berlanjut hingga mereka memasuki kelas pembelajaran di SIKK dan secara resmi menjadi siswa SIKK. Mereka pun dipajankan kepada pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Akan tetapi, mengingat bahwa kekerapan pemakaian bahasa Malaysia dialek Sabah-nya lebih tinggi daripada pemakaian bahasa Indonesia. Konkretnya, secara formal para siswa ini memperoleh pelajaran Bahasa Indonesia dan pemajanan bahasa dan budaya Indonesia di Sekolah hanya 5 jam tiap hari. Selebihnya, waktu mereka diluangkan di luar sekolah dengan pemakaian interaksional bahasa Malaysia Sabah. Dengan kondisi dan latar seperti itu, bahasa yang lebih dominan mereka pakai adalah bahasa Malaysia Sabah. Untuk itu, arah dan fokus kegiatan ekstra kurikuler Bahasa Indonesia (ekskul-BI) adalah ke, dan pada kemahiran berbahasa Indonesia secara praktis, yakni melatih siswa berbahasa Indonesia. Sebagaimana dipahami, standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia ini diharapkan sebagai berikut. Pertama, siswa SIKK dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya sastra dan hasil intelektual bangsa sendiri. Dalam konteks ini, dibutuhkan buku-buku karya sastra Indonesia sebagai bahan bacaan sastra itu. Kedua, pendidik agar lebih memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa Indonesia siswa dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar. Ketiga, pendidik agar diberi keleluasaan menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi SIKK dan kemampuan siswanya. Keempat, orangtua atau wali siswa diminta dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah. Konkretnya, orangtua atau wali siswa diminta memberi keleluasaan waktu kepada siswa untuk mengikuti pelajaran tambahan atau ekskul-BI. Pengajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak Indonesia di Sabah, difokustekankan pada penanaman elan dan semangat nasionalisme keindonesiaan. Pemakaian bahasa Indonesia (yang baik dan benar) baik sebagai kemahiran maupun pengetahuan bisa dimulai dari penguasaan kosa kata dan pemakaiannya. Untuk itu, penyediaan kamus secara cukup memadai di setiap ruang kelas menjadi sebuah usaha yang perlu dipertimbangkan agar interferensi dan campur kode pemakaian bahasa Indonesia oleh siswa SIKK bisa diminimalisasi. Yang tidak kalah pentingnya, ketersediaan kamus ekabahasa di setiap ruang kelas akan mempermudah para guru bidang studi lain ketika mengalami kesulitan untuk menjelaskan makna suatu kata kepada siswa. Bagaimanapun, hampir semua

informasi materi bidang studi apapun di SIKK disampaikan dalam bahasa Indonesia. Ilmu disampaikan dengan bahasa Indonesia. SIKK sering menuai kritik yang dilontarkan oleh sebagian kalangan masyarakat Indonesia di Sabah berkaitan dengan cara berbahasa guru yang terbawa arus dengan bermegah-megahan dan berbangga-bangga berbahasa Malaysia dialek Sabah. Padahal, mereka itu dikirim ke SIKK untuk menanamkan nasionalisme bagi anak-anak dengan mendorong agar aktif menggunakan bahasa Indonesia. Ujungujungnya malah para guru sendiri yang terseret derasnya arus berbahasa Malaysia. Dengan kondisi yang demikian, bagaimana mungkin para guru itu mampu agar anak aktif menggunakan bahasa Indonesia? Para guru yang terbawa arus berbahasa Malaysia ini menjadi kendala untuk mengaktifkan par sisswa berbahasa Indonesia. Upaya melatih dan membekali para guru untuk membangun kesadaran berbahasa Indonesia perlu dilakukan agar mereka itu tidak tergerus nasionalisme dan semangat keindonesiaannya. Guru sebagai sumber daya akademis memang memainkan peran penting untuk memperlancar jalannya pembelajaran di kelas. Keadaan, rasio, dan proporsi guru dan siswa di SIKK perlu diperhatikan. Proporsi itu tidak hanya menyangkut kuantitas guru untuk mengimbangi jumlah siswa yang ada, tetapi juga menyangkut bidang studi untuk memenuhi kebutuhan ilmu siswa. Kondisi yang terjadi sekarang adalah adanya ketimpangan jumlah guru yang mengajar bidang studi yang satu dengan bidang studi lainnya. Sebagai contoh nyata, di sisi satu terdapat kelebihan guru bidang studi Penjasorkes hingga 5 orang, namun di sisi lain terdapat kekurangan bahkan ketiadaan guru Pendidikan Kewarganegaraan dan Seni Budaya dan Kesenian (SBK). Untuk itu, pengiriman guru ke SIKK disarankan tetap memerhatikan kebutuhan melalui analisis kebutuhan secara cermat dan praktis untuk memeriksa kembali di lapangan, guru bidang studi apa yang betul-betul diperlukan di SIKK. Dengan demikian, ketimpangan itu bisa diatasi dan terjadi keseimbangan antar bidang studi. *** Penulis adalah guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris di SIKK (2009-2012), bekerja di PPPPTK Bahasa BPSDMPK-PMP Kemdikbud.

Anda mungkin juga menyukai