Anda di halaman 1dari 3

Membuat Pertamina Tidak Diejek-ejek Sepanjang Masa Senin, 01 April 2013 Manufacturing Hope 71 Hampir saja saya merasa

bahagia yang berkepanjangan. Yakni, ketika mengetahui ba hwa laba PT Pertamina (Persero) berhasil mencapai Rp 25 triliun. Itulah laba terbesar dalam sejarah Pertamina. Juga laba terbesar di lingkungan B UMN. Bahkan, laba terbesar yang bisa dicapai sebuah perusahaan apa pun di Indone sia sepanjang 2012. Saya pun minta agar Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengumumkannya. Ag ar capaian yang hebat itu bisa membuat masyarakat bangga pada Pertamina. Setidak nya bisa mengurangi ejekan sinis masyarakat kepada Pertamina. Maka, pada laporan keuangan kepada publik bulan lalu, disertakanlah judul ini: Pertamina berhasil memperoleh laba terbesar dalam sejarahnya. Melalui Twitter (@iskan_dahlan) saya pun ikut membagi kebahagiaan itu. Tentu say a ingin memberikan penghargaan kepada jajaran Pertamina. Berita gembira itu juga saya manfaatkan untuk kampanye menumbuhkan harapan umum. Manufacturing hope. Yakni, bahwa perbaikan dan kerja keras yang dilakukan jajara n Pertamina sudah mulai memberikan hasil nyata. Ini berarti kalau perbaikan, efi siensi, dan kerja keras terus dilakukan, hasilnya akan lebih hebat lagi. Saya ingin ada satu harapan untuk dunia Twitter, khususnya yang terkait dengan p olitik, yang terlalu didominasi pesimisme dan putus harapan. Pesimisme peroranga n adalah hak, tapi pesimisme masal bisa membawa kehancuran. Saya pun segera membayangkan bahwa masyarakat akan ikut bahagia mengikuti twit p erkembangan terbaru di Pertamina itu. Dan, saya akan menggunakan kebahagiaan mas yarakat tersebut untuk terus memacu kinerja manajemen Pertamina. Misalnya, lifti ng minyak yang harus naik untuk menjadikan Pertamina perusahaan minyak kelas reg ional. Sekarang ini Pertamina baru bisa menghasilkan 500 ribu barel minyak per hari. Ja uh dari kelas perusahaan minyak tingkat ASEAN sekali pun. Karena itu, tahun ini Pertamina membentuk Brigade 300K. Mereka terdiri atas anak-anak muda Pertamina y ang umurnya maksimum 29 tahun. Brigade ini bertugas menambah produksi minyak Pertamina 300 ribu barel lagi per hari. Inilah brigade yang akan membuat produksi total Pertamina menjadi 800 ribu barel. Target itu pun harus tercapai akhir tahun depan. Di dalamnya dihitung pr oduksi energi geotermal yang disetarakan dengan minyak. Tiap bulan saya mengikuti perkembangan Brigade 300K ini. Termasuk ikut mencarika n jalan keluar kalau terjadi hambatan di luar Pertamina. Misalnya, bagaimana Per tamina bisa menjual geotermalnya ke PLN dengan cepat. Kesepakatan pun segera dic apai: sembilan lokasi geotermal milik Pertamina yang skalanya besar-besar itu bi sa segera dikerjakan. Tapi, semua itu belum cukup. Harapan masyarakat terhadap Pertamina memang sangat besar. Pengumuman mengenai besarnya laba yang berhasil dicapai Pertamina itu, m isalnya, ternyata belum bisa membahagiakan masyarakat. Mereka menginginkan Perta mina jauh lebih hebat. Mereka tidak mempersoalkan laba, omzet, dan sebangsanya. Masyarakat menginginkan Pertamina yang membanggakan. Masyarakat ternyata langsung membandingkannya dengan Petronas, Malaysia. ronas Rp 160 triliun! ujar follower Twitter saya. Laba Pet

Saya pun tersadar dari lamunan kebahagiaan. Terbangun. Kebahagiaan saya akan pre stasi Pertamina itu ternyata hanya berlangsung kurang dari lima menit. Padahal, semula saya mengira kebahagiaan itu akan berlangsung setahun penuh. Lalu disambu ng dengan kebahagiaan berikutnya manakala melihat hasil kerja jajaran Pertamina 2013. Ternyata hukum kebahagiaan tidak seperti itu. Bahagia itu bisa naik dan tiba-tib a bisa anjlok. Kebahagiaan saya itu langsung lenyap saat membaca twit pembanding an antara laba Pertamina dan laba Petronas. Itu persis seperti kebahagiaan seorang pembina sepak bola di Indonesia. Setidakn ya seperti yang saya alami selama memimpin Persebaya dulu. Begitu peluit panjang berbunyi dan Persebaya menang, bahagianya bukan main. Tapi, kebahagiaan itu hanya berlangsung sekitar lima menit. Begitu keluar dari g aris lapangan, para wartawan langsung mengerubung dengan pertanyaan yang mengakh iri kebahagiaan itu: berapa juta bonus yang akan diberikan kepada setiap pemain. Maka, kebahagiaan pun langsung beralih ke bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayar bonus saat itu juga. Begitu pula soal kebahagiaan Pertamina ini. Begitu kicauan mengenai laba Petrona s tersebut saya baca, hati saya langsung terbakar. Saya benar-benar gelisah. Pik iran saya dipenuhi pertanyaan ini: bagaimana cara mengejar Petronas. Sudah lama masyarakat tidak bisa menerima kalau Pertamina sampai kalah dari Petronas. Apala gi kalahnya telak. Ketika berada di Rumah Sakit Tianjin untuk check-up rutin tahunan pekan lalu, sa ya memiliki waktu merenung lebih panjang. Saya utak-atik berbagai kemungkinan un tuk bisa mengejar Petronas. Saya browsing di internet. Saya pelajari angka-angka . Kekalahan Pertamina atas Petronas itu ternyata sudah sangat lama. Sudah lebih 30 tahun. Grafiknya pun kian memburuk. Tapi, apa yang bisa diperbuat? Sungguh tidak mudah menemukan jalannya. Padahal, soal kekalahan Pertamina ini sudah bukan lagi soal kekalahan sebuah perusahaan b iasa. Ini sudah menyangkut harga diri negara dan bangsa. Ini sudah soal Merah Pu tih. Pertamina sudah menjadi lambang negara. Di bidang sawit kita sudah bisa mengejar Malaysia. Garuda Indonesia sudah mengal ahkan Malaysia Airlines. Semen dan pupuk kita sudah jauh di depannya. Di bidang pelabuhan kita sedang mengejarnya dengan proyek PT Indonesia Port Corporation (P elindo II) yang insya Allah pasti bisa. Tapi, kita belum bisa menemukan jalan untuk Pertamina. Program-program Pertamina yang ada sekarang memang ambisius, tapi baru bisa membuat Pertamina masuk ke ja jaran perusahaan minyak kelas regional. Masih jauh dari prestasi Petronas. Memang ada jalan pintas. Bahkan, sangat cepat. Semacam jalan tol di Jerman. Maks udnya, jalan tol yang tidak pakai bayar. Dengan jalan ini Pertamina bisa mengala hkan Petronas hanya dalam waktu empat tahun. Setidaknya bisa membuatnya sejajar dengan Petronas. Tapi, saat saya menulis naskah ini, di sebuah ruang check-up Rumah Sakit Tianjin , saya terpikir akan kesulitan-kesulitannya: jalan tol itu bukan milik Pertamina. alan tol itu milik perusahaan luar negeri yang akan habis izinnya pada 2017: Blok Mahakam. Saya pun minta Dirut Pertamina Karen Agustiawan membuat kalkulasi ini: seandainy a Blok Mahakam kembali sepenuhnya ke negara, dan negara menyerahkannya ke Pertam ina, berapa laba Pertamina pada 2018? Dan tahun-tahun berikutnya? J

Dengan cepat jawaban Karen masuk ke HP saya: Rp 171 triliun. Saya tidak tergiur dengan angka itu. Saya lebih tergiur pada bayangan betapa ban gganya kita memiliki Pertamina yang tidak lagi diejek-ejek sepanjang masa. (*) Dahlan Iskan Menteri BUMN

Anda mungkin juga menyukai