Anda di halaman 1dari 18

PENYAKIT HATI PADA KEHAMILAN

Ada beberapa kelainan hati spesifik pada kehamilan seperti cholestasis of pregnancy dan acute fatty liver of pregnancy. Penyebab penyakit hati akut seperti hepatitis virus A, B dan C, drug induced liver injury, serta penyakit hati menahun seperti hepatitis C kronik, hepatitis B kronik, hepatitis autoimun, steatohepatitis dan yang paling banyak disebut yaitu acute fatty liver of pregnancy dan kolestasis juga dapat terjadi pada kehamilan. Beberapa keadaan fisiologis yang dapat berubah pada kelainan hati tetap dalam batas normal, selama kehamilan sebagian besar tes laboratorium termasuk tes fungsi hati. Terdapat beberapa pengecualian seperti: Albumin serum Blood urea nitrogen (BUN) Hemoglobin Alfa feto protein serum Sel darah putih Alkali fosfatase Hal ini dapat membingungkan pada kondisi tertentu dan memerlukan penjelasan lebih jauh, dan biasanya tidak >4x dan bermanifestasi klinik pada trimester ketiga, dan dapat kembali normal pada minggu ketiga setelah persalinan. Mungkin dapat dijumpai perningkatan ringan bilirubin. Tes konsentrasi 5 nukleotidase dan gamma glutamil transpeptidase bermanfaat karena tetap normal nilainya apabila tanpa adanya penyakit hati. Trigliserida Kolesterol Meningkatnya kolesterol oleh hati dan ekskresinya ke dalam empedu yang dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi kolesterol dalam empedu, yang akan berperan dalam pembentukan batu empedu pada perempuan multipara.

Nilai laboratorium tersebut akan kembali normal setelah melahirkan. Perubahan fisiologis tertentu selama kehamilan dapat mengakibatkan efek negatif jangka panjang. Pada perempuan hamil yang sebelumnya sehat, pendekatan klasifikasi dari Knox dan Kaplan menunjukkan hubungan penyakit hati dengan waktu munculnya. Waktu terjadinya penyakit hati pada kehamilan (Knox dan Kaplan) Trimester pertama dan kedua Trimester ketiga - Jaundice dengan hiperemesis - Cholestasis of pregnancy gravidarum Cholestasis of pregnancy Sindrom Dubin Johnson Sindrom Dubin Johnson Acute fatty liver of pregnancy Toksemia gravidarum dengan keterlibatan hati Ruptur hati akut - Sindrom Budd-Chiari Perempuan yang sebelumnya sehat tidak disingkirkan dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Kelainan hati dengan abnormalitas alkali fosfatase sebagai kelainan yang dominan ALP ALT/AST Bilirubin Komentar + nl/nl +/nl Kehamilan normal (trimester 3) + ++/+++ ++/+++ +/+ +/++ +/nl +/nl +/++ + + Hiperemesis gravidarum Inytrahepatic cholestasis of pregnancy (trimester 3) Batu empedu (semua trimester) Sindrom Dubin-Johnson (trimester kedua dan ketiga)

nl nl nl = normal

+ = peningkatan ringan (<4x lipat) ++ = peningkatan sedang (4-6x lipat) +++ = peningkatan bermakna (>6x lipat)

Aminotransferase sebagai kelainan yang dominan ALP ALT/AST Bilirubin Komentar +/++ +/++ +/++ Fatty liver of pregnancy, hepatitis virus, toksemia dengan infark hati, drug-induced hepatitis + +/++ +/nl Toksemia gravidarum, HELLP, penyakit hati kronik

Beberapa keadaan tertentu sering menyertai kehamilan: 1. Hiperemesis gravidarum (jarang) Suatu sindrom yang terjadi pada trimester pertama. Bilirubin dan alkali fosfatase dapat menigkat secara ringan, aminotransferase dapat abnormal secara ringan, dan biasanya berulang pada kehamilan berikutnya. 2. Intrahepatic cholestasis of pregnancy (cholestasis of pregnancy/benign recurrent cholestasis of pregnancy/pruritus gravidarum) Penyebab ICP masih belum diketahui, secara khas terjadi pada trimester 3 tapi beberapa dijumpai pada kehamilan 13 minggu. Gambaran klinis dari pruritus hingga kolestasis berat dengan defisiensi vitamin K dan perdarahan post partum yang bermakna. Dapat menyebabkan insiden prematuritas, distres fetus dan lahir mati. ICP akan berulang pada kehamilan berikutnya dan bersifat familial. Terapi dengan kolestiramin 10-12 g/hari untuk menghilangkan pruritus dan vitamin K parenteral untuk mengatasi perdarahan uterus post partum yang terjadi sekunder akibat kolestasis. 3. Acute fatty liver of pregnancy Diskripsi klinis yang jelas dari sindrom ini pertama kali digambarkan oleh Sheehan pada tahun 1940. Pada beberapa kasus, dosis tinggi tetrasiklin intravena dan infeksi pernapasan akut digambarkan mendahului sindrom ini. Sebagai tambahan beberapa keterkaitan dengan kondisi di bawah ini pemah ditemukan yaitu kehamilan kembar atau lebih, fetus laki-laki, kehamilan pertama, hipenensi arterial, edema perifer, dan proteinuria. Awitan gejala biasanya antara minggu 30 dan 38 kehamilan. Gejala yang menonjol adalah nausea, muntah, dan nyeri abdomen. Jaundice biasanya terjadi antara l minggu sampai l0 hari dari awitan gejala. Bisa terjadi gejala pertama adalah koma, gagal ginjal atau perdarahan walaupun jarang. Asites dapat terjadi pada 50% pasien. Sherlock melaporkan dua gambaran laboratoris yang khas pada sindrom ini yaitu peningkatan konsentrasi asam urat (mungkin berkaitan dengan kerusakan jaringan) dan giant platelet dengan basophilic slippling. Kondisi ini tidak ditumpai pada

hepatitis virus akut dan mungkin berguna dalam diagnosis banding. Pasien dengan acute fatty liver of pregnancy dapat menunjukkan hipoglikemia berat, serum amonia yang tinggi, dan hiperaminoasidemi general isata. Biopsi hati mungkin diperlukan untuk membedakan sindrom ini dari hepatitis virus akut. Hati pucat dan kecil dengan hepatosit pucat dan membengkak terutama pada daerah perisentral. Area periportal biasanya tidak terlibat. Dengan pewamaan lemak khusus, liver yang bengkak diisi droplet lemak mikrovesikular. Nukleus tetap berada di tengah-tengah sel berlawanan dengan suatu sindrom di mana terdapat droplei deposit lemak yang besar dan vakuola lemak mendorong nukleus ke tepi. Sherlock dan Riely menunjukkan adanya tumpang tindih antara toksemia kehamilan dan acute fatty liver pregnancy. Perbandingan antara acute fatty liver of pregnancy dan toksemia Acute fatty liver Nyeri abdomen Jaundice 50% 100% Toksemia 100% 40% >10

Transaminase serum (kali <10 normal) Scan Biopsi hati Gagal hati Perubahan difus Lemak mikrovesikular Terjadi

Abnormalitas fokal Fibrin (sinusoid) Tidak terjadi

Pasien yang selamat dari acute fatty liver of pregnancy ditemukan mengalami gejala sisa jangka panjang. Terapi terdiri atas pengenalan dini penyakit dan persalinan dini. Seksio sesaria dapat meningkatkan survival dari ibu maupun fetus. Fresh frozen plasma dan albumin intravena merupakan terapi adjuvan yang penting. Hemodialisis dapat membantu. Jika pasien tidak mengalami jaundice atau perpanjangan waktu protrombin, persalinan hendaknya dilakukan dengan prosedur obstetri standar, dilahirkan tanpa ditunda lagi. Terapi dengan heparin atau antitrombin III tidak memuaskan. Transplantasi hati merupakan pilihan dan hendaknya dipertimbangkan. 4. Toksemia gravidarum Suatu sindrom yang penyebabnya belum diketahui dan terjadi setelah kehamilan

20 minggu. Derajat keparahannya bervariasi dari kasus yang tidak menampakkan gejala klinis sampai preeklamsia dengan edema, proteinuria, hipertensi arterial sampai eklamsia dengan kejang. Toksemia dilaporkan terjadi pada 5% kehamilan. Faktor risikonya meliputi kehamilan pada usia yang sangat muda atau usia tua, kehamilan pertama, kehamilan kembar atau lebih, diabetes melitus, hipertensi yang telah diderita sebelum hamil, dan riwayat toksemia maternal. maternal. Preeklamsia adalah problem klinis yang umum dan diperkirakan 50% dari pasien dengan sindrom ini menunjukkan abnormalitas ringan aminotransferase dan alkali fosfatase. Sampel biopsi hati dari pasien-pasien ini biasanya menunjukkan abnormalitas histologis yang ringan. Pembahan yang karakteristik adalah perdarahan peripartum, deposisi fibrin yang tersebar dan perdarahan subkapsular. Deposit fibrin menyumbat sinusoid hepatika diikuti dengan nekrosis sel hati pada tempat yang sama. Apabila nekrosisnya berat, daerah-daerah perdarahan hati dapat dijumpai. Diagnosis banding utamanya adalah sindrom koagulasi intravaskular difus. Pada kasus yang sangat berat ruptur hati dengan perdarahan intraperitonial masif mungkin terjadi. Terapi terhadap keterlibatan liver dalam sindrom ini adalah terapi terhadap preeklamsia/eklamsia itu sendin. Apabila gejala-gejala sindrom preeklamsi/eklamsi tersebut tidak terkendali evakuasi uterus hendaknya dipertimbangkan secara serius, dan akan beresolusi sempurna baik keterlibatan hati maupun preeklamsia/eklamsia itu sendiri. 5. Ruptur hati Terdapat hubungan yang jelas antara keterlibatan hati dengan ruptur hati spontan yang berakibat fatal. Diperkirakan 75% sampai 85% pasien hamil yang mengalami ruptur hati menderita preeklamsia. Apabila hal ini terjadi, mortalitas ibu dan anak diperkirakan 50%. Diagnosis dibuat berdasarkan kecurigaan klinis yang dibantu dengan CT scan dan liver spleen scan. Scan ini menunjukkan filling defect multipel berkaitan dengan nekrosis iskemik. Filling defect ini terutama dijumpai dekat permukaan hati. Apabila hasil scan ekuifokal, arteriografi hati adalah metode terbaik untuk menegakkan diagnosis. Ruptur lobus kanan hati terjadi pada kira-kira 90%

kasus yang dilaporkan. Pasien biasanya mengalami nyeri abdomen mendadak dan distensi, hipotensi dan syok tidak jarang terjadi. Fungsi peritonial menunjukkan darah. Diagnosis banding utamanya adalah mptur utems. Terapinya adalah pembedahan, namun pendekatan bedah spesifik dalam penatalaksanaan ruptur hati masih bersifat kontroversial. Seringkali reseksi hati atau lobektomi mempakan pilihan terapi. 6. Sindrom Budd-Chiari Budd-Chiari tidak berkaitan secara eksklusif kehamilan. Sesungguhnya sindrom ini tcrjadi frekuensi yang sama pada pria dan perempuan. Pada kehamilan, sindrom Budd-Chiari biasanya terjadi pada periode intermediet post partum, walaupun beberapa kasus dapat terjadi pada trimester kedua kehamilan atau selama abortus septik. Manifestasi klinisnya adalah nyeri abdomen dan asites dengan onset mendadak. Terjadi trombosis pada vena hepatika diikuti hipertensi portal. Hati biasanya membesar dan nyeri tekan. Tes fungsi liver menunjukkan peningkatan ringan aminotransferase dan alkali fosfatase. Cairan asites biasanya suatu eksudat, namun beberapa kasus menunjukkan konsentrasi protein yang rendah. Liver spleen scan dapat membantu diagnosis apabila lobus caudatus menunjukkan uptake yang intens (berkaitan dengan tidak adanya blokade aliran vena) dikelilingi oleh uptake yang kurang pada jaringan hati sisanya. Venogram hepatik menunjukkan sisi oklusi vaskular baik vena cava inferior maupun vena hepatika. Apabila tersedia, spesimen biopsi hati menunjukkan pembengkakan taraf berat terutama di sekitar vena hepatika. Prognosis buruk dan pasien dengan sindrom Budd-Chiari selalu menunjukkan kondisi klinis yang semakin memburuk sampai terjadi kematian. Mortalitas pada tahun pertama 30 sampai 40%, sedangkan mortalitas pada tahun keempat mencapai 85%. Terapi dengan antikoagulan tidak bermanfaat pada sindrom Budd-Chiari yang telah tegak, namun demikian terapi trombolitik dengan streptokinase atau alteplase (TPA) selama trombosis vena hepatika akut diperlukan. Terapi bedah merupakan pilihan dan tujuan utama terapi bedah adalah untuk mendekompresi hati yang bengkak biasanya dengan membuat shunt portosistemik (porto caval atau meso caval). Beberapa pasien dengan sindrom Budd-Chiari menjalani transplantasi hati. Telah dilaporkan empat kasus kehamilan tanpa komplikasi pada pasien dengan sindrom Budd-Chiari sebelumnya.

7. Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet (Hellp Syndrome) Pertama kali dideskripsikan oleh Weinstein pada tahun 1982 sebagai singkatan dari hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia. Sindrom ini menunjukkan subgrup perempuan dengan toksemia gravidarum yang juga menderita koagulasi intravaskular diseminata (KID) dan gangguan hati. Kurang lebih 10% perempuan dengan preeklamsia/eklamsia menderita sindrom HELLP. 8. Hepatitis virus Hepatitis virus adalah penyakit nekroinflamatori yang umumnya disebabkan oleh virus hepatitis A,B,C,D atau E. Sebagai tambahan sitomegalovirus atau virus EpsteinBarr dapat menyebabkan hepatitis virus akut. Manifestasi hepatitis virus sama baik pada individu yang hamil maupun yang tidak dengan beberapa perkecualian. Data gabungan menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah di dunia seperti di benua sub-Indian, di timur tengah dan di Afrika di mana frekuensi dan derajat keparahan hepatitis pada perempuan hamil lebih berat apabila dibandingan dengan perempuan tidak hamil atau pasien pria. Hepatitis B Pengamh hepatitis vims pada bayi barn lahir dapat terjadi akibat transmisi agen penyebab penyakit tersebut. Hepatitis B (HB V) ditransmisikan ke bayi baru lahir selama periode perinatal. Transmisi dari ibu ke anak dilaporkan antara 0% sampai 70%. Dua penelitian mencoba menjelaskan rentang angka transmisi yang lebar ini. Penelitian yang pertama menunjukkan bahwa tidak terdapat infeksi pada bayi ketika ibunya menderita hepatitis akut pada trimester pertama kehamilan, 25% bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis akut pada trimester 2 tehnfeksi HB V, dan angka terjadinya infeksi meningkat mencapai 70% pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis akut pada trimester ketiga. Insidensinya meningkat mencapai 84% apabila si ibu menderita hepatitis akut pada dua bulan pertama setelah persalinan. Insidensi yang meningkat ini disebabkan karena si ibu telah terinfeksi virus selama kehamilan dan setelah suatu periode inkubasi tertentu infektifitasnya mencapai puncak pada saat persalinan. Penelitian menunjukkan hasil yang serupa: infektifitas 0% pada trimester

pertama, 6% selama trimester kedua, 67% selama trimester ketiga, dan 100% selama periode awal postpartum. Gambaran statistik ini mengejutkan apabila kita mempertimbangkan bahwa lebih dari 90% neonatus yang terinfeksi menjadi karier HB V. Vaksin Hepatitis B Beasley dan rekan-rekan menunjukkan bahwa infeksi HBV kronis pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HBV dapat dicegah pada 90% kasus dengan menggunakan kombinasi imunoglobulin hepatitis B (HBIG) dan vaksinasi HBV secara teratur. Penelitian Beasley dan penelitian-penelitian lain menghasilkan suatu pedoman untuk pencegahan transmisi HBV fetal-matemal. Semua bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HBV hendaknya menerima profilaksis terhadap HB V. Rekomendasi regimen sebagai profilaksis bayi baru lahir dari ibu dengan HbsAg positif HBIG Vaksin HBV Hepatitis virus C Pada kurang lebih 50% individu yang terinfeksi hepatitis C tidak didapatkan adanya faktor risiko terinfeksi hepatitis C. Hal ini mendorong penelitian tentang transmisi infeksi HCV non perkutaneus. Sebelum assay HCV tersedia, kadangkadang ditemukan transmisi non-A non-B (sekarang diketahui sebagai hepatitis C) vertikal melalui darah. Dua penelitian terbaru mengarah ke pendapat adanya transmisi HCV neonatal. Walaupun kedua penelitian ini mempunyai desain yang baik dan menggunakan petanda serologi yang dapat dipercaya, keduanya mempunyai keterbatasan. Keterbatasan itu adalah jumlah bayi yang diamati terlalu sedikit dan jangka waktu pengamatan yang pendek. Reinus dan rekanrekannya melaporkan 23 ibu yang terinfeksi HCV dan 23 bayi yang dilahirkannya dari rumah sakit di daerah Westchester, New York. Penting diketahui bahwa pada serum 16 dari 23 perempuan itu dapat dideteksi HCV RNA dan diperkirakan berpotensi tinggi untuk mentransmisikan HCV ke bayi yang dilahirkannya. Semua bayi menunjukkan antibodi terhadap HCV (anti HCV) pada sampel darah tali pusat, tapi antibodi menghilang pada sampel yang diambil berikutnya Hanya 0,5 ml im pada saat lahir 10 ug (0,5 ml) im dalam 7 hari setelah persalinan dan 1 dan 6 bulan sesudahnya

pada l sampel darah'tali pusat dapat dideteksi adanya HCV RNA yang kemudian menghilang selama periode pengamatan. Penelitian yang kedua menunjukkan hasil yang sama. Wejstal dan rekan-rekannya melaporkan 14 perempuan Swedia dan 21 bayi yang dilahirkannya. Pada serum semua perempuan tersebut HCV RNA dapat dideteksi dan 2 dari 21 bayi yang dilahirkannya menunjukkan peningkattan ALT secara menetap, namun demikian hanya satu dari mereka yang menjadi HCV-RNA positif selama periode pengamatan. Biopsi hati pada anakanak tersebut menggambarkan hepatitis kronis. Dari kedua penelitian itu dapat disimpulkan bahwa transmisi HCV fetal-matemal tampaknya jarang. Kesimpulan ini valid bahkan dengan adanyam H I V tipe l karena pada serum beberapa ibu pada kedua penelitian tersebut dapat dieteksi adanya HIV-1. Hepatitis delta (jarang) Hepatitis delta jarang dijumpai pada perempuan hamil. Suatu survei terhadap 6111 perempuan hamil di Italia menunjukkan bahwa 164 (2,6%) HBsAg positif dan 7(4,2%) menunjukkan antibodi terhadap vims delta dalam serum. Tidak satupun bayi yang dilahirkan dari perempuan ini terinfeksi hepatitis delta. Hepatitis E Kemungkinan angka mortalitas hepatitis akut lebih tinggi pada perempuan hamil dilaporkan pada beberapa daerah di atas berkaitan dengan epidemi hepatitis nonA, non-B (sekarang dikenal sebagai hepatitis E atau HE V). Virus hepatitis E telah berhasil diisolasi dan digambarkan mempunyai ciri-ciri tertentu. Hepatitis E biasanya sembuh dengan sendirinya dan kondisi akut tidak diikuti dengan hepatitis kronis. Histologi spesimen hati pada kasus terinfeksi HEV digambarkan oleh Gupta dan Smetena pada spesimen biopsi dari 78 pasien termasuk perempuan hamil. Lima puluh delapan persen spesimen menunjukkan satu atau lebih gambaran patologis khas yaitu l) kolestasis terutama pada daerah periportal, 2) stasis empedu kanalikular dan intraselular pada struktur pseudoglandular dan 3) peningkatan jumlah komponen asidofilik. Wabah HEV besar pertama kali terjadi di Delhi, India pada tahun 1955 sampai tahun 1956. Gambaran epidemiologis dan gambaran klinis utama wabah ini adalah hubungan dengan

konsumsi air yang terkontaminasi, serangan sering terjadi pada dewasa muda, dan angka fatalitas tinggi pada perempuan hamil juga telah dilaporkan pada beberapa wabah. Pada tahun 1978 wabah hepatitis non-A,non-B dilaporkan di Kashmir, India. Angka 2,8% pada pria, 2,1% pada perempuan tidak hamil, dan 22% pada perempuan hamil. Hepatitis fiilminan terjadi pada 2,8% dari pria, 0% dari perempuan yang tidak hamil, dan 2% dari perempuan hamil. Dari perempuan hamil dengan hepatitis fulminan, 75% meninggal. Pada tahun 1980 sampai 1981 epidemi hepatitis yang ditularkan melalui air terjadi di Algeria di mana 788 kasus hepatitis dilaporkan dengan mortalitas mencapai 100% di antara 9 perempuan hamil. Sebaliknya laporan dari Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa perempuan hamil dan fetusnya tidak terpengaruh oleh hepatitis virus selain peningkatan insidensi terjadinya kelahiran prematur.

Efek kehamilan pada pasien dengan penyakit hati kronik: Sirosis jarang terjadi pada perempuan usia subur. Insidensi terjadinya kehamilan pada perempuan pasien sirosis belum diketahui, walaupun angka fertilitas yang rendah dilaporkan pada perempuan-perempuan ini. Schreyer dan rekan-rekan melaporkan 60 perempuan hamil dengan sirosis dengan 69 persalinan. Usianya bervariasi antara 18 sampai 44 tahun dengan usia rata-rata 40,5 tahun. Sepuluh dari 60 perempuan itu meninggal selama kehamilan, 7 berkaitan dengan perdarahan gastrointestinal masif. Hanya 45 dari 69 (65%) bayi yang dilahirkan dapat melewati periode neonatalnya. Hasil yang sempa dilaporkan pada penelitian yang lain. Perhatian utama pada perempuan hamil dengan sirosis adalah adanya varises esofagus. Dahulu, terminasi kehamilan disarankan berdasarkan pendapat bahwa ruptur varises dan perdarahan fatal sering terjadi pada varises esofagus. Selanjutnya seksio caesaria dianjurkan sebagai tindakan agar pasien tidak mengejan sehingga tidak memicu mptur varises. Pada tahun 1982, Britton meneliti 53 pasien sirosis dengan 73 kehamilan dan 38 pasien bukan sirosis dengan 77 kehamilan berkaitan dengan risiko terjadinya perdarahan varises. Ia menemukan bahwa sebagian besar perdarahan gestasional terjadi pada trimester kedua dan risiko terjadinya perdarahan varises tidak meningkat selama persalinan per vaginam. Varises transien terjadi pada perempuan dengan penyakit hati pada trimester kedua sebagai akibat meningkatnya volume darah selama minggu ke-28 sampai ke-32. Pada kelompok sirosis terdapat 7 kematian maternal, 3 berkaitan dengan perdarahan varises. Pada

kelompok non sirosis terdapat 2 kematian maternal, satu akibat perdarahan varises. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara perempuan hamil sirosis dan non sirosis dalam hal terjadinya perdarahan varises. Laporan penelitian terhadap perempuan dengan sirosis bilier primer (PBC) atau hepatitis kronis aktif autoimun menunjukkan bahwa kondisi klinis dari penyakit dasarnya semakin membumk selama kehamilan. Empat dari lima perempuan dengan PBC menunjukkan peningkatan derajat jaundice selama kehamilan dan bilirubin tetap meningkat setelah persalinan. Dari 6 kehamilan pada pasien PBC, hanya 2 yang berhasil melahirkan bayi hidup dan 3 dari 5 perempuan tersebut meninggal beberapa tahun setelah kehamilan. Pada penelitian terhadap 30 perempuan hamil dengan hepatitis kronis aktif autoimun tidak terdapat kematian maternal dan hanya 4 kematian perinatal. Perempuan-perempuan ini diterapi dengan prednisolon selama kehamilan dengan tanpa efek samping pada fetus. Kesimpulannya, jarang terjadi kehamilan pada pasien sirosis dan penatalaksanaan penyakit hati pada pasien-pasien ini tidak berbeda dibandingkan pasien yang tidak hamil. Terdapat peningkatan kematian fetus pada perempuan hamil dengan sirosis berkaitan dengan lahir mati, prematuritas, dan abortus spontan.

TUBERKULOSIS PERITONEAL
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau viseral yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering mengenai seluruh peritoneum dan alat-alat sistem gastrointestinal, rnesenterium, serta organ genitalia intema. Penyakit ini jarang berdiri sendiri, biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosis di tempat lain terutama dari paru, namun seringkali ditemukan pada waktu diagnosis ditegakkan, proses tuberkulosis di paru sudah tidak kelihatan lagi. Tuberkulosis peritoneal masih sering dijumpai di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sedangkan di Amerika dan negara Barat lainnya walaupun jarang, ada kecenderungan meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien AIDS dan imigran. Karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan manifestasi klinisnya tidak khas, tuberkulosis peritoneal sering tidak terdiagnosis atau terlambat ditegakkan, sehingga meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian. Tidak jarang penyakit ini mempunyai

keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol. Secara umum tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada perempuan dibandingkan pria dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering pada dekade ke 3 dan 4. Tuberkulosis peritoneal dijumpai pada 2% dari seluruh tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberkulosis abdominal. Peneliti lain melaporkan dari 91 pasien tuberkulosis peritoneal, hanya 2 pasien (2,1%) yang dideteksi ada TBC parunya. Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberkulosis peritoneal di negara maju semakin meningkat. Di Kanada dilaporkan pada tahun 1988 ditemukan 81 kasus tuberkulosis abdominal, 41 kasus diantaranya merupakan tuberkulosis peritoneal. Penyakit ini meningkat sesuai dengan meningkatnya insidens AIDS di negara maju. Di Asia dan Afrika dimana tuberkulosis masih banyak dijumpai, tuberkulosis peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di RS King Edward II Durban Afrika Selatan ditemukan 145 kasus tuberkulosis peritoneal selama periode 5 tahun (l 984 - 1988) dengan cara peritoneoskopi. Daldiyono, menemukan sebanyak 15 kasus di mmah sakit Dr. Cipta Mangunkusumo Jakarta, selama periode 1968 -1972 dan Sulaiman di rumah sakit yang sama periode 1975-1979 menemukan sebanyak 30 kasus tuberkulosis peritoneal. Di Medan, Zain LH melaporkan ada 8 kasus selama periode 19931995. Sandicki dkk di Turki melaporkan 135 kasus tuberkulosis peritoneal dengan pemeriksaan peritoneoskopi.

PATOGENESIS Peritoneum dapat dikenai oleh tuberkulosis melalui beberapa cara: 1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari pam-t 2. Melalui dinding usus yang terinfeksi. 3. Dari kelenjar limfe mesenterium. 4. Melalui tuba fallopii yang terinfeksi. Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran perkontinuitatum, tetapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu.

PATOLOGI Dikenal tiga bentuk tuberkulosis peritoneal yaitu: Bentuk eksudatif. Dikenal juga dalam bentuk yang basah atau bentuk dengan asites yang banyak. Gejala yang menonjol adalah perut yang membesar dan berisi cairan asites. Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga pentoneum. Bentuk ini paling dijumpai (95,5%). Bentuk adesif. Dikenal juga dengan bentuk kering atau palastik. Cairan asites tidak banyak dibentuk. Usus dibungkus oleh peritoneum dan omentum yang mengalami reaksi fibrosis. Pada bentuk ini terdapat perlengketan-perlengketan antara peritoneum dan omentum. Perlengketan yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadang-kadang terbentuk fisitel. Bentuk campuran. Bentuk ini kadang-kadang disebut bentuk kista. Pembentukan kista terjadi melalui proses eksudasi dan adesi sehingga terbentuk cairan dalam kantongkantong perlengketan tersebut. Pada kedua bentuk di atas peritoneum penuh dengan nodul-nodul yang mengandung jaringan granuloma dan tuberkel.

GEJALA KLINIS Gejala klinis bervariasi, umunya keluhan dan gejala timbul periahan-lahan, sering pasien tidak menyadan keadaan ini. penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr Cipta Mangunkusumo lama keluhan berkisar dari 2 minggu sampai 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16 minggu. Keluhan yang paling sering ialah; tidak ada nafsu makan, batuk dan demam. Variasi keluhan-keluhan pasien tuberkulosis peritoneal menurut beberapa penulis adalah : Keluhan-keluhan pasien tuberkulosis peritoneal menurut beberapa penulis Keluhan Sulaiman A 1975-1979 (30 ps)% Sakit perut 57 Sandikci dkk (135 ps)% 82 Manohar dkk 1984-1988 (45 ps)% 35,9

Pembengkakan perut Batuk Demam Keringat malam Anoreksia Kelelahan Berat badan turun Mencret

50 40 0 6 30 23 23 20

96 69 73 76 80 -

73,1 53,9 46,9 44,1 -

Pada pemeriksaan fisis gejala yang saring dijumpai ialah: asites. demam, pembengkakan perut dan nyeri, pucat dan kelelahan. Tergantung lamanya keluhan, keadaan umum pasien bisa masih cukup baik, sampai kedaan yang kurus dan kahektik. Pada perempuan sering dijumpai tuberkulosis peritoneal disenai oleh proses tuberkulosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada pemeriksaan alat genitalia bisa ditemukan tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dari kista ovarii.

DIAGNOSIS Laboratorium Pada pemeriksaan darah sering ditemui anemia penyakit kronik, leukositosis ringan atau leukopenia, trombositosis dan sering dijumpai laju endapan darah (LED) yang meningkat. Sebagmn besar pasien mungkin negatif uji tuberkulinnya. Uji faal hati terganggu dan sirosis hati tidak jmng ditemui bersama-sama dengan tuberkulosis peritoneal. Pemeriksaan cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan protein >3g/dl. Jumlah sel di antara 100-3000 sel/ml, biasanya lebih dari 90% limfosit. LDH biasanya meningkat. Cairan asites yang purulen dapat ditemukan, begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguineus). Basil tahan asam didapati hasilnya kurang dari 5% yang positip dan kultur cairan ditemukan kurang dari 20 % yang positip. Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66 % kultur BTA positip yang akan meningkat sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang telah disentrifuge dengan jumlah cairan lebih dari l liter. Hasil kultur cairan asites dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.

Perbandingan albumin serum asites pada tuberkulosis peritoneal ditemukan rasionya < l, l gr/dl namun hal ini dapat juga dijumpai pada keadaan keganasan, sindrom nefrotik, penyakit pankreas, kandung empedu atau jaringan ikat. Bila ditemukan rasionya > l, l gr/dl merupakan cairan asites akibat portal hipertensi. Perbandingan glukosa asites dan darah pada tuberkulosis peritoneal tersebut <0,96, sedangkan pasien asites dengan penyebab lain rasionya > 0,96. Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu diagnosis tuberkulosis peritoneal, cepat dan non invasif adalah pemeriksaan adenosin deaminase activity (ADA), interferon gamma (IFNy), dan PCR. Menurut Gimene dkk nilai ADA lebih dari 0,40 uKat/l mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 99% untuk mendiagnosis tuberkulosis peritoneal. Menurut Gupta dkk nilai ADA 30 u/1 mempunyai sensitivitas 100% dan pesifisitas 94,1%, serta mengurangi positip palsu dari sirosis hati atau keganasan karena nilai ADA nya 14 l 0,6 u/l. HaftaA dkk melahikan penelitian untuk membandingkan konsentrasi ADA pada pasien tuberkulosis peritoneal, tuberkulosis peritoneal dan sirosis hati. Didapatkan hasilnya 131,1 38,1 u/1,29 18,6 u/1, dan 12,9 7 u/1. Pada asites yang konsentrasi proteinnya rendah nilai ADA nya akan rendah sehingga dapat menyebabkan negatif palsu. Oleh sebab itu pada kasus seperti ini dapat dilakukan pemeriksaan IFNy. Fathy ME melaporkan angka sensitivitas IFNy90,9%, ADA 81,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesivisitas 100% untuk mendiagnosis tuberkulosis peritoneal. Bhargava dkk melakukan penelitian terhadap konsentrasi ADA pada cairan asites dan serum pasien faiberkulosis peritoneal. Konsentrasi ADA 36 u/l pada cairan askes dan 54 u/1 pada semm dan perbandingan konsentrasi ADA pada asites dan serum > 0,984 mendukung diagnosis tuberkulosis peritoneal. Pemeriksaan yang lain adalah mengukur konsentrasi CA-125 (cancer antigen 125). CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukaa pada ovarium orang dewasa normal namun dilaporkan juga meningkat pada kista ovarium, gagal ginjal kronis, penyakit autoimun, pankreas, sirosis hati dan tuberkulosis peritoneal. Zain LH di medan menemukan pada 8 kasus tuberkulosis peritoneal dijumpai konsentrasi CA-125 meninggi dengan konsentrasi rata-rata 370,7 u/ml (66,2- 907 u/ml). Dengan demikian disimpulkan bahwa bila dijumpai peninggian semm CA-125 disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit dominan

maka tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa. Beberapa peneliti menggunakan CA-125 untuk melihat respon pengobatan seperti yang dilakukan Mas MR dkk menemukan CA-125 sama tingginya dengan kanker ovarium 475,80 106,19 u/ml dan setelah pemberian obat antituberkulosis konsentrasi semm CA 125 menjadi 20,80 5,18 u/ml (normal < 35 u/ml) setelah 4 bulan pengobatan antituberkulosis. Temya dkk pada tahun 2000 di Jepang menemukan peningkatan konsentrasi CA 19-9 pada serum dan cairan asites pasien tuberkulosis peritoneal, setelah diobati selama 6 minggu dijumpai penurunan menjadi normal.

Pemeriksaan Penunjang Ultrasonografi Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Menurut Ramaiya dan Walter gambaran sonografi tuberkulosis peritoneal yang sering antara lain, cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam abdomen, massa di daerah ileosekal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal. Adanya penebalan mesenterium. Perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, dapat dilihat dan hams diperiksa dengan seksama. CT Scan Pemeriksaan CT Scan untuk tuberkulosis peritoneal tidak ada suatu gambaran yang khas, secara umum ditemukan gambaran peritoneum yang berpasir. Rodriguez dkk melakukan suatu penelitian yang membandingkan tuberkulosis peritoneal dengan karsinoma peritoneal. Didapatkan penemuan yang paling baik untuk membedakannya dengan melihat gambaran CT scan terhadap peritoneum parietalis. Bila peritoneumnya licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan gambaran tuberkulosis peritoneal, sedangkan karsinoma peritoneal terlihat adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang tak teratur. Peritoneoskopi

Peritoneoskopi cara yang terbaik untuk mendiagnosis tuberkulosis peritoneal. Tuberkel pada peritoneum yang khas akan terlihat pada lebih dari 90% pasien dan biopsi dapat dilakukan dengan terarah, selanjutnya dilakukan pemeriksaan histologi. Pada tuberkel peritoneal ini dapat ditemui BTA hampir 75% pasien tuberkulosis peritoneal. Hasil histologi yang penting adalah didapatnya granuloma. Yang lebih spesifik lagi adalah jika didapati granuloma dengan perkejuan. Gambaran yang dapat dilihat pada tuberkulosis peritoneal : 1. Tuberkel kecil ataupun besar pada dinding peritoneum atau pada organ lain dalam rongga peritoneum seperti hati, omentum, ligamentum atau usus 2. Perlengketan di antara usus, omentum, hati, kandung empedu dan peritoneum 3. Penabalan peritoneum 4. Adanya cairan eksudat atau purulen, mungkin cairan bercampur darah Walaupun dengan cara peritoneoskopi tuberkulosis peritoneal dapat dikenal dengan mudah namun gambarannya dapat menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis. Karena itu pengobatan baru diberikan bila hasil pemeriksaan histologi menyokong suatu tuberkulosis peritoneal. Kadang-kadang peritoneoskopi tidak dapat dilakukan pada kasus dengan perlengketan jaringan yang luas. sehingga trokar sulit dimasukkan. Pada keadaan seperti itu sebaiknya dilakukan laparatomi diagnostik Laparatomi Dahulu laparatomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosis yang sering dilakukan, namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika cara lain yang lebih sederhana tidak memberikan kepastian diagnosis atau jika dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus.

PENGOBATAN Pengobatannya sama dengan tuberkulosis paru. Obat-obatan seperti streptomisin, BSTH, etambutol, rifampisin, pirazinamid memberikan hasil yang baik, perbaikan akan terlihat dalan waktu 2 bulan. Lama pengobatan biasanya mencapai 9 bulan sampai l 8 bulan atau lebih. Beberapa penulis berpendapat kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Terbukti juga kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan

dan kematian, namun pemberian kortikosteroid hams dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap mikobakterium tuberkulosis.

PROGNOSIS Prognosis tuberkulosis peritoneal cukup baik bila diagnosis dapat ditegakkan dan biasanya akan sembuh dengan pengobatan anti tuberkulosis yang adekuat.

Anda mungkin juga menyukai