Anda di halaman 1dari 17

Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pelayanan dan perawatan neonatus.

Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.1 Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup.2 Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the worlds mother 2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain.3 Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi.4 Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.5 Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%.6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari-September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%.8 Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain. berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan kerusakan otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru, hati, dan lain-lain.9 Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran hidup) mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar rekomendasi bagi pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara umum dan insidens sepsis neonatorum secara khusus. 10 Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.15 Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis

Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.16 Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).5 Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gramnegatif. 17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.19 Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20,21 Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi. Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini, kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum.23 Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit.

Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.24 Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005 menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).25, 26 Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi (FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS:Systemic Inflammatory Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian (tabel 4).16

Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada International Concensus Conference on Pediatric Sepsis

tahun 2002, telah dicapai kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5 dan 6).29 Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti infeksi (proven).30

Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi dan lain-lain. Faktor risiko ibu: 1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.27,42,43 2. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.42,44,45 3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.27,42 4. Kehamilan multipel.42,44,46 5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.47

6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.47 Faktor risiko pada bayi: 1. Prematuritas dan berat lahir rendah.42,43,46,48 2. Dirawat di Rumah Sakit.49 3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress dan trauma pada proses persalinan.42,43,48 4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.42,43,48 5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau asplenia.42,46 6. Asfiksia neonatorum.27,43,48 7. Cacat bawaan.27,43,48 8. Tanpa rawat gabung.43 9. Tidak diberi ASI.49 10. Pemberian nutrisi parenteral.50,51 11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.50 12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.49 13. Buruknya kebersihan di NICU.49 Faktor risiko lain: Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta buruknya kebersihan di NICU. 27,42,46,48 Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis. Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman. Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat dilihat dalam tabel 7.6,52

Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi).53,54

Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (Tabel 8). Penegakan diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori tersebut.56

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut:56 Untuk bayi berumur sampai dengan tiga hari : a. Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini); b. Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel 6), atau tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel 6); c. Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori B,

atau dua tanda pada Kategori B;


d. Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis, kapan saja timbulnya; e. Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis, tetapi tanda awalnya

tidak membaik, lanjutkan pengamatan selama 12 jam lagi.


Bayi berumur lebih dari tiga hari a. Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga tanda atau lebih pada Kategori B; b. Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.

Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut: I.Pemeriksaan darah A. Hitung trombosit. Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.000/L), MPV (mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.5

B. Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit. Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun, walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil, eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periventrikular serta intraventrikular.5 C. Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T). Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis neonatorum dapat ditegakkan.5 Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan yang terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau peningkatan rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui sindrom sepsis yang berasal dari kelainan nonspesifik karena stress pada saat proses persalinan.

D. Pemeriksaan kadar D-dimer. D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh karena itu, D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem fibrinolisis.63 Pada sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik untuk sepsis karena peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh penyebab lain seperti trombosis, keganasan dan terapi trombolitik. 64,
65,66, 67

Pemeriksaan kadar D-dimer dapat dikerjakan dengan berbagai metode antara lain, aglutinasi lateks, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan whole blood agglutination (WBA). Pemeriksaan dengan aglutinasi lateks menggunakan antibodi monoklonal terhadap D-dimer yang dilekatkan pada partikel lateks. Metode ini sederhana, mudah dikerjakan, hasilnya cepat dan relatif tidak mahal, namun kurang sensitif untuk pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan dengan cara ELISA konvensional dianggap merupakan metode rujukan untuk penetapan kadar D-dimer, tetapi cara ini tidak praktis karena memerlukan waktu yang relatif lama dan mahal. Terdapat beberapa cara cepat berdasarkan prinsip ELISA antara lain, Nycocard D-dimer, Vidas D-dimer dan Instant IA D-dimer. Dengan cara ini, hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat dan sensitivitasnya mendekati cara ELISA konvensional. Pemeriksaan D-dimer dengan metode yang berbeda bisa memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesifisitas antibodi yang dipakai pada masingmasing metode, belum ada satuan yang baku dan belum adanya konsensus tentang nilai batas abnormal. E. Pemeriksaan C-reactive protein (CRP) C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai proses inflamasinya teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L. Pemeriksaan kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada diagnosis sepsis neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai bagian dari septic work-up atau sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk mengetahui respon antibiotik, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor yang dapat mempengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV, rotavirus, adenovirus, influenza).5,68,69 Menurut Mustafa dkk., untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi positif 48,77%.70 Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.71 F. Procalcitonin (PCT) PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat 13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam darah. Secara fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari pertama bervariasi antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian kadarnya menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni <2 ng/mL. PCT bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP, mempunyai sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk

sepsis awitan dini, serta sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat membedakan infeksi bakterial dari viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT 29,7 ng/mL sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (01,5) ng/mL. Pengukuran kadarnya dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.

G. Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum adalah dengan menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64, Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan. Pemeriksaan petanda-petanda infeksi tersebut secara serial

dikombinasikan dengan beberapa tes sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan petanda infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan tunggal. Pada beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotik dapat dihentikan. 5 IL-6 adalah sitokin pleiotropik yang terlibat dalam berbagai aspek sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis neonatorum, IL-6 meningkat cepat yang terjadi dalam waktu beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai ke kadar yang tidak terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh yang singkat serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda infeksi. Dari penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL8 dikombinasikan dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk menyingkirkan kemungkinan sepsis neonatorum sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya dan risiko pemberian antibiotik.73,74 Waktu pemeriksaan sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 9. Penggunaan IL-6 dan CRP secara simultan memiliki sensitivitas 100% pada bayi terinfeksi dengan usia pascanatal berapapun karena peningkatan CRP plasma terjadi pada waktu 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL-6 telah menurun. Perbandingan waktu dan konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP diperlihatkan pada gambar 9. Gambar 9. H. Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR) Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium guna mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan S.pneumoniae. Selain bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatorum. Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang sensitivitas dan spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis yang disebabkan oleh bakteri dalam waktu singkat.

Metode ini merupakan diagnosis molekular yang menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.75 PCR juga mempunyai kemampuan untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatus. Selanjutnya dikemukan bahwa studi PCR secara kuantitatif pada kuman dibuktikan mempunyai kaitan erat dengan beratnya penyakit. Apabila studi dan sosialisasi pemeriksaan semacam ini telah berkembang dan terjangkau, diharapkan cara pemeriksaan ini bermanfaat untuk penatalaksanaan dini dan memperbaiki prognosis pasien.23 Pemeriksaan diagnostik molekular menggunakan teknik PCR juga bermanfaat untuk deteksi infeksi virus pada neonatus. Walaupun diagnostik molekular pada bakteri menggunakan PCR dengan daerah target 16S rRNA telah terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif 88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis dengan lingkup yang besar untuk menentukan apakah teknik PCR dapat menjadi adjunctive test untuk diagnostik cepat bakteremia pada neonatus risiko tinggi dengan gejala sepsis. Diagnostik molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur. Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 98% dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah Sakit Rujukan Propinsi. I. Kultur Darah

Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.58 Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut. Survei hasil otopsi tahun 1999 pada 111 BBLR menemukan bahwa infeksi merupakan penyebab tersering kematian BBLR dan diagnosis sepsis tidak dapat ditegakkan pada 61% kasus tersebut. Pada pemeriksaan kultur darah masih banyak ditemukan kasus hasil kultur negatif, meski telah didukung oleh gejala klinis dan hasil otopsi yang jelas. Pemberian antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah persalinan prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri pada media kultur. Selain itu hasil kultur juga dipengaruhi oleh kemungkinan pemberian antibiotik sebelumnya pada bayi yang dapat menekan pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat disebabkan akibat sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa. Suatu penelitian menemukan 60% pemeriksaan kultur darah dapat memberikan hasil negatif palsu apabila volume darah yang diperiksa hanya 0,5 ml dengan hitung koloni <4 CFU/ml darah. Penghitungan jumlah koloni bakteri pada bakteremia membutuhkan minimal 1mL darah.59,28 Jumlah koloni pada neonatus dengan bakteremia diharapkan lebih banyak dibandingkan pada dewasa. Hasil kultur positif palsu dapat terjadi akibat kontaminasi saat pengambilan sampel. Kultur bakteri aerob bermakna untuk seluruh etiologi bakteri penyebab

sepsis neonatorum; sedangkan kultur bakteri anaerob diindikasikan untuk neonatus yang disertai dengan abses, hemolisis masif dan pneumonia yang tidak membaik dengan pengobatan.28 Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum adalah 1-10%. Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan diagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, pungsi lumbal diulang 24-36 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah pengobatan cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis.5 Dari penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif.9 Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar. Pemeriksaan ini untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi di saluran kemih. Kultur urin lebih baik dilakukan pada kasus sepsis neonatorum awitan lambat.5,22 Spesimen urin diambil melalui kateterisasi steril atau aspirasi suprapubik kandung kemih.60 Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit, endotrakea dan cairan lambung menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.28

II. Pencitraan Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran, misalnya: - Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory Distress Syndrome). - Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.5 - Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini yang telah terbukti dengan kultur.22 Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks untuk melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark ataupun abses.5 USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan perubahan kronis. Secara serial, USG kepala dapat menunjukkan progresivitas komplikasi.5 Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan memakai kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan diagnosis sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 11. Selanjutnya dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar atau sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotik.

Sistem skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan diagnosis sepsis awitan lambat.77

Berlainan dengan Spector dkk, beberapa peneliti lain memilih kombinasi beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan hematologi dan protein tertentu sebagai faktor penentu dalam sistem skoring. Philip dan Hewitt pada tahun 1980 melakukan penapisan sepsis neonatorum awitan dini berdasarkan kombinasi 5 pemeriksaan laboratorium yaitu :78 1. Jumlah leukosit <5.000 / mm3 2. Rasio neutrofil imatur : total neutrofil 0,2 3. Laju endap darah 15 mm/jam 4. Lateks C-Reactive Protein positif (> 0,8 mg/100 mL)

5. Lateks haptoglobin positif (>25 mg/100 mL) Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat 2 atau lebih faktor tersebut dan hal ini mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga dapat mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitivitas dan spesifisitas berturut-turut 83% dan 74%.78 Skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium ini juga dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 12.79

Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor 3 maka sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.79 Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang menunjang sistem skoring tersebut.79 Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).16

TATALAKSANA Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.25 Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan. Terapi suportif meliputi transfusi granulosit, intravenous immune globulin (IVIG) replacement, transfusi tukar (exchange transfusion) dan penggunaan sitokin rekombinan.5

Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus dipenuhi atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari dan lemak 1 g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral diberikan setelah bayi lebih stabil.116 PROGNOSIS Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira 2 %).5,135

Anda mungkin juga menyukai