Anda di halaman 1dari 7

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Mual muntah pasca operasi atau Post Operative nausea and vomitting (PONV) adalah efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi, angka kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30% pasien rawat inap dan sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul 24 jam pertama. Angka ini memang telah menurun bila dibandingkan dengan masa anestesi dengan menggunakan ether yaiu 75%. Saqda dan kawan-kawan, menjumpai angka PONV 30% dan wanita mengalaminya dua kali lipat dibandingan dengan pria. Di Korea dilakukan penelitian pada 5272 pasien dijumpai 39% mengalami PONV. Cut meliza dari FK USU (2011) telah score APFEL lebih efektif dalam memprediksi kemungkinan PONV. Ada beberapa pendekatan dilakukan untuk mencegah PONV, diantaranya farmakologi dan nonfarmakologi. Untuk nonfarmakologi seperti akupuntur, jahe, dan daun papermint. 1.2 Tujuan Penulisan Tujuan dilakukannya penulisan refrat ini adalah untuk menyimpulkan diantara 2 jurnal tentang penatalaksanaan dari mual muntah pasca anestesi.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Anatomi Pusat pengatur mual dan muntah disebut dengan vomitting center yang berada di lateral formatio reikularis pada batang otak. Pusat muntah menerima input aferen dari pusat kortikal yang lebih tinggi, cerebellum, aparatus vestibuler, vagal dan nervus glossofaringeus. Interaksi berikutnya terjadi dengan adanya keterlibaan nukleus traktus soliterius dan chemoreseptor trigger zone (CTZ) yang terletak pada dasar ventrikel keempat. CTZ terletak diluar blood-brain barrier dan berkontak dengan cairan cerebrospinal (CSF). CTZ memungkinkan untuk berinteraksi dengan zat yang ada didalam darah dan cairan serebrospinal. Stimulasi secara langsung terhadap CTZ tidak menyebabkan muntah. Penelitian immunochemical dari bagian anatomi ini menunjukkan bahwa area ini mengandung histamin, serotonin, kolinergik, neurokinin-1, dan D2 dopamin reseptor. 2.2 Fisiologi Refleks muntah ditimbulkan oleh stimulasi yang berbeda dari glossofaringeal, hipoglosal, dan nervus vagal yang mencapai pusat muntah. Sinyal efferen diarahkan secara langsung ke glossofaringeal, hipoglosal, trigeminal, aksesosi, dan nervus spinal segmental. Ada kontraksi yang terkoordinasi pada otot-otot abdomen yang menyebabkan tertutupnya glotis, dimana hal tersebut meningkatkan tekanan intraabdominal dan intratoraks. Spinngter pilori berkontraksi dan sfingter oesofageal berrelaksasi, dan terjadi gerakan antiperistaltik yang aktif didalam oesofagusm dimana hal ini menyebabkan keluarnya secara paksa isi gaster. Hal ini ditandai dengan dengan aktifitas vagal dan simpatis yang menyebabkan terjadinya berkeringat, pucat dan bradikardi. 2.3 Faktor Resiko Resiko terkait individu 1. Wanita 2. Riwayat PONV, Motion sickness atau migrain

3. Usia 4. Obesitas Resiko terkait anestesi 1. Opioid posoperative 2. Anestesi inhalasi 3. NO 4. Durasi anestesi 5. Terkait pembedahan 6. Faktor lain 2.4 Menejemen anestesi intraoperatif Untuk menurunkan angka insidensi dari PONV tanpa mengganggu efek analgesia, anestesi regional dapat digunakan kapanpun untuk meminimalisasi intake dari opioid. Agen induksi emetogenik seperti NO, agen inhalasi dan eromidate dan ketamin harus dihindari oleh pasien dengan resiko PONV yang serius. Strategi lain adalah dengan memberikan suplemen analgesia dengan NSAID dan anestesi regional untuk menurunkan penggunaan opioid preoperative. Antikolinesterase seperti neostigmin hasus digunakan dengan dosis yang sesuai. Strategi lain adalah dengan menggunakan anesteri intravena (TIVA) dengan propofol, mencegah hipotensi, hidrasi yang adekuat dan oksigenasi yang adekuat pada pasien, dan sedasi pada pasien ansietas membutuhkan pendekatan moltimodal dalam managemen PONV. beberapa penelitian menyatakan bahwa strategi nonfarmakologi seperti akupuntur dapat menurunkan insidensi dari PONV. 2.5 Antiemetik yang tersedia saat ini Ada setidaknya 4 sistem utama yang terlibat dalam etiologi PONV. Saat ini, antiemetik yang tersedia dapat berinteraksi dengan reseptor kolinergik (muskarinik), dopaminergik (D2), histaminergik (H1), atau serotonergik (5HT3). Antagonis Reseptor Neurokinin-1(NK-1) juga masih diteliti. Reseptor kolinergik ditemukan pada pusat muntah dan nukleus vestibular. Area postrema kaya akan reseptor dopamin (D2), opioid, dan serotonin (5HT3) . nukleus traktus soliterius kaya akan reseptor enkephalin dan

histamin H1, muskarinik kolinergik, dan NK-1. Yang ternyata juga ditemukan pada dorsal nukleus motorik dari nervus vagus. Ondansentron, granisetron, dolasetron, tropisetron, dan antagonis serotonin lainnya menunjukkan bahwa dapat dijadikan terapi yang efektif sebagai profilaksis PONV dan berhubungan dengan efek samping yang lebih rendah. Agen-agen ini bukan antagonis reseptor dopamin, muskarinik, atau histamin dan tidak menimbulkan efek samping yang umumnya ditimbulkan sekelas mereka. Efek samping dari antagonis serotonin umumnya adalah sakit kepala, pusing dan konstipasi. Metoklopramid bertidak baik sebagai reseptor dopamin dan serotonin, dan memiliki efek prokinetik dan antiemetik. Metoklopramid meningkatkan motilitas traktus gastrointestinal, menurunkan waktu pengosongan gaster dan volume gaster, meningkatkan penurunan tonus sfingter esofageal dan biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh orang dewasa. Efek ekstrapiramidal dan distonia lebih sering terlihat pada populasi anak-anak. Dexametason merupakan antiemetik yang efektif meskipun mekanisme kerjanya masih belum jelas. Kebanyakan mekanisme bekerja sebagai prostaglandin inhibitor di perifer, dengan difasilitasi oleh antagonis serotonin dan endorfin yang dilepas secara sentral. Durasi kerjanya yang lama dan efektifitas yang tinggi menyebabkan dexametasone sebahai obat pilihan yang menarik sebagai menejemen PONV Droperidol adalah butirofenon yang efektif sebagai terapi dari PONV. Seperti fenotiazin, droperidol bertindak secara kompetitif pada reseptor dopamin sentral dan berkaitan dengan sedasi, letargi, agitasi, dan efek ekstrapiramidal. Efedrin dan agen lain yang dapat membantu memelihara tekanan darah dapat digunakan sebagai pencehan mual yang berhubungan denga hipotensi postoperatif. Promethazin, prokloperazine dan chlorpromazine adalah fenotiazin yang memiliki efek antiemetik yang bekerja secara langsung pada reseptor sentral dopamin pada CTZ. Agen-agen ini paling efektif sebagai terapi PONV yang terinduksi opioid, namun penggunaan mereka sebagai terapi primer PONV dibatasi karena kecenderungan menimbulkan efek sedasi. Skopolamin merupakan antikolinergik agen yang bekerja pada reseptor muskarinik dan histamin pada aparatus vestibular dan nukleus traktus

solitarius yang bekerja menurunkan insiden dari PONV. Skopolamin dalam bentuk koyo transdermal yang ditempelkan sore hari atau pagi hari sebelum operasi, menunjukkan adanya penurunan insidensi PONV dan memiliki efektifitas setara dengan ondansentron. Koyo tersebut ditempelkan sore hari sebellum operasi atau 4 jam sebemum berakhirnya anestesi. 2.6 Profilaksis PONV yang direkomendasikan Resiko dari PONV harus diperkirakan pada tiap pasien. Tidak ada profilaksis yang direkomdasikan untuk pasien denan resiko PONV rendah kecuali jika mereka memiliki resiko medis dari muntah contohnya, pasien dengan bentuk rahang yang aneh atau peningkatan tekanan intrakranial atau memiliki fundoplikasi pembedahan. Pada pasien dengan resiko sedang sampai tinggi erhadap PONV, anestesi regional harus dipertimbangkan. Jika hal tersebut tidak memungkinkan atau merupakan suatu kontraindikasi dan anestei general digunakan, maka strategi yang harus diperhatikan adalah unuk meminimalisasi resiko baseline dari PONV. Penggunaan antiemetik kombinasi dan pendekaan mulimodal melalui intervensi diperlukan. Pendekatan multimodal untuk meminimalisasi PONV adalah dengan mengkombinasikan farmakologi dan nonfarmakologi profilaksis sebagain intervensi untuk mengurangi resiko baseline. 2.7 Terapi kombinasi antiemetik Tidak ada dari antiemetik yang tersedia secara penuh efektif sebagai pencegahan PONV, khususnya untuk pasien resiko tinggi. Setidaknya ada 4 reseptor utama yang terlibat dalam etiologi PONV, profilaksis yang lebih baik dapat diperoleh dengan menggunakan agen kombinasi yang bekerja pada reseptor yang berbeda-beda. Contohnya, reseptor serotonin yang di blok, pertimbangkan untuk menambahkan antikolinergik, antidopaminergik, atau antihistamin. Konsep dari kombinasi antiemetik adalah pertamakali diperkenalkan dalam kemoterapi yang menginduksi muntah. Penelitian yang umum adalah dengan menambhakan antagonis reseptor 5HT3 dengan baik droperidol atau dexametason. Regimen keduanya tersebut bekerja dengan efektif/

Terapi kombinasi sangat efektif bagi pasien dengan resiko tinggi terjadinya PONV, dan resiko sedang bagi pasien yang sering berhasil dengan penggunaan agen tungal.

KESIMPULAN 1. Tidak ada profilaksis yang dijadikan sebagai rekomendasi bagi pasien dengan resiko rendah PONV kecuali jika mereka memiliki resiko medis untuk muntah contohnya pasien dengan bentuk rahang cameng, 2. Pada pasien dengan resiko sedangm jika dosis profilaksis deksametason gagal, maka antagonis serotonin dapat digunakan segera ketika mual atau muntah terjadi. Jika terapi dengan agen tunggal gagal, maka terapi kombinasi yang lebih agresif dapat dipilih. 3. Pada pasien dengan resiko tinggi, deksametason ditambah dengan antagonis serotonin dapat digunakan sebagai profilaksis. Jika ini gagal, maka terapi kombinasi perlu dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai