Anda di halaman 1dari 28

AKTUALISASI PENGAMALAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MEWUJUDKAN EKONOMI YANG BERKEADILAN Oleh : H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Globalisasi yang tengah berlangsung saat ini telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan paham induvidualistik, hal ini ditandai dengan neo-liberalisasi yang dikendalikan oleh kaum kapitalis melalui perusahaan

transnasional (TNC) dan perusahaan multinasional (MNC)2. Konsepsi globalisasi - yang diistilahkan dengan nama Tata Dunia Baru (Novus Ordo Seclarum) - sebagai sebuah deskripsi mengacu pada perluasan dan penguatan arus perdagangan, modal, teknologi dan informasi internasional dalam sebuah pasar tunggal yang menyatu.3 Tata Dunia Baru yang diasumsikan sebagai satu-satunya alternatif yang tersedia sebagai tenaga pendorong proses pembangunan dan sinyal bagi kemakmuran masa depan dinilai sebagai imperialisme abad 21.4 Istilah imperialisme ini dikemukakan oleh James Petras, dengan menggunakan konsep imperialisme didasarkan pada suatu kenyataan bahwa jaringan lembaga-lembaga yang menentukan struktur sistem perekonomian global
1

Peserta Program Matrikulasi Ketahanan Nasional, dalam rangka menempuh Program Pascasarjana Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS RI). 2 Dalam beberapa dekade belakangan, seiring dengan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, perusahaan-perusahaan ini telah menjadi aktor ekonomi politik internasional yang semakin penting. Tujuan mereka yang paling utama adalah bagaimana mengakumulasi kekayaan yang sebesar-besarnya: Lihat: Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I (Yogyakarta: MedPress, 2007), hal.2 3. 3 th James Petras dan Henry Veltmeyer, Judul Asli: Globalization Unmasked: Imperialism in the 21 Century, diterjemahkan oleh Agung Prihantoro, Imperialisme Abad 21, Cet.I (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hal.7 et seq. 4 Ibid, hal.2.

dilihat bukan dalam pengertian struktural, melainkan dalam pengertian kesengajaan dan ketergantungan, yang dikendalikan oleh orang-orang yang mempresentasikan dan berusaha mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru.5 Pada akhirnya di era globalisasi diskusi mengenai negara bangsa telah menjadi usang karena perannya digantikan oleh lembaga-lembaga internasional dan negaranegara kawasan.6 Disinilah letak permasalahan kedudukan negara bangsa (nation state) dengan nasionalisme-nya versus lingkungan global, suatu pemerintahan yang tunggal dan global. Menurut Budi Winarno7, tesis utama para penganut neo-liberalisme adalah pasar merupakan institusi utama dan paling utama dalam masyarakat, dan karenanya pasar dianggap sebagai mekanisme yang paling efisien dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi langka. Untuk itu, pasar harus dibebaskan dari campur tangan negara, karena campur tangan ini hanya akan membuat pasar tidak dapat bekerja secara efisien dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Oleh karena itu, kebjiakan neo-liberalisme ini mempunyai ciri dalam tiga hal, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Dalam konteks Indonesia, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah, deregulasi, privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.
5 6

Ibid, hal.9. Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hal.25. 7 Budi Winarno, Op.Cit, hal.20.

Globalisasi telah menjadi hard fact bagi semua negara termasuk berlaku di negara negara-sedang berkembang. Bagi sebagian negara, terutama bagi negara industri maju telah mendatangkan berkah. Namun bagi sebagian negara lainnya, terutama sebagian besar negara sedang berkembang belum banyak membawa manfaat, bahkan tidak sedikit menimbulkan bencana baik berupa makin membengkaknya kemiskinan dan pengangguran serta menajamnya ketimpangan.8 Dalam menghadapi globalisasi ini, kita membutuhkan suatu pedoman dan arahan agar identitas nasional tetap terjaga, yakni Pancasila sebagai suatu dasar negara, ideologi dan pandangan hidup bangsa. Pancasila mengandung wawasan tentang hakikat kehidupan manusia baik secara individual maupun sosial.9 Pengembangan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi terbuka di era globalisasi ini menjadi suatu keniscayaan.10 Indonesia yang sedang menggalakkan pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi melalui peningkatan arus modal dalam kerangka investasi dan penanaman modal di era globalisasi, kini dihadapmukakan dengan melemahnya identitas nasional. Salah satu contoh melemahnya identitas nasional ini adalah terjadinya amendemen atas UUD 1945, dimana perubahan ini telah menghilangkan seluruh Penjelasan UUD 1945 termasuk Penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Perubahan ini telah mengadopsi prinsip neoliberalisme. Dengan memasukkan prinsip negara minimalis, yakni dengan
8

Didin S. Damanhuri, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar Dalam Kemelut Globalisasi, Cet.I (Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2009), hal.168. 9 Ibid, hal165. 10 Ibid.

menyebutkan ekonomi disusun berdasarkan ekonomi pasar yang berkeadilan. Meskipun yang lainnya dari pasal-pasal ekonomi UUD 1945 relatif tetap utuh, namun telah berpengaruh sangat besar dalam penyusunan perundang-undangan. Misalnya UU Migas, UU BUMN, UU Perikanan, UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal dan lain-lain, yang telah memungkinkan peran pasar global dan perusahaan asing menguasai dan mengatur sumber daya ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas (liberalisasi), yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan

diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor. Identitas nasional adalah bersifat mutlak yang harus dipegang agar tidak ikut arus sama dan seragam dengan semakin meningkatnya perubahan lingkungan strategis.11 Perubahan lingkungan yang bergolak (turbulen) dan penuh ketidakpastian (uncertainty) yang bergerak cepat dan tidak menentu mendorong para akademisi, praktisi, birokrat, dan berbagai profesi lainnya untuk berpacu mengembangkan strategi perubahan dan kebijaksanaan antisipatif agar mampu menyesuaikan diri

11

Sembiring dalam artikelnya menegaskan bahwa salah satu yang perlu dikaji manajemen adalah perubahan lingkungan strategis, baik dalam skala global maupun domestik. Pada skala global fenomena globalisasi merupakan indikasi kuat perubahan lingkungan strategis. Globalisasi merupakan proses dimana masyarakat dunia semakin terhubungkan (interconected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek kehidupan, seperti budaya, ekonomi, politik, teknologi, dan lingkungan. Dunia berubah menjadi sebuah pasar global, bukan hanya untuk barang dan jasa, melainkan juga penyedia modal dan teknologi. Lingkungan bisnis telah dan sedang mengalami perubahan signifikan. Perubahan tersebut diperkirakan akan semakin kompleks dan sulit untuk diprediksi. Dengan kata lain, lingkungan bisnis akan semakin turbulen. Eddy R. Sembiring, Meraih Competitive Advantage Melalui Learning Organization . Media Akuntansi Edisi 36, 2003, hal. 52-53.

dengan berbagai ragam tuntutan lingkungan12. Pada tataran empirik yang demikian, maka peranan ideologi Pancasila merupakan suatu daya (power) pengikat identitas nasional. Pancasila mempunyai ciri khas sebagai pembeda bangsa kita dengan bangsa lain, Pancasila bukanlah sesuatu yang kaku dan statis, Pancasila sebagai ideologi bersifat terbuka, dinamis selaras dengan keinginan masyarakat penganutnya. Implikasinya ada pada identitas nasional kita yang terbuka, serta terus berkembang untuk diperbaharui maknanya agar relevan dan fungsional terhadap keadaan sekarang.13 Sebagai suatu paradigma14, Pancasila merupakan model atau pola berpikir yang mencoba memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai manusia personal dan komunal dalam bentuk bangsa. Pancasila yang merupakan satuan dari sila-silanya harus menjadi sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan.15 Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, mengandung lima pesan pokok, yaitu: penghayatan dan hakikat martabat bangsa, kesepakatan akan cita-cita nasional, kebulatan tekad untuk mencapai tujuan nasional, mempertahankan dan

12

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith , Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga , (Jakarta: Erlangga, 2003), hal.45. 13 Samsul Wahidin, Pokok-Pokok Kewarganegaraan, Cet.I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.27. 14 Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. http://www.gudangmateri.com. Diakses tanggal 18 Oktober 2010. 15 Dardji Darmodiharjo, Orientasi Singkat Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hal.15.

memperjuangkan kepentingan nasional, serta kesepakatan tentang pencapaian tujuan nasional.16 Pancasila juga sebagai suatu sistem ekomoni lazim disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila mengacu pada setiap sila sebagai berikut.17 (1) Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; (2) Seluruh warga masyarakat bertekad untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan

kesenjangan sosial; (3) Semua pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah (sebagai produsen sekaligus konsumen) selalu bersemangat nasionalistik, yang dalam setiap putusan ekonominya menomorsatukan tujuan terwujudnya

perekonomian nasional yang kuat dan tangguh; (4) Koperasi dan organisasi-organisasi ekonomi yang selalu mengedepankan kerjasama (cooperation) dan tindakan bersama (collective action) menjadi sokoguru kegiatan ekonomi masyarakat; (5) Dalam perekonomian Indonesia yang luas dan beragam terus menerus diupayakan keseimbangan antara perencanaan ekonomi nasional dengan desentralisasi dan otonomi daerah. Melalui partisipasi aktif setiap daerah,

16 17

Eddy Oetomo, Bahan Kuliah Wawasan Nusantara, Lemhannas RI, tahun 2010. Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-Ilmu Sosial, (Yogyakarta: BPFE, 2002), hal.28. Rumusan ciri-ciri Sistem Ekonomi Pancasila yang demikian secara garis besar telah dikemukanan oleh Mubyarto pada tahun 1981, tetapi mendapat tanggapan negatif pakar-pakar ekonomi dan sejumlah pakar lain, meskipun dukungan terhadapnya sesungguhnya jauh lebih besar.

aturan main keadilan ekonomi berjalan sehingga menghasilkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tulisan dalam bentuk makalah ini menjawab relevansi nilai-nilai Pancasila dalam mewujudkan ekonomi yang berkeadilan. Sejauhmana nilai-nilai Pancasila untuk diimplementasikan dalam tataran empirik tergantung dari aktualisasi pengamalan Pancasila dalam peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi. Pancasila tidak akan dapat memberi manfaat apapun manakala keberadaannya hanya bersifat sebagai konsep atau software belaka. 2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan dalam penulisan makalah ini, yakni sebagai berikut: Pertama, menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, faktor-faktor ini diidentifikasikan menjadi dua bagian yakni faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Kedua, menyangkut tolok ukur atau indikator pembangunan dan pertumbuhan ekonomi saat ini. Kondisi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi diukur dengan besaran angka pertumbuhan ekonomi, jumlah (persentase) penduduk miskin serta jumlah (persentase) pengangguran. Ketiga, aktualisasi pengamalan Pancasila dalam mewujudkan ekonomi yang berkeadilan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
7

3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah disampaikan, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah aktualisasi pengamalan Pancasila dalam mewujudkan ekonomi yang berkeadilan?

B. PEMBAHASAN 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan ekonomi18 tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth)19; pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan PDB riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Setidaknya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi.

18

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi. Diakses tanggal 18 Oktober 2010. 19 Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.

Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi). Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada. Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas. Sedangkan faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku.20

20

Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, (Jakarta: RajaGrafindo Prada, 2005), hal.35.

2. Kondisi Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Saat Ini Pertumbuhan ekomoni sangat terkait dengan penyerapan tenaga kerja, menaiknya pertumbuhan ekonomi maka menaik pula penyerapan tenaga kerja. Pencapaian pertumbuhan ekonomi juga memberi dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat seperti peningkatan daya beli dan angka kemiskinan yang menurun. Saat ini pertumbuhan ekonomi belum banyak menyerap banyak tenaga kerja. Pasalnya, sektor yang banyak berkembang adalah sektor padat modal bukan padat karya. 21 Selama masa reformasi hingga sekarang, pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong lambat. Meskipun, selama tahun 2006-2007, perekonomian tumbuh di atas 5%. Namun, banyak orang mengatakan bahwa pertumbuhan tersebut mempunyai kualitas rendah. Ini terjadi karena setidaknya dua alasan. Pertama, daya serap tenaga kerja yang terus-menerus mengalami penurunan. Setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya akan menyerap sebanyak 400 ribu tenaga kerja22. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, kemampuan ekonomi dalam menyerap tenaga turun hingga menjadi setengahnya.23 Menurunnya daya serap tenaga kerja ini terjadi karena sektorsektor yang mempunyai kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar tidak mengalami pertumbuhan berarti. Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan bagus hanyalah sektor telekomunikasi dan beberapa sektor lain yang kurang mampu

21

Ryan Kiryanto, Stabilitas Moneter-Perbankan 2007 dan Tantangan 2008, Makalah, Jakarta, 3 April 2007. 22 Carunia Mulya Firdausy, Kebijakan Ekonomi dalam Mengatasi Kemiskinan dan Penganggguran di Indonesia". Jurnal Dinamika Masyarakat, Vol. VI, No. 3, Desember 2007, hal.125. 23 Pande Radja Silalahi, Tuntutan Menggerakkan Sektor Riil . Analisis CSIS Vol. 36 No. 3, September 2007, hal. 269.

10

menyerap tenaga kerja. Sebaliknya, sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja terbanyak (kurang lebih 40%) hanya tumbuh di sekitar angka 2-%3. Laporan BPS menyebutkan bahwa distribusi penduduk yang bekerja sebagian besar masih berada di sektor pertanian, yakni 42,05%, disusul sektor industri 18,58%, dan jasa sebesar 39,37%24. Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini menunjukkan bagaimana pola-poa pertumbuhan ekonomi selama masa neo-liberalisme dilaksanakan. Sektorsektor yang memang menjanjikan keuntungan tumbuh sangat besar, sedangkan yang lainnya tumbuh sangat lambat. Tabel 1: Pertumbuhan Ekonomi Persektor (Tahun 2006 - 2007)
SEKTOR I
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas & Air Bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa Produk Domestik Bruto Produk Domestik Bruto Tanpa Migas 6.62 2.34 3.02 5.08 7.71 4.90 11.98 5.65 5.78 5.13 5.84

2006 I sd II
4.06 2.95 3.32 4.77 8.12 5.39 12.64 5.41 5.89 5.03 5.62

2007 I sd IV
3.36 1.70 4.59 5.76 8.34 6.42 14.23 5.47 6.16 5.50 6.11

I sd III
3.56 2.32 4.18 5.10 8.26 6.23 13.10 5.10 6.16 5.31 5.95

I
(2.12) 6.11 5.22 8.16 8.30 9.53 12.96 8.13 6.98 6.06 6.64

I sd II
1.74 4.63 5.17 9.19 7.92 8.97 13.36 7.85 6.97 6.39 7.05

I sd III
3.85 3.37 4.96 9.91 8.00 8.99 13.86 7.76 6.32 6.51 7.09

I sd IV
3.47 1.93 4.67 10.33 8.53 8.93 14.04 7.99 6.44 6.35 6.95

(Sumber: htpp://www.bps.go.id, diakses tanggal 15 Oktober 2010.)

24

Analisis Dinamika Pasar Kerja I, Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007, hal.71.

11

Tabel 2: Pertumbuhan Ekonomi Persektor (Tahun 2008 - 2009)


SEKTOR I
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas & Air Bersih 12.34 5. Konstruksi 8.20 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa Produk Domestik Bruto 6.21 Produk Domestik Bruto Tanpa Migas 6.70 6.26 6.71 6.25 6.72 6.01 6.46 4.53 4.93 4.30 4.69 4.25 4.63 4.55 4.93 6.75 18.12 8.34 5.52 8.26 7.22 17.33 8.50 6.02 8.09 7.35 16.73 8.53 6.33 7.51 6.87 16.57 8.24 6.23 6.25 0.63 16.78 6.26 6.70 6.17 0.30 16.91 5.79 6.95 6.71 0.11 16.75 5.49 6.64 7.05 1.14 15.53 5.05 6.40 12.05 11.48 10.92 11.25 13.31 13.71 13.78 6.44 (1.62) 4.28

2008 I sd II
5.60 (1.00) 4.26

2009 I sd IV
4.83 0.68 3.66

I sd III
4.75 0.10 4.27

I
5.91 2.61 1.50

I sd II
4.38 2.99 1.51

I sd III
3.99 4.08 1.43

I sd IV
4.13 4.37 2.11

(Sumber: htpp://www.bps.go.id, diakses tanggal 15 Oktober 2010.)

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, ekonomi Indonesia pada kuartal II2010 tumbuh 6,2% secara year on year (yoy). Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi semester I-2010 mencapai 5,9%.25 Untuk jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33%). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15%), berarti jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta

25

http://bps.go.id. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.

12

jiwa. 26 Sedangkan jumlah pengangguran periode Februari 2010 mengalami penurunan sekitar 370 ribu orang dari jumlah 9.258.964 orang (Februari 2009).27 Hingga saat ini kualitas perekonomian belum menampakkan perubahan yang signifikan, tidak menutup kemungkinan, akan mendapat pukulan maha dasyat dari arus globalisasi. Kekhawatiran ini muncul, karena pemerintah dalam proses pemberdayaan masyarakat lemah masih parsial dan cenderung dualisme, antara kemanjaan (ketergantungan) pemerintah kepada IMF, sementara keterbatasan akomodasi bentuk perekonomian masyarakat yang tersebar (diversity of economy style) di seluruh pelosok negeri tidak tersentuh. Hal ini juga terlihat jelas pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak proporsional, tidak mencerminkan model perekonomian yang telah dibangun oleh para founding father terdahulu. Lihat saja, corak kebijakan neo-liberal ternyata

tidak berhenti, tetapi justru semakin kencang. UU Penanaman Modal Asing No. 25 Tahun 2007 yang sebenarnya merupakan perubahan atas UU PMA sebelumnya. Namun, berbeda dengan UU No. 6 Tahun 1967 yang dapat dikatakan menjadi tonggak liberalisasi awal selama pemerintahan Orde Baru. Dalam UU No. 6 Tahun 1967, secara eksplisit, Pasal 6 ayat 1 menyebutkan "Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut:

26 27

http://bps.go.id. Diakses tanggal 18 Oktober 2010. http://bps.go.id. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.

13

- Pelabuhan-pelabuhan - Produksi, transimisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum - Telekomunikasi - Pelayaran - Penerbangan - Air minum - Kereta api umum - Pembangkit tenaga atom - Mass media Pasal 6 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1967 menyebutkan, "Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kuragnya 5% dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian". Pasal ini mengandung pengertian bahwa perusahaan asing tidak boleh memasuki bidang usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 3 UU ini menyebutkan bahwa asing boleh memiliki dan menguasai sampai dengan 49%. Kemudian, Pasal 3 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1968 mengenai PMDN Pasal 3 ayat 1 mengijinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas menguasai hajat hidup orang banyak asalkan porsinya 49%. Namun, di sini, ada ketentuan agar agar invstor Indonesia yang 51% tersebut dinaikan menjadi 75% paling lambat tahun 1974. Dari sini, UU No. 6 Tahun 67 dan No. 6 Tahun 1968 meskipun membuka peluang bagi investor asing untuk terlibat dalam pembangunan nasional Indonesia, tetapi

14

perannya masih sangat dibatasi. Kepentingan nasional, dalam hal ini, masih menjadi pertimbangan dalam merumuskan keterlibatan asing dalam pembangunan. Namun, pertimbangan-pertimbangan semacam ini, tampaknya sudah

dihilangkan sama sekali. UU No. 25 Tahun 2007 menghapuskan sama sekali proteksi semacam itu, dan justru mendorong perlakuan yang sama antara pengusaha lokal atau nasional dengan asing. Beberapa pasal neo-liberalisasi dalam undang-undang tersebut sebagai berikut: Pasal 1 yang mendefenisikan "Ketentuan Umum" yang mempunyai banyak

ayat itu pada intinya menyatakan tidak ada perbedaan antara modal asing dan dalam negeri. Pasal 6 mengatakan "Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia. Pasal 7 menegaskan bahwa "Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal kecuali dengan undang-undang. Pasal 8 ayat 3 menyatakan "Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing", yang dilanjutkan dengan perincian tentang apa yang boleh ditransfer, yaitu sebanyak 12 jenis, yang praktis tidak ada yang tidak boleh ditransfer Pasal 12 mengatakan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang dinyatakan secara tertutup berdasarkan undang-undang. Hak atas tanah menjadi
15

95 tahun untuk Hak Guna Usaha, 80 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan 70 tahun untuk Hak Pakai Dilihat dari pasal-pasal di atas, betapa undang-undang penanaman modal ini tidak memberikan sedikitpun katup pengaman bagi industri dalam negeri. Industriindustri lokal akan dibiarkan masuk dalam hutan belantara persaingan berdasarkan prinsip survival of the fittest. 3. Aktualisasi Pengamalan Pancasila Dalam Mewujudkan Ekonomi yang Berkeadilan Pancasila menggambarkan Indonesia, yang penuh dengan nuansa plural, yang secara otomatis menggambarkan bagaimana multikulturalnya bangsa kita. Ideologi Pancasila hendaknya menjadi satu panduan dalam berbangsa dan bernegara. Para founding father kita dengan cerdas dan jitu telah merumuskan formula alat perekat yang sangat ampuh bagi negara bangsa yang spektrum kebhinekaannya teramat lebar (multi-facet natio state) seperti Indonesia. Alat perekat tersebut tiada lain adalah Pancasila yang berfungsi pula sebagai ideologi, dasar negara serta jatidiri bangsa.28 Sampai kini Pancasila diyakini sebagai yang terbaik dari sekian alternatif yang ada, merupakan ramuan yang tepat dan mujarab dalam mempersatukan bangsa, sehingga Prof. Dr. Syafi'i Maarif menyebutnya sebagai Indonesia Masterpiece (Karya Agung Bangsa Indonesia)29. Namun demikian Pancasila tidak akan dapat memberi manfaat apapun manakala keberadannya hanya bersifat sebagai konsep atau software

28

Ika Dewi Ana dkk, Pemikiran Para Pemimpin Negara Tentang Pancasila: Sebuah Bunga Rampai (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006), hal.33. 29 Ibid.

16

belaka. Untuk dapat berfungsi penuh sebagai perekat bangsa. Pancasila harus diimplementasikan dalam segala tingkat kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan dalam segala aspek meliputi politik, ekonomi, budaya, hukum dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan lingkungan strategis global, maka peranan Pancalisa sangat relevan dan bahkan sangat perlu untuk diberdayakan ketangguhannya melalui aktualisasi dan pengamalan nilai-nilainya. Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi secara obyektif dan subyektif. Aktualisasi pancasila secara obyektif yaitu adalah pelaksanaan Pancasila dalam bentuk realisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun semua bidang kenegaraan lainnya. Aktualisasi obyektif ini terutama berkaitan dengan realisasi dalam bentuk perundangundangan negara Indonesia.30 Sedangkan aktualisasi Pancasila secara subyektif adalah pelaksanaan Pancasila dalam setiap pribadi, perseorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Dengan demikian pelaksanaan Pancasila yang subyektif sangat berkaitan dengan kesadaran, ketaatan serta kesiapan individu untuk mengamalkan Pancasila. Aktualisasi Pancasila yang subyektif ini justru lebih penting dan aktualisasi yang obyektif, karena aktualisasi yang subyektif ini merupakan persyaratan keberhasilan aktualisasi yang obyektif.31

30 31

Gunaryadi, Bahan Kuliah Ideologi, Lemhannas RI, tahun 2010. Loc.Cit.

17

Pengaktualisasian Pancasila dalam bidang ekonomi yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi Pancasila yang berkeadilan menekankan pada harmoni mekanisme harga dan sosial (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar bebas (liberalisasi) yang mensyaratkan adanya dominasi pemilik modal terhadap sumber daya alam dan sumber kekayaan alam. Pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila yang berkeadilan dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Selain itu ekonomi yang berdasarkan Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar individu dan sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhanya tetapi manusia juga mempunyai kebutuhan dimana orang lain tidak diharapkan ada atau turut campur. Ekonomi menurut Pancasila adalah berdasarkan asas kebersamaan,

kekeluargaan yang bersendikan keadilan artinya walaupun terjadi persaingan namun tetap dalam kerangka tujuan bersama sehingga tidak terjadi persaingan bebas yang mematikan.32 Dengan demikian pelaku ekonomi di Indonesia dalam menjalankan usahanya tidak melakukan persaingan bebas, meskipun sebagian dari mereka akan mendapat keuntungan yang lebih besar dan menjanjikan. Hal ini dilakukan karena pengamalan dalam bidang ekonomi harus berdasarkan keadilan. Jadi interaksi antar pelaku ekonomi sama-sama menguntungkan dan tidak saling menjatuhkan. Pilar Sistem

32

Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Cet.I, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000). hal.42.

18

Ekonomi Pancasila yang meliputi: 1. ekonomika etik dan ekonomika humanistik, 2. nasionalisme ekonomi dan demokrasi ekonomi, 3. ekonomi berkeadilan sosial.33 Mubyarto34 merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi yang bermoral Pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila-sila Pancasila yaitu moral agama, moral kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial. Ekonomi Pancasila merupakan prinsip-prinsip moral (ideologi) ekonomi yang diderivasikan dari etika dan falsafah Pancasila. Oleh karena itu, selain berisi cita-cita visioner terwujudnya keadilan sosial, ia juga mengangkat realitas sosio-kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus rambu-rambu yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalisme dan kapitalisme. Penerapan platform Ekonomi Pancasila secara utuh (multi-sektoral) dan menyeluruh (nasional) menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi khas Indonesia yaitu Sistem Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila sangat relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita saat ini. Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah semakin mengarah pada keyakinan layaknya agama, rasanya tidak sulit mengamati ekses dari kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila dapat dideteksi dari cita-cita ideal pendiri bangsa, yang terangkum dalam kajian lima platform Ekonomi Pancasila yang bersifat holistik dan visio-revolusioner.35

33 34 35

Ibid. Mubyarto, Ekonomi Pancasila. (Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002), hal.39. Ibid.

19

Platform pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Pada awalnya founding fathers kita merumuskan politik kemakmuran, keadilan sosial, dan pembangunan karakter (character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah SWT, tidak sekedar pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah SWT (syariah), dan memperhatikan kepentingan sosial. Platform kedua adalah kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang perseorangan. Platform ketiga adalah nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri. Platform ini sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal politik-ekonomi berdikari yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebasaktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional,
20

melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai nilai tambah ekonomi melainkan juga nilai tambah sosial-kultural, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa. Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Platform keempat adalah demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat. Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945, yang kini sudah di amandemen keempat. Perubahan ini telah menghilangkan seluruh Penjelasan UUD 1945 termasuk Penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas (liberalisasi), yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor. Platform kelima (terakhir) adalah keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi politik-ekonomi
21

era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan nasional. Inilah substansi negara kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivitas ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan paham developmentalism yang netral visi dan misi. Gagasan para pendiri bangsa kita yang sejalan dengan praktek ekonomi rakyat, menentang keras praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik kiranya menyadarkan kita akan perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi lima platform Ekonomi Pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian sistem dan ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan, dan berciri ke-Indonesia-an, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang paling penting adalah sumber daya alam dan sumber kekayaan alam. Sehingga, pemanfaatan dan penggunaan kedua sumber tersebut harus sejalan dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila agar tercapai tujuan nasional. Sedangkan faktor nonekonomi yang menentukan adalah mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku. Oleh karenanya, political will pemerintah harus mengedepankan nilai-nilai keadilan dalam
22

pembangunan nasional, diwujudkan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih memihak kepada rakyat. Pada tataran yang demikian, maka keberadaan Pancasila sebagai suatu pedoman dan arahan pembangunan nasional menjadi mutlak adanya. Aktualisasi Pancasila secara obyektif menuntut realisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun semua bidang kenegaraan lainnya. Aktualisasi obyektif ini terutama berkaitan dengan realisasi dalam bentuk perundang-undangan negara Indonesia. Sedangkan aktualisasi pancasila secara subyektif adalah pelaksanaan Pancasila dalam setiap pribadi, perseorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Pelaksanaan Pancasila yang subyektif sangat berkaitan dengan kesadaran, ketaatan serta kesiapan individu untuk mengamalkan Pancasila. Aktualisasi Pancasila yang subyektif ini justru lebih penting dari aktualisasi yang obyektif, karena aktualisasi yang subyektif ini merupakan persyaratan keberhasilan aktualisasi yang obyektif. Selanjutnya, bahwa dalam pengembangan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi terbuka di era globalisasi, maka dalam tataran instrumental dan praksisnya kita membutuhkan interpretasi nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosbud, dan hankam), yang didukung oleh pemikiran-pemikiran baru yang relevan.

23

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut: Pertama, faktor - faktor yang mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi , adalah faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Terhadap faktor ekonomi, seperti sumber daya alam dan sumber kekayaan alam pemanfaatan dan penggunaan kedua sumber tersebut harus sejalan dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila agar tercapai tujuan nasional. Sedangkan faktor nonekonomi, political will pemerintah sangat menentukan keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, keberadaan Pancasila sebagai suatu pedoman dan arahan

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi mutlak adanya, oleh karenanya aktualisasi pengamalan Pancasila di bidang ekonomi harus dilakukan dengan objektif dan subyektif. Aktualisasi Pancasila yang subyektif ini justru lebih penting dari aktualisasi yang obyektif, karena aktualisasi yang subyektif ini merupakan persyaratan keberhasilan aktualisasi yang obyektif. Ketiga, dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila di bidang ekonomi akan mampu mewujudkan ekonomi yang berkeadilan dalam rangka menghadapi persaingan bebas (liberalisasi) dan globalisasi yang tengah berlangsung. Dengan demikian, tujuan nasional untuk mensejahterakan rakyat akan terwujud dan tercipta ketahanan nasional di bidang ekonomi.

24

2. Saran Pada kesempatan ini penulis menyampaikan sumbangsaran pemikirannya, yakni sebagai berikut: Pertama, dibutuhkan keberpihakan pemerintah dan legislatif baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk mengangkat masyarakat yang sekarang ini terpinggirkan menjadi pelaku aktif ekonomi daerah maupun nasional. Programprogram pembinaan dan dukungan pendanaan bagi UMKM perlu ditingkatkan. Selain itu juga sinergi antara perusahaan besar-menengah-kecil juga perlu diperkuat demi menciptakan basis industri yang kuat dan efisien. Kedua, perlu dibentuk peraturan perundang-undangan tentang pokok-pokok pembangunan nasional sebagai paying hukum (umbrella act) terhadap seluruh bidang ekonomi yang bercirikan dan bermuatan nilai-nilai Pancasila. Demikianlah sumbangsaran singkat penulis dalam penulisan makalah ini.

25

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I. Yogyakarta: MedPress, 2007. Dardji Darmodiharjo, Orientasi Singkat Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1981. Didin S. Damanhuri, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar Dalam Kemelut Globalisasi, Cet.I, Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2009. Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, Jakarta:Raja Grafindo Prada, 2005. Eddy Oetomo, Bahan Kuliah Wawasan Nusantara, Lemhannas RI, tahun 2010. Gunaryadi, Bahan Kuliah Ideologi, Lemhannas RI, tahun 2010. Ika Dewi Ana dkk, Pemikiran Para Pemimpin Negara Tentang Pancasila: Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006. Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Cet.I, Yogyakarta: BPFE-UGM, 2000. _________. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002. _________. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta, 2002. Ohmae, Keniche .Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, 2002. Petras, James dan Henry Veltmeyer, Judul Asli: Globalization Unmasked: Imperialism in the 21th Century, diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Imperialisme Abad 21, Cet.I. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002. Samsul Wahidin, Pokok-Pokok Kewarganegaraan, Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Todaro Michael P. dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga, 2003.

26

Jurnal, Makalah, Majalah, Internet dll. Analisis Dinamika Pasar Kerja I, Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007. Carunia Mulya Firdausy, Kebijakan Ekonomi dalam Mengatasi Kemiskinan dan Penganggguran di Indonesia". Jurnal Dinamika Masyarakat, Vol. VI, No. 3, Desember 2007. Rajagukguk, Erman. Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003. Ryan Kiryanto, Stabilitas Moneter-Perbankan 2007 dan Tantangan 2008, Makalah, Jakarta, 3 April 2007. Silalahi, Pande Radja, Tuntutan Menggerakkan Sektor Riil. Analisis CSIS Vol. 36 No. 3, September 2007. Sembiring, Eddy R. Meraih Competitive Advantage Melalui Learning Organization. Media Akuntansi Edisi 36, 2003. http://www.gudangmateri.com. Diakses tanggal 18 Oktober 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi. Diakses tanggal 18 Oktober 2010. http://bps.go.id. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.

27

28

Anda mungkin juga menyukai