Anda di halaman 1dari 4

1.

Resensi Buku: Ketika Sejarah Berseragam Dalam panggung sejarah nasional di Indonesia, wajah militer kerap kali mendominasi dan memonopoli setiap ranah kehidupan kenegaraan dan keberbangsaan rakyat Indonesia. Tak terkecuali keterlibatannya dalam hal mengkonstruksi dan memaknai terhadap sejarah masa lalu bangsa sendiri. Kaitannya dengan ini, ada banyak mitos-mitos sejarah yang dibangun oleh militer untuk meligitimasi dirinya sendiri maupun kekuasaan yang didukungnya. Sementara pada saat yang bersamaan, pengingkaran terhadap fakta sejarah tertentu sengaja dilakukan untuk mengubur kebusukan dan kejahatan (militer) demi membangun citra baik mereka dengan menempatkan dirinya sebagai pahlawan, sementara kelompokkelompok tertentu dituduh sebagai pesakitan sejarah, di mana semua kegagalan dan kesalahan ditimpakan. Maka tidak heran, jika dalam banyak kasus, historiografi yang selama ini ada, kerap kali tidak sesuai dengan fakta sejarah masa lalu yang sebanarnya. Konsekuwensinya jelas, sejarah sebagai memori sosial justru mencerabutkan masyarakat dari realitas masa lalunya. Sejarah tidak lagi sebagai pengalaman dari masa lalu yang mampu membimbing setiap insan untuk bercermin dalam membangun masa kini dan masa depan bangsa yang lebih baik, melainkan menjadi sebuah ideologi praktis (topeng) dari militer untuk melanggengkan kekuasaan yang didukungnya. Kondisi di atas inilah yang melatari hadirnya buku ini. Lewat buku ini Katharine E. McGregor mencoba mengungkap kisah-kisah di balik proyek militer dalam membangun sejarah masa lalu bangsa Indonesia sekaligus memberikan pemahaman bagaimana cara militer dalam membangun atau menyusun dan merekonstruksi sejarah masa lalu tersebut sebagai alat untuk memenuhi hasrat berkusaan . Berdeda dengan buku-buku lainnya yang memusatkan kajiannya pada rezim Orde Baru, buku ini justru mengajak pembacanya melihat sejarah perjalanan militer (rezim militeristik) dalam membangun sejarah itu sendiri (membaca sejarah dari sejarah). Buku buah tangan Katharine E. McGregor bukan saja mendeskripsikan sejarah militer di Indonesia, melainkan jauh lebih dari itu, yakni ingin menunjukkan bahwa militer tidak bisa hanya dilihat dari sejarahnya, tetapi juga kemampuan untuk mendesign sebuah sejarah itu sendiri. Menurut penulis buku ini, militer sebagai sebuah institusi dan ideologinya telah berhasil membangun citra baik untuk melegitimasi dirinya sendiri maupun kekuasaan yang didukungnya melalui pemaknaan tunggal dan naratif tunggal pada konstruksi masa lalu Indonesia. Kondisi ini dengan mudah bisa ditemukan baik dari kalangan penguasa dan sejarawan yang memiliki kedekatan dengan militer, bahkan juga terjadi pada sejarawan yang mengaku akademisi dan profesional. Sekedar contoh, bagaimana citra Partai Komunis Indonesia (PKI) yang demikian buruk pada era Orde Baru, bagaimana diskursus dan buku-buku Marxisme diberangus, dan bagaimana represifitas pemerintah melalui militer terhadap kelompok-kelompok yang berseberangan dengannya. Semuanya itu menunjukkan historiografi Indonesia pada dua hal: historiografi kambing hitam dan historiografi oknum. Dengan sangat ringan, seseorang bisa mencari kambing hitam atas sebuah peristiwa, sebagaimana juga menyebut oknum terhadap militer yang melakukan tindakan-tindakan diluar norma militer.

Baik Orde Lama ataupun Orde Baru telah membuat musuh imaginer sebagai kambing hitam, walaupun dengan nuansa yang berbeda. Jika rezim Orde Lama membangun sejarah sejarah Indonesia sebagai hasil dari perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan nasionalisme Indonesia dengan Soekarno sebagai pusat, maka Orde Baru melaihat sejarah Indonesia sebagai perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu. Lalu bagaimana dengan era reformasi? Disamping membutuhkan riset yang mendalam, saya cenderung menilai bahwa peran militer dalam mengkonstruksi historiografi Indonesia masih sangat dominan. Singkatnya, sejarah adalah sejarah politik dari sebuah rezim dominan yang ingin membangun citra sebagai penyelamat bangsa dengan mengorbankan orang lain dan lari dari tanggungjawab atas realitas masa lalu yang diciptakannya sendiri ketika perubahan dibutuhkan. Dalam konteks inilah, buku ini menjadi sangat penting untuk dibaca demi sebuah lahirnya ketidakseragaman konsturksi masa lalu Indonesia 2. Peristiwa Malari 1974 Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang diwakili oleh ketua dewan mahasiswa masing-masing bertemu dengan presiden. Pertemuan ini menghasilkan 6 tuntutan mengenai pemberantasan korupsi dan pembenahan ekonomi. Karena tidak puas dengan hasil diskusi bersama presiden akhirnya seluruh mahasiswa yang hadir berkumpul kembali di Student Center UI di Salemba mereka memutuskan untuk melakukan sebuah apel akbar di halaman utama Universitas Trisakti pada tanggal 15 Januari 1974 untuk membacakan kembali tuntutan mereka. Pada tanggal 14 Januari 1974, PM Jepang, Kakuei Tanaka, datang ke Indonesia. Dia disambut dengan demonstrasi kecil-kecilan di lapangan terbang Halim Perdanakusuma, kejadian ini membuat pemerintah memperketat penjagaan terhadap seluruh aksi mahasiswa. Tepat keesokan harinya, 15 Januari 1974, ratusan mahasiswa dan pelajar berkumpul di halaman Fakultas Kedokteran UI, Salemba, untuk melakukan longmarch ke halaman Universitas Trisakti. Rencananya nanti mereka akan membacakan Tritura Jilid II yang berisi 1) Bubarkan Aspri, 2)hentikan modal asing, 3)hukum para koruptor. Namun kejadian ini digunakan oleh pemerintah untuk menjatuhkan mahasiswa. Ada Invicible Hand yang menyusupkan orang-orang bayaran untuk mengacaukan aksi dan melakukan provokasi sehingga terjadi huru-hara. Diduga orang yang melakukan ini adalah Ali Moertopo namun ada juga indikasi kalau Soeharto sendiri yang melakukan ini untuk menghentikan aksi mahasiswa. Dari penjabaran diatas dapat ditarik kesimpulan kalau peristiwa Malari merupakan rekayasa dan belum bisa dibuktikan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab. Kebanyakan Sumber-sumber tertulis menyatakan kalau Ali Moertopo berada dibelakang ini semua namun karena yang bersangkutan telah tiada maka tak ada kepastian mengenai hal ini. Satu-satunya tokoh kunci yang menulis tentang peristiwa ini hanyalah Jend. Purn.

Soemitro dan Hariman Siregar, selain itu tak ada pengulasan khusus mengenai peristiwa Malari. Dari essai ini juga bisa ditarik kesimpulan kalau pemuda intelek khusunya mahasiswa sangat berpengaruh terhadap perubahan suatu bangsa. Apabila mahasiswa tak dipenuhi tunututannya (yang bermanfaat tentunya) bukan tak mungkin peristiwa sejenis Malari bisa terulang. Maka sudah seharusnya ada keharmonisan dan hubungan yang baik antara penguasa dengan kaum intelektual untuk membangun bangsa yang lebih baik. 3. Penembakan Misterius 1980 Ketika tahun 80 an, Para preman dan para perampok akan ketakutan kala mendengan kata "Petrus". Petrus sebenarnya adalah singkatan dari Penembak Misterius. Tahun 1980-an. Ketika itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius. Tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Sebagian besar korban para petrus adalah preman-preman kelas teri yang biasanya menjadi pemalak, perampok, dan Bromocorah atau mereka yang dianggap melawan peraturan kekuasaan rezim soeharto. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Galli. Petrus biasanya mengambil para pemuda yang dianggap sebagai preman. Meraka biasanya dibawa dengan mobil jeep gelap dan dibawa ke tempat yang jauh dari keramaian. setelah itu mereka dibunuh dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja. Pada masa itu, para preman menjadi sangat takut untuk keluar rumah, bahkan pemuda bukan preman tapi mempuanyai tato di badanya kadang juga sering menjadi incaran para petrus. maka tak heran jka pada masa itu, Rumah sakit kewalahan menerima para pemuda yang ingin menghapus tato mereka. Dari data yang diterima, petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret di tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.

Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya. Operasi Clurit yang notabene dengan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, diantaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 diantaranya tewas ditembak. Para korban petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Tercatat ada 11 provinsi yang menerapkan petrus, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Tapi sampai sekarang, belum ada pengakuan resmi dari pemerintah . Dan bahkan kasus ini seakan hilang begitu saja seiring dengan lengsernya kekuasaan Soeharto.

Anda mungkin juga menyukai