Anda di halaman 1dari 9

Harmonisasi Peraturan Perdagangan Antar Wilayah

Leonardo A.A.T. Sambodo*)

Harmonisasi peraturan perdagangan antar wilayah merupakan salah satu kebutuhan untuk dapat mendukung upaya penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi dunia usaha, termasuk usaha kecil dan menengah dan koperasi (UKMK). Merujuk pada Rencana Tindak Jangka Menengah Pengembangan UKM, maka upaya harmonisasi ini lebih terkait dengan tujuan untuk menyiapkan pra kondisi bagi tumbuhnya iklim usaha. Upaya harmonisasi ini dapat memberikan dampak yang sangat luas, terutama bagi peningkatan kesempatan dan kesetaraan berusaha dalam bentuk sistem ekonomi yang efisien (tidak berbiaya tinggi) dan demokratis, yang tercermin dari partisipasi lintas pelaku (stakeholders) serta berkembangnya sistem kontrol sosial. Untuk mewujudkan upaya harmonisasi ini, perlu disepakati dua aspek yang mendasar yaitu: (i) masalah hambatan terhadap arus barang dan jasa antar wilayah dapat disebabkan oleh aturan, struktur usaha, jenis komoditi, rantai tataniaga, dan/atau struktur pasar, sehingga harmonisasi peraturan perdagangan hanya merupakan salah satu alternatif penyelesaian masalah; dan (ii) harmonisasi tidak berarti penyamarataan peraturan perdagangan antar wilayah. Dengan demikian, upaya harmonisasi perlu dilaksanakan secara terfokus melalui pertimbangan keragaman kondisi dan kebutuhan masyarakat di setiap daerah. Langkah awal yang dapat dilakukan yaitu identifikasi terhadap penyebab hambatan arus barang dan jasa, apakah disebabkan oleh aturan, struktur usaha, jenis komoditi, rantai tataniaga, dan/atau struktur pasar. Penelaahan ini idealnya tidak saja terbatas pada identifikasi faktor penyebabnya, tetapi juga termasuk penelurusan terhadap kontribusi dari masing-masing faktor penyebab. Apabila ditemukan bahwa peraturan memberikan kontribusi paling besar terhadap hambatan barang dan jasa antar wilayah, penelaahan perlu dilanjutkan untuk menganalisa latar belakang/alasan ditetapkannya peraturan tersebut. Hasilnya kemudian dapat dijadikan dasar bagi alternatif perbaikan atau penghapusan suatu peraturan perdagangan. Proses tersebut di atas tentu dapat dianggap rumit, membutuhkan waktu yang lama, dan sumberdaya yang tidak sedikit; sedangkan permasalahan yang dihadapi membutuhkan keputusan/pemecahan yang segera. Pemikiran seperti ini tidak menjadi masalah apabila inisiatif berakar pada upaya untuk membangun sistem yang terarah dan berkelanjutan. Apabila asumsi terhadap landasan inisiatif tersebut benar, maka dibutuhkan langkah-langkah yang menyeluruh mencakup pengembangan (i) landasan hukum, (ii) kelembagaan, (iii) dan kapasitas sumberdaya manusia. Ketiganya dapat dianggap sebagai syarat perlu karena harmonisasi peraturan hanya dapat dilakukan oleh suatu lembaga dengan sumberdaya
*)

Kasi Teknologi dan Sistem Produksi, Direktorat Pemberdayaan UKM & Koperasi, Kantor Meneg PPN/Bappenas-red

/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_4/166972803.doc

Halaman 1

manusia yang kompeten atas dasar undang-undang/peraturan. Tulisan ini selanjutnya akan mengulas ketiga aspek tersebut disamping materi dari harmonisasi peraturan itu sendiri. Di samping itu, materi dalam tulisan ini tidak secara khusus mengulas aspek dukungan bagi perdagangan produk UKMK antar daerah/wilayah, tetapi lebih kepada menempatkan isu harmonisasi peraturan perdagangan dalam perspektif yang lebih luas, yang apabila berhasil diwujudkan UKMK tetap dapat memperoleh manfaatnya. Perundang-undangan (UU) tentang harmonisasi peraturan perdagangan antar wilayah dianggap perlu untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan kebijakan ini. UU tersebut mengatur lingkup dari materi harmonisasi dan keterkaitannya dengan UU lainnya baik secara vertikal maupun horisontal. Selain itu, UU tersebut juga menetapkan institusi pelaksana, termasuk lingkup tugas dan kewenangan, serta keterkaitan antara instansi publik dan swasta. UU tersebut dapat ditetapkan secara nasional dengan tetap mengacu pada UU No. 22/99. Adapun materi harmonisasi yang diatur melalui UU tersebut secara ideal harus mencakup evaluasi dari semua aspek yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan suatu peraturan perdagangan, serta mekanisme penyusunan rekomendasi dan pengambilan keputusannya. Hal ini lebih mudah dilakukan dalam lingkup nasional, tetapi cukup rumit dalam konteks antar daerah. Dua hal yang membutuhkan pertimbangan secara cermat dalam harmonisasi peraturan antar daerah yaitu (i) peraturan daerah (Perda) merupakan produk pemerintah daerah (Pemda) dan DPRD, dan (ii) keragaman Perda dengan kondisi yang melatarbelakanginya. Namun secara umum, materi harmonisasi perlu mengakomodasi lingkup evaluasi sebagai berikut: a. b. c. kajian terhadap latar belakang atau justifikasinya keterlibatan lintas pelaku (stakeholders) dalam proses penyusunan dan pelaksanaan peraturan/kebijakan, dan koordinasi dan mekanisme pengambilan keputusan yang jelas dalam menyusun dan menetapkan peraturan/kebijakan.

Kajian terhadap latar belakang suatu peraturan diperlukan untuk memastikan bahwa peraturan tersebut disusun sesuai dengan kebutuhan, tepat sasaran dan dapat berkelanjutan. Sebagai contoh, saat ini disinyalir banyak Perda yang berpotensi menghambat arus barang dan jasa antar wilayah. Upaya memperbaiki/ menghapuskannya merupakan hal yang tidak mudah karena Pemda menggunakan alasan bahwa deregulasi akan menyebabkan pendapatan asli daerah (PAD) menurun. Pertanyaannya adalah sejauh mana justifikasi Pemda tersebut terbukti dan tetap berlaku dalam jangka waktu/periode yang panjang. Salah satu temuan Tim SMERU berkaitan dengan deregulasi Perda menunjukan bahwa pada tahun anggaran (TA) 1998/99 faktor utama penyebab penurunan PAD di tingkat propinsi sebenarnya yaitu kondisi krisis ekonomi, bukan karena penghapusan pajak dan retribusi daerah. Meskipun PAD di tingkat kab/kota menurun sebesar 17% pada TA 1998/99 akibat deregulasi pajak dan retribusi, secara rata-rata PAD kabupaten/kota meningkat karena adanya transfer sumber pendapatan dari tingkat di atasnya. Adanya pengalihan pajak dan retribusi dari propinsi ke kabupaten/kota juga memberikan kontribusi terbesar terhadap penurunan PAD propinsi. Halaman 2

/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_4/166972803.doc

Penelaahan terhadap latar belakang suatu peraturan perdagangan tentu saja tidak cukup berdasarkan argumen PAD sebagaimana contoh di atas, tetapi juga memerlukan analisa baik dari sisi aparat dan sisi kelompok sasaran sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh. Dari sisi aparat, seringkali kebijakan dan peraturan dikeluarkan tanpa melalui proses perencanaan yang menyeluruh dan bertahap. Pola semacam ini menggambarkan kecenderungan penetapan suatu peraturan/kebijakan secara sepihak (ceteris paribus) yang dimungkinkan untuk diganti (bahkan dihapus) apabila terdapat pengaduan ( claim). Pendekatan ini tentu saja tidak cermat dan tidak efisien, serta bertentangan dengan prinsip keberlanjutan. Kesemuanya sebenarnya berakar dari kualitas dan kapasitas sumberdaya manusia yang dimiliki, yang tercermin dalam bentuk: a. pemahaman yang kurang mengenai proses penyusunan peraturan perdagangan yang tepat, b. keterbatasan kapasitas dalam melakukan kajian secara cepat untuk memberikan landasan yang memadai bagi penyusunan peraturan, c. keterbatasan inovasi dalam mencari alternatif strategi untuk meningkatkan PAD selain melalui pajak dan retribusi, dan d. pemahaman yang kurang dalam penerapan aturan perdagangan dan keterkaitannya dengan pola perdagangan secara regional, nasional dan internasional. Di samping itu, keterbatasan data dan informasi, lemahnya sistem dan mekanisme pemantauan dan evaluasi, serta kendala dalam arus informasi secara vertikal berkontribusi pada lemahnya sistem pendukung bagi efektivitas fungsi pengambil kebijakan. Sementara itu, dari sisi kelompok sasaran dapat ditemukan dua pola yang berbeda dalam pengkajian suatu peraturan perdagangan yang disinyalir sebagai hambatan, yaitu: a. adanya kebutuhan/dukungan terhadap penerapan suatu aturan perdagangan untuk kepentingan kelompok tertentu, meskipun tidak efisien dan membebani dunia usaha (khususnya yang terkait dengan praktek monopoli, proteksi, dll.), dan b. kebutuhan terhadap suatu peraturan tidak dapat dikonfirmasi tetapi kelompok sasaran terpaksa mematuhi aturan karena pemahaman terhadap konsep dan tujuan peraturan sangat terbatas, dan/atau karena tidak memiliki alternatif pemecahannya. Pola yang pertama terkait dengan praktek persaingan usaha yang tidak sehat. Sementara itu, pola yang kedua mencerminkan belum berkembangnya mekanisme kontrol sosial yang efektif, serta rendahnya intensitas pelibatan kelompok sasaran dalam penyusunan peraturan. Berdasarkan uraian di atas, beberapa materi yang dapat mendukung lingkup dari UU harmonisasi peraturan perdagangan antara lain: (i) mekanisme pengkajian, (ii) mekanisme penyebarluasan temuan dan rekomendasi, dan (iii) penetapan definisi dan kriteria harmonisasi. Aspek definisi dan kriteria harmonisasi ini merupakan aspek terpenting dan perumusannya membutuhkan kesepakatan antar seluruh stakeholders terkait.

/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_4/166972803.doc

Halaman 3

Fokus evaluasi selanjutnya berkaitan dengan keterlibatan stakeholders dalam proses penyusunan dan pelaksanaan peraturan/kebijakan. Partisipasi stakeholders yang intensif mulai dari proses penyusunan sampai dengan pelaksanaan sangat penting agar peraturan/kebijakan dapat dipahami dan diterima secara luas, serta agar wawasan dalam mencari pemecahan suatu persoalan dapat diperluas. Selain itu, pelibatan sebesar-besarnya stakeholders dapat meningkatkan sistem kontrol sosial untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul serta mendukung efektivitas pelaksanaan peraturan. Saat ini kegiatan sosialisasi sudah banyak dilakukan sejak penyusunan rancangan peraturan sampai pada pelaksanaannya. Namun demikian, kegiatan sosialisasi tersebut masih banyak yang terkesan hanya formalitas. Hal ini mungkin disebabkan oleh (i) keterbatasan waktu, tenaga, keahlian, dan dana untuk dapat berdiskusi secara mendalam dengan stakeholders, dan/atau (ii) stakeholders yang terlibat (terutama pada saat konsultasi/diskusi) kurang memiliki kompetensi dan representasi yang memadai. Langkah yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah ini yaitu mengupayakan kerjasama sosialisasi dan advokasi peraturan/kebijakan antara instansi pemerintah dan lembaga nonpemerintah sehingga daya jangkau dan intensitas pemberdayaan stakeholders dapat ditingkatkan. Selain itu, apabila dana mencukupi dan akses teknologi masyarakat sudah berkembang, penggunaan media diskusi secara online (internet group discussion ) merupakan cara yang paling cepat untuk menyebarluaskan informasi dan mengumpulkan masukan. Berdasarkan uraian di atas, cakupan keterlibatan stakeholders yang dapat mendukung materi UU harmonisasi peraturan perdagangan yaitu (i) bentuk pelibatan stakeholders (diskusi bertingkat, ntas sektor, lintas area), (ii) mekanisme pengukuran dan jenis indikator pelaksanaan pelibatan stakeholders, dan (iii) mekanisme kerjasama dengan lembaga lainnya (universitas, LSM, lembaga independen, dll.) dalam pelaksanaan sosialisasi dan advokasi mengenai peraturan. Selanjutnya, efektivitas pelaksanaan dan pemanfaatan hasil dari kajian dan kegiatan yang melibatkan stakeholders dalam rangka harmonisasi peraturan perdagangan antar wilayah akan sangat tergantung pada mekanisme koordinasi dan pengambilan keputusan yang jelas. Hal ini terkait dengan proses (i) pengesahan peraturan dan (ii) pengambilan keputusan dalam hal perubahan peraturan. Saat ini proses pengesahan beberapa Perda masih ditangani oleh instansi pemerintah di tingkat pusat. Hal ini di satu sisi merupakan langkah preventif untuk mengontrol perundangan, tetapi di sisi lain sangat berpotensi menimbulkan moral hazard1 dan menyebabkan adanya penundaan karena keterbatasan aparat. Namun pada dasarnya prosedur pengesahan peraturan tersebut perlu disederhanakan, dengan melibatkan hanya satu instansi yang memiliki kompetensi dan mengembangkan prosedur yang terukur 2. Sementara itu, perlu dipertimbangkan bahwa sebagian pengesahan Perda dapat dialihkan kewenangannya ke pemerintah tingkat propinsi dan/atau kabupaten/kota. Tentu saja upaya ini perlu disertai dengan peningkatan kapasitas Pemda
1 2

Hasil temuan Tim SMERU menunjukkan adanya beberapa pungutan tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh Pemda saat mengurus pengesahan Perda oleh instansi di tingkat pusat . Sudah terdapat SK Mendagri No. 171/1997 tentang Prosedur Pengesahan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, namun belum dilaksanakan secara optimal (Laporan Tim SMERU)

/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_4/166972803.doc

Halaman 4

dalam meneliti materi dan lingkup peraturan, serta pengembangan sistem pemantauan dan evaluasi yang lebih baik untuk menjaga harmonisasi Perda dengan peraturan peraturan di daerah lain dan di tingkat yang lebih tinggi. Upaya ini akan memberikan ruang bagi Pemda untuk berinisiatif dan berinovasi, di samping untuk tetap mematuhi unsur kehati-hatian dalam penetapan suatu Perda. Sementara itu, mekanisme pengambilan keputusan dalam hal review dan perubahan peraturan pada intinya merupakan cara penerjemahan dari hasil kajian dan masukan/kesepakatan antar stakeholders untuk menentukan tindak lanjut harmonisasi yang tepat. Mekanisme ini sebenarnya berada di lingkup eksekutif dan legislatif, tetapi tentu saja tetap diperlukan adanya upaya konsultasi dan sosialisasi dengan stakeholders tentang keputusan yang akan diambil. Hal yang perlu dipikirkan bersama adalah bahwa keputusan yang diambil tidak menyamaratakan kondisi dan kebutuhan waktu penerapannya di semua daerah. Dalam menghadapi kompleksitas dan keragaman kondisi setiap daerah tersebut, salah satu pelajaran berharga yaitu penerapan ketentuan perdagangan dunia oleh World Trade Organization (WTO). Di satu sisi ketentuan WTO mewajibkan semua negara anggotanya untuk bertindak non-diskriminatif dan berpedoman pada mekanisme pasar. Oleh karena itu dibutuhkan adanya komitmen untuk mewujudkan harmonisasi peraturan perdagangan (penghapusan tarif, dsb) di antara anggotanya. Namun di sisi yang lain, ketentuan WTO memberikan tenggang waktu dan kelonggaran persyaratan dalam pemenuhan persyaratan yang ditetapkan karena adanya keragaman kondisi sosial ekonomi di setiap negara anggota 3. Selama tenggang waktu tersebut, setiap negara dapat mempersiapkan diri terutama dari segi produksi dan perdagangan domestik sehingga pada saatnya nanti dapat menerapkan ketentuan WTO seperti negara-negara anggota lainnya. Namun demikian, insentif tenggang waktu dan kelonggaran persyaratan hanya dapat diberikan bila terdapat justifikasi/alasan yang tepat. Aspek non-diskriminatif ini pada dasarnya sama dengan misi dari upaya harmonisasi peraturan perdagangan antar wilayah di Indonesia tetapi dengan skala yang lebih kecil. Beberapa daerah pada periode tertentu memerlukan tambahan pemasukan daerah dengan menerapkan peraturan pajak dan retribusi. Meskipun kemudian disinyalir peraturan tersebut dapat menghambat arus barang dan jasa dari dan ke daerah lain, pertimbangan bahwa penerapan Perda untuk meningkatkan PAD mungkin merupakan alasan yang dapat diterima, khususnya untuk daerah-daerah yang memiliki sumberdaya terbatas. Pilihan kebijakan harmonisasi untuk daerah-daerah seperti ini dapat menggunakan pola yang bertahap yaitu dengan
3

Sebagai contoh: ketentuan WTO Agreement on Agricultural (AOA) Part IX Article 15 yang berbunyi: (1) In keeping with the recognition that differential and more favorable treatment for developing country Members is an integral part of the negotiation, special and differential treatment in respect of commitments shall be provided as set out in the relevant provisions of this Agreement and embodied in the Schedules of concessions and commitments. (2) Developing country Members shall have the flexibility to implement reduction commitments over a period of up to 10 years. Least-developed country Members shall not be required to undertake reduction commitments. dan Article GATT 1994 yang berbunyi: Mengijinkan negara anggota untuk mengambil tindakan yang menyimpang dari ketentuan GATT/WTO, sepanjang tindakan tersebut tidak dimaksudkan sebagai tindakan proteksi, tidak bersifat diskriminasi, dan memenuhi persyaratan sebagaiamana disebutkan dalam Article 20 GATT (Diambil dari Halida Miljani, Dubes RI untuk WTO: Kebijakan Pemulihan Ekonomi dan WTO, bahan diskusi, 23 Oktober 2000)

/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_4/166972803.doc

Halaman 5

memberikan tenggang waktu untuk menghapuskan Perda yang disinyalir menghambat, atau memberikan tenggang waktu yang disertai dengan upaya penyesuaian Perda secara bertahap. Pilihan tersebut secara ideal harus disertai dengan dukungan dari stakeholders terkait, khususnya pemerintah, dari segi perkuatan institusi, pengembangan sumberdaya manusia, serta penyediaan bantuan teknis untuk pengembangan ekonomi lokal. Diharapkan dengan adanya dukungan pendampingan seperti ini, daerah tersebut dapat berkembang dan mulai melakukan perbaikan untuk memenuhi kriteria harmonisasi setelah periode tenggang waktu berakhir. Hal serupa bisa dilakukan untuk alasan perlindungan terhadap dunia usaha setempat, termasuk UKMK, asalkan justifikasi-nya cukup kuat. Penerapan pendekatan seperti tersebut di atas menuntut adanya kreativitas, inovasi dan kemampuan analisis yang tinggi dari para pengambil kebijakan. Di samping itu, dibutuhkan suatu lembaga yang independen dan berkompeten untuk bekerja secara terus-menerus memantau pelaksanaan harmonisasi di tiap daerah untuk menjamin pelaksanaan harmonisasi peraturan perdagangan di setiap daerah. Lembaga yang khusus menangani harmonisasi ini sangat dibutuhkan mengingat kompleksitas dan dinamika permasalahan yang ada serta karena adanya keterbatasan aparat pemerintah. Langkah alternatif yang dapat ditempuh yaitu mengembangkan lembaga semacam Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) di tingkat nasional. Lembaga tersebut khusus memiliki misi untuk menjaga harmonisasi peraturan perdagangan barang dan jasa antar wilayah. Lembaga ini dapat dibantu dengan struktur serupa di tingkat propinsi; sedangkan untuk tingkat kabupaten kurang direkomendasikan mengingat cakupannya yang terbatas. Lembaga ini harus bersifat independen (semi-pemerintah) dan keanggotannya melibatkan sektor publik dan swasta, terutama para profesional yang berkompeten di bidang hukum perdagangan. Lingkup fungsi dari lembaga ini meliputi: (i) mengkaji berbagai peraturan perdagangan di tingkat nasional dan daerah, (ii) melaporkan hasil kajian dan rekomendasinya untuk penyelarasan, (iii) memberikan advokasi bagi perencanaan dan strategi pelaksanaan suatu peraturan perdagangan, (iv) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan perdagangan di tingkat nasional dan daerah, dan (v) menangani permasalahan/ pengaduan masyarakat, terutama dunia usaha, berkaitan dengan penerapan suatu peraturan perdagangan di tingkat nasional dan daerah. Sementara itu kewenangan lembaga ini dapat mencakup (i) bersama-sama dengan pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) untuk menetapkan keputusan pembatalan, perbaikan, dan perubahan terhadap suatu peraturan perdagangan baik di tingkat nasional dan daerah, (ii) menetapkan kriteria/pedoman untuk evaluasi peraturan perdagangan, (iii) menetapkan sanksi bagi pelanggar ketentuan harmonisasi, dan (iv) menyelesaikan konflik perdagangan antar wilayah 4. Dari usulan fungsi lembaga harmonisasi seperti yang telah diuraikan, terdapat dua fungsi yang sangat erat kaitannya yaitu monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan perdagangan dan penanganan
4

Secara ideal, untuk setiap fungsi yang dijalankan oleh lembaga harmonisasi ini terdapat semacam panduan teknis (handbook).

/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_4/166972803.doc

Halaman 6

masalah/ pengaduan masyarakat. Fungsi pemantauan dapat difokuskan pada transparansi dari pelaksanaan suatu aturan, misalnya dalam hal retribusi diperlukan adanya kejelasan dalam mekanisme pemungutan, kelompok sasaran, arus dana/pendapatan dari pungutan, serta mekanisme pengelolaannya. Pemantauan transparansi ini dimaksudkan untuk mencegah moral hazard dari sisi pelaksana. Namun demikian, sistem monitoring dan evaluasi yang kuat bisa menjadi tidak efektif apabila tidak disertai dengan upaya penegakan hukumnya. Hal ini terutama terkait dengan praktek pungutan informal yang banyak terjadi pada jalur pengangkutan barang. Untuk itu, diperlukan adanya kerjasama dengan aparat penegak hukum untuk mencegah praktekpraktek premanisme, misalnya dengan mencontoh pola pemberian insentif bagi anggota kepolisian yang berhasil menggagalkan penyelundupan bahan bakar. Upaya penegakan hukum yang menyertai fungsi monitoring dan evaluasi ini juga diharapkan dapat diperkuat dengan makin berkembangnya sistem kontrol sosial di masyarakat sebagai dampak dari pelibatan stakeholders secara intensif dalam perencanaan dan pelaksanaan peraturan perdagangan. Berkembangnya sistem kontrol sosial tentunya membutuhkan adanya media penampungan yang sekaligus dapat menangani masukan dan pengaduan dari masyarakat. Oleh karena itu, melalui fungsi penanganan masalah dan kewenangan dalam menyelesaikan konflik perdagangan dalam negeri, suatu lembaga harmonisasi diharapkan dapat menjembatani konflik kepentingan, terutama antara pemerintah dan sektor swasta. Lembaga harmonisasi dapat mengupayakan suatu penyelesaian sengketa yang sedapat mungkin ditempuh tanpa melalui jalur hukum, tetapi melalui mekanisme tersendiri yang dapat mencakup negosisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan keinginan baik untuk berdamai ( goodwill). Mekanismenya tentu saja perlu didukung dengan adanya koordinasi dan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait, terutama lembaga penegak hukum dan asosiasi usaha, serta adanya transparansi dalam penyampaian hasil penanganan masalah kepada masyarakat luas. Sebagai bagian terakhir dari tulisan ini, akan diulas mengenai salah satu alternatif penyelesaian yang diperkirakan akan banyak dilakukan dalam rangka upaya harmonisasi peraturan perdagangan yaitu deregulasi. Saat ini pelaksanaan deregulasi di tingkat daerah cukup beragam, sebagaimana tampak dari hasil temuan Tim SMERU, misalnya berupa: a. b. c. d. penghapusan Perda langsung setelah adanya perintah/kebijakan dari tingkat pusat, pembatalan Perda melalui penerbitan Perda/Surat Keputusan Pemda, Perda dianggap sudah dibatalkan karena selama ini tidak berjalan dengan baik, Perda dihapus tapi kemudian ditetapkan peraturan baru yang serupa (ganti baju)contohnya penghapusan Perda retribusi yang diganti dengan sumbangan sukarela yang disertai dengan ketentuan nilai minimal, dan perubahan/ perbaikan Perda yang disertai dengan perbaikan prosedur. Halaman 7

e.

/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_4/166972803.doc

Dari ringkasan tersebut di atas, tampak bahwa dalam kebijakan deregulasi yang dilaksanakan Pemda ada yang belum jelas dan ada yang justru cenderung kontraproduktif. Inti dari deregulasi sebenarnya adalah pengurangan peraturan dan pelaksanaannya lebih banyak diarahkan pada penghapusan dan penyederhaan peraturan dan prosedur. Dalam bidang perdagangan, deregulasi diharapkan dapat mendukung berkembangnya mekanisme pasar dengan sesedikit mungkin hambatan yang disebabkan oleh proses birokrasi dan intervensi pemerintah. Keragaman yang ada saat ini dalam pelaksanaan deregulasi di daerah, memang dapat disebabkan oleh pemahaman yang kurang lengkap terhadap konsep deregulasi, tetapi juga bisa disebabkan oleh belum efektifnya pelaksanaan desentralisasi terutama yang berkaitan dengan prosedur deregulasi. Untuk memperbaikinya, selama masa transisi pelaksanaan desentralisasi diperlukan upaya perkuatan aparat di daerah. Di samping itu, untuk menjamin bahwa deregulasi dapat menjamin berkembangnya mekanisme pasar yang berkeadilan di daerah diperlukan upaya perbaikan good governance yang dilaksanakan secara konsisten dan upaya harmonisasi untuk mencegah adanya konflik kepentingan antar lintas pelaku di berbagai tingkatan. Hasil dari deregulasi, tentunya tidak semata-mata tergantung dari perbaikan dari sisi aparat pelaksana, tetapi juga sangat ditentukan oleh kecepatan respon dunia usaha setempat dalam memanfaatkan peluang yang ada sebagai akibat dari membaiknya iklim usaha. Dengan demikian, deregulasi, penyelarasan, dan/atau perbaikan peraturan perdagangan antar wilayah dalam rangka harmonisasi dapat memberikan dampak yang berbeda untuk tiap daerah. Trade-off yang dirasakan dari sisi Pemda bisa berlangsung dalam waktu singkat atau lebih panjang, tergantung dari Pemda dan dunia usaha setempat. Sebagai contoh, Kabupaten Gianyar yang menerapkan pelayanan satu atap pada awalnya mengalami penurunan PAD, tetapi periode penurunan PAD ini hanya berlangsung dalam jangka pendek. Dengan potensi dunia usaha setempat yang dinamis, PAD Kab. Gianyar kemudian meningkat, dengan kontribusi terbesar berasal dari peningkatan pemasukan pajak penghasilan sebagai akibat dari meningkatnya kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal berbeda mungkin terjadi di daerah lain, apabila kapasitas dunia usaha setempat sangat terbatas. Untuk daerah dengan kondisi demikian, upaya yang dapat dilakukan bersamaan dengan deregulasi adalah membangun kerjasama antar Pemda yang bertetangga. Akhirnya, upaya harmonisasi peraturan perdagangan antar wilayah merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa potensi perdagangan dalam negeri dapat berkembang secara optimal. Hal ini penting mengingat perubahan perdagangan dunia yang menuju pola bebas hambatan bisa menjadi kendala apabila perdagangan dalam negeri sendiri sarat hambatan dan berbiaya tinggi. Diharapkan upaya harmonisasi dapat memperjelas pembagian wewenang dan komitmen yang dituangkan melalui Perda dan peraturan di tingkat pusat; serta mendukung penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat. Tujuan akhir dari harmonisasi tentunya untuk meningkatkan aktivitas dunia usaha dan kesejahteraan masyarakat

/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_4/166972803.doc

Halaman 8

Catatan: Tulisan ini disusun sebagai sintesa dari dua hasil studi, yaitu: Tim SMERU. 1999. Deregulasi Perdagangan dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Daerah. Laporan Hasil Lokakarya: Pemantauan Reformasi Struktur Ekonomi dan Program Deregulasi Daerah PERSEPSI DAERAH. Jakarta. Computer runs: 25 Mei 2002. Tim Studi Perdagangan, BAPPENAS. 2001. Peran Perdagangan Domestik dalam Kerangka Pemulihan dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Butir-butir Pemikiran untuk Perumusan Kebijakan ke Depan . Direktorat Industri, Perdagangan, dan Pariwisata, Bappenas. Jakarta.

/var/www/apps/conversion/tmp/scratch_4/166972803.doc

Halaman 9

Anda mungkin juga menyukai