Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

Nervus glossofaringeus adalah saraf kranial kesembilan (IX) dari dua belas pasang saraf kranial. Nervus IX berasal dari medulla oblongata bersamaan dengan nervus kranialis X dan XI, melalui foramen jugularis juluran dari nervus glosofaringeus menginervasi daerah lidah/faring dan leher yaitu mempersarafi daerah faring, otot stilopharingeal, glandula dari faring (kelenjar parotis), tonsil, dan 1/3 posterior lidah. Saraf glosofaringeus merupakan saraf motorik dan sensorik, saraf ini juga berfungsi sebagai pengecap karena saraf ini menpersarafi papila sirkumvalata di bagian belakang lidah.1 Serabut-serabut eferen nervus glosofaringeus adalah sebagian

somatosensorik dan sebagian viscerosensorik, khusus yang menghantarkan impuls citarasa. Nervus glossofaringeus merupakan saraf motorik utama bagi faring yang memegang peranan penting dalam mekanisme menelan. Nervus ini menpersarafi otot Stilofaringeus yang merupakan levator faring. Di samping tugas motorik, nervus glossofaringeus menangani inervasi sensorik protopatik permukaan orofarings dan pengecapan 1/3 bagian belakang lidah.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI NERVUS GLOSOFARINGEUS Nervus glosofaringeus terdiri dari serabut sensorik dan motorik. Ganglion untuk bagian sensorik adalah ganglion petrosum. Serabut ganglion tersebut melintasi bagian dorsolateral medulla oblongata dan berakhir di sepanjang nucleus traktus solitarius. Berkas serabut yang terkumpul di sekitar nukleus traktus solitaries ikut menyusun traktus solitarius. Sebagian dari serabut-serabut tersebut menuju ke nukleus dorsalis vagi. Serabut-serabut motorik nervus glosofaringeus berasal dari nukleus salivatorius inferior dan sebagian dari nukleus ambigus. Kedua jenis serabut muncul pada permukaan medula oblongata di sulkus lateralis posterior. Bersama-sama dengan nervus vagus dan asesorius nervus glosofaringeus meninggalkan tengkorak melalui foramen jugulare. Di leher nervus glosofaringeus membelok ke depan. Dalam perjalanannya kebawah dan ke depan itu, ia melewati arteri karotis interna dan vena jugularis interna. Kemudian ia berjalan diapit oleh arteri karotis interna dan eksterna disamping larings. Di situ ia bercabang-cabang dan mensarafi muskulus stilofaringeus dan selaput lendir farings. Cabang-cabang lainnya mensarafi tonsil, selaput lendir bagian belakang palatum molle dan1/3 bagian belakang lidah.3 Apabila diberikan rangsangan berupa rasa asam pada daerah pengecapan. Maka serabut-serabut yang menyalurkan implus pengecapan ikut menyusun nervus fasialis (kordha timpani) dan nervus glosofaringeus serta nervus vagus. Nervus-nervus ini menghantarkan implus itu ke nukleus traktus solitarii. Juluran inti tersebut menyalurkan implus ke Ventro Posterior Medialis di talamus. Dari situ implus pengecapan dipancarkan ke bagian media dari operkulum dan bagian bawah lobus parientalis.2

Gambar 1 : penjalaran nervus IX Nervus glossofaringeus terdiri dari serabut-serabut motorik dan sensorik. Serabut motoriknya sebagian bersifat somatomotorik dan sebagian lainnya bersifat sekretomotorik.Yang bersifat somatomotorik merupakan juluran perifer sel-sel yang menyusun inti ambigus. Inti ini terletak di formatio-retikularis medulla oblongata, dorsal daripada oliva inferior dan merupakan serabut preganglionar bagi ganglion otikum. Serabut-serabut eferen nervus glosofaringeus adalah sebagian somatosensorik dan sebagian viserosensorik khusus, yang mengantarkan implus cita rasa. Ganglion kedua serabut eferen ini ialah ganglion petrosum dan ganglion jugulare. Implus sensorik eksteroseptif dari nervus glosofaringeus disampaikan oleh juluran sentral sel di ganglion petrosum ke nucleus ramus descendens nervus trigeminus dan selanjutnya mengikuti penghantaran implus susunan nervus trigeminus. Adapun kawasan sensorik eksteroseptif nervus glossofaringeus itu ialah bagian posterior membrana timpani dan liang telinga. Implus viserosensorik dari mukosa palatum molle, arkus faringeus, tuba eustachii, lidah sepertiga bagian belakang, tonsil, kavum timpani, dan dinding farings dihantarkan oleh juluran sel ganglion petrosum ke nucleus
3

traktus solitarius (jadi tidak ke susunan sentral nervus trigeminus). implus cita rasa dari sepertiga bagian lidah dihantarkan ke nucleus traktus soliter juga. Serabut aferen dan eferen yang menyusun nervus glosofaringeus meninggalkan medulla oblongata dari permukaan lateralnya. Bersama-sama dengan nervus vagus dan nervus accesorius, nervus glosofaringeus ini meninggalkan tengkorak melalui foramen jugulare. Dalalm perjalanannya ke tepi melewati arteri karotis interna dan vena jugularis interna. Kemudian ia diapit oleh arteri karotis interna dan eksterna. Disini ia bercabang-cabang. Cabang somatomotoriknya mensarafi muskulus stilofaringeus, cabang viseromotoriknya yang dinamakan nervus Jacobsoni menuju ke kavum timpani dan tuba Eustachii. Cabang-cabang viseromotorik lainnya dinamakan rami atau pleksus faringeus, tonsilaris, linguaris dan karotikus, masing-masing merujuk kepada kawasan yang ditujunya.4

Gambar 2 : perjalanan nervus glosofaringeus

B. PATOLOGI NERVUS GLOSOFARINGEUS 1. Disfagia Gangguan menelan bisa disebabkan oleh paresis nervus fasialis atau nervus hipoglosus. Makanan sukar di pindah-pindahkan untuk dapat dimamah gigi geligi kedua sisi. Lagi pula tekanan di dalam mulut tidak bisa di tingkatkan sehingga bantuan mendorong makanan ke orofaring tidak ada. Kesukaran untuk menelan yang berat di sebabkan oleh gangguan nervus glossofaringeus dan vagus. Makanan sukar ditelan, karena palatum mole tidak bekerja, sehingga makanan tiba di larings dan menimbulkan reflex batuk. Yang sering di hadapkan sebagai keluhan gangguan menelan ialah keselek atau salah telan. Sukar menelan bukan hanya karena gangguan pada pasasi makanan di orofarings, juga dapat disebabkan oleh gangguan mekanisme menelan akibat berbagai proses patologik.4 Pada infark serebri yang menimbulkan hemiparesis, sukar menelan menjadi gejala dini. Lambat laun penderita hemiparesis bisa belajar untuk menelan makanan tanpa kesulitan. Dalam hal tersebut, kelumpuhan UMN pada otot-otot yang diinervasi nervus glossofaringeus dan vagus mendasari gangguan menelan. Jika terdapat kerusakan UMN bilateral, seperti pada paralisis pseudobulbar, menelan makanan merupakan gangguan yang sangat sering, sehingga makanan harus diberikan melalui pipa hidung. Kelumpuhan LMN pada otot-otot yang diinervasi nervus glossofaringeus dan vagus dapat disebabkan oleh penekanan di foramen jugularis (sindroma varent) akibat thrombosis vena jugularis sebagai komplikasi mastoiditis. Infiltrasi dari karsinoma nasofaring atau miastenia gravis merupakan sebab yang sering dijumpai. Pada anak-anak keadaan pasca difteri bisa diperburuk karena adanya kelumpuhan pada otot-otot menelan. Sering disebut juga intoksikasi botulismus, yang menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot menelan. Segala macam gangguan menelan, baik mengenai sukar menelan karena kelumpuhan otot-otot menelan, maupun karena adanya nyeri atau perasaan tidak enak waktu menelan dikenal sebagai disfagia. Pada dermatomiositis, scleroderma, amilodosis dan sindroma Plumer-Vinson, disfagia merupakan bagian gejala dari gambaran penyakit lengkapnya. Disfagia yang jelas karena adanya penyakit lebih

sering disebabkan oleh faringitis, tonsillitis, esofagitis, mediastinitis dan diverticulitis di esophagus.4

2. Hipogeusia dan ageusia Daya pengecapan yang berkurang (hipogeusia) sering terjadi pada orangorang yang sudah tua. Lebih-lebih kalau mereka menggunakan banyak obat-obat. Ageusia mengakibatkan nafsu makan hilang. Pada anak-anak penyebabnya kebanyakan otitis media, dimana korda timpani mengalami gangguan. Jika nervus fasialis juga ikut terganggu, maka ageusia pada otitis media akan lebih mudah teringat. Pada sindrom Guillain-Barre, nervus glossofaringeus dan vagus adakalanya ikut terkena, karena itu hipogeusia dirasakan sehingga memperburuk keadaan umum penderita. Leukemia bisa melakukan infiltrasi ke dalam kanalis fasialis dan dengan demikian menimbulkan ageusia.2 Tumor di fossa kranii media dan posterior bisa mengganggu nervus fasialis, glossofaringeus dan vagus. Ageusia diperberat oleh adanya anosmia, kombinasi tersebut sering di jumpai pada keadaan post trauma kapitis dengan fraktur basis kranii. Halusinasi pengecapan dapat timbul jika ada lesi iritatif di unkus, yang sering dialami sebagai bagian dari sindrom epilepsy lobus temporalis. Lesi destruktif di unkus mengakibatkan parageusia atau pengecapan yang tidak sesuai dengan sifat stimulusnya. Pengecapan pada parageusia selalu bersifat tidak enak.2

3. Perasaan protopatik di kawasan sensorik nervus glossofaringeus Persepsi rangsang nyeri, suhu dan raba di orofaring di perankan oleh nervus glossofaringeus. Daerah-daerah yang berdampingan, yaitu nasofaring dan rongga mulut merupakan kawasan perasaan protopatik nervus trigeminus. Bila ada lesi iritatif terhadap nervus glossofaringeus, kesulitan untuk mengenalnya terletak pada pembauran antara kawasan perasaan protopatik glossofaringeus dan trigeminus. Yang umumnya timbul akibat proses iritatif ialah neuralgia. Nyeri tajam yang timbul bagaikan kilat, berlangsung beberapa detik saja. Tetapi ia timbul berkali-berkali dengan interval beberapa detik sampai menit. Nyeri tersebut terasa di kerongkongan dan menjalar ke telinga dan ke belakang
6

mandibula. Adakalanya nyeri pertama timbul di dalam telinga. Menelan, bicara dan mengeluarkan lidah dapat memicu neuralgia tersebut. Faktor presipitasi itulah yang merupakan diagnosis banding antara neuralgia trigeminus dan neuralgia glossofaringeus.2 Pada neuralgia glosofaringeus dapat dijumpai daerah pencetus (trigger zone); dalam hal ini biasanya di dinding faring, daerah tonsil atau di dasar lidah. Serangan nyeri dapat dicetuskan bila penderita berbicara, makan, menelan, atau batuk.5,6

C. PENYAKIT TERKAIT AKALASIA 1. DEFINISI Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan dengan cara kardiomiotomidi luar mukosa yang terus dianut sampai sekarang. 7

2. FAKTOR RESIKO Insidens terjadinya akalasia adalah 1 dari 100.000 jiwa pertahun dengan perbandingan jenis kelamin antara pria dan wanita 1 : 1. Akalasia lebih sering ditemukan orang dewasa berusia 20 - 60 tahun dan sedikit pada anak-anak dengan persentase sekitar 5% dari total akalasia.7

3.

ETIOLOGI Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik diteraukan

kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal yang menyebabkan control neurologis dan sebagai akibatnya gelombang peristaltic primer tidak mencapai spingter esophagus bawah untuk merangsang relaksasi. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari akalasia. 8 Teori Genetik Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia. Teori Infeksi Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia. Teori Autoimun Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber. Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T yang diketahui berperan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus. Teori Degeneratif Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit Parkinson dan depresi.

4.

MANIFESTASI KLINIS8 Disfagia terhadap makanan cair dan padat. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.

Regurgitasi adalah aliran balik isi labung ke dalam mulut dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru, bahkan dapat memicu kematian.

Berat badan menurun Jika akalasia terjadi dalam waktu yang lama esophagus membesar, sehingga mengakibatkan ulserasi mukosa esophagus yang menimbulkan nyeri substernal hebat bahkan Muntah yang makin lama makin berat

5. KLASIFIKASI a. Akalasia primer9 Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia miyenterikus pada esofagus, faktor keturunan juga cukup berpengaruh. b. Akalasia sekunder9 Disebabkan oleh infeksi (penyakit chagas). Tumor intra luminer seperti tumorcaralia atau pendorongan ekstra luminer, kemungkinan lain disebabkan obat antikoligergik / pasca vagotomi.

6.

KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi makanan pada esofagus adalah sebagai berikut :8,9 Obstruksi saluran pethapasan Bronkhitis Pneumonia aspirasi Abses para Divertikulum
9

Perforasi esophagus Small cell carcinoma Sudden death. 7. PENATALAKSANAAN MEDIS7,8,9 Terapi Non Bedah - Terapi Medikasi - Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah relaksasi dan membantu membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bawah. - Injeksi Botulinum Toksin Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 12 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES - Pneumatic Dilatation Suatu baton dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan luituk merupturkan serat otot, dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penurupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri.

10

Terapi Bedah Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esofagus. 8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK10 a. Pemeriksaan Esofagoskopi Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dan kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis aldbat retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah. b. Pemeriksaan Manometrik Gunanya untuk mem'lai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter esofagus bawah. Pada badan esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi

11

proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan. c. Menelan barium atau esofagogastroduodenoskopi (EGD); pemantauan pHesofagus atau manometer. Pemeriksaan radiologis barium biasa dikombinasikan dengan pemeriksaan diagnostic lambung dan duodenum (rangkaian pemeriksaan radiologis gasyrointestinal bagian atas menggunakan barium sulfat) menggunakan barium sulfat dalam cairan atau suspens kiri yang ditelan. Mekanisme menelan dapat terlihat secara langsung dengan pemeriksaan fluoroskopi atau perekaman gambaran radiografik. Bila dicurigai terdapat kelainan esophagus ahli radiologi dapat meletakkan penderita dalam berbagai posisi. d. Pemeriksaan motilitas Berfungsi memriksa bagian motorik esophagus dengan menggunakan kateter peka tekanan atau balon mini mg diletakkan dalam lambung dan kemudian naikkan kembali. Tekanan kemudian ditransmisi ke transduse ryang diletakkan di luar tubuh penderita, pengukuran perubahan tekanan esophagus dan lambung sangat menambah pengertian aktivitas esophagus pada keadaan sehat atau sakitsaat istirahat dan selama menelan.

9.

HEALTH EDUCATION Menghindari alcohol, dan makanan panas, dingin, dan pedas dan dianjurkan untuk tidur

dengan kepala terangkat untuk menghindari aspirasi.8

12

BAB III KESIMPULAN

Nervus glossofaringeus adalah saraf kranial kesembilan (IX) dari dua belas pasang saraf kranial. Nervus IX berasal dari medulla oblongata bersamaan dengan nervus kranialis X dan XI, menginervasi daerah lidah/faring dan leher yaitu mempersarafi daerah faring, otot stylopharingeal, glandula dari faring (kelenjar parotis), tonsil, dan 1/3 posterior lidah. Saraf glosofariangeus merupakan saraf motorik dan sensorik, saraf ini juga berfungsi sebagai pengecap dan proses menelan. Jika terjadi gangguan pada nervus ini maka akan mengakibatkan gangguan pengecapan, gangguan menelan, dan gangguan perasaan protopatik di sekitar orofarings. Penanganan disfagi sendiri secara garis besar terbagi menjadi 2 metode : yaitu metode yang mengutamakan kompensasi (pengaturan diet, posisi saat makan) serta metode yang mengutamakan stimulasi (terapi listrik neuromuscular). Hingga saat ini masih sedikit penelitian yang membandingkan kedua jenis metode terapi disfagia tersebut. Akalasia esofagus adalah suatu gangguan neuromuskular. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Akalasia lebih sering ditemukan orang dewasa berusia 20 - 60 tahun dan sedikit pada anak-anak. Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Akalasia terdapat dua jenis, yaitu akalasia primer (disebabkan oleh virus neurotropik), dan akalasia sekunder (disebabkan oleh infeksi).

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Anatomy EXPERT. Glossopharingeal Nerve (IX).www.anatomyexpert.com. Diakses tanggal 19 Agustus 2013. 2. Mardjono, M dan Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta. 2008. 3. Daonibeatty. Saraf Otak atau Nervus Glosofaringeus. www.scribd.com. Online : 30 oktober 2012. Diakses tanggal 20 Agustus 2013. 4. Sidharta, P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian Rakyat. Jakarta. 2010. 5. Lumbantobing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Klinik dan Mental. FKUI. Jakarta. 2012 6. Ginsberg, L. Lecture Notes Neurologi. Erlangga. Jakarta. 2008. 7. Bakry F. Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Sudoyo AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Jakarta: PusatPenerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia; 2006. p. 322-324. (vol 1). 8. Hafid A, Syukur A, Achmad IA, Ridad AM, Ahmadsyah I, Airiza AS, et al.Esofagus dan diafgagma. Buku ajar ilmu bedah. Sjamsuhidajat R, de JonGW, editors. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. p. 499. 9. Price SA, Wilson LM. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-prosespenyakit. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 357-358,363-365. (vol 1). 10. Meschan I. Oropharynx, laringopharynx, and esophagus. Roentgen sign indiagnostic imaging. 2nd ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 1984.p. 522,525-526. (Abdomen; vol 1).

14

Anda mungkin juga menyukai