Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar berlakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang menggantikan kematian akitab infeksi. Diperkirakan bahwa diseluruh dunua, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker. Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK. Berbagai faktor resiko mempunyai peran penting timbulnya PJK mulai dari aspek metabolik, hemostasis, imunologi, infeksi, dan banyak faktor lain yang saling terkait. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan satu dari tiga orang di seluruh dunia pada tahun 2001, meninggal karena penyakit kardiovaskular. Sementara, sepertiga dari seluruh populasi dunia saat ini beresiko tinggi untuk mengalami major cardiovascular events. Pada tahun yang sama, WHO mencatat sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit ini dan melapokan bahwa sekitar 32 juta orang mengalami serangan jantung dan stroke setiap tahunnya. Diperkirakan pada tahun 2001 di seluruh dunia terjadi satu serangan jatung setiap 4 detik dan satu stroke setiap 5 detik. Diporkan juga, pada tahun 2001 tercatat penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang wanita dibanding pria, yang sebelumnya penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang para pria. Perkembangan terkini memperlihatkan, penyakit kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global dan tidak membedakan pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu menifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian. SKA menyebabkan angka perawatan rumah sakit yang sangat besar dalam tahun 2003 di Pusat Jantung Nasional dan merupakan masalah utama saati ini. SKA, merupakan PJK yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya sering terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi tidak stabil atau akut. Mekanisme

terjadinya SKA adalah disebabkan oleh karena proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard, yang dipicu oleh adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi. Manifestasi klinis SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil/APTS, Non-ST elevation myocardial infarction / NSTEMI, atau ST elevation myocardial infarction / STEMI. SKA merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard.

I.2 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan tulisan ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi, faktor resiko, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penujang dan prognosis penyakit jantung koroner.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Perdarahan Jantung II.1.1 Arteri Perdarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner utama yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. kedua arteri ini keluar dari sinus Valsava aorta. Arteri koroner kiri berjalan dibelakang arteri pulmonal sebagai arteri koroner kiri utama (LMCA = left main coronary artery) sepanjang 1-2 cm. Arteri ini bercabang menjadi arteri sirkumpleks (LCx = left circumfles artery) dan arteri desendens arterior kiri (LAD = left arterior desendens artery). LCx berjalan pada sulcus atreio-ventrikuler mengelilingi permukaan posterior jantung sedangkan LAD berjalan pada sulkus inter-ventrikuler sampai ke apeks. Kedua pembuluh darah ini bercabang-cabang mendarahi daerah antara kedua sulkus teresbut. Setelah keluar dari sinus valsava aorta, arteri koroner kanan (RCA = right coronary artery) berjalan didalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah mencapai kruks. Cabang pertama adalah arteri atreium anterior kanan (right atrial anterior branch) untuk mendarahi nodus sino-atrial, dan cabang lain adalah arteri koroner desenden posterior (PDA = posterior decending coronary artery) yang akan mendarahi nodus atrio-ventrikuler.

Gambar 1

Gambar 2. II.1.2 Vena Aliran darah balik dari otot janutng dan sekitarnya melalui vena koroner yang berjalan berdampingan dengan arteri koroner, akan masuk kedalam atrium kanan melalui sinus koronarius. Selain itu terdapat juga vena-vena kecil yang disebut vena Thebesii, yang bermuara langsung kedalam atrium kanan. II.1.3 Pembuluh limfe Pembuluh limefe pada jantung terdiri dari 3 kelompok pleksus, yaitu subendokardial, miokardial, dan subepikardial. Penampungan cairan limfe dari kelompok pleksus yang paling besar adalah pleksus subepikardial, dimana pembuluh-pembuluh limfe akan membentuk satu trunkus yang berjalan sejajar dengan arteri koroner kemudian meninggalkan jantung di depan arteri pulmonal dan berakhir pada kelenjar limfe antara vena kava superior dan arteri inominata. II.2 Fisiologi Aliran Darah Koroner Jantung merupakan organ aerobik yang sangat bergantung terhadap oksigen yang mengalir melalui perfusi koroner. Dalam kondisi istirahat, miokardium mengekstrak jumlah maksimum oksigen dari darah yang diterimanya. Saturasi oksigen dalam darah yang kembali dari sinus koroner ke atrium kanan memiliki saturasi terendah dari setiap organ tubuh (30%). Gangguan aliran darah koroner akan mengakibatkan iskemia langsung. Aliran darah koroner secara langsung tergantung pada tekanan perfusi dan berbanding terbalik dengan hambatan dari pembuluh koroner.

Perfusi koroner terjadi pada tekanan diastolik maka lebih penting daripada tekanan sistolik dalam menentukan perfusi koroner. Pembuluh koroner dibagi menjadi epicardial atau konduktansi pembuluh darah(R1), pre kapiler (R2) dan pembuluh darah mikrovaskuler (R3). Pembuluh epicardial, situs yang paling sering terpengaruh oleh aterosklerosis, memberikan perlawanan yang dapat diabaikan terhadap aliran koroner. Resistensi terhadap aliran terjadi pada pre kapiler (R2), dan pembuluh darah mikrovaskuler (R3) disebut resistensi pembuluh darah. Peningkatan aliran darah koroner dalam menanggapi peningkatan kebutuhan oksigen miokard (MVO2) dicapai oleh dilatasi pembuluh resistensi tersebut. Tiga faktor memainkan peran kunci dalam memodifikasi tonus pembuluh darah, akumulasi metabolit lokal, faktor endotel dan tonus saraf. Akumulasi adenosin selama iskemia adalah contoh dari faktor metabolik lokal. Substansi endotel yang paling penting mediasi vasodilatasi adalah nitric oxide (NO). Mediator penting lainnya adalah bradikinin, derivat faktior hiperpolarisasi endotelium dan prostasiklin. Selain itu, endothelin-1 (ET-1) juga dikanal sebagai substansi vasokonstriksi. Angiotensisn II dan tromboxane A2 juga merupakan derivat faktor konstriksi endotelium lain yang kita kenal. Simulasi reseptor adrenergik alfa pada vasokonstriksi yang terjadi pada koroner dimana menstimulasi reseptor beta 1 menyenankan vasodilatasi. Resistensi koroner dapat berkurang menjadi 1/5 dari resistensi baseline yang dapat menyebabkan peningkatan volumer perfusi sebagai respon. Coronary reserve merupakan istilah yang digunakan untuk mencerminkan jumlah peningkatan perfusi koroner untuk mengakomodasi peningkatan yang dibutuhkan. Autoregulasi yang dimediasi oleh perubahan dari tonus vaskular dari resistensi pembuluh darah menyebabkan perfusi koroner distal untuk tetap bertahan untuk menghadapi perubahan tekanan perfusi proksimal. Kerusakan fungsi endotel dalam kegagalan autoregulasi dapat menyebabkan iskemia. Penyakit yang disebabkan oleh adanya kerusakan fungsi endotel termasuk diantaranya arteriosklerosis, dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi, rokok (baik aktif maupun pasif) dan hiperhomosisteinemia. Arteri koroner yang mengalami arteriosklerosis kehilangan kemampuan untuk melepaskan substansi vasodilatasi yang dapat meningkatkan perfusi koroner jika terjadi peningkatan. Coronary reserve dibatasi oleh kegagalan untuk berdilakasi dan menurunkan resistensi vaskular. Furchgott menunjukkan bahwa asetilkolim , melalui pelepasan NO, menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah koroner.

Penyumbatan pembuluh koroner epicardial (stenosis koroner) hingga 60% dikompensasi saat istirahat dan latihan maksimal oleh vasodilatasi dari pembuluh koroner. Penyumbatan pembuluh koroner epicardial lebih dari 60% akan menghasilkan, dalam kondisi peningkatan kebutuhan oksigen miokard, berkurangnya perfusi dan pada gilirannya iskemia. Secara klinis, ini diterjemahkan menjadi usaha atau latihan diinduksi angina. Ini adalah dasar untuk melakukan stress testing latihan pada pasien yang diduga menderita penyakit arteri koroner. Ketika tingkat keparahan penyumbatan lebih besar dari 90%, perfusi terganggu bahkan pada saat istirahat. Secara klinis, ini dapat menyebabkan angina beristirahat, tahap kritis dari penyakit arteri koroner. Iskemia adalah akibat dari ketidakmampuan pembuluh koroner untuk memenuhi permintaan dari miokardium itu pasokan. Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan (demand , supply) menghasilkan iskemia. Secara klinis ini menyajikan sebagai ketidaknyam anan dada dan / atau sesak napas.

Gambar 3 Tergantung pada apa yang tersedia, miokardium dapaet menggunakan sebagai bahan gizi (substrat) glukosa, asam lemak bebas, laktat, dan lain-lain untuk produksi ATP. Pada waktu istirahat, proporsi konsumsi O2 (koefisien ekstraksi O2) yang digunakan setiap dari ketiga substrat ini biasanya sekitar sepertiga dari total. Selama kerja fisik, lebih banyak laktat yang dibentuk dalam otot skelet dioksidasi oleh miokardium. Pada defisensi O2 ATP juga dihasilkan secara anaerob (dalam kasus ini: pembentukan laktat

di miokardium). Secara mandiri, produksi energi anaerob dari glikogen (misalnya, pada anoksia) cukup untuk mempertahankan aktivitas jantung hanya sekitar delapan menit (waktu pertahanan fungsional). Jantung dapat diresusitasi sampai 30 menit sesudah anoksia. Penurunan suhu 10 derajat celcius menyebabkan waktu resusitasi dua kali lipat, karena kebutuhan energi juga menurun. II.3 Penyakit Jantung Koroner II. 3.1 Definisi Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah penyakit jantung akibat penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah koroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Dalam kondisi lebih parah kemampuan jantung dalam memompa darah dapat hilang. Menurut WHO, penyakit jantung koroner adalah gangguan pada miokardium karena ketidakseimbangan antara aliran darah koroner dengan kebutuhan oksigen miokardium sebagai akibat adanya perubahan pada sirkulasi koroner yang dapat bersifat akut (mendadak) maupun kronik (menahun). II.3.2 Klasifikasi Penyakit jantung koroner dapat terdiri dari : 1. Angina pektoris stabil (APS) Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium. Biasanya mempunyai karakteristik tertentu : Lokasinya biasanya didada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggung/pundak kiri. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih/berat di dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diagfragma, seperti diremas-remas atau dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak naoas serta perasaan takut mati. Biasanya bukan nyeri yang tajam seperti ditusuk-tusuk/diiris sembilu, dan bukan pula mules.nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan istirahat; tapi tidak berhubungan dengan gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan kekanan. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stress fisik maupun emosional.

Kuantitas nyeri yang pertama sekali timbul biasanya agak nyata dari beberapa menit sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable angina pectoris = UAP) sehingga dimasukkan ke dalam sindrom koroner akut yang memerlukan perawatan khusus. Nyeri dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik dampai menit. Nyeri tidak terus menerus tapi hilang timbul dengan intensitas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai terkontrol. Nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari bahkan sampai berhari-hari biasanya bukanlah nyeri angina pektoris.

Gradasi beratnya nyeri dada dibuat oleh Canadian Cardiovascular Society sebagai beriukut: Klas I . aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan lain-lain tidak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang berat, berjalan cepat serta terburu-buru waktu kerja atau berpergian. Klas II. Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbulk bila melakukan aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kai 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak atau melawan angina dan lain-lain. Klas III. Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa. Klas IV. AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampit semua aktivitas dapat menimbulkan angina, termasuk mandi, menyaou dan lain-lain. Nyeri dada ada yang mempunyai ciri-ciri iskemuk miokardium yang lengkap, sehingga tak meragukan lagi untuk diagnosis, disebut sebagai nyeri dada (angina) tipikal: sedangkan nyeri yang meragukan tidak mempunyai ciri yang lengkap dan perlu dikakukan pendekatan yang hati-hati disebut angina atipik. Nyeri dada lainnya yang sudah jelas berasal dari luar jantung disebut nyeri non kardiak.

2. Sindroma Koroner Akut (SKA) Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI) (Gambar 1). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS.

Gambar 4 Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan spesifik untuk nekrose miosit dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap dipengaruhi obat-obat yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik, beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI merupakan SKA yang

ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur.

Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang: dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung. Pada panduan ini pembahasan lebih difokuskan pada permasalahan tentang 2 bagian dari sindrom ini: Angina pektoris tidak stabil (APTS) dan NSTEMI.

a. Angina Pektoris Tak Stabil Yang dimasukkan kedalam angina tak stabil yaitu : 1. pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali perhari. 2. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angkina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan. 3. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat. Klasifikasi beratnya angina: Kelas I . Angina yang berat untuk pertama kali, atau mungkin bertambah beratnya nyeri dada. Klas II . Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir. Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir. Keadaan klinis : Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris. Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstra kardiak. Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.

Intensitas pengobatan : Tak ada opengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal

Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang standar. Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium

Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC dan American Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI = non ST Elevation myocardial infarction) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardion dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupunelevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan, angina tak stabil sering kali tak bisa dibedakan dengan NSTEMI.

b. Infark Miokard Akut Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap sesering dinegara maju. a. NSTEMI Angina pektoris tak stabil dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan bimarker jantung. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD. b. STEMI STEMI merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil.

II.3.3 Faktor Resiko Secara garis besar faktor risiko penyakit jantung koroner dapat dibagi menjadi faktor risiko yang dapat diubah (modifiable) dan faktor risiko yang tidak dapat diubah (nonmodifiable). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi :
a. Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya PJK. Perubahan hipertensi khusunya pada jantung disebabkan karena:
1. Meningkatkan tekanan darah

Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
2. Mempercepat timbulnya arteriosklerosis

Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menambah beban pembuluh darah arteri. Arteri mengalami proses pengerasan menjadi tebal dan kaku sehingga mengurangi elastisitasnya. Tekanan darah yang tinggi dan menetap juga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria sehingga memudahkan terjadinya pengendapan plak pada arteri koroner.
b. Hiperkolesterolemia

Kenaikan kadar kolestrol berbanding lurus dengan peningkatan terjadinya serangan PJK. Peningkatan LDL (Low Density Lipoprotein) dan penurunan HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor resiko yang penting pada PJK. Ketika terjadi kadar LDL yang tinggi, LDL dapat terakumulasi pada subendotel dan mengalami modifikasi yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan tunika intima dan menginisiasi terbentuknya plak aterosklerosis.
c. Merokok

Zat-zat toksik dalam rokok yang masuk ke peredaran darah akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Racun nikotin dari rokok akan menyebabkan darah menjadi kental sehingga mendorong percepatan pembekuan darah. Platelet dan fibrinogen meningkat sehingga sewaktu-waktu dapat menyebabkan terjadinya trombosis pada pembuluh koroner yang sudah menyempit. Selain itu, rokok dapat meningkatkan oksidasi LDL, menurunkan kadar HDL,

menyebabkan kerusakan endotel akibat stres oksidatif dalam kandungan rokok.

Nikotin dalam asap rokok dapat menstimulasi aktivitas saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah.
d. Diabetes melitus

Pada pasien diabetes, terbentuknya plak aterosklerosis dicetuskan oleh disfungsi endotel, terganggunya aktivitas antifibrinolitik, serta meningkatnya fagositosis LDL oleh makrofag.
e. Obesitas dan kurang aktivitas fisik

Obesitas dapat meningkatkan beban jantung, ini berhubungan dengan PJK terutama karena pengaruhnya pada tekanan darah, kadar kolestrol darah dan juga diabetes. Melakukan aktivitas fisik atau olah raga secara teratur dapat menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh berkurang serta secara bersamaan mengendalikan kadar kolesterol dan tekanan darah, aktivitas fisik dapat meningkatkan sensitivitas insulin serta merangsang pengeluaran NO.
f.

Stress Stres dapat memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang tinggi yang dapat membuat spasme arteri koroner sehingga suplai darah ke otot jantung terganggu.

Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi : a. Umur Semakin bertambahnya usia, semakin tinggi risiko PJK dan pada aumumnya dimulai pada usia 40 tahun ke atas. Menurut data yang dilaporkan American Heart Association, 1 dari 9 wanita berusia 45-60 tahun menderita PJK dan 1 dari 3 wanita berusia diatas 60 tahun menderita PJK. b. Jenis kelamin Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena PJK dibandingkan dengan wanita. Tetapi pada wanita yang sudah menopause risiko PJK meningkat dan hampir tidak didapatkan perbedaan dengan laki-laki. Hal ini berhubungan dengan penurunan kadar hormon estrogen yang berperan penting dalam melindungi pembuluh darah dari kerusakan yang memicu terjadinya aterosklerosis. c. Genetik Riwayat penyakit jantung di dalam keluarga pada usia di bawah 55 tahun merupakan salah satu faktor risiko yang perlu dipertimbangkan.

II.3. 4 Patofisiologi Disfungsi endotel merupakan proses primer terjadinya arterosklerosis yang dapat disebabkan baik karena bahan kimia maupun stress hemodinamik akan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Akibat terjadinya disfungsi endotel maka akan menyebabkan (1) rusaknya peran endotel sebagai permeability barier, (2) melepaskan sitokin inflamasi, (3) meningkatkan produksi molekul adhesi yang merekrut leukosit, (4) mengganggu pelepasan substansi vasoaktif ( prostasiklin, NO), dan (5) mengganggu antitrombus. Efek yang tidak diinginkan ini menjadi dasar terjadinya arteroslerosis. Disfungsi endotelium menyebabkan endotel tidak lagi memiliki barier yang dapat menghambat masuknya lipoprotein ke dalam pembuluh darah arteri. Peningkatan permeabilitas dari endotel membuat LDL masuk ke intima,selanjutnya LDL akan terakomodasi di ruang subendotel dengan berikatan dengan matriks ekstraseluler yaitu proteoglikan. LDL tersebut akan dioksidasi oleh ROS (Reactive Oxygen Species) dan pro enzym yang dihasilkan oleh makrofag dan sel otot pembuluh darah sehingga menjadi mLDL (modified LDL). mLDL ini akan merangsang rekrutmen dari leukosit ke ruang sub intima (terutama monosit dan limfosit T) melalui 2 cara yaitu (1) ekspresi LAM ( leukocyte adhesion molecule) pada pada permukaan endotel non adhesi, (2) signal kemoatraktan [MCP 1, IL 8, interferon inducible protein 10). Masuknya monosit ke dalam ruang sub intima, monosit berdiferensiasi menjadi makrofag dan memakan mLDL melalui reseptor scavenger (pada makrofag) dan membentuk sel busa (foam cell). Sel busa menghasilkan beberapa faktor yang dapat merekrut sel otot. Sebagai contoh sel busa menghasilkan platelet derived growth factor (PDGF) yang menyebabkan terjadinya migrasi sel otot dari internal elastic lamina ke ruang sub intima, tempat dimana sel otot bereplikasi. Sel busa juga melepaskan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF , IL-1, Fibroblast growth factor, dan TGF yang akan menstimulasi sel otot berproliferasi dan menghasilkan protein matriks ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih lanjut mencetuskan pelepasan sitokin yang mendorong dan mempertahankan inflamasi pada lesi. Adanya sel otot yang menghasilkan kolagen akan membentuk fibrous cap. Pembentukan fibrous cap dan deposisi matriks ekstraseluler ini sebenarnya merupakan proses sintesis dan degradasi yang saling bergantian yaitu dimana (1) sintesis yaitu sel otot merangsang kolagen melalui TGF dan PDGF, dan (2) degradasi yaitu T- lymphocyte derived cytokine IFN menghambat sintesis kolagen dan lebih lanjut sitokin akan merangsang sel busa untuk menghasilkan MMP (matrix metalloproteinase) yang akan melemahkan fibrous cap sehingga mudah

ruptur. Proses sintesis dan degrasi ini terus berlanjut tanpa menyebabkan gejala. Kematian dari sel otot dan sel busa baik karena stimulasi inflamasi yang berlebihan maupun karena apoptosis menyebabkan lemak dan debris seluler membentuk lipid core. Ukuran dari lipid core memiliki peranan biomekanikal untuk stabilnya plak. Selain itu deposisi dan distribusi fibrous cap merupakan hal yang penting dalam intergritas plak, jika fibrous cap tebal maka plak tersebut akan jarang ruptur yang sering kita sebut plak stabil, tetapi apabila fibrous cap tipis akan cenderung menyebabkan ruptur dari plak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus.Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi pletelet dan pletelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil. Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan meenyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil. Adanya penyumbatan dari pembuluh darah koroner akan menyebabkan terjadinya iskemi miokardial dimana akan (1) meningkatkan respon simpatis sehingga menyebabkan diaforesis, peningkatan tekanan darah dan nadi, (2) disfungsi otot papillary sehingga menyebabkan mitral regurgitasi, (3) penurunan compliance diastol yang akan menyebabkan suara jantung S4 dan menyebabkan kongesti pulmoner sehingga timbul rales, (4) penurunan fungsi sistolik yang menyebabkan dyskinetic apical impulse.

Gambar 5 II.3.5 Diagnosis 1. Anamnesis Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang mempunyai ciri khas sebagai berikut : Letak Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di tempat lain seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, bahu. Kualitas Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, atau seperti di peras atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik, lebih-lebih jika pendidikan pasien kurang. Hubungan dengan aktivitas Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang bila

pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam. Lamanya srangan Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang-kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai keringat dingin.

2. Pemeriksaan Fisik Pasien tampak cemas, tidak dapat istirahat (gelisah), sering kali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Sekitar seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis ( takikardia dan/atau hipotensi), dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas saraf parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi) tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah , dijumpai S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama, split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan peningkatan suhu sampai 38C dalam minggu pertama pasca STEMI.

3. EKG Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina; dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST dan gelombang T yang tidak khas. 9 Untuk mendiagnosa STEMI dari EKG adalah adanya elevasi segmen ST > 1mm pada 2 sadapan ekstremitas atau elevasi ST > 2mm pada 2 sadapan prekordial yang berhubungan, LBBB yang dianggap baru.

Gambar

Gambar 4. Foto Dada Foto rontgen dada sering menunjukkan bentuk jantung yang normal; pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta. 5. Laboratorium CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. cTn : ada dua jenis, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 510 hari. mioglobin : dapat ditedeksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam. Creatinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari. Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

6. Teknik non invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner : Computed Tomography Resonance Arteriography1

7. Pemeriksaan invasif menetukan anatomi koroner Arteeriografi koroner Ultrasound intravaskular (IVUS)

Anda mungkin juga menyukai