Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MAKALAH HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL PERUBAHAN SOSIAL DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

UMUM

Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraris yang sedang membangun ke arah perkembangan industri dan lain-lain1. Akan tetapi, tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal, antara lain: 1. keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi; 2. pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat perubahanperubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya; 3. tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi; 4. tanah di satu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat lahir batin, adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.2 Persoalan keterbatasan tanah dan proses pembangunan inilah yang menjadi dilema dalam bidang pengadaan tanah dalam rangka pembangunan. Permasalahan pengadaan tanah 3 selalu dilekatkan dengan kata pembangunan dan/atau kepentingan umum, dengan demikian pembangunan dan/atau kepentingan umum merupakan sebagai dasar atau landasan implementasi pengadaan tanah yang dilakukan oleh negara. Dapat dikatakan prinsip kepentingan umum merupakan ukuran untuk menilai kebijakan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.4 Sedangkan pendefnisian yang konkret tentang pengertian

Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 adalah negara hukum (konstitusional) yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara, antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai, dan menikmati hak milik. 2 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet ke I (Jakarta: Sinar Grafika: 2007), hal.1. 3 Istilah pengadaan tanah itu sendiri dalam wujud pelaksanaannya dilakukan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Lihat: Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Sedangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan: pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. 4 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 walaupun tidak menyebut secara eksplisit dalam Pasal 2 telah mengadakan pemisahan antara kepentingan umum dan yang bukan kepetingan umum. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang berbeda antara ayat 1 dan ayat 2. Ayat 1 melekatkan hak kepada negara dalam hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk melakukan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dengan cara

"kepentingan umum" menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dirumuskan secara abstrak, yaitu kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak, dan kepentingan pembangunan5. Kemudian, pengertian kepentingan umum dibatasi untuk kepentingan pembangunan yang tidak bertujuan komersial.6 Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum7, diharapkan dengan adanya undangundang ini, maka Indonesia memiliki payung hukum yang kuat setingkat undang-undang guna memperlancar pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum yang
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan ayat 2 terdapat kata selain di antara pengadaan tanah dan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Penyelipan kata selain ini menunjuk keberlakuan proses pengadaan tanah. Untuk yang selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tidak disebut dengan cara pelepasan atau penyerahan melainkan menyebut dengan cara jual-beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 , pada pasal 1 angka 6 disebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya Pasal 3 menyebutkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak. 5 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Cet ke I (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.v. Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di dalam Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Sedangkan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 walaupun tidak menyebut secara eksplisit dalam Pasal 2 telah mengadakan pemisahan antara kepentingan umum dan yang bukan kepetingan umum. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang berbeda antara ayat 1 dan ayat 2. Ayat 1 melekatkan hak kepada negara dalam hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk melakukan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan ayat 2 terdapat kata selain di antara pengadaan tanah dan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Penyelipan kata selain ini menunjuk keberlakuan proses pengadaan tanah. Untuk yang selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tidak disebut dengan cara pelepasan atau penyerahan melainkan menyebut dengan cara jual-beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 6 Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dirincikan tentang pembangunan untuk kepentingan umum yang meliputi 21 (duapuluh satu) jenis kegiatan sedangkan dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 menjadi 7 (tujuh) jenis kegiatan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pada Pasal 10 tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan: a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. fasilitas keselamatan umum; k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. cagar alam dan cagar budaya; n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum. 7 Disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam sidang Paripurna tanggal 16 Desember 2011. Sesuai dengan Pasal 73 Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, maka RUU tersebut menjadi sah sebagai Undang-undang (UU) paling lama 30 hari sejak RUU tersebut disahkan. Dalam undang-undang ini, pengertian kepentingan umum diartikan sebagai berikut: kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Lihat: Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

memerlukan pengadaan tanah. Salah satu

bidang penyelenggaraan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum adalah pembangunan jalan tol, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ketidakjelasan batasan pengertian/konsep kepentingan umum dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pembebasan tanah melahirkan konflik norma, ketika pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang hendak diwujudkan berhadapan dengan kepentingan umum yang mesti dijaga keberlanjutannya. Konflik norma dimaksud dapat dilihat dari pertentangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti pembangunan jalan tol transJawa dengan bidang pembangunan yang lainnya, seperti upaya perlindungan lahan pertanian berkelanjutan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Fenomena paradok antara pengadaan tanah untuk jalan tol trans Jawa dengan upaya perlindungan lahan pertanian menimbulkan permasalahan yang sangat signifikan, dimana pembangunan jalan tol trans Jawa untuk meningkatkan perkembangan ekonomi (industri) di sisi lain upaya meningkatkan ketahanan pangan yang salah satunya adalah perlindungan terhadap lahan pertanian dari alih fungsi (konversi) menjadi terabaikan.8 Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif. Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi terjadinya fenomena alih fungsi lahan, namun upaya ini tidak banyak berhasil karena adanya kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah, peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan .9

Pasal 1 ayat (15) Undang Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.menggunakan istilah alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan, dengan pengertian : adalah perubahan fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi bukan lahan pertanian pangan berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara. Tingkat konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Pengaruh dari faktor internal adalah ketergantungan lahan, sedangkan faktor eksternal adalah berupa pengaruh dari pembangunan fasilitas jalan dan industri. Yeni Agustien Harahap, makalah: Konversi lahan daerah Tol TransJawa Barat, Departemen Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, 2011, hlm.5. Tahun 2008, luas lahan pertanian yang tersisa di Indonesia adalah sebesar 7,7 juta hektar dengan laju konversi 110.000 hektar sawah pertahun. Hermas E. Prabowo. Penyusunan Lahan Isu Utama Ketahanan Pangan. Kompas, 4 Oktober 2008. Sedangkan Badan Ketahanan Pangan Nasional menyebutkan tahun 2009 saja ada 110 ribu ha sawah beralih fungsi, sedangkan untuk tingkat nasional tercatat luas komulatif lahan sawah yang beralih fungsi 1,6 juta ha atau rata-rata 81.376 ha/tahun. 9 Loc.Cit.

Selanjutnya, dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, disebutkan, bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan sesuai dengan: a. Rencana Tata Ruang

Wilayah; b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah; c. Rencana Strategis; dan d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah. Perumusan di atas, tidak sama sekali menunjuk adanya korelasi dengan prinsip perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dengan kata lain tidak disebutkan adanya penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan10. Selain itu, dalam butir mengingat pada Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, tidak disebutkan keberadaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hal ini berbanding terbalik dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang menyebutkan keberadaan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada butir mengingatnya. Kenyataan ini tidaklah lazim dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dimaksudkan untuk kepentingan pembangunan yang menunjang kegiatan perekonomian nasional, sebagai bagian dari pembangunan nasional, maka undangundang ini diharapkan dapat meningkatkan investasi di Indonesia. Apabila keberlakuan undangundang ini dihubungkan dengan perubahan sosial11, maka keberlakuan undang-undang ini berpotensi melahirkan konflik kepentingan, yakni antara kepentingan ketahanan pangan melaului perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan kepentingan kapitalis dalam kegiatan ekonomi (investasi). Dalam situasi demikian, maka menjadi persoalan pilihan kebijakan hukum (legal policy) yang menjadi prioritas pembangunan nasional yang manakah yang akan didahulukan.

10

Dalam butir menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, disebutkan bahwa Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. 11 Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku diantara kelompok masyarakat. Yang ditekankan adalah adanya pengaruh besar dari unsure-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur kebudayaan immaterial. Lihat: Haji Ngamehi Sembiring dkk, Sosiologi, (Medan: CV. Budi, 2000), hal. 21.

Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antar anggota masyarakat diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak tiap-tiap anggota masyarakat tersebut. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat.12 Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum tersebut dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Dengan demikian sesungguhnya hukum itu bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bermanfaat dan bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dalam masyarakat. Hukum dalam konsep law as a tool social engineering sebagaimana yang dikemukakan oleh Roscoe Pound13, hukum harus menjadi faktor penggerak ke arah perubahan masyarakat yang lebih baik daripada sebelumnya. Oleh karena itu, dalam perubahan ini hendaknya harus direncanakan dengan baik dan terarah, sehingga tujuan dari perubahan itu dapat tercapai. Pembangunan ekonomi dan investasi melalui pengadaan tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum harus mengacu kepada keharmonisan antara peraturan perundang-undangan dan menjunjung tinggi aspek keadilan dalam masyarakat serta menjamin keberlangsungan hidup masyarakat, termasuk dalam hal ini kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kemampuan ekonominya. Kemampuan ekonomi masyarakat di bidang pertanian adalah juga merupakan bagian dari pembangunan dalam perspektif ketahanan pangan nasional yang juga harus dijamin keberlanjutannya. Hukum adalah sesuatu yang tidak dapat untuk dipisahkan dari kehidupan manusia. Hukumlah yang mengatur segala sesuatu yang ada dalam masyarakat. Hukum dikatakan sebagai suatu proses dari masyarakat dengan manusia sebagai subjeknya. Bekerjanya hukum didukung dengan pembuatan hukum itu sendiri. Jika pembuatan hukum itu dilakukan dengan baik maka hukum akan berjalan dengan baik, demikian sebaliknya. Dalam pembentukan undang-undang, maka persoalan keadilan merupakan persoalan paling mendasar, sebagaimana dikatakan oleh Jeremy Bentham14 bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undangundang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada

12 13

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, , 1986), hal. 40. Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta: Bhrata, 1972), hal.42.

prinsip ini perundang-undangan ini hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai